by Titikoma
14. Terkadang Salah Itu Menantang
Kalau setiap orang mendengarkan kata hatinya, yang ada di dunia ini hanya kebaikan saja. Perputaran roda dunia menjadi standar, tidak ada lonjakan-lonjakan yang memancing kontroversial.
Hati yang Allah ciptakan adalah hati yang murni, dan jika tiba-tiba aku merasa salah karena dorongan nafsu yang sesungguhnya, aku tahu itu salah. Tapi kenapa ya salah itu terkadang menghadirkan cerita lain.
Mungkinkah salah ini juga karena campur tangan Tuhan? Aku sungguh tidak mengerti, tapi yang jelas aku merasa hidup ini kembali menjadi hidup yang sesungguhnya setelah perkawinan dengan Si Cupu yang membuat aku merasa terpuruk.
Demi mempertahankan harta papa, aku benar-benar melakukan kesalahan besar mau menikah dengan Si Cupu. Seseorang yang sama sekali tidak aku cintai, bahkan sampai sekarang, lima bulan dari pernikahan dengan Si Cupu aku masih mempertahankan virginitas-ku.
Dalam hati terdalamku, aku merasa bersalah juga melakukan hal ini terhadap Si Cupu yang tampaknya semakin hari semakin mencintaiku. Padahal perlakuan aku terhadapnya sangat kasar.
Cupu... Cupu, kenapa kamu mau melakukan hal paling bodoh ini? Kamu mau menikahi gadis cacat macam aku, gadis yang tidak berniat meraih kebahagiaan bersama kamu dan yang pasti gadis yang tidak mencintai kamu!
Sejujurnya aku ingin minta maaf atas semua sandiwara ini, aku ingin kita bisa berkompromi tanpa hati. Cupu kenapa sih kamu menolak kalau aku akan membagi sebagian harta ini dengan kamu? Asalkan kamu mau menceraikan aku!
Aku benar-benar dibuat bingung dengan perilakunya yang tetap tenang seakan perkawinan ini adalah perkawinan yang indah. Padahal apa yang dia peroleh dari aku? Nothing! Jangan pernah berharap aku akan menyerahkan diriku padanya.
Sudah berulang kali aku katakan kalau hatiku sudah tercuri oleh kisah masa kecilku, aku yakin Arizal masih mengingatku dan masih ingat janji waktu kami sempat pura-pura menjadi pengantin kecil sebelum kepindahanku ke Martapura. Dan janji dulu kalau dia akan melakukan pengantin lagi denganku bila saatnya tiba.
Arizal adalah candu dan obsesi yang terpendam sejak kami menjadi pengantin kecil.
Andai aku tidak pindah ke Martapura, mungkin aku sudah bisa melangsungkan pengantin yang sesungguhnya dengannya.
Aku masih mencarimu Arizal, pengantin kecilku yang terus membayangi setiap langkahku. Sampai semua tokoh dalam novelku yang beredar di toko buku seantero Indonesia selalu bernama dia.
Aku berharap kamu akan membaca salah satu novelku dan menghubungiku, mengingat akan janji masa kecil kita.
Aku takut ternyata kamu sudah melupakan semua janji pengantin kecil dan menertawakanku karena demi kamu sampai aku mengambil keputusan menikah dengan Si Cupu, tapi aku tetap mempertahankan semua yang ada pada diriku.
Aku bingung, hati Si Cupu itu terbuat dari apa ya? Dia tidak marah sama sekali aku perlakukan seenaknya. Airin... Airin... kamu sungguh kejam dan keterlaluan! Andai Tuhan bisa langsung menegur, mungkin sudah dari awal aku memutuskan tidak menikahi Si Cupu. Biarlah harta papa diberikan pada kaum miskin yang membutuhkan, asal aku tidak merasa bersalah seperti ini terhadap Si Cupu. Anehnya dia tidak menolak sama sekali rencanaku, mama, dan bapak pengacara demi menyelamatkan agar harta papa tidak jatuh ke orang lain.
Aku sesungguhnya tidak memerlukan harta papa karena aku bisa dan terbiasa mandiri. Walau pendapatanku tidak melimpah, tapi cukuplah untuk kehidupan aku yang sendiri.
Apalagi aku sekarang diangkat menjadi editor di perusahaan penerbitan yang sangat berkembang. Dan selain jadi editor, aku juga diperbantukan Mas Ata di penerbitannya untuk belajar sebagai manajer sales dan marketing. Aku jadi banyak belajar tentang segmentasi pasar, cost ratio dan target.
