by Titikoma
4. Lelaki Dari Masa Lalu
Joylin baru saja selesai mandi keramas. Ia berjalan keluar dari kamar mandi hanya dengan membungkus tubuhnya memakai sehelai handuk warna hijau muda yang ia lilitkan sebatas dada hingga paha bagian atas. Sambil bernyanyi-nyanyi ia berusaha mengeringkan rambutnya dengan cara mengibas-ngibaskannya.
Sesekali ia menatap bayangan dirinya yang ada di cermin. Ada sedikit rasa bangga di hatinya saat menyaksikan bentuk tubuhnya yang masih singset, langsing, dan seksi meskipun telah beranak satu. Joylin memang tipe wanita yang sangat peduli dengan tubuhnya. Ia senantiasa menjaga pola makan dan tak akan pernah membiarkan sedikit saja ada timbunan lemak yang berlebihan dalam tubuhnya. Ia sadar betul bahwa tubuh adalah asset utama bagi seorang wanita.
Joylin tersenyum tanpa memalingkan wajah dari cermin di depannya. Dengan senyum yang semanis itu ia dapat melihat jelas betapa dirinya masih begitu memikat tak kalah dengan penampilan gadis-gadis yang masih belia. Wajahnya yang bersih dengan mata bulat bercahaya adalah sebuah anugerah yang begitu besar bagi dirinya.
Puas menganggumi kemolekan tubuhnya, Joylin beranjak dari kursi kayu yang sedari tadi didudukinya. Sambil bersenandung lirih ia beranjak ke almari. Diambilnya sebuah dress warna kuning gading. Setelah meletakkan dress itu di atas ranjang, ia pun melepas handuk yang melilit tubuhnya dan meletakkan di tepi ranjang.
Kini Joylin berdiri dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja. Ketika ia hendak mengenakan dress itu, tiba-tiba handphone yang diletakkan di atas bantal berdering. Ia pun segera mengambilnya. Joylin tersenyum saat mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah Bryo. Mantan pacarnya ketika SMA yang kini perlahan namun pasti mulai mengisi hari-harinya semenjak mereka bertemu di club malam.
Dengan senyum sumringah Joylin menerima telepon sembari berbaring di ranjang dengan dress yang belum sempat dikenakannya.
“Halo Joy, selamat pagi,” sapa Bryo.
“Selamat pagi juga Bryo, tumben jam segini sudah telepon, ada apa?” tanya Joy lengkap dengan senyum manis.
“Ada kamu di hatiku,” seloroh Bryo dengan tawa.
“Iih! Pagi-pagi sudah ngegombal, nggak lucu ah!” tukas Joy merajuk.
“Oke, hari ini kamu ada acara nggak?” tanya Bryo lagi.
“Enggak, kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu makan di luar,” kata Bryo penuh harap. Harapan indah untuk dapat menikmati hari bersama Joy.
“Kok kamu tahu kalau aku belum sarapan.”
“Ya tahu dong, siapa dulu? Bryo gitu loh!”
“Ah kamu!”
“Jadi beneran nih kamu mau?”
“Iya. Apa sih yang enggak buat kamu, Bryo, ” goda Joy pula.
Godaan kecil dan manis itu seketika melambungkan angan Bryo ke puncak yang terindah. Sekilas bayangan kebersamaannya dengan Joylin waktu SMA kembali melintas di permukaan angannya. Ia memang luar biasa. Pesonanya yang memikat tak mudah terhapuskan sampai sekarang. Padahal kini Bryo sudah berumah tangga. Tapi, sisa-sisa pesona Joylin yang pernah menyentuh hidupnya masih saja tumbuh subur di dalam hatinya. Terlebih sejak pertemuannya kembali di club malam sebulan yang lalu.
“Baiklah, sekarang kamu bersiap-siap, ya. Lima belas menit lagi aku jemput," kata Bryo setelah berhasil menghentikan khayalan yang membuatnya melayang.
“Oke Bryo, sampai nanti.”
