by Titikoma
3. Serpihan Masa Lalu
Saat Asline menginjak usia dua tahun, kehidupan Joylin semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Kebangkrutan orangtuanya akibat ulah sang papa yang terlilit hutang karena selalu kalah di meja perjudian semakin terasa dengan terus membengkaknya biaya perawatan Antony yang masih harus menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa.
Sementara itu, kebutuhan biaya untuk menghidupi Asline juga semakin banyak. Seluruh aset milik keluarga ludes habis di meja perjudian dan biaya rumah sakit kakak sulungnya itu. Keadaan Amar makin menjadi. Dia tidak hanya terbelenggu oleh minuman keras tetapi juga sudah merambah barang haram lainnya yaitu narkoba, apalagi setelah melihat kenyataannya bahwa rumah mewah milik keluarga Joylin, disita polisi lantaran hutang piutang papanya Joylin yang sudah menggunung.
Bahkan, papa Joylin sempat dipidanakan oleh teman sesama penjudi atas kasus serupa yang berimbas pada penipuan. Mau tidak mau akhirnya Joylin menggadaikan rumah mewahnya untuk membayar uang jaminan kebebasan sang papa. Amar tentu saja tidak terima dengan kondisi itu. Ia tak mau jatuh miskin. Andai saja rumah mewah itu atas nama Joylin sendiri pasti dia tidak akan membiarkan orangtua Joy menggadaikan rumah itu. Amar tidak bisa apa-apa apalagi sampai menuntut rumah itu. Dia tidak memiliki hak apapun atas rumah tersebut.
Alhasil, Amar hanya bisa menggerutu. Menikahi anak orang kaya tanpa memiliki penghasilan sendiri, apa yang mau diharapkan dari dirinya? Ah, meskipun keluarganya sendiri termasuk keluarga yang mampu tapi ayahnya begitu keras terhadapnya. Hanya ibunya yang selama ini selalu memanjakannya. Makanya ia menjadi seperti sekarang ini. Keras kepala, pemalas dan suka berfoya-foya.
Sementara, Joylin harus menerima konsekuensi atas pernikahannya dengan Amar. Kenyataan itu memaksa Joylin untuk memutar otak guna menghidupi buah hatinya. Sifat Joylin sebagai seorang pekerja yang keras membuatnya tak bisa tinggal diam dengan berharap akan adanya perubahan pada diri Amar yang selalu menggantungkan hidup pada orangtuanya.
Karena itu semenjak Asline berusia dua bulan, Joylin sudah memutuskan untuk kembali bekerja di tempatnya semula. Namun sayang CV itu sudah tak dapat menerimanya lagi karena posisi Joylin sudah ada yang menggantikannya. Sejak saat itu, ia berpindah-pindah tempat kerja. Apapun ia lakoni demi mencukupi kebutuhan anaknya yang masih balita.
Seperti siang itu, Joylin nampak baru saja melangkah keluar dari sebuah kantor perusahaan yang ia datangi. Sebuah map berisi berkas-berkas surat lamaran kerja yang di tentengnya nampak sedikit lusuh karena terkena keringat yang mengalir di tangannya. Entah sudah berapa perusahaan yang ia datangi hari ini. Namun hingga matahari tepat berada di atas kepala Joylin, belum ada satu pun perusahaan yang mau menerima dan memperkerjakan dirinya.
Joylin berdiri gundah di tepi jalan raya. Joylin kaget saat melirik jam tangan. Sudah pukul dua siang, saatnya Asline minum susu. Padahal persediaan susunya sudah menipis, sementara uang Joylin hanya tingga empat puluh ribu.
Joyline buru-buru turun dari trotoar ketika dilihatnya sebuah angkot yang melewati tempat tinggalnya melintas. Dengan sigap dilambaikannya tangan untuk menghentikan laju angkot itu. Begitu angkot itu berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, ia bergegas melangkah menghampiri angkot itu. Untunglah angkot itu belum penuh. Joylin memilih tempat yang dekat dengan pintu.
“Turun mana Neng?” tanya kernet angkot yang bergelantungan di pintu angkot.
“Pertigaan Waru,” sahut Joylin seraya mengulurkan selembar uang lima ribuan.
Sepanjang perjalanan pulang, hanya sekali itu saja Joylin bersuara. Selebihnya ia hanya diam membisu. Membiarkan angannya terus mengembara guna mencari cara memenuhi kebutuhan buah hatinya.
Tapi alangkah terkejutnya Joylin saat ia sampai di depan rumah. Rumah yang biasanya sepi itu tampak ramai dikerumuni warga. Bahkan ada beberapa orang polisi di antaranya. Mobil polisi itu juga tampak terparkir tak jauh dari rumahnya.
Takut telah terjadi hal-hal yang tak diinginkan terhadap Asline, Joylin bergegas menerobos masuk rumah. Kedatangannya langsung disambut oleh Asline yang berlari menghampiri Joylin dan lantas membenamkan diri ke dalam pelukannya.
Merasa asing dengan tatapan aneh orang-orang yang ada di rumahnya, Joylin mengedarkan pandangan mencari-cari sosok Mbok Darmi. Dan ternyata wanita yang dicarinya itu sedang duduk bersimbuh menggunung dengan wajah pucat pasi.
“Tuan, Nyonya, Tuan…” kata Mbok Darmi terbata-bata.
“Ada apa dengan Amar, Mbok? Kenapa banyak polisi di rumah kita?” tanya Joylin yang masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Belum sempat wanita lima puluh tahun itu menjawab pertanyaan majikannya, seorang polisi sudah datang menghampiri Joylin yang sedang menggendong anaknya.
“Selamat siang. Apa benar Anda istri dari Pak Amar?” tanya polisi itu tanpa basa basi lagi.
Joylin mengangguk.
“Benar, Pak. Ada apa dengan semua ini?”
“Sebelumnya kami minta maaf, Bu. Kami terpaksa memeriksa kamar Pak Amar sebelum bu Joy datang.”
“Tapi ada apa dengan semua ini, Pak?”
“Begini, suami Ibu semalam tidak pulang bukan?”
Lagi-lagi Joylin mengangguk.
“Dia memang jarang pulang, Pak. Kalaupun pulang biasanya selalu dalam keadaan mabuk,” sahut Joylin berterus terang.
“Iya kami tahu semua itu, Bu.”
“Lalu di mana Amar sekarang, Pak?”
“Untuk sementara Pak Amar kami tahan di kantor polisi.”
“Ditahan?” gumam Joylin nyaris tak terdengar lagi.
“Benar Bu, semalam Pak Amar kami tangkap di sebuah tempat karaoke. Ia kedapatan membawa dan mengkonsumsi narkoba jenis sabu. Karena itu untuk mengembangkan penyelidikan apakah Pak Amar ini juga sebagai pengedar, maka hari ini kami dengan hormat memeriksa kamar suami Ibu. Dan kami mohon Ibu tidak keberatan dengan hal ini.”
“Tentu saja, tidak Pak.”
“Terima kasih dan untuk memperlancar tugas kami, kami mohon ijin untuk meminjam kunci almari yang ada di kamar suami Ibu.”
“Baik Pak.”
Sejenak Joylin menyerahkan Asline ke pangkuan Mbok Darmi. Setelah itu ia segera membuka tas kecil yang tadi dibawanya. Dari dalam tas itu dikeluarkannya kunci serep dari almari yang dimaksudkan oleh petugas itu.
“Ini Pak kuncinya.”
Polisi itu juga mempersilahkan Joylin ikut masuk ke kamar guna menyaksikan proses pencarian barang bukti. Mata Joylin terbelalak tak percaya. Di bawah tumpukan pakaian yang di turunkan petugas dari dalam almari itu ditemukan dua paket kecil berisi serbuk putih yang mereka tengarai adalah sabu-sabu.
Dengan barang bukti yang ada, akhirnya Asline yang masih balita itu harus menerima kenyataan bahwa ayahnya harus mendekam dalam tahanan selama beberapa bulan ke depan.
Joylin semakin terpuruk. Beberapa hari setelah penangkapan Amar, rumah mewah yang ditempatinya pun disegel oleh pihak bank karena tidak mampu membayar hutang sang papa. Joylin pun akhirnya pindah ke rumah kontrakan. Ia juga terpaksa harus memperhentikan Mbok Darmi sebagai pembantunya lantaran tak mampu menggajinya lagi.
****
Siang itu, Joylin sedang beristirahat di sebuah kedai di tepian jalan raya. Segelas es teh yang sudah terhidang di hadapannya telah diteguk hingga tersisa setengahnya saja. Yang setengah lagi hanya diaduk-aduk dengan sedotan sehingga tiga bongkahan es batu yang ada di dalam gelas berukuran besar itu jadi berputar-putar mengikuti gerakan tangannya yang masih saja memutar-mutar sedotan. Sementara matanya menatap jauh ke seberang jalan pada deretan perkantoran mewah.
Dihadapan Joylin juga tergeletak setumpuk map yang sudah kelihatan lusuh karena beberapa hari ini ia bawa berkeliling kota, keluar masuk dengan harapan ada yang mau menerimanya bekerja. Sayang, sampai detik ini, nasib baik belum mau berpihak kepada Joylin. Belum ada satu kantor pun yang bersedia menerima dirinya. Sementara kebutuhan anaknya terus meningkat dan semakin mendesak.
