Hopeless Cries

Reads
226
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

13. Just Relax

AKU melangkahkan kaki menuju kamar mandi dengan gontai. Rasa pening masih bertahan di dalam kepalaku. Aku sangat butuh mendinginkan suasana hati juga pikiranku. Kunyalakan keran air hangat ke dalam bathtub, seraya menuangkan wewangian rempah ke dalamnya. Aku ingin berendam, sedikit relaksasi, agar otot-ototku yang kaku bisa sedikit terurai.
Kucoba mengosongkan pikiranku dari hal apa pun. Aku melihat hamparan padang rumput tumbuh di atasnya. Matahari musim panas tidak begitu terik, aku terduduk di atas hamparan padang rumput itu seraya menikmati udara pegunungan yang bersih. Kupejamkan mata, hangat sinar matahari membelaiku dengan lembut.
Suara burung bercericit bersahutan di atas pohon pinus. Deru napasku begitu ringan ketika aku menarik dan mengembuskannya. Aku menyadari bahwa kedamaian begitu tenang tumbuh di sekitarku. Aku membuka mata, kota-kota nan jauh di sana begitu kerdil di hadapanku. Seekor kuda berlari ke arahku dan ... tunggu, aku melihat seorang pangeran tengah berdiri kukuh di atas pelananya.
Kuda itu semakin dekat, dan dekat. Semakin dekat, dan ....
“Apa kabarmu, Ervina?”
Aku terperanjat. Penunggang kuda itu ternyata lelaki yang selama ini sedang ditunggu. Itu adalah Dito.
Aku terpekik, lantas menyadari bahwa air di dalam bathtub meluap. Aku lupa mematikan kerannya. Ternyata, aku sempat tertidur beberapa saat. Kupikir, apa yang terjadi barusan hanyalah mimpi.
Aku bangkit, segera mematikan keran, lantas berdiri menatap cermin. “Kau terlihat sangat menyedihkan, Ervina,” bisikku kepada diri sendiri.
Aku terpaku di depan cermin. Aku kembali menangis. Aku masih belum sanggup menghadapinya. Bila aku bisa memutar waktu, aku menyatakan cinta secepatnya kepada Andro, meski aku seorang perempuan.
Aku menelepon Lisa. Kami berbincang banyak hal untuk melupakan kejadian yang telah kualami beberapa waktu lalu. Lisa tidak menyadari bahwa aku menangis di tengah perbincangan. Dia terus saja nyerocos tentang hal apa pun. Terkadang kami saling terbahak. Hal-hal lucu cukup menghibur perasaanku yang tengah lebur.
Perbincangan itu berakhir setelah tiga jam. Telingaku panas dan berdengung-dengung. Aku merebahkan diri dan berharap kantuk segera datang. Aku sedang enggan pergi ke mana pun saat ini. Tidur adalah cara terbaik untuk melupakan semuanya, meski itu hanya sementara.
Aku tertidur pada akhirnya dan terbangun ketika suasana di luar begitu mencengangkan, langit berwarna magenta dengan siluet segerombolan burung yang mengepakkan sayap di udara untuk kembali ke sarangnya masing-masing. Aku menatapnya hingga gelap datang menjelang. Tirai dan jendela masih terbuka ketika azan magrib terdengar. Aku tersadar bahwa telah lama jauh dari Tuhan.
Saat-saat mellow seperti ini, mengingat Tuhan jauh lebih syahdu dibanding mengingat orang-orang yang pernah mencintaiku, dengan tulus ataupun tidak.
Aku menutup jendela, menyalakan lampu, lantas membenamkan tubuhku di dalam selimut. Sekelabat bayangan Andro muncul.
“Jangan lagi. Kumohon,” bisikku.
***
Pikiranku benar-benar kacau. Aku harus melakukan sesuatu untuk pelampiasan. Kupikir membuat cakes, atau cookies, atau steik yang pernah diajarkan Dito kepadaku. Ah tidak. Lagi-lagi Dito. Kapan aku terlepas dari lingkaran ini semua.