“Ya, sampai nanti.”
Pembicaraan via telepon itu terhenti. Tapi, senyum manis Joy masih menghias di pipi. Sejenak wanita itu meletakkan handphone itu ke dadanya, seakan sengaja ingin menanamkan serpihan rasa dari lelaki yang hadir dari masa lalunya.
Sambil menyenandungkan tembang kemesraan yang merdu, Joylin perlahan bangkit dan langsung menyambar dress kuning gading yang belum sempat dikenakannya. Joylin mematut diri di depan cermin agar penampilannya lebih sempurna.
Sekali lagi Joylin tersenyum puas melihat penampilan dirinya. Dengan dress itu setiap lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas. Pinggul dan payudaranya yang terlihat masih kencang tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi yang memandang.
Tepat ketika Joylin baru saja selesai mengenakan sepatu high heel kesukaannya, sebuah mobil silver tampak memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian bunyi klakson berteriak memanggilnya.
Tin! Tin! Tin!
Seperti kebiasaanya sewaktu masih SMA, Bryo selalu saja tak sabaran bila ingin mengajak Joylin ke suatu acara. Lelaki dari masa lalu Joylin itu tak pernah berubah sifatnya. Paham dengan sifat lelaki itu, Joylin segera keluar rumah. Dengan cepat dikuncinya pintu rumah itu dari luar kemudian wanita itu segera beranjak menghampiri Bryo yang sudah menunggunya sambil berdiri di sisi mobil.
Melihat Joy yang melangkah pelan menuju ke arahnya, sedikit pun Bryo tak mau mengedipkan mata. Terlalu sayang rasanya jika setiap langkah Joylin ada yang terlewat. Pagi ini rasanya kecantikan Joylin lebih bersinar daripada sang matahari. Setidaknya itu yang dirasakan Bryo di dalam hati. Hati yang tak pernah henti mengagumi dan menyanjungi Joylin.
Begitu Joylin sampai di hadapannya, Bryo segera membukakan pintu mobil untuk Joylin lengkap dengan gerakan tangan mempersilahkan. Perempuan berhidung pesek itu hanya tersenyum diperlakukan seperti itu. Ia masuk begitu anggun.
“Bryo, kita mampir ke rumah mamaku dulu, ya. Aku ingin mengajak Asline, anakku. Kau tidak keberatan kan jika aku ajak Asline?” tanya Joy begitu ia duduk.
“Tentu saja tidak, Joy,” sahut Bryo sambil memasukkan kunci mobil dan langsung menghidupkan mesinnya.
“Terima kasih, Bryo,” ucap Joy sambil memegang pundak lelaki itu.
Bryo hanya menjawabnya dengan senyuman. Sesaat kemudian mobil itu pun sudah melaju di tengah keramaian jalan. Sepanjang jalan Joy menyandarkan kepalanya di pundak Bryo yang sedang konsentrasi mengemudi.
Tentu saja Bryo senyam-senyum kesenangan.
****
Suasana di Jembatan Merah Plaza pagi itu tidak terlalu ramai. Bryo membawa Joylin dan anaknya ke sebuah tempat makan yang berlokasi di lantai dua. Tampaknya Bryo benar-benar ingin memasuki hati Joylin. Karena itu ia sengaja memilih tempat makan yang dekat dengan wahana permainan anak-anak. Tujuannya sudah pasti, ingin meraih simpati dari ibu dan si buah hati.
Mereka memilih tempat di deretan meja paling depan. Sehingga sambil menikmati sarapan sekaligus mereka dapat mengawasi Asline yang sedang bermain di wahana permainan anak yang berada tepat di depan tempat mereka makan. Maklum bocah kecil itu kiranya lebih tertarik pada aneka permainan daripada makanan. Tapi Bryo juga bersyukur karena dengan begitu ia dapat leluasa berbicara dengan Joylin tanpa merasa sungkan pada anaknya. Bryo sadar benar kalau anak seusia Asline akan selalu jujur pada siapa saja tentang apa yang dilihat dan didengarnya. Dan lelaki dari masa lalu Joylin itu tidak mau jika bunga indah yang sedang dirangkainya akan layu sebelum berkembang.