Aduh kenapa sekarang jadi cerita bersambung saja kalau aku mengingat Arizal, cinta pertama masa kecil. Sekarang muncul juga Mas Ata.
Aku beruntung menghadiri talk show Gibriel Alexander saat itu dan menjadikan aku bertemu sosok Mas Ata yang saat berbicara, bibirnya mengingatkanku pada Arizal.
Aku mungkin berlega sejenak melupakan Arizal dan menikmati kehadiran Mas Ata yang menjadi duplikat Arizal. Bila ada Mas Ata, aku tak butuh lagi menamai tokoh novelku dengan Arizal yang tidak juga muncul menghubungi setelah lima novelku beredar seantero. Tidak ada kepekaan sama sekalikah dirinya? Apakah dia sama sekali gaptek sampai tidak pernah iseng men-searching namaku lalu menemukannya dan membaca ulasan beberapa interview kenapa aku selalu menamai tokoh dalam novelku dengan nama Arizal? Itu semua aku lakukan karena aku kehilangan dirinya dan masih menunggu janji pengantin kecilku.
Mas Ata hadir menjelma jadi sosok Arizal yang berbeda memang, dan perbedaan itu yang aku rasakan sangat aku butuhkan.
Mas Ata hadir dengan tidak terduga. Ya Allah, jangan salahkan aku bila menuduh-Mu ini juga cara yang Engkau berikan padaku melewati fase hidup yang bertentangan dengan hatiku.
Hatiku yang sesungguhnya aku jaga. Tidak pernah terlintas setelah kematian papa dan syarat surat warisan yang tidak masuk akal membuat sebab hatiku menjadi ternoda dengan perilaku yang tidak aku ingin lakukan sesungguhnya.
Allah tahu aku hanya berharap dalam doa sebelum papa meninggal adalah dalam keterbatasan tubuhku yang Engkau berikan, aku hanya ingin menulis novel-novel dengan tokoh Arizal.
Karena memang dialah satu-satunya pria yang aku tunggu. Aku berharap mungkin setelah ke sekian puluh novel, bahkan ratusan, akhirnya dia sadar kalau sudah beribu namanya aku ketik dan sampai detik ini terlukis dalam jiwaku sosoknya.
Ya Allah, maaf semua berubah. Aku menjadi munafik dengan menikah tanpa cinta. Sayangnya orang yang menikahiku merasa ini bukan kesalahan, malah sebaliknya, dia sangat menjagaku dengan sikap aku yang kasar.
Nazriel sudah kuduga mau membantu bisnis yang ditinggalkan oleh papa. Aku semakin larut dalam pekerjaan yang memang aku cinta. Pekerjaan sebagai editor selalu mendekatkan aku pada buku-buku dan dunia menulis yang sudah sedari kecil aku suka.
Ditambah lagi kehadiran Mas Ata yang semakin membuat aku ingin mengakhiri perkawinan sandiwara ini.
Jujur aku mulai lelah menuliskan tokoh Arizal dalam setiap novelku, sementara setiap launcing novel baruku berharap sosok itu menampakkan diri. Memberiku sekuntum bunga mawar seperti waktu masa kecil menjadi pengantin kecil, melingkarkan cincin rumput kering dalam jemariku.
Aku Airin, sang novelis, terlalu melakonlis dan terlalu pengkhayal masih berharap cinta masa kecil yang bertahun-tahun sudah termakan waktu.
Bisa saja Arizal sudah tidak mengingat diriku sama sekali, meskipun sampai mati novel aku yang ke sekian tetap memakai nama Arizal dalam tokoh pria utamanya.
Aku harus mengakui kesalahan keduaku yaitu kembali bermain dengan perasaanku setelah bertemu dengan Atalarik Febrianto.
Kenapa aku begitu mudah menerima semuanya, dari tawaran kerja yang memang aku butuh selepas aku merampungkan S1 Komunikasi. Aku yang sempat tertarik bekerja kantoran bahkan langsung jadi wanita karier di kantor papa, berubah haluan menerima tawaran untuk menjadi kasir di toko buku Arga dan sekarang menjadi editor.
Dalam dua bulan malah dikasih kesempatan untuk mempelajari sales dan marketing dalam penerbitan. Aku rela semua kuserahkan pada Nazriel untuk meng-handle urusan bisnis almarhum papa.
Aku tengah senang sekali diberi kesempatan mempelajari sales dan marketing penerbitan yang ternyata salah satu pekerjaan yang menarik juga.
