by Titikoma
8. Mengingatmu
DITO pernah melakukannya ketika kami terlibat sebuah pertengkaran. Kesalahpahaman biasa yang menjadi tidak biasa. Semalaman dia menungguku di depan pintu rumah hanya karena dia ingin meminta maaf kepadaku secara langsung. Dia mengatakannya lewat pesan singkat, juga pembicaraan di telepon. Dia berpikir itu saja belum cukup. Dia ingin mengatakannya langsung saling berhadapan satu sama lain.
Aku enggan menemuinya. Baginya permasalahan ini sangat biasa, sedangkan aku sebaliknya.
Noda lipstik ada di kerah bajunya. Dia mengatakan bahwa semalaman tadi, teman-temannya mengajak dansa di pub. Dia sekuat tenaga menolaknya. Namun, atas nama solidaritas, mereka memaksanya. Dia bilang, dia hanya minum sedikit, dan tidak sampai mabuk. Perihal noda lipstik di kerah bajunya, katanya lagi, seorang perempuan hampir jatuh dan menabraknya.
Aku tidak mempermasalahkan perihal noda lipstiknya, sebetulnya. Yang aku permasalahkan hanya dua: dia ada janji denganku malam itu, dan aku sangat kesal menunggu kedatangannya. Sementara yang kedua, dia mabuk—walau sedikit—aku tidak menyukai lelaki yang seperti itu. Rokok masih bisa kutolelir—karena aku juga pernah menjadi seorang perokok, untuk alkohol sepertinya tidak sama sekali.
Sepanjang hari ini aku mendiamkannya. Dia menyadarinya dan berusaha meminta maaf. Di kampus, aku menghindari bertemu dengan dirinya.
“Aku tidak akan melakukannya lagi, My Little Princess.”
“Maafkan aku, Baby Er, please.”
“Aku memang salah, dan kau berhak menghukumku. Namun, jangan diamkan aku seperti ini, Baby.”
Itu tulisan-tulisannya lewat pesan singkat. Aku geming. Tidak membalasnya.
Malamnya Dito datang. Papa, Mama serta adikku sedang tidak ada di rumah. Dito mengetahuinya. Dito terus membunyikan bel pintu. Sekali-kali pintu diketuk. Dia tahu aku ada di rumah. Dia berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Aku tidak menggubrisnya.
Aku pikir dia akan lelah dengan sendirinya dan memilih pulang ke rumahnya. Aku salah. Dito membaringkan tubuhnya di atas ubin beranda rumah tanpa alas, apalagi selimut.
“Dasar gila!” makiku kala itu.
Aku tidak terpengaruh dan tidak berusaha untuk membukakan pintu. Yang kulakukan adalah menyalakan DVD film dengan volume suara sangat kencang. Aku tidak ingin mendengar teriakannya. Masa bodoh dengan tetangga yang merasa terganggu.
Malam kian larut. Aku mengintip sekali-kali. Dito masih di sana, menungguku membukakan pintu. Aku masih tidak peduli.
Aku tertidur dan hampir melupakan bahwa di luar ada Dito yang kedinginan. Hati kecilku merasa iba kepadanya. Setelah berdamai dengan diri sendiri, aku memutuskan turun dan membukakan pintu.
Aku tidak menyuruhnya masuk, hanya memanjangkan leher dari balik pintu, lantas berkata: ‘Aku sudah memaafkanmu, dan pulanglah, hari sudah terlampau malam.”
Dito bangun dan mengucek kedua matanya. “Aku belum percaya sampai kau menjabat tanganku,” jawabnya.
Aku hampir kesal kalau saja tidak ingat bahwa hari sudah malam. Tidak harus ada keributan, bahkan perdebatan kata-kata. Aku menghampirinya, mengulurkan tangan. Dito menyambutnya.
“Thank you, My Little Princess. Aku balik, ya?”
“Terserah,” jawabku ketus. Aku meninggalkannya dan langsung masuk lalu mengunci pintu.
“Happy nice dream,” teriaknya dari luar. Suara langkah kaki menjauh, aku berbalik dan mengintip dari balik tirai. Dia membalikkan tubuhnya dan tatapan kami saling bertumbukan. Dia melambaikan tangan, dia yakin bahwa aku masih berada di balik pintu.
Lamunanku tentang Dito membuatku tidak bisa tidur. Aku hampir melupakan itu semua. Kejadian Andro datang ke rumah sore tadi, membuat hal itu kembali muncul ke permukaan.
Andro-Dito, Dito-Andro. Selalu ada kesamaan. Melupakan Dito lantas memikirkan Andro, juga sebaliknya, tidak ada bedanya.
***
Aku memutuskan untuk memberi kesempatan kepada Andro untuk mengenalku lebih dekat. Itu terjadi awal bulan April. Aku tidak mengatakan bahwa ini adalah sebuah hubungan antara dua orang kekasih. Tidak. Bukan itu. Kecuali kedekatan kami yang kian intens, nyaris tidak ada pembicaraan serius mengenai hubungan yang sedang coba kami bangun.
Di luar bahwa aku masih memikirkan Dito, aku sedang mencoba sejauh mana perasaanku terhadap Andro.
“Teman tidak mungkin sedekat ini,” sesal Andro.
“Kau yang menginginkan seperti itu, bukan?”
“Pada mulanya demikian. Ibarat main game, harus ada penaikkan level,” ujarnya setengah bercanda. Tapi, bukan.
“Ini bukan game, Andro. It’s real. Reality.”
“Aku tahu itu. Apa kau keberatan kalau levelnya dinaikkan, Er?” todongnya.
Aku tidak menjawabnya. Ini menyebalkan, pikirku.
“Atau sebaliknya, levelnya diturunkan,” kataku.
“Mana bisa. Itu sangat tidak mungkin.”
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Andro.”
“Jangan, dong. Ya sudah, level ini sudah cukup. Cukup me-re-pot-kan-ku.”
“Apa kau bilang?”
“Tidak. Selera humormu buruk, Er.”
“Ya, mau bagaimana lagi, begitulah kenyataannya.”
***
Aku sedang makan mie bakso di kantin kampus. Ponselku tiba-tiba berbunyi. Paradise-nya Coldplay langsung membuatku menghentikan suapan. Dari Dito. Hingga saat ini, aku tidak menghapus nomor kontaknya. Aku mengerutkan dahi, amarah tiba-tiba naik ke ubun-ubun. Apa-apaan ini?
“Tidak banyak yang ingin kusampaikan kepadamu saat ini. Aku kangen kau dan temui aku di Oriental Cafe, tepat pukul empat sore nanti,” katanya. Tidak ada ucapan basa-basi, dia langsung mengatakan maksudnya dengan tergesa-gesa. Tadinya, aku langsung ingin memarahinya, sayangnya telepon yang super singkat itu langsung ditutupnya. Klik!
Aku termenung akan peristiwa barusan. Aku penasaran dan ingin mengetahui penjelasan perihal kepergiannya yang tiba-tiba tanpa kabar. Sudah hampir tiga bulan dan itu, sungguh menyesakkan. Oleh karena itu, aku berjanji untuk menemuinya sore nanti. Mungkin sekadar meminta kejelasan.
“Aku memang lelaki berengsek,” tegasnya. Ketika menemuinya, emosiku sudah memuncak. Rasa kecewa juga sakit hatiku langsung berubah menjadi kemarahan yang menyala-nyala. Aku mengatainya dengan sebutan lelaki berengsek. Kafe sedang ramai-ramainya, jadi mustahil makianku terdengar dengan jelas oleh orang-orang di sekitarku.
“Kau tidak harus tahu dengan apa yang kuhadapi saat ini,” lanjutnya.
“Setidaknya, kau membagi permasalahanmu denganku.” Entah apa yang kupikirkan. Rasa marah yang tadi meluap, sedikit demi sedikit mulai mengecil. “Aku memikirkanmu sepanjang waktu. Kau mungkin tidak. Oleh karena itulah tidak sedikit pun kau berusaha untuk menghubungiku.”
“Maafkan aku. Semuanya sangat tidak mudah.” Dito menunduk. Aku menangkap mendung menggayut di kedua matanya. Dia menceritakan permasalahannya hanya berupa garis besarnya saja. Ibunya menyuruhnya pulang segera. Ada masalah besar, perihal keluarga. Dito tidak mengatakan masalah itu sebesar apa. Dia hanya ingin agar aku sabar, beberapa bulan ke depan, dia tidak akan ada di Jakarta lagi. Masalahnya harus segera diselesaikannya. Aku ingin menemaninya pergi, dia melarangku dengan tegas.
“Aku akan memberitahukan perkembangannya,” ujarnya.
Aku berusaha untuk percaya. Ketika aku menggiring obrolan ke arah hubungan kami, dia memandangiku dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Apa kau sudah menganggap hubungan ini telah berakhir?” tanyanya tegas. “Semenjak aku pergi dan tidak memberimu kabar?”
“Aku sudah memikirkan kemungkinan itu,” jawabku dengan jujur.
“Sampai segitunya?”
“Mau bagaimana lagi.”
“Er.” Dito menggeser kursinya agar posisi duduknya lebih dekat ke arahku. “Keputusan ada di tanganmu. Tapi, please, pikirkan sekali lagi.”
Sekali ini aku tidak menjawab. Kebimbangan tiba-tiba berdiri teguh di tengah perasaanku terhadapnya. Aku berusaha melupakannya. Sudah hampir berhasil. Lalu kini, dia tiba-tiba muncul ketika aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkannya. Dia menginginkan kelanjutan hubungan ini, tetapi aku sedang berusaha mengakhirinya. Apa yang harus kulakukan?
Dito telah membohongiku perihal skripsi. Dia tidak menyangkalnya. Itu alasan paling logis yang bisa dikatakan olehnya agar aku tidak curiga. Dito berkali-kali meminta maaf. Hati perempuan gampang luluh, itulah yang terjadi dengan diriku setelah mendengar cerita yang diungkap oleh Dito.
