by Titikoma
12. Keteruterangan Yang Terlambar
Sepanjang jalan aku merasakan keresahan yang menampar-nampar ulu hati. Kegembiraan yang dirasakan oleh Andari ternyata begitu menyiksa bagi diriku. Dalam hal ini, Andari perihal kemiripannya dengan aktor-aktor drama korea.
Mustahil aku melupakan ini dengan cepat. Aku ingin pergi ke tempat indekos Andro untuk meminta penjelasan. Walau setelahnya, kecewaanku akan menjadi-jadi, bila Andro menceritakan semuanya dengan jujur. Perihal perempuannya: Andari.
Andro kaget ketika aku mendatanginya. Suasana riuh-rendah. Beberapa temannya sedang bermain kartu remi sementara Andro sendiri tengah sibuk surfing internet di laptopnya.
“Aku ingin bicara,” ujarku tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Di sini?” tanyanya. Aku tahu Andro tidak ingin membicarakannya di depan teman-temannya itu. Aku paham.
“Tidak. Aku butuh tempat yang jauh lebih pribadi,” jawabku.
“Baiklah,” ujanya. “Guys, aku pergi sebentar. Jangan dulu tidur!” teriaknya kepada teman-temannya.
***
“Bahkan kau bersikeras untuk menganggapku teman ketika aku menginginkannya lebih.” Andro membuka percakapannya dengan wajah yang berkabut. Aku yang duduk di sampingnya hanya terdiam, seraya menatap debur ombak yang pecah di dermaga yang dipenuhi bongkahan-bongkahan beton penahan abrasi. Andro mengajakku ke sini biar pembicaraannya jauh lebih leluasa.
“Ketika kau mengatakannya demikian, betapa hancurnya perasaanku. Aku tidak ingin memperlihatkannya kepadamu, padahal jauh di dalam jiwaku, aku menangis karenanya.” Andro menelan ludah. Suaranya tersekat karena menahan emosi. “Semalaman aku memikirkan itu. Tidak sedetik pun aku berhasil memejamkan mata. Hatiku sakit, Ervina. Sakit.”
Aku masih terdiam. Aku merasakan apa yang dirasakan oleh Andro, sebab aku mengalaminya beberapa saat lalu.
“Aku tahu, kau masih memendam perasaan cintamu kepada orang lain. Aku tahu itu. Tetapi, aku bersikeras dan mencoba meluruhkan perasaan itu sehingga rasa cintamu berbalik kepadaku. Aku mungkin egois, tetapi terkadang dibutuhkan sikap egois untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan. Bukankah begitu, Ervina?”
Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Kesakitan yang aku ciptakan kepada Andro—aku baru menyadarinya—membuatku terjebak di dalam perasaan bersalah yang menumpuk. Aku tahu Andro mencintaiku. Aku tahu Andro berharap banyak kepadaku. Aku tahu cinta Andro kepadaku benar-benar tulus. Aku terlalu berengsek untuk mengakuinya hanya karena pengharapan besar kepada lelaki itu. Aku menunduk, air mata berjatuhan tanpa bisa kuredam.
“Ketika aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang kau inginkan, aku dilanda putus asa. Sangat putus asa. Aku sangat mencintaimu. Pada dasarnya, dan aku kecewa ketika kau lebih menganggapku teman ketimbang apa pun. Bila aku memutuskan untuk berpaling kepada perempuan lain selain dirimu, apakah aku salah?” tanyanya tiba-tiba.
“Tidak Andro. Tidak.” Sekali ini aku menjawab, dengan air mata masih meleleh di pipi.
“Aku menyembunyikan banyak hal darimu. Maafkan bila aku melakukannya. Aku tahu kau pernah datang ke rumahku sementara Andari ada bersamaku. Aku tahu, di balik pintu kau menatapku kesal. Aku tahu itu, tetapi pura-pura tidak mengetahuinya. Aku ingin melihat reaksimu, setidaknya melihatmu jatuh dalam kecemburuan. Nyatanya kau malah pulang begitu saja tanpa masuk dan menyapaku.
Aku bukan kekasih Andari kala itu. Masih belum. Harapanku hanya untuk dirimu. Apa yang kau lihat, tidak semenjijikkan dengan apa yang kami lakukan. Aku hanya menyentuh rambutnya dan mencium keningnya, tidak lebih. Harusnya kau bertanya kepadaku tentang siapa perempuan yang ada bersamaku. Nyatanya, kau tidak melakukannya. Jujur aku menunggu hal itu. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan hubungan dengan Andari, apakah itu salah, Ervina?”
“Tidak Andro. Tidak.” Aku kian tertekan. Semua yang dikatakan Andro benar. Bila aku berpikir bahwa Andro telah melukai perasaanku, itu tidaklah benar. Justru sebaliknya, ternyata, akulah yang telah melukai perasaannya.