Selesai menyantap menu soto babad yang dipesannya, Bryo mulai meneguk teh dalam kemasan botol yang dipegangnya. Kemudian lelaki itu melap sudut bibirnya menggunakan sapu tangan penuh kenangan yang pernah diberikan Joylin kepadanya.
“Bryo, kenapa sih kamu masih menyimpan sapu tangan itu sampai sekarang?” tanya Joy dengan tatapan lembutnya.
Sesaat Bryo mengamati sapu tangan itu dengan seksama, baru kemudian mulai menjawab. “Karena sampai sekarang aku nggak bisa melupakanmu, Joy.”
“Benarkah?”
Bryo menganggukkan kepala dengan mantap.
“Ya Joy. Selama ini aku masih sering berusaha mencarimu, aku cari informasi tentang keberadaanmu pada teman-teman SMA kita, tapi tak satu pun dari mereka yang mengetahui di mana kamu berada. Sampai akhirnya malam itu, tanpa sengaja kita bertemu di club,” sahut Bryo dengan wajah serius.
“Wow, aku tersanjung mendengarnya, Bryo.”
“Kau memang pantas untuk selalu kusanjungi, Joy,” kata Bryo lebih gencar berusaha mencari peluang terbaiknya.
“Tapi aku rasa, apa yang kita lakukan ini nggak benar, Bryo.” Joylin berkata seraya mengusap punggung tangan lelaki itu yang bertumpu di meja.
“Kenapa tidak Joy?”
“Karena kita sudah sama-sama berkeluarga. Bahkan, aku sudah memiliki seorang anak, Bryo.”
“Tapi aku masih tetap mencintaimu seperti dulu, Joy.” Bryo meraih jemari tangan Joylin dan digenggamnya dengan erat.
Joylin menghela napas sesaat. Di dalam dadanya terjadi pertarungan batin yang hebat. Di satu sisi ia memang masih memiliki sisa-sisa rasa cinta pada lelaki dari masa lalunya ini. Di sisi lain, ia tak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi andai hubungan yang akan mereka bina sampai terdengar oleh Amar yang ringan tangan itu. Apalagi Bryo adalah musuh bebuyutan di masa SMA dulu.
“Kenapa kamu terdiam, Joy? Sudah tidak adakah satu tempat yang tersisa di hatimu untukku, Joy?” tanya Bryo dengan tatapan penuh harap.
“Bukan begitu maksudku, Bryo,” elak Joy seraya memusatkan pandangan ke arah Asline yang sedang asyik bermain jungkat-jungkit.
Bryo kembali menyedot teh botol yang masih dipegangnya. Namun pandangannya tidak bergeser sedikit pun dari wajah Joy. Wajah oriental itu dari dulu selalu saja membelenggu pikirannya.
“Lalu apa, Joy?” tanya lelaki itu kemudian.
“Sejujurnya, aku juga masih memiliki perasaan yang sama terhadapmu, Bryo. Semua kenangan indah yang pernah kita lewati, masih tersimpan rapi dalam hatiku. Tapi aku sekarang bukanlah aku yang dulu. Aku sudah menjadi seorang ibu dari seorang anak yang membutuhkan perhatian besar dariku.”
“Aku juga sudah beristri, Joy. Itu artinya posisi kita impas. Jadi, tidak ada lagi yang perlu diributkan tentang masalah itu. Dan soal anakmu, aku akan selalu menyayanginya seperti aku menyayangimu selama ini,” ucap Bryo tulus.