Dalam kegamangan hati yang semakin meraja, Joylin kerap bertanya pada dirinya sendiri, kenapa permainan nasib begitu cepat terjadi? Roda kehidupan yang dulu dijalaninya dengan mulus semasa remaja, kini telah berputar seratus delapn puluh derajat dan membalikkannya pada posisi yang paling rendah. Keluarganya yang semula kaya raya, sekarang terjungkir dan tak punya apa-apa. Serpihan dari masa lalu yang selalu menikam nuraninya itu membuat Joylin terkungkung oleh kesulitan ekonomi yang kian dalam.
Sejenak Joylin menghentikan adukan pada isi gelasnya. Seorang wanita seumuran dengannya masuk ke kedai itu dengan menenteng dua tas belanjaan berlogo nama sebuah mall terkenal dan langsung duduk tak jauh dari Joylin. Tapi pandangan Joylin tetap saja terarah pada deretan perkantoran yang telah menanamkan kekecewaan di hatinya.
Tanpa ia sadari, wanita berkulit bersih dengan rambut lurus sebahu itu diam-diam memperhatikan Joylin dengan kening berkerut. Wanita itu seolah-olah sedang berusaha mengingat sesuatu.
Tepat ketika Joylin menoleh, pandangan mereka bertemu sesaat. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ke arahnya. Joylin membalasnya sekilas lalu kembali mengarahkan pandangan ke jalan raya.
Tiba-tiba wanita itu melebarkan senyum dengan mata berbinar. Perlahan ia menggeser duduknya lebih mendekati Joylin. Setengah ragu-ragu wanita itu memberanikan diri membuka suara.
“Eh, maaf apakah kamu Joylin?”
Joylin tersentak. Seketika ia menoleh ke arah wanita itu dengan pandangan heran.
“Iya, saya Joylin. Kamu siapa ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Joylin bertanya balik sambil menatap lurus wanita yang masih saja tersenyum kepadanya itu.
“Ya Allah, Joy, ini aku, Mitha.”
“Mitha?” gumam Joylin seraya mencoba mengingat-ingat.
“Iya Joy, aku Mitha. Teman sekelasmu waktu SMP.”
“Mitha yang jadi mayoret drumband itu?”
“Iya Joy.”
“Wah, gimana kabarmu? Sudah lama sekali ya kita tidak pernah ketemu,” sambut Joylin mengulurkan tangannya.
Wanita yang berasal dari serpihan masa lalu Joylin itu pun menyambut uluran tangan teman lamanya itu dengan senyum merekah. Sejenak mereka berjabatan tangan erat kemudian dilanjutkan dengan berpelukan layaknya dua saudara yang sudah lama tak saling berjumpa.
Seperti dua ekor burung kenari ketika bertemu, kicauannya pasti akan bertambah ramai. Begitu pula reuni kecil yang sedang dialami Joylin dan Mitha saat itu. Serpihan kenangan dari masa lalu yang selama ini tersimpan rapi dalam lembar-lembar memori hari ini semua terpampang kembali lewat canda dan tawa yang menghias bibir mereka. Tak peduli kenangan indah maupun kenangan pilu semua mereka kenang sebagai sesuatu yang pantas untuk dibawa ceria.
“Terus kau sekarang tinggal di mana, Joy?” tanya Mitha setelah puas mereka berbincang soal masa-masa sekolah mereka.
“Aku sekarang tinggal di kontrakan daerah Mojo Agung," jawab Joylin dengan sedikit menunduk.
"Di kontrakan Joy?" Mitha cukup terkejut mendengar penuturan Joylin. Setahu dia, teman SMP-nya itu dari keluarga kaya raya. Rumahnya saja bak seperti istana. Dulu ia sering diajak ke rumah.
"Kamu pasti terkejut ya mendengarnya. Keadaanku sekarang tidak seperti dulu lagi. Banyak hal yang berubah dalam hidupku, Mit."
"Roda kehidupan terus berputar, Joy. Kadang kita di atas kadang kita di bawah. Mungkin ini adalah ujian terberat kamu tapi kamu harus yakin, akan indah pada waktunya. Yang terpenting kamu harus sabar," hibur Mitha.
"Thanks ya, Mith. Kamu memang sahabatku yang baik. Oh ya ngomong-ngomong sekarang kamu tinggal di mana?"
“Aku di kontrakan daerah Prabanan. Denger-denger kamu sudah menikah ya sama Amar?”
"Iya. Tahu dari mana kamu?" tanya Joylin penasaran. Semenjak lulus SMP, mereka lost contact karena Mitha dan keluarganya pindah keluar kota. Sejak saat itu keduanya sudah tidak berhubungan lagi. Padahal, sewaktu SMP mereka adalah teman baik, satu geng pula.