Mas Ata banyak memberikan masukan untuk bisa mencapai target perusahaan akan buku-buku. Dia harus pintar melakukan market survey. Apa sih tema-tema yang sedang ngetren di pasaran. Membuat questioner, membidik genre dan tema yang lagi digandrungi di pasar agar bisa memilih naskah-naskah masuk dan segera diterbitkan pas dan banyak diburu para pecinta buku.
Selain buku yang tepat pasaran, juga estimasi oplah yang tepat kira-kira seberapa banyak akan dicetak agar pas antara supply dan demand pasar. Maka diharapkan tidak ada buku yang tersisa banyak hingga akhirnya dijual dengan harga jatuh.
Kecepatan jalannya buku dari produksi sampai pemasaran ke setiap toko buku. Kecepatan dan momen yang pas sampai ke tangan pembaca akan memengaruhi kecepatan buku terjual habis. Dan modal, laba akan cepat terkalkulasi.
Adakalanya memikirkan dari sisi marketing agar buku yang di-display bagus dengan promo pemberian hadiah pada pembelinya, maka akan membuat buku tersebut juga cepat keluar dari display toko.
Seperti buku aku kali ini yang bercerita tentang metropop sosok Arizal yang dibuat tampan metroseksual, untuk pembeli novelnya mendapat hadiah langsung tas jinjing sehingga novel yang dibeli langsung masuk ke dalam tas jinjingan yang dibuat dalam dua model. Model bercorak untuk cewek dan satunya untuk cowok.
Aku bersyukur sekali masukan-masukan Mas Ata akan novel ke enam masuk mayor, memang membuat novelku langsung masuk jajaran best seller.
Setelah beberapa orang membacanya, ternyata tidak semata hadiah langsung berupa tas yang menarik membeli novelku, tapi isinya dinilai keren. Maka ada beberapa pembeli yang menginginkan novelnya sementara kehabisan tas yang tadinya dibandrol bersamaan tapi kehabisan stok tasnya tidak keberatan tetap membeli novelnya.
Grab it! Aku bisa berbangga orang membeli novelku kembali pada isinya dan gimmick bisa diabaikan bila memang isi dan banyak yang me-review menarik untuk dibaca. Tas bukan hal terpenting, itu hanya sekedar hadiah tanda persahabatan antara penulis dan pembacanya.
Mas Ata juga yang banyak mengkritik saat bab per bab aku buat novel metropop-ku dan senang dia paham sekali kehidupan metropolitan, karena dulu pernah tugas di Jakarta. Jadi banyak tahulah kehidupan malamnya, hangout-nya dan karakter-karakter cowok metroseksual-nya.
Mas Ata hadir membuat aku melupakan pencarian aku terhadap Arizal.
Mas Ata benar-benar membiusku dengan segala tampilan fisiknya dan kecerdasan otaknya. Terutama lagi dia tidak segan-segan berbagi ilmu.
Boleh sedikit GR, jangan-jangan ini dia lakukan hanya padaku, tidak dengan orang lain. Entahlah dari awal pertemuan sepertinya aku merasa cocok dengan banyak bebas berbicara dengannya, dan tampaknya Mas Ata juga menanggapi semuanya dengan antusias. Aku merasa tersanjung.
Tapi sampai kapan ya aku akan berbohong kalau aku sebenarnya sudah menikah? Meski sebenarnya menikah bohong-bohongan karena aku tidak juga bisa mencintai Si Cupu, walau akhir-akhir ini rasanya dia semakin biasa juga dalam kehidupanku.
***
Tak terasa waktu bergulir tujuh bulan dari perkawinan aku dengan Si Cupu. Tentu saja waktuku habis dengan urusan kantor yang banyak terlibat dengan Mas Ata.
Bersyukur semakin aku dekat dengan Mas Ata nyatanya aku juga mulai bisa berdamai dengan Si Cupu, dan aku tidak mau memulai kejutekan aku padanya. Dia juga tidak menuntut layaknya suami istri, malah kita seperti berteman saja.
Biarkan waktu bergulir dalam salah dan benar. Aku yakin kebenaran juga yang akan tetap menang, walau mungkin aku harus merasakan sakit untuk meraih suatu kebenaran yang hakiki.
“Airin, kamu itu penulis berbakat. Coba lihat, baru dua minggu novel kamu launching dan di-display, sudah bisa dilihat novel kamu yang keluar dari rak Arga.”