Bryo memang selalu memiliki kemampuan lebih untuk dapat menaklukkan hati perempuan yang ia inginkan. Hati wanita mana yang tidak akan luluh mendengar komitmennya yang menyentuh. Apalagi Joylin sekarang dalam kondisi kesepian. Sejak Amar masuk tahanan, Joylin nyaris tak pernah dekat dengan seorang lelaki. Atas dorongan rasa kesepian yang selalu menghimpitnya itulah, perlahan namun pasti, Joy mulai bisa membuka diri atas kehadiran Bryo. Lelaki yang datang dari masa lalunya itu kiranya masih cukup punya pesona untuk merontokkan benteng kesendiriannya.
“Jadi bagaimana Joy, maukah kamu mengulang kembali saat-saat indah kita dulu?” tanya Bryo begitu ingin mendapat kepastian dari Joylin.
Joy menunduk. Dicobanya menekan getar-getar halus yang mulai memenuhi segenap ruang di hatinya. Rasa kesepian dan kondisi ekonomi yang mencekik membuatnya membuka celah untuk dimasuki kembali oleh Bryo.
“Bagaimana Joy?” desak Bryo tak sabaran lagi.
Joylin mengangguk pelan. Cinta yang telah lama terpendam di dasar hati itu kini mulai tersiram oleh kedekatan mereka dan siap untuk bersemi kembali.
Bryo tersenyum. Lelaki itu lantas berdiri dan memegang pundak Joy yang merasa gamang atas keputusannya sendiuri.
“Tunggu sebentar ya, Joy,” kata Bryo sambil menepuk-nepuk pundak Joylin seolah sedang berusaha menenangkan orang yang teramat ia sayangi itu.
Tanpa menunggu jawaban dari Joy, lelaki itu melangkah menuju ke pemilik kedai. Dari tempat duduk Joylin, Bryo tampak sedang berbicara sesuatu dengan orang itu. Setelah mengangguk-anggukkan kepala, pemilik kedai itu meninggalkan Bryo sebentar. Tak lama kemudian ia kembali menemui Bryo yang masih menunggu dengan membawa segelas air jeruk hangat. Minuman kesukaan Joylin dan dirinya semasa masih pacaran di SMA.
Setelah menerima segelas air jeruk hangat itu, Bryo kembali menemui Joy yang tengah asyik memperhatikan Asline yang sedang melambai-lambaikan tangan ke arah mamanya.
“Minumlah Joy,” ujar Bryo seraya menyodorkan segelas air jeruk hangat itu.
Sontak bola mata Joylin berbinar cerah. Untuk beberapa saat dipandanginya segelas air jeruk hangat itu bergantian dengan memandang wajah Bryo yang masih menebar senyum di bibirnya.
“Ya Allah, Bryo! Kamu juga masih ingat dengan minuman favorit kita dulu,” ujar Joy seraya menjawil perut Bryo yang terbungkus kaus ketat. Dengan pakaian tersebut, nampak jelas otot-otot tubuhnya. Lelaki itu masih sama seperti waktu SMA. Ia selalu menjaga kebugaran tubuhnya. Selain memiliki paras yang rupawan, ia memiliki tubuh yang atletis. Pantas saja banyak cewek-cewek yang mengejar-ngejarnya tapi hatinya tertambat pada wanita yang ada dihadapannya, Joylin.
Bryo tersenyum simpul dengan aksi Joylin yang genit. Ah, seandainya kau yang jadi istriku, aku pasti akan membahagiakanmu, katanya dalam hati. “Aku masih ingat dengan baik tentang semua kenangan kita, Joy, ” katanya penuh rasa bangga.
“Tapi kayaknya ada yang kurang, nih?” tanya Joy sambil mengerutkan kening yang sedikit berkeringat.
“Maksudmu ini, Joy?” Bryo balik bertanya seraya menunjukkan satu sedotan yang dari tadi ia sembunyikan dalam genggamannya.
Joy tertawa kecil. Bryo memang benar-benar masih mengingat tentang semua hal yang pernah melewati bersama. Dulu ketika masih sekolah, Jika ke kantin mereka selalu memesan satu gelas jeruk hangat dengan dua sedotan. Sehingga mereka bisa menyedotnya secara bersamaan.