"Kemarin aku sempat ketemu Edo. Terus dia cerita soal kamu."
"Edo?" tanya Joy mengulang nama yang Mitha sebutkan.
"Iya. Dia teman SMA kamu juga, kan?" Mitha tanya balik.
"Memang. Dari SMP sampai SMA, aku, Amar, Marsya, Siska, Edo, Natasha, satu sekolah. Cuma kamunya aja yang pindah keluar kota. Jadi nggak bisa ngumpul bareng."
"Sorry. Kan kamu tahu sendiri keluargaku pindah rumah. Jadi ya mau nggak mau aku ikut orangtuaku."
“Edo pasti cerita semuanya tentang aku?"
"Begitulah."
"Dasar si Edo," gerutu Joylin.
"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Kamu harus tabah menghadapinya," ujar Mitha sambil menepuk-nepuk pundak Joylin seolah paham penderitaan yang dialami sahabatnya itu.
"Kamu sudah tahu keadaanku sekarang. Lalu bagaimana dengan kamu sendiri. Sudah menikah belum?"
"Belum."
“Jadi sampai sekarang kau masih betah melajang?” goda Joy dengan senyuman.
“Jomblo kan bukan pilihan Joy,” seloroh Mitha.
Mereka sama-sama tertawa dengan tangan aktif saling mencubit di lengan maupun paha. Persis seperti apa yang pernah mereka lakukan ketika masa-masa sekolah dulu.
“Lalu ke mana acaramu hari ini Joy kok pakai bawa map segala? Kayak orang mau cari kerja aja.” Mitha berkata sambil memperhatikan tumpukan map di samping gelas Joy yang masih berisi sepertiganya.
“Aku memang sedang cari kerja, Mitha,” ujar Joy dengan suara memelas.
“Serius kau?”
Joylin mengangguk mantap.
“Memang penghasilan suamimu kurang atau bagaimana?”
Seketika wajah Joylin berubah keruh. Pertanyaan Mitha yang biasa saja itu bagi Joylin terasa demikian menghujam ke ulu hatinya. Tekanan ekonomi yang dialaminya membuat Joylin mudah salah mencerna kata-kata orang kepadanya.
“Tadi kan aku sudah bilang ceritanya panjang. Kehidupanku yang dulu dengan sekarang sudah berubah draktis. Jujur sekarang aku sedang terpuruk. Usaha papaku dilanda kebangkrutan karena papa kalah di meja perjudian. Sudah gitu, keluarga dari mamaku jadi pada menjauh setelah melihat papaku bangkrut gara-gara judi. Ya memang, ini semua salah papa. Sementara aku sendiri merasa telah salah jalan menikah dengan Amar. Di samping pemalas dan hanya mengandalkan kekayaan orangtuanya, dia juga tidak bisa lepas dari kebiasaannya yang suka mabuk-mabukan. Bahkan, belakangan dia terlibat penggunaan narkoba dan akhirnya tertangkap dan dipenjarakan sampai sekarang.”
"Ha, Amar di penjara? Anak itu benar-benar badung. Nggak pernah berubah!" Mitha terpancing emosi. Ada rasa kesal yang membelenggu hatinya. Entalah. Sepertinya ia menyimpan sebuah rahasia yang tidak mungkin ia ceritakan pada Joylin.
Joylin terdiam sesaat. Diambilnya selembar tisu untuk menyusut air mata yang mulai jatuh membasahi pipi.
“Sabar ya, Joy,” hibur Mitha ikut terbawa suasana.
“Kalau aku sih bisa saja sabar Mitha, tapi kebutuhan sehari-hari dari anakku yang masih berusia dua tahun, tentu tak bisa menunggu lagi kan?”
“Siapa nama anak kamu?”
“Asline.”
“Terus apa rencanamu sekarang, Joy?”
“Aku ingin mendapatkan pekerjaan secepatnya, Mitha. Apa kau bisa membantuku?”
Sejenak Mitha menatap Joylin tajam-tajam. Perasaan kasihan dan simpati yang berbaur di hatinya demi melihat kenyataan hidup yang kini dialami sahabatnya ini, membuat Mitha ingin melakukan sesuatu untuk meringankan beban hidup Joylin. Terlebih jika ia mengingat serpihan masa lalunya dulu, di mana Joylin yang bergelimang harta begitu banyak membantu dirinya yang hanya anak seorang petani kecil. Joylin pula yang sering mentraktirnya jajan di kantin sewaktu ia tak diberi uang saku oleh orangtuanya.
“Bagaimana Mitha, bisakah kau membantuku?” Joylin mengulang pertanyaannya yang belum sempat terjawab.
“Insha Allah Joy, kebetulan di tempat kerjaku memang sedang membutuhkan tambahan karyawan,” sahut Mitha terlihat agak ragu.
“Benarkah itu, Mitha?” Joylin menyambut gembira.
Mitha mengangguk lengkap dengan senyumannya.
“Memangnya kau kerja di mana, Mitha?” tanya Joylin kian antusias karena merasa mulai ada titik terang dari keruwetan hidup yang membelitnya
Untuk beberapa saat, Mitha terdiam. Matanya yang bulat bening menatap lurus ke wajah Joylin yang sedikit berubah cerah. Sebuah dilema mendadak bergejolak di hati Mitha. Di satu sisi sebenarnya ia merasa tak tega jika harus mengajak Joy bekerja di tempatnya. Tapi di sisi lain, ia kasihan melihat Joylin yang diburu kebutuhan tanpa adanya penghasilan.
“Kenapa kamu diam, Mitha? Kau meragukan kemampuanku, ya? Percayalah aku siap kok bekerja apa saja, yang penting aku dapat pemasukan. Demi anakku, aku akan lakukan apapun juga asal dapat uang untuk menyambung hidup.”
“Bukan begitu maksudku, Joy.”
“Lalu?”
“Sebelum gabung kerja di tempatku itu, kamu perlu berpikir masak-masak.”
“Yang ada di pikiranku hanya mencukupi kebutuhan Asline, Mitha. Jadi katakan saja kerja apa itu?”
Mitha menghela napas panjang dan dalam baru kemudian menjawab. “Sejujurnya aku kerja di sebuah club malam, Joy. Aku jadi waitress di tempat itu. Dan kamu tahu sendiri apa resikonya kerja di tempat hiburan malam seperti itu. Banyak orang yang menganggap kalau wanita yang bekerja seperti itu pastilah wanita yang nggak bener. Tapi, kalau dilihat dari sisi penghasilan ya boleh dibilang lebih dari cukup.”
“Di club malam?” Desis Joylin gamang.
Mitha mengangguk pelan. “Ya, makanya aku minta kau pikir-pikirlah dulu. Tapi ya jangan terlalu lama memberi keputusan nanti takutnya sudah ditempati orang.”
“Ya, akan aku pikirkan.”
“Dan ini kartu namaku, silahkan SMS saja jika kau bersedia,” kata Mitha sambil mengulurkan sebuah kartu nama bergambar bunga mawar.
“Terima kasih, Mitha,” sahut Joylin seraya menerima dan mengantongi kartu nama itu.
“Sama-sama. Aku duluan ya, Joy. Ada yang harus aku kerjakan.” Mitha berkata sambil berdiri dan mengemasi barang belanjaannya.
“Iya, Mitha. Sekali lagi terima kasih.”
Mereka pun bersalaman, saling peluk dan saling cium pipi kiri kanan seperti dua orang saudara yang masih enggan dan berat untuk berpisah.
“Oh ya, minumanmu sudah aku bayar. Sekalian kembaliannya nanti kamu ambil buat ongkos pulang.”
“Terima kasih Mitha, jadi merepotkan.”
“Santai aja. Dan ini ada sedikit rezeki. Kamu bisa pakai untuk beli susu anakmu," ujar Mitha sembari memberikan beberapa lembar uang lima ratus ribuan. Joylin merasa tidak enak. Lantas ia menolak uang pemberian Mitha. "Tidak usah, Mit."
"Sudahlah, terima saja. Kamu ingat, dulu kamu sering membantuku waktu aku susah, sekarang biarkan aku membantumu. Demi Asline, kumohon jangan menolak," pinta Mitha.
Joylin menghela napas. Ia pun menerima uang pemberian sahabatnya itu.
"Terima kasih banyak ya, Mit," ucap Joylin.
"Sama-sama. Kita kan teman. Jadi sudah selayaknya saling membantu. Oke kalau begitu aku pergi dulu. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku," kata Mitha pamit.
Sepeninggal Mitha, Joylin menghampiri pemilik kedai guna mengambil uang kembalian yang dikatakan Mitha. Benar saja, pemilik kedai memberikan uang kembalian sejumlah sembilan puluh ribu. Kiranya Mitha membayar pesanan minuman yang seharga lima ribuan itu dengan selembar uang seratus ribu.
Joylin tersenyum. Lantas bergegas melangkah pergi. Ia ingin segera pulang untuk menjumpai Asline yang pasti sudah menunggu.