Satu lagi keuntungan Mas Ata tetap bekerja di Arga, dia punya akses untuk memantau langsung novel aku yang baru saja dua minggu terbit sudah berapa banyak menarik minta pembaca.
Memang setelah launching, aku dengan dibantu Mas Ata gencar melakukan promosi on line. Twitter-ku semakin banyak di-follow dan aku bahkan mendapat kesempatan untuk talk show di Arga dengan beberapa pembicara penulis yang lebih dulu sudah senior dan menekuni dunia penulisan.
Ini cukup membuat aku bangga karena kemarin-kemarin aku sempat merasa terpuruk dengan dunia kepenulisan yang aku suka.
Beberapa naskah novelku sepertinya tidak terlalu menarik dan tidak diminati penerbit. Berbeda dengan novel baruku kali ini yang banyak campur tangan Mas Ata di bab per babnya hingga menjadi novel yang best seller dalam hitungan tiga bulan.
Dan lebih menyenangkan, setiap bab selalu ada cerita antara aku dan dirinya.
Sinopsis awalku diubah total olehnya, aku bahkan tidak merasa marah sama sekali karena biasanya aku suka kerap tersinggung dengan pengkritik karyaku.
Aku sudah tertawan terlebih dahulu dengan sikapnya yang manis sejak pertama berkenalan.
Dia benar-benar merubah misiku untuk menemukan Arizal. Aku tidak lagi terlalu mengingat Arizal, apalagi setiap hari aku bisa memandang dirinya dengan puas.
Sejak aku dipindahtugaskan sebagai editor, jam istirahatku sering habis bersama Mas Ata. Entah kenapa dari awal pertemuan, dia sudah tertarik denganku.
Entahlah apa yang membuat dia menyukai aku, tapi setiap saat kita bersama sepertinya percakapan kita selalu nyambung. Padahal beda usia kita hampir dua puluh satu tahun, bahkan bisa saja dia pantas jadi papaku.
Justru itu mungkin juga aku yang kehilangan papa malah menemukan sosok perpaduan yang menyenangkan.
Mas Ata yang ada kemiripan dengan Arizal yang aku cintai dan sifatnya yang seperti papaku. Dua orang yang aku sayangi dan telah kurasa kehilangan mereka. Sekarang hadir dalam satu sosok yang menemani hari-hariku.
Gila, aku bisa sangat bebas dan manja dengan Mas Ata. Sepertinya dia asyik-asyik saja menghadapiku yang mungkin kadang kekanakan.
Dia mau lho aku ajak makan es krim di pinggir jalan selepas mengedit sinopsisku. Saat aku butuh angin segar, aku ajak Mas Ata duduk di bawah pohon dekat taman kota. Di situ ada penjual es krim homa made yang nggak kalah enak dengan es krim di mall yang selangit harganya.
Waktu itu aku bisa mengamatinya dari samping yang sedang menjilati es krim scoop rasa cokelat dan vanila.
Ya ampun dia sangat cakep. Sialnya dia tahu aku tengah mengamati wajahnya detail, tiba-tiba dia menengok tepat ke arahku dan kita saling bertatapan. Jantungku begitu berdebar, apalagi dia memandangku tajam sekaligus meneduhkan.
“Airin, kamu nakal ya suka mencuri-curi pandang,” Mas Ata tersenyum sambil menjentik hidungku.
Aku semakin berdebar dengan perlakuannya dan aku tangkap tangannya yang menjentik hidungku, sesaat kami saling berpegangan.
Ini adalah pengalaman entah ke sekian kali aku berpegangan tangan dengan cowok. Setelah kita sangat dekat di Pantai Batakan, Mas Ata semakin bebas mengekspresikan rasa sayangnya. Dan setiap kemesraan dia hadir, yang ada jantungku berdebar hebat.
Mas Ata semakin menggengam tanganku yang bergetar dan menyimpan tanganku di saku jaketnya.
Aku dan mas Ata seperti tergila-gila bekerja. Kami benar-benar memanfaatkan kebersamaan di luar jam kantor untuk diskusi berbagai hal. Dan sekarang dia malah benar-benar menunggu aku yang saat itu mulai memasuki bab satu untuk novel ber-genre metropop lagi.
Sementara aku asyik mengerjakan novel, Mas Ata tampak sibuk membuat laporan penjualan di mejanya.
Jarang karyawan yang lembur di kantor, apalagi mereka rata-rata yang sudah berkeluarga biasanya jam 16.00 udah langsung pulang. Kalaupun ada pekerjaan, mereka memilih untuk dikerjakan lagi keesokan harinya.
Harus aku akui lingkungan kerja di sini nyaman. Aku sudah tidak berpikir untuk jadi wanita karier kembali yang mengurus hotel dan restoran almarhum papa.
Aku percaya kalau Si Cupu suamiku lebih piawai mengatasi urusan bisnis almarhum papa. Apalagi dia lulusan Ekonomi Manajemen Perusahaan yang aku dengar, jadi pas bangetlah dia yang urus semua.
Terserah saja keuntungan dari bisnis mau dia apakan, yang penting aku sekarang tengah benar-benar bahagia bisa menemukan dunia yang aku suka.
Dunia buku, menulis, dan sekarang bekerja sebagai editor adalah dunia impianku. Masalah cinta aku juga menemukan sosok Arizal di dalam sosok Ata. Sungguh hidup ini terasa sempurna. Walau aku harus berbohong dengan Mas Ata kalau sebenarnya aku sudah menikah dengan Si Cupu yang menyebalkan tapi juga menyayangiku itu.
Aku tidak pernah berpikir tentang uang yang ditransfer Si Cupu ke rekeningku, katanya itu adalah gaji dan profit perusahaan yang dia kelola.
Dia bilang itu hak aku karena aku istrinya. Terutama karena aku adalah owner dari hotel dan restoran almarhum papa. Tapi sungguh aku tidak peduli sebenarnya akan harta-harta itu.
Gaji aku dari penerbit Arga dan royalti dari enam novelku sekarang cukuplah untuk aku sendiri.
Aku juga tidak butuh hidup bergaya konglomerat. Apalagi dengan kecacatan ini, aku lebih senang menyendiri asalkan tempat itu nyaman dan bersih. Ada laptop dan musik yang menemani aku menulis apa saja yang aku suka.
Tentu saja sosok Arizal masih menjadi imajinasi terkuat, dan aku melukis wajahnya dalam ingatan yang tergambar dalam setiap novelku. Kerap Mas Ata mengerutkan dahi, ada rasa cemburu tersirat tapi dia tak mau ungkapkan lebih banyak.
Biarkan sajalah apa adanya karena dia ternyata juga bukan lelaki sempurna. Andai dia masih lajang, pasti tak ada halangan untuk lebih mudah memilikiku.
***
Arizal kenapa hanya bisa datang lewat mimpi dan sekarang malah hilang sama sekali? Kenapa dia tidak mau muncul juga saat novelku mulai terjual dan aku mulai terbiasa ber-talk show?
Novel metropop pertamaku adalah saksi bisu aku menjadi begitu mengenal sosok Mas Ata.
Saat bab satu aku selesaikan, Mas Ata membacanya dengan sangat serius. Ini saat kami di beri kesempatan bersama untuk menghadiri pembukaan pameran buku di gedung pusat kota.
Bos aku, Pak Bram, benar-benar sangat dekat dengan Mas Ata. Mas Ata benar-benar karyawan andalan, maka paslah sebagai manajer sales dan marketing menjadi teman diskusi Pak Bram sebagai Kepala Cabang Penerbitan dan Toko Buku Arga di Banjarmasin.
Sudah lima belas tahun Mas Ata bekerja di sini dan sudah membantu omzet Arga Banjarmasin selalu tercapai dengan program-program promosi dan selling yang dia lakukan. Juga sifatnya yang terbuka dan mau berbagi kepada siapapun membuat kariernya bersinar.
Aku jadi merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Mas Ata. Apalagi dia juga langsung bisa dekat dengan aku.
Dia sama sekali tidak risih berjalan berdampingan dengan aku yang memiliki ketidaksempurnaan di kakiku.
Bahkan aku tidak jarang-seizin Pak Bram-boleh mendampingi mas Ata keluar untuk meeting dengan berbagai supplier, pengarang buku, bagian promosi dan percetakan. Bahkan ada novel yang akan difilmkan juga. Aku jadi bersemangat sekali menjalani pekerjaan aku yang semakin merambah.
penggarapan novel metropop pertamaku mengalir cepat bab per babnya, dengan masukan Mas Ata lalu aku langsung mengeditnya.
“Airin, kurasa tokoh Arizal di sini terlalu berlebihan deh. Coba kamu ubah bagian paragraf ini. Memang dia pria metroseksual yang sangat memperhatikan penampilan, tapi nggak usah dipaparkan terlalu mendetail mengenai merek yang dia pakai. Hmmm… kesannya jadi agak promosi sekali,” Mas Ata mengoreksi novelku di bab tiga.
Aku mengangguk-angguk setuju.
“Eh Airin, aku sudah baca novel kamu yang lalu-lalu dan kenapa ya kamu selalu menamai tokoh utama di novel kamu, Arizal? Memang nggak ada nama lain yang menarik selain Arizal?” tiba-tiba Mas Ata menanyakan nama Arizal yang selalu menjadi tokoh utama di novelku. Aku yakin Mas Ata belum tahu alasan kenapa tokoh Arizal selalu ada di novelku.
Aku malah ganti tema mengerjakan novel metropop duluan, dengan sinopsis baru tentunya. Novel keenam yang ber-genre romance aku tinggalkan karena trend pasar yang tengah banyak diminati adalah novel-novel metropop.
Tadinya aku akan merampungkan novel yang berkisah pencarianku pada sosok Arizal. Novel yang berdasarkan kisah nyataku, tapi kadang memang inspirasi penulis bisa muncul tiba-tiba sehingga aku memutuskan malah membuat novel metropop. Atas anjuran Mas Ata juga yang memberi masukan kalau genre tersebut sedang banyak diminati pembaca.
“Airin. kamu sepertinya menyimpan rahasia tentang cowok bernama Arizal? Karena kalau aku baca kelima novel kamu sebelumnya selalu dengan tokoh utama bernama Arizal? Dan novel keenam sinopsisnya juga Arizal. Kalau bisa novel metropop yang ke tujuh dan tengah kamu garap itu jangan pakai nama Arizal dong! Kayak nggak ada nama lain aja,” Mas Ata tiba-tiba berubah jadi ingin tahu banyak sekaligus mengkritik.
Aku terdiam, perkataan Mas Ata di telingaku lebih terdengar bukan kritikan atau masukan tapi rasa cemburu. Rasa cemburu yang tidak diungkapkan dari kemarin-kemarin saat mulai dekat dengan pembuatan novelku.
Aku yakin sekali sekarang Mas Ata tengah cemburu dengan sosok Arizal. Dan ini membuat aku senang.
Aku semakin penasaran dengan mas Ata sebenarnya apa sih yang dia mau dari aku? kenapa dia begitu perhatian dengan aku dan bahkan sangat men-suport aku dalam kegiatan yang memang aku suka sebagai penulis.
Apalagi aku tahu tentang istri dan putri tunggalnya yang sudah memasuki kelas tujuh, walau aku belum berani bertanya banyak.
***
Secara tidak sengaja aku main ke kursinya dan langsung Mas Ata menutup kerjaannya, lalu ngebahas tentang bab empat dari novel metropop-ku.
Kira-kira lima sampai sepuluh menit, screen saver komputer Mas Ata menyala dan tampak foto dia sedang diapit oleh seorang wanita cantik dan seorang gadis kecil. Ada tulisan “Always Love You Both My Angel”.
Seketika aku merasa tertusuk duri tajam. Ya ampun. apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku begitu berharap Mas Ata akan menjadi kekasihku?
Jelas gambar barusan memberi aku alarm kalau mas Ata bukan lelaki bebas. Mas Ata sudah berkeluarga dan sudah memiliki putri yang beranjak ABG.
Airin, apa yang kamu cari dari Mas Ata? Ya Tuhan, aku tahu ini salah bila aku lanjutkan perasaan aku terhadap Mas Ata, pasti ada yang terluka. Tapi kenapa Mas Ata begitu perhatian padaku dan bahkan memberikan waktunya banyak di luar kantor demi merealisasikan novelku?
Aku bagai terhipnotis melihat screen saver foto kedua, tampak Mas Ata dan istrinya bersamaan tengah mencium putri mereka.
Mas Ata sadar karena wajahku yang bengong lalu memegang mouse dan seketika screen saver mati. Tapi sungguh dua foto itu menunjukkan keharmonisan keluarga Mas Ata.
Kenapa aku tiba-tiba merasa sebagai pecundang yang akan menghancurkan kebahagiaan orang lain?.
“Airin, ada yang salah dengan langkahmu, kamu adalah wanita yang sudah menikah! Nazriel suami yang sangat baik bahkan bertanggung jawab. Dia mau menuruti permintaan kamu untuk mengurus hotel dan restoran. Jujur memberikan laporan profit bisnis almarhum papa dan mentransfer semuanya kepadamu. Dia juga tidak pernah memaksa kamu untuk melayani selayaknya seorang istri mengabdi terhadap suami. Tak seharusnya kamu mencintai pria lain!” sisi hatiku yang lain berkata demikian. Ini semakin membuatku bimbang.