Aku belum percaya sepenuhnya. Bisa jadi ceritanya itu tidak semuannya benar.
“Kau harus percaya padaku, Baby,” pungkasnya.
“Entahlah. Aku akan mencobanya. Namun, aku tidak bisa berjanji.”
Dito bergegas pergi untuk beberapa lamanya, katanya. Bisa sebulan, dua bulan, tiga bulan, atau selamanya. Lantas, sekali lagi aku bertanya kepada diri sendiri: apa yang harus kulakukan?
***
Sekarang aku baru bisa bernapas lega. Seharian tadi, selepas pertemuan tiba-tiba dengan Dito, aku merasakan hidupku jauh lebih berantakan. Ibarat mimpi buruk, ia datang dengan cara paling menakutkan. Aku tertatih-tatih untuk berdiri tegak di atas pedih akibat kehilangan. Setelah perasaanku yakin bahwa Dito tidak sepenting yang aku kira dalam hidupku. Dia datang, membuat pondasi pijakanku sedikit goyah. Ada keinginanku untuk tetap berdiri. Namun, di pemikiranku yang lainnya, aku ingin merobohkan semuanya dan membangunnya kembali dari awal. Tentu saja bersama Dito.
Terlampau naif kalau aku mengatakan baik-baik saja meski tanpa Dito. Di satu kesempatan, aku meyakinkan itu. Di satu kesempatan lainnya kurasakan bahwa aku tidak seyakin itu
Aku memikirkan kemungkinan demi kemungkinan yang bisa diambil. Ketika hatiku yakin bahwa kesempatan itu masih ada, aku telah mengkhianati diriku sendiri. Bukankah aku telah berjanji untuk kembali kepada Dito, untuk alasan apa pun? Kini aku mengingkarinya, dan itu yang dimaksud dengan bernapas lega. Aku telah memutuskan untuk menunggu. Sesuai janjinya.
Seseorang mungkin akan terluka dengan keputusanku ini. Seseorang itu, siapa lagi kalau bukan Andro. Lelaki yang nyaris mirip dengan Dito, kecuali sikap dan karakternya.
“Apa aku telah mengatakan bahwa kau adalah temanku, tidak lebih?” Andro baru saja tiba di kampus ketika aku mengadang langkahnya. Andro mengernyitkan dahi untuk memahami keadaan.
“Apa yang kau bicarakan, Er?” Andro balik bertanya. Setumpuk besar buku di kedua tangannya membuatnya berdiri rikuh menahan beban buku.
“Aku hanya bertanya, apakah aku pernah menanyakan hal itu,” tegasku.
“Di satu kesempatan, paling tidak kau mengatakannya berulang kali.”
“Dan kau menjawabnya ....”
“Tentu saja aku menjawabnya. Aku mengatakan ya, seperti itulah. Bukankah kau yang menginginkannya? Walau pada kenyataannya, aku mengharapkan posisi ini lebih dari sekadar teman.” Andro menyimpan buku-bukunya di kursi, wajahnya berkeringat di beberapa bagian.
“Syukurlah.” Tanpa sadar aku mengatakannya. Untung Andro tidak terlalu mendengar ucapanku barusan. Dia sedang sibuk menata bukunya di kursi.
Aku benar-benar merasa lega. Kemungkinan akan menyakiti hati Andro relatif tipis. Aku tersenyum ke arahnya. Tanpa tahu alasan senyumanku, Andro ikut tersenyum.
“Dah Andro, aku masuk dulu. Kau ada kuliah juga, ‘kan?”
Andro hanya memandangku bingung. Arti dari perbincanganku dengannya barusan seolah bukan apa-apa bagiku.
“Sinting,” rutuknya. Aku mendengarnya, tetapi tidak berminat untuk mendebatnya.
Sore harinya aku mulai merasa nyaman dengan keadaan ini. Kehadiran Dito setelah sekian lama, sanggup membuat hari-hariku jauh lebih ceria dari sebelumnya. Di luar fakta bahwa aku telah dicampakkan begitu saja berbulan-bulan oleh Dito, sama sekali tidak membuatku menyalakan sinyal warning kepada lelaki itu.
“Mungkin dulu dia sedang khilaf,” pikirku membela lenyapnya Dito dengan tiba-tiba tanpa kabar.
“Orang sedang kalut tidak bisa berpikir jernih. Aku bisa memahaminya,” bela-ku lagi.
Apa aku salah bila harus menerimanya kembali? Aku kira tidak. Damn! Bahkan, aku telah memaafkannya jauh sebelum dia memintanya. Perempuan macam apa aku ini?
Ketika pikiranku jauh lebih jernih dari sore tadi, ketakutan itu tiba-tiba muncul lagi. Mungkin, aku akan kehilangan Dito untuk kali kedua. Tentu saja itu akan terlalu menyakitkan. Keledai tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Apa mungkin aku akan melakukan kemungkinan itu?
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Kebimbangan sedang berperang di dalam kepalaku. Kedua kubu berusaha saling memaksakan diri.