****
Malam harinya ketika jam di dinding kamar sudah berdentang sepuluh kali, Joylin belum juga bisa memejamkan mata. Tawaran pekerjaan yang disodorkan Mitha tadi siang terngiang kembali di telinganya. Melihat perubahan penampilan Mitha yang jauh berbeda dari Mitha yang dulu ia kenal, Joylin yakin pasti kehidupan Mitha sudah jauh lebih mapan sekarang. Pakaian yang dikenakan Mitha juga tampak modis dan bermerk. Dandanan dan model rambutnya juga nampak jelas hasil karya salon kecantikan. Belum lagi barang belanjaannya yang seabreg berbungkus tas produk sebuah mall ternama. Sudah tentu kondisi kantong Mitha pasti lumayan tebal.
Ingin rasanya Joylin langsung mengiyakan tawaran Mitha, namun sosok Asline yang justru jadi pertimbangan utamanya. Kalau ia harus bekerja setiap malam, lantas siapa yang akan menjaga Asline di rumah? Memang tadi pagi pas mau berangkat mencari kerja, Asline dititipkan pada tetangganya. Sekarang ia bukan lagi Joylin yang dulu, yang bisa mempekerjakan pembantu untuk mengurusi rumah tangganya. Jangankan untuk mempekerjakan pembantu, untuk kebutuhan sehari-harinya saja Joylin kewalahan.
Namun bayangan kehidupannya bersama teman-temannya di masa lalu kembali memenuhi benak Joylin. Dari pergaulannya yang bebas itu, ia jadi akrab dengan kehidupan malam. Dari pergaulan bebas itu pula ia dulu sampai mengenal narkoba, bahkan sampai terjerumus dalam pergaulan yang semakin tak terkontrol. Kebiasaannya berfoya-foya di dunia malam, membuatnya harus menelan pil pahit lantaran hamil di luar nikah. Untunglah saat itu Amar yang menjadi kekasihnya sekaligus ayah dari bayi yang dikandung Joylin mau bertanggung jawab. Seandainya tidak? Entah apa yang akan terjadi atas dirinya. Dan kini setelah sekian lama Joylin berusaha meninggalkan kehidupan dunia malam yang penuh lumpur dosa itu, haruskah ia kembali lagi menerjuninya?
Joylin serasa berdiri di persimpangan jalan. Sulit baginya untuk menentukan pilihan. Untuk beberapa saat ia hanya bisa terdiam sambil memandangi Asline yang sudah terlelap. Wajah cantik yang masih polos itu mungkin tengah bermimpi menjadi seorang putri yang tak pernah mengalami penderitaan hidup seperti yang sekarang sedang ia jalani.
Dalam diamnya yang sunyi tiba-tiba bayangan sang mama melintas dengan senyum yang ikhlas. Mata Joylin seketika berbinar cerah. Satu pemikiran terlintas di benaknya. Pemikiran yang mungkin akan menjadi satu solusi bagi keadaan yang menghimpitnya sekarang ini. Asline dititipkan pada mamanya sehingga ia bisa kembali bekerja.
****
“Maafkan Joy, Ma. Untuk sementara ini Joy akan menitipkan Asline di sini karena Joy akan memulai bekerja. Nanti jika pekerjaan Joy sudah mapan, Joy pasti akan segera mengambil Asline. Joy harap Mama tidak keberatan dengan hal ini,” kata Joylin esok harinya ketika datang ke rumah mamanya yang sekarang tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota.
Sebenarnya Joylin tidak tega kalau harus membebani mamanya dengan mengurus Asline. Sudah terlalu banyak masalah yang ditimbulkan oleh Papa dan kakaknya, tapi mau bagaimana lagi, keadaan yang memaksanya untuk melakukan itu.
“Jangan bilang begitu, Joy. Asline itu kan cucu Mama, jadi sudah pasti Mama tidak keberatan jika ia tinggal di sini. Justru Mama senang karena mama jadi ada temannya di rumah,” kata sang mama sambil memeluk dan menciumi cucunya.
“Terima kasih, Ma.”
“Tapi kalau boleh tahu, kamu mau bekerja di mana?”
“Nggak jauh kok Ma, masih di dalam kota Surabaya juga.”
“Kerja apa?”
“Kebetulan ada teman Joy yang menawari pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja. Hanya saja yang dibutuhkan adalah tenaga sift malam.” Joylin terpaksa berbohong pada mamanya. Ia tidak ingin mamanya tahu kalau sebenarnya ia bekerja di club malam.
“Ya nggak apa-apa, Joy. Yang penting halal dan bisa buat menghidupi anakmu.”
“Iya, Ma.”
“Lalu kapan kamu mulai kerja?”
“Mungkin malam ini juga, Ma. Makanya setelah ini nanti aku akan menghubungi temanku itu untuk mengabarkan kesanggupanku. Sebab kalau tidak segera takutnya nanti didahului orang. Sekarang cari kerja kan susah.”
Sang mama manggut-manggut membenarkan apa yang dikatakan anaknya.
Setelah memasukkan dua tas berisi pakaian milik Asline ke dalam kamar mamanya, Joylin pun segera pamit.
“Asline, malam ini kamu tidur sama Oma dulu ya. Ingat jangan rewel dan jangan nakal ya,” pesan Joylin sambil memeluk putri kesayangannya.
Gadis kecil yang cantik dan masij polos itu mengangguk dengan senyum manis.
“Iya Ma, nanti kalau Mama pulang, belikan boneka buat Asline ya,” kata Asline dengan suara manja.
“Iya Sayang, pasti nanti Mama belikan.”
Sekali lagi Joylin memeluk dan mencium pipi anaknya. Setelah itu ia pun melangkah dengan menahan air mata.
Sang mama menatap kepergiannya dengan tatapan iba.
****
Dentuman musik mengalung dari sebuah club malam di jantung kota Surabaya. Beberapa pasangan nampak asyik menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama di bawah sorotan sinar lampu aneka warna yang di tata sedemikian rupa indahnya. Suara wanita usia belasan tahun yang berpakaian seksi sedang mengalunkan suara merdunya sambil menggoda setiap mata lelaki yang mengunjungi tempat itu dengan gerakan-gerakan sensualnya.
Beberapa waitress cantik dan seksi yang membungkus tubuhnya dengan pakaian full pressed body selalu menebar senyum genit yang memikat manakala melayani setiap pesanan minuman dari meja ke meja. Sesekali mereka berhenti sejenak di sebuah meja guna memenuhi permintaan para pemboking berduit tebal yang meminta mereka untuk minum bersama. Lantas orang semeja itu secara bergantian akan memberinya tips dengan menyelipkan selembar uang ke belahan dadanya yang sedikit terbuka.
Apalagi di setiap akhir pekan seperti ini. Bos-bos besar pemilik perusahaan akan berbondong-bondong datang ke tempat ini untuk melepaskan kepenatan dari rutinitas sehari-hari. Kesempatan seperti inilah yang menjadi sumber rezeki tambahan bagi para wanita yang menjadi waitress. Mereka akan berlomba berpenampilan semenarik dan secantik mungkin untuk meraih simpati lelaki berkantong tebal. Dan jika beruntung, bos-bos berduit itu akan memboking mereka keluar untuk berkencan dengan imbalan yang menggiurkan.
Meski baru bekerja seminggu, tapi nama Joylin sudah mulai menjadi buah bibir di kalangan para pengunjung club. Perawakan tubuhnya yang tinggi semampai, kulitnya yang putih bersih dengan wajah oriental yang cantik berseri menjadi daya pikat tersendiri bagi setiap lelaki yang melihatnya. Tak heran bila sebagian besar tamu yang datang kini banyak yang menginginkan Joylin untuk melayani. Meski banyak juga tamu yang kecewa karena Joylin tak pernah mau diajak keluar dari tempat itu.
“Joy, bawa pesanan minuman ini ke meja nomor 18 ya!” kata bartender club di sela kesibukannya ketika Joylin baru saja selesai melayani meja lainnya.
“Oke, Juan,” sahut Joylin dengan senyum manis.
“Jangan lupa, berikan pelayanan terbaikmu, ya.”
“Beres, Juan.”
“Good luck.”
“Thanks.”
Dengan senyum yang masih terkembang di bibir, Joylin mengangkat sebuah nampan yang berisi empat botol brendy dan empat gelas minuman khas hasil penyajian bartender tadi. Hampir setiap mata menatap Joylin penuh gairah saat wanita itu melangkah gemulai di antara deretan meja yang kian ramai.
Beberapa wanita penghibur tampak melengos dan mendesah kecewa ketika pria hidung belang yang semula memeluknya erat tiba-tiba melepaskan pelukannya saat Joylin melintas di dekat mereka.
Tak jarang, tangan-tangan jahil dan iseng para lelaki hidung belang itu terulur untuk sekedar mencolek atau mencubit pinggul Joylin yang bergoyang ke kanan dan ke kiri ketika wanita itu melewati meja mereka.
Sungguh, ingin rasanya batin Joylin menjerit keras menerima perlakuan-perlakuan tak senonoh semacam itu, namun mengingat kebutuhan anaknya yang tak mungkin dapat ditunda, Joylin tetap memaksakan bibirnya untuk tersenyum agar tak ada pelanggan club yang kecewa.