Mungkin saja Nazriel sudah kebal bahkan males untuk mendebat aku yang memang sangat jutek dan cuek, apalagi setelah kehadiran Mas Ata dua bulan dari perkawinan aku. Sepertinya Nazriel benar-benar tidak aku pedulikan. Maaf, demikian juga Arizal.
Semakin hari yang ada jelas Mas Ata, karena dialah satu-satunya pria yang dekat dengan aku dan begitu membuat aku bergairah untuk menjalani hidup yang tidak aku rasakan seindah sekarang.
Baru akhir-akhir ini setelah tujuh bulan aku berdamai dengan Nazriel karena bosan dan capek juga pasang wajah jutek. Sementara yang dijutekin nggak ngerasa, malah baik-baik saja.
Aku salah! Tapi kenapa aku merasa tertantang untuk menaklukan kebahagiaan ini? Ya, aku merasa bahagia setiap dengan Mas Ata.
Aku benar-benar jatuh cinta kedua kalinya, tentu saja setelah Arizal yang sepertinya aku tidak bisa berharap apa-apa lagi padanya.
Aku mulai lelah dengan pencarianku terhadap Arizal. Kalaupun aku menemukannya, belum tentu Arizal masih bersikap seperti masa kecil.
Bahkan bisa saja Arizal tidak mau menampakkan diri lagi padaku karena dia sudah menikah dan mempunyai istri yang sempurna, tidak cacat sepertiku.
Aku lelah terhadap Arizal dan aku merasa yakin untuk bahagia dengan Mas Ata.
“Airin, kamu kok jadi melamun?”
Aku kaget karena Mas Ata sudah menggenggam tanganku, dan sepertinya dia bisa membaca pikiranku yang kacau karena dua foto yang baru saja bermunculan hadir di screen saver komputernya.
“Mas Ata, tadi foto istri dan putri kamu ya?” aku tak bisa membendung untuk bertanya yang sebenarnya menyakitkan dan menyadarkan rasa salah yang mencuat.
Mas Ata nampak tertunduk sesaat, lalu menatapku dalam dan mengangguk, “Iya Airin... tadi Marina dan Aina, putriku.”
“Hmmm… cantiiik ya, Mas,” aku berusaha tersenyum dan mencoba bersikap netral, walau perih hati ini mengetahui kenyataan itu.
Kenyataan Mas Ata yang tidak mungkin aku miliki kecuali aku nekat terus menantang salah yang tengah perlahan menggerogoti keinginanku untuk memiliki hati Mas Ata.
Kenapa Mas Ata begitu memberikan harapan yang besar? Apa yang Mas Ata rasakan tentang aku? Aku bukanlah wanita istimewa, bahkan mungkin aku tidak ada apa-apanya dengan Mbak Marina yang tampak sempurna.
“Airin, maafkan aku ya... aku tahu apa yang kamu pikirkan, aku tahu...” Mas Ata semakin erat menggenggam tanganku.
Dan aku luluh untuk terus mengikuti rasa salah ini dengan mencoba untuk tidak merasa bersalah, karena memang Mas Ata memberiku kesempatan untuk memasuki hatinya. Demikian aku telah takluk untuk menyerahkan hatiku padanya.
***
Dan sekarang aku di sini termenung sendiri setelah acara talk show novelku. Dari yang aku lihat langsung, banyak yang membeli novelku dan bahkan sampai sedikit kewalahan karena banyak yang meminta foto dengan aku.
Kembali kondisi membatasi gerakku. Tapi Mas Ata sangat baik, dia tidak segan membantuku dan menunjukkan perhatiannya. Aku bisa lihat beberapa pasang mata cemburu melihat kedekatan kami.
Aku tidak peduli. Semua bukan semata kemauanku, tapi Mas Ata lah yang malah membuka lebar-lebar hatinya dan menghiraukan bisik-bisik beberapa rekan kerja di kantor yang mulai mencium gelagat kemesraan kami.
Setelah acara talk show, Mas Ata pergi untuk ketemu dengan salah satu sponsor. Sekalian mengantar aku pulang sampe rumah.
Aku mencecap kopi pahit buatan Mbok Sum yang masih mengepul dan pas takaran gulanya. Nggak terlalu manis dan nggak pahit, harum lagi kopinya.