Bryo pasti akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekatkan hidungnya hingga mepet ke hidung Joylin. Dari dengus napas mereka yang menyatu terciptalah getaran rasa yang membangkitkan rasa rindu setiap waktu. Dan hari ini akankah kenangan indah itu terulang kembali? Joylin tersenyum membayangkannya.
“Rupanya kamu benar-benar belum lupa semuanya,” puji Joylin membesarkan hati dan harapan Bryo.
“Kita minum Joy,” ajak Bryo setelah memasukkan sedotan yang tadi dipegangnya ke dalam gelas itu.
Joylin mengedipkan matanya ke arah Bryo yang membalasnya dengan jakun turun naik beraturan.
Entah siapa yang memulai, beberapa saat kemudian serentak mereka menjulurkan wajah ke gelas itu. Dengan saling berpandangan begitu lekat, masing-masing mulai menyedot isi gelas itu dengan perlahan. Dan seperti biasa Bryo semakin memajukan wajahnya hingga ujung hidungnya bertemu dengan ujung hidung Joylin.
Getaran halus bernuansa cinta mulai menjalar ke segenap aliran darah mereka. Momen kecil namun manis itu seketika melemparkan mereka kembali ke masa lalu. Masa-masa indah yang pernah mereka enyam bersama.
Napas Bryo yang hangat terasa menyentuh ke setiap inci wajah Joylin. Begitu syahdu sampai wanita itu memejamkan mata karena tak kuasa menyembunyikan gejolak perasaannya. Perasaan seorang perempuan yang telah sekian lama dilanda kesepian.
Sementara, napas Joylin yang harum menyapu wajah tampan Bryo yang semakin berani menyentuhkan bibirnya ke bibir Joylin. Hanya sesaat memang kejadian manis itu mereka ulang. Namun, telah mampu meninggalkan kesan yang begitu mendalam.
“Ambillah apa yang ada di dasar gelas itu, Joy,” bisik Bryo dengan mesra.
Joylin tersenyum. Tanpa menjawab ia memasukkan telunjuknya ke dasar gelas yang sudah kosong itu. Dengan ujung kukunya yang terawat dan diberi warna merah hati, ia angkat sebentuk cincin yang ada di sana.
“Cincin?” desah Joylin.
Bryo mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Joylin.
“Apa arti semua ini, Bryo?” tanya Joylin balas menatap Bryo.
Bryo tersenyum. Perlahan diambilnya cincin itu lalu ia raih jemari Joylin yang lentik. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencium lembut punggung tangan Joylin baru kemudian ia sematkan cincin itu di jari manis Joylin.
“Cincin ini adalah tanda dimulainya kembali ikatan hati di antara kita. Jadi mulai hari ini kita akan merajut kembali hari-hari indah kita yang pernah tertunda. Dan itu artinya aku tidak mau lagi melihat kau melayani lelaki lain di club itu. Dirimu hanyalah milikku. Kau mengerti Joy?” kata Bryo sungguh-sungguh.
“Jadi tiap malam kamu akan datang ke club itu?” balik tanya Joylin.
“Aku akan usahakan seperti itu.”
“Terima kasih, Bryo,” kata Joylin seraya mengecup lembut punggung tangan Bryo.
“Kamu memang pantas mendapatkan semua ini, Joy,” ucap Bryo.
Sebuah ciuman panjang mengakhiri pertemuan mereka siang itu. Sejak saat itu Joylin dan Bryo selalu bersama-sama melewati hari-hari yang indah. Seperti biasa, Bryo selalu menepati janjinya. Rasa cemburu yang besar membuatnya rela mengantar Joylin berangkat dan pulang kerja di sela kesibukannya. Bahkan setiap dua hari sekali Bryo menyempatkan diri menikmati hingar bingar club itu semata-mata hanya agar bisa dekat dengan Joylin yang telah merangkul hatinya kembali.
Joylin semakin tenggelam dalam jalinan kisah yang ia temukan dari lelaki masa lalunya.