Dan begitu langkah Joylin berakhir di depan meja nomor 18 yang masih terisi oleh dua orang lelaki muda yang berdandan perlente dan nampak berwibawa, Joylin langsung mempersembahkan senyum termanisnya. Dengan gerakan lincah berbau sensual, Joylin mulai menurunkan isi nampannya ke atas meja.
“Selamat bersenang-senang Tuan,” ucap Joylin dengan kerlingan mata menggoda.
“Terima kasih, Nona. Aku harap Nona tidak keberatan untuk menemani kami sejenak di meja ini. Maklum, temanku ini lagi galau berat,” kelakar lelaki yang baru saja disodori segelas minuman oleh Joylin.
“Tentu saja, Tuan,” sambut Joylin tetap dengan senyum nakal.
Disaat tangan Joylin mengulurkan segelas minuman untuk lelaki yang satunya, lelaki tampan bertubuh jangkung itu tiba-tiba tidak sekedar menerima uluran gelasnya tapi sekaligus memegangi tangan Joylin dengan erat.
“Ada yang kurang, Tuan?” tanya Joylin dengan suara mendesah.
Lelaki itu justru mendekatkan mukanya ke wajah Joylin.
“Apa aku nggak salah lihat, ya? Bukankah kamu Joylin?” tanya lelaki itu dengan suara bariton yang berat.
“Iya benar, Tuan siapa ya?” Joylin bertanya balik dengan tatapan dipertajam.
“Kalau sekarang kamu lupa padaku, nggak apa-apa Joy, tapi aku yakin kamu pasti ingat dengan benda ini kan?” sahut lelaki itu sambil mengeluarkan selembar sapu tangan warna hijau muda berhiaskan sebuah sulaman benang warna kuning yang membentuk huruf J dan B di salah satu sudutnya.
Mendadak mata Joylin terbelalak. Sapu tangan itu melemparkannya kembali ke masa lalu. Dimana ia pernah memberikan sapu tangan itu untuk seseorang yang waktu itu setia mengisi hari-harinya. Ya, sapu tangan itu adalah hadiah ulang tahun hari jadian yang pernah ia berikan pada Bryo, pacarnya semasa SMA.
Tapi siapakah lelaki yang kini memegang erat tangannya dengan tatapan tajam itu? Dan mengapa sapu tangan yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Bryo itu bisa ada di tangan lelaki ini?
“Bryo,” tanpa sadar bibir Joylin menyebut nama itu dengan suara lirih.
Lelaki tampan dan jangkung itu tersenyum sambil lebih memusatkan pandangannya ke wajah Joylin yang semakin tampak mempesona akibat jilatan sinar warna-warni yang menghiasi tempat itu.
“Nah, sekarang kamu sudah ingat aku kan, Joy?”
“Jadi kamu....”
Belum sempat Joylin meneruskan ucapannya, lelaki itu sudah pula memotongnya.
“Ya, ini aku Bryo.”
“Benarkah?” tanya Joylin seolah tak percaya dengan pandangannya.
Sekali lagi lelaki itu tersenyum. Kali ini senyumannya terlihat lebih lebar dan lepas. Setelah melihat deretan gigi yang putih dan rapi yang tersenyum simpul dan menghadirkan lesung pipi, barulah Joylin meyakini bahwa lelaki yang sedang menggenggam erat tangannya ini memang benar-benar Bryo. Mendadak Joylin menyeret langkahnya ke belekang seolah tak percaya bahwa laki-laki di hadapnya adalah sosok yang pernah mengisi relung hatinya.
Ah, kenapa aku harus bertemu dengan dia? Di tempat seperti pula. Joylin merasa malu bertemu mantan kekasihnya itu dengan kondisinya yang sekarang.
Joylin memilih meninggalkan Bryo di meja tersebut. Tapi sayang, Bryo berhasil mencegahnya dengan menyambar lengan Joylin.
"Mau kemana Joy? Kamu tak perlu malu bertemu denganku. Aku sudah tahu semuanya. Tetaplah di sini menemaniku," kata Bryo seolah tahu apa yang ada di benak wanita yang sampai saat ini ia cintai.
Joylin menoleh. “Bryo....”
“Joy.”
Sejenak mereka berpelukan erat. Pelukan singkat yang membawa mereka terbang kembali pada saat-saat indah yang pernah mereka jalani bersama. Walau perjalanan cinta mereka sempat tersendat dan putus nyambung, namun segala kenangan indah yang pernah mereka ukir bersama tak mudah terhapus begitu saja.
Pertemuan kembali dengan mantan kekasih itu menumbuhkan kembali percikan indah bernuansa cinta yang selama ini membekas di sudut hati Joylin. Keduanya pernah sama-sama mengikat janji setia.
Sementara itu alunan suara musik semakin menggema. Seperti getaran rasa yang mulai terdengar kembali di hati mereka.