Si Cupu entah ke mana. Aku semakin jarang komunikasi dengan dia. Paling hari Sabtu gini dia masih ngecek keuangan di restoran atau hotel milik papa. Aku sudah menyerah untuk menjadi wanita karier, aku nggak suka bekerja seperti itu.
Aku memutuskan total untuk menjadi editor sekaligus penulis. Kalaupun ada kesempatan, harapan terbesar dari salah satu novel-novelku menjadi film layar lebar. Aku ingin buktikan pada semua orang yang pernah meremehkan dan merendahkanku dengan karya-karyaku.
Si Cupu lagi apa ya? Jangan-jangan dia punya gebetan seperti aku. Baguslah kalau punya pacar, jadi dia dan aku akan semakin mudah untuk berpisah.
Aku coba telepon Mas Ata. aku ingin tahu gimana meeting dengan salah satu sponsorship yang akan mendanai untuk talk show dan launching beberapa buku yang sedang booming itu.
“Ya Airin, kenapa?”
Mas Ata selalu bersuara lembut dan menenangkan aku. Sepertinya dia tidak pernah bisa marah denganku.
Seperti kali ini aku menelepon dengan bodohnya, aku memang jatuh cinta dan tidak mau jauh dari sisinya. Padahal jelas baru satu jam aku berpisah, bisa saja dia baru akan mulai atau bahkan tengah meeting, dan aku mengganggunya dengan telepon gak penting.
“Airin?”
“Eee… maaf Mas Ata, aku salah pencet... byee...” aku jadi salah tingkah.
“Tunggu Airin, kamu nggak salah pencet, Sayang... aku pasti mendengarkan apa yang kamu katakan. Ayolah. Aku masih menunggu Pak Pram, dia agak mundur dari janji meeting karena macet. It’s ok just tell me anything you want,” suara Mas Ata tampak tenang.
“Aku nggak mengganggu kan?” aku memastikan agar tidak mengganggu aktivitas yang tengah dia lakukan.
“Nggak Airin. Kenapa Sayang? Kamu sudah kangen dekat Mas?”
Ya ampun, Mas Ata kenapa tahu banget sih kalau aku kangen? Mukaku memerah dan hatiku juga ikutan menghangat.
“I… iya...” aku tergagap jujur.
“Hmmm… aku juga Airin, ingin selalu dekat dengan kamu. Tapi tetap Mas harus konsentrasi dengan pekerjaan ya. Airin, I love you...” suara Mas Ata terdengar lembut.
“Mas Ata... I love you too,” kataku spontan.
Ya ampuuun… aku nggak lagi mimpi kan? Barusan Mas Ata bilang cinta aku dan ini sama saja dengan penembakan! Aku membalas dengan cinta dia lagi. Ya Tuhan, semoga ini bukan mimpi dan bukan sebuah kesalahan seperti harapanku dicintai cowok yang aku cinta. Bukan cowok macam Si Cupu yang mati rasa dengan perkawinan pura-pura ini. Kenapa sih dia bertahan dan tidak menceraikan aku saja?
“Airin, Mas Ata meeting dulu ya. Pak Pram sudah datang. Dagh, Sayang... i love you,” ucapan mas Ata terasa semakin mesra dan menghangatkan hatiku sampai relung-relung yang paling dalam.
Dan kali ini aku benar-benar serasa melambung jauh ke angkasa. Mas Ata begitu lembut dan hangat. Menjanjikan suatu kebahagiaan yang selama ini aku cari.
***
Dan sepertinya aku akan melewati kesalahan. Kesalahan yang membuatku tertantang untuk merebut sebuah kebahagiaan yang ingin aku raih. Aku tidak peduli kalau Mas Ata sudah menikah dan mempunyai seorang putri.
Maafkan untuk dua hati yang terluka, tapi aku juga ingin bahagia. Maaf atas keegoisan aku karena Mas Ata, suami Mbak Marina dan papa dari Aina sendiri yang telah membukakan hatinya buatku.
Aku tak akan mungkin mengejar cinta ini bila Mas Ata juga tidak mencintaiku. Tapi sekarang jelas cinta Mas Ata di tanganku dan aku tidak perlu cape mengejar cintanya, akan tetapi bertaruh antara ego dan kebenaran.
Saat ini biarlah waktu yang bertarung karena aku tidak mau berpikir banyak dan berbicara banyak dengan perasaanku yang pastinya akan meminta aku menghentikan cinta yang tengah mulai membara.