“Satu lagi, aku sengaja menyuruh Andari tidak menunjukkan kebersamaan kami di dalam kampus hanya untuk satu alasan: aku tidak ingin kau melihatnya. Aku pikir kau juga menyukaiku, tetapi terlalu tolol untuk mengakuinya. Aku tahu, aku bukan apa-apanya dibanding lelaki yang sedang kau tunggu. Aku sadar diri.”
“Cukup, Andro! Cukup! Hentikan!” Tanpa sadar aku berteriak. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua penjelasannya. Dalam hal ini aku benar-benar menyadari bahwa aku memang salah. Harapanku terlalu besar terhadap Dito, sementara lelaki yang benar-benar mengharapkanku, aku abaikan dengan sia-sia.
Aku kesal kepada diriku sendiri, sekaligus malu.
“Kau tahu, siapa yang dimaksud Mr. PW oleh Andari? Itu adalah aku. Parliandro Widjaya,” pungkas Andro.
Aku terpekik. Ternyata banyak hal yang tidak kuketahui perihal Andro. Aku pikir nama lengkap Andro adalah Andro Widjaya, nyatanya nama itu masih belum lengkap.
Aku menutup wajah dengan kedua belah tanganku. Andro memeluk bahuku yang turun naik, menahan isak tangis. Dia berbisik, hampir tidak bisa kudengar, deru ombak yang memecah dermaga sedikit berisik. “Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin melakukannya, andai kau memberiku satu kesempatan terakhir. Aku tahu siapa lelaki yang kau tunggu. Aku ingin menggantikan posisinya. Sayangnya, cintamu kepadanya terlampau besar. Tunggulah, hingga benar-benar dirinya kembali. Semoga itu terjadi, dan kau berbahagia bersamanya. Sekali lagi, maafkan aku. Aku tidak ingin mengecewakan hati seorang perempuan. Aku sudah memutuskan, lewat berbagai pertimbangan, bahwa aku ingin mencintai Andari sebagaimana kau mencintai lelaki itu.”
Ada yang pecah di dadaku untuk kali terakhir, dan itu adalah kepingan hatiku yang patah menjadi dua bagian.
Andro bergegas pergi setelah menemaniku pulang. Ada kehampaan yang tiba-tiba mengimpitku. Aku ingin hari ini segera berakhir. Semoga esok aku bisa menggapai sesuatu yang lebih baik. Andro pergi, harapanku tinggal satu, walau itu samar saja, menunggu Dito. Apakah dia benar-benar dengan janjinya atau tidak. Bila tidak, betapa kecewanya aku. Dapat dipastikan bahwa aku akan menjadi perempuan paling tolol di muka bumi ini.
***
Aku baru tiba di rumah ketika hari sudah terlampau larut. Tidak ada yang segera kulakukan kecuali duduk bersimpuh di beranda rumah. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Andro terlalu menikam. Aku masih menyimpan setiap kata-katanya di dalam pikiran. Mataku bengkak karena sepanjang jalan tadi aku menangis. Andro menemaniku hingga rumah untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah Andro pulang, aku kembali ke tempat tadi kami berbincang, karena itulah aku pulang sangat larut.
Di dalam rumah, Mama sudah tidur, begitu pula Papa Irwan, juga adikku. Aku memiliki kunci rumah sendiri, tetapi, aku tidak berminat untuk segera masuk. Aku ingin di sini saja, menikmati sisa malam dengan udara luar yang dingin juga cahaya bulan dan bintang-bintang.
Aku memikirkan kemungkinan demi kemungkinan setelah Andro memutuskan untuk menjauh dariku. Semakin kupikirkan, semakin kepalaku terasa berdenyut-denyut.
Malam semakin tua. Aku merebahkan tubuhku di atas ubin keramik yang dingin. Mobilku terparkir di depan garasi. Sementara jauh di luar sana, suara anjing saling bersahutan. Aku tidak takut dengan suara anjing itu, jika seandainya itu harimau pun, aku tetap tidak takut.
Rasa kantuk tidak kunjung datang. Aku mengalihkan pikiranku dari sosok Andro ke sosok Dito. Dua minggu lagi nasib cintaku akan dipertaruhkan. Aku membayangkan hal-hal yang akan kulakukan bila Dito tidak muncul, mungkin aku akan menangis sepanjang hari, atau berhenti makan, atau membiarkanku kembali menjadi seorang pecandu rokok.
Aku kelelahan, dan tertidur di luar tanpa kusadari.
Hari sudah pagi ketika tiga orang yang kukenal sedang berdiri tegak di atasku. Itu Mama, Papa Irwan, juga adikku. Mereka menatapku heran sekaligus cemas.
“Kau tidur di luar, Ervina. Apa yang terjadi, kau mabuk?” Hampir bersamaan mereka menanyakan hal itu. Aku menggeleng, lantas menangis dalam posisi masih terbaring.