Aku memutuskan untuk membuat pie apple saja. Beberapa bahan, secara kebetulan ada di kulkas, selebihnya tersedia di dalam rak dapur. Mama pintar memasak, seperti Dito, ketika ada waktu luang Mama kerap membuat kue untuk kami.
Aku mengambil apel dan mencucinya. Lantas termenung di depan kompor gas yang belum menyala. Kebingungan muncul tiba-tiba dalam diriku.
Aku sedang melakukan apa di sini?
Kenapa perasaanku begitu hampa?
Beberapa lamanya aku termenung tanpa tahu apa yang harusnya kuperbuat.
Mama masuk dan menatapku kebingungan. Beliau mendekat dan membelai punggungku. Aku terperanjat, rasa hangat yang menenangkan menyelusup ke seluruh tubuh.
“Kau butuh berlibur sepertinya, Nak,” Mama menyampaikan sedikit ide, yang kupikir ada benarnya. “Kau terlihat kacau.”
Mama tidak tahu permasalahanku, akan tetapi sebagai seorang Ibu, perasaan bahwa anaknya sedang dalam masalah pastilah dirasakannya. Aku mengenyakkan tubuhku di kursi makan, seraya menggenggam tangan Mama, menatapnya, lantas mengembuskan napas berat.
“Bicaralah, Nak. Setidaknya, bebanmu akan sedikit terurai.”
Aku menimbang-nimbang antara harus mengatakannya atau tidak. Selepas mengembuskan napas untuk kali kedua, aku memutuskan untuk mengatakannya.
“Mama pernah kecewa?” tanyaku.
“Bukan hanya Mama. Semua orang,” jawabnya.
“Maksudku kecewa karena terlalu berharap ... cinta. Intinya kecewa karena cinta.”
Mama memandangku dengan senyuman tersungging. “Sering, dan itu menyakitkan.”
Aku menceritakan semua detail kejadian yang kualami kemarin-kemarin. Aku menceritakan Dito, menceritakan kepergiannya yang tiba-tiba, kemunculannya kembali yang tiba-tiba, hingga menceritakan Andro, juga Andari.
Sepanjang aku menceritakan kedekatanku dengan dua lelaki itu, Mama hanya mengangguk-angguk saja tanpa mau memberi komentar. Aku berharap Mama mau memberikan saran akan apa yang harus kulakukan ke depannya.
“Kau sangat mencintai Dito?”
“Dalam waktu sebelum dia menghilang, iya, dan tidak saat dia tidak memberiku sedikit kabar, lantas iya kembali, ketika dirinya tiba-tiba muncul kembali dan berjanji,” tegasku.
“Kau pun mencintai Andro, Nak?”
“Mulanya tidak ketika pikiranku masih tertuju pada Dito, hingga suatu ketika aku merasa mulai menyukainya. Andro pun demikian, menyukaiku, dan mengatakannya dengan begitu terus terang. Aku kala itu masih terlalu mengharapkan kehadiran Dito hanya mampu menganggapnya teman. Ketika aku memantapkan diri bahwa menunggu Dito adalah kesia-siaan, lantas memutuskan untuk menerima cinta Andro, nyatanya sudah terlambat. Andro sudah menambatkan hati kepada Andari. Aku kecewa. Walau sebenarnya salah bila aku kecewa, bukankah aku yang sudah mengecewakannya?”
Air mataku mengalir deras. Mama memelukku dengan begitu erat.
“Bila Dito memang benar-benar mencintaimu, dia akan datang menemuimu. Percayalah pada Mama.” Mama mencoba menghiburku. Aku berharap itu terjadi, agar kekecewaanku tidak berkali lipat.
“Bila tidak?” Ini yang kubenci. Bila Dito tidak muncul, apa yang kiranya bisa kulakukan?
“Dito-mu pasti kembali. Mama tahu Dito.”
Suasana menjadi hening. Mama membelai rambutku dengan begitu lembut. Sementara aku, terjebak dalam pikiranku sendiri.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices