dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
194
Votes
1
Parts
15
Vote
by Titikoma

1. Warna Di Sarijadi

Koridor apartemen sudah sepi saat kaki ini melangkah menuju kamar di lantai 8. Lokasinya berdekatan dengan Kampus Maranatha. Interior dinding berwarna gradasi dengan motif mural serta karpet memanjang dengan warna senada akan membuat kagum siapapun yang menyengaja berkunjung, sehingga menggugah rasa untuk sekedar mengambil foto dan mengabadikannya di setiap status media sosial mereka. Kesan ramah dan hangat yang ditampakkan nyatanya tidak selaras dengan yang dirasakan. Tidak terdengar suara apapun untuk sekedar menemani ayunan kaki menuju ruangan di sebelah kanan ujung koridor.
Senyap. Kadang pikiran ini usil menelisik apakah hanya aku saja yang tinggal di sini? Atau memang mereka, para tetangga, terlalu lelah untuk sekedar menyapa layaknya aktivitas sosial umumnya? Imajinasi pertanyaan yang memenuhi ruang pikiran ini sengaja kulakukan sebagai penghiburan atas rasa sepi setiap melewati lorong ini. Setiap hari.
Aroma lavender menyeruak seketika setelah kubuka pintu kamar. Aroma kesukaanku sedari kecil. Kubuka sepatu yang membungkus jari-jari kaki dan disimpan rapi berjajar dengan koleksi sepatu lainnya di rak kanan pojok belakang pintu. Jaket tebal segera kulepas dan membiarkannya tergantung tak jauh dari tempat penyimpanan sepatu. Kulempar sembarang tas kerjaku karena ingin secepat mungkin menuju kamar mandi, tak kuat menahan dinginnya air hujan yang terperangkap membasahi baju dan membuat suhu badan sedikit hangat. Aku tidak boleh sakit. Setumpuk kerjaan menanti dan tidak memberi ruang sediktpun bagi tubuh ini untuk sakit.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam, tepat 30 menit sejak selesai mandi dan berganti baju, bersamaan dengan laptop yang kubiarkan terbuka melihat beberapa daftar revisi pekerjaan agar rapat besok lancar. Bersebelahan dengan laptop di kanan, secangkir cokelat hangat dan kudapan yang kukeluarkan dari kulkas berhasil membuat mataku betah terdiam mengoreksi hasil pekerjaan teman kerja satu divisi yang sudah terkumpul. Kurebahkan sedikit badanku mencoba mengambil jeda agar energi terkumpul, yang nantinya dilanjut dengan pekerjaan yang mengambil porsi waktu berkumpul dengan teman masa kecil dan keluarga tersita cukup banyak.
***
Ruangan rapat kantor sudah terisi oleh tim. Hari ini adalah rapat koordinasi pematangan konsep tata letak dan konten majalah dari model sampai koleksi yang akan menghiasi setiap halamannya selama satu bulan penuh. Seperti biasa, rapat dimulai dengan pembukaan poin bahasan yang diawali oleh asistenku, Winda.
Entah kenapa aku menyukai pekerjaan ini sebagai editor-in-chief majalah lifestyle di daerah Burangrang, Bandung. Atau karena aku gila kerja? Aku begitu senang merelakan diri bekerja melebihi batas waktu sampai tak sempat bersosialisasi dengan teman di luar kantor, sehingga tak terasa teman yang kupunya hanya mereka yang berada satu tim denganku. Mungkin ini siklus kerja yang tidak sehat menurut sebagian orang lain. Namun apalah artinya pendapat orang jika kita merasa nyaman akan hal itu? Toh, kita yang menjalani hidup, kan?
Rapat dibuka dengan hasil revisi yang sudah kukerjakan tadi malam berikut menjelaskan harapan yang ingin dicapai. Setelah setiap divisi mengerti apa yang harus dilakukan, bahasan rapat mulai masuk dengan presentasi mulai dari calon model sampai riset tempat wisata yang sedang hits. Alasan pemilihan didasarkan sesuai dengan konsep majalah: Urban Insight. Rapat berjalan efektif dan menghasilkan banyak materi penting. Beruntung asistenku bisa menuliskan semua hasil rapat dengan cermat. Setelah tiga jam diskusi–lebih cepat dari perkiraan, kami semua bernapas lega dan bersiap untuk mengerjakan konten sesuai deadline yang ditentukan.
“Eh guys, jangan bubar dulu. Aku mau kasih pengumuman nih,” ujar Winda yang sontak berhasil mengalihkan pandangan kami. Maklum, dia termasuk orang yang hemat berkomentar dan terkadang kami iseng ingin tahu apakah sebetulnya dia bisa bicara atau sekedar menjaga pencitraan.
“Pengumuman apaan?” Deni menimpal diikuti dengan sorotan mata tajam kepada Winda.
“Gini…” Winda menghela napas dan memegangi tangannya yang gugup, “April ini aku mau nikah, semuanya datang ya,” ucapnya sumringah lebar.
Ruang rapat mendadak senyap. Hening. Kami semua kaget tak percaya. Selama Winda bekerja, tak satu menit pun dia menceritakan kehidupan asmaranya. Tidak ada lelaki yang memberikan tumpangan saat berangkat dan pulang kerja. Nama lelaki yang muncul di setiap panggilan masuk ponsel hanya ayahnya saja. Dia menutup rapat perihal kehidupan pribadinya. Namun kuakui, secara emosi Winda sangat dewasa dan cerdas, meski usianya lima tahun lebih muda dariku.
Tak mau menunggu lama aku langsung mendekatinya, “Selamat ya, ikut berbahagia,” balasku memeluk Winda dengan hangat dan diikuti teman lainnya yang masih tidak percaya. Di satu sisi kami harus membereskan beberapa pekerjaan, namun pengumuman pernikahan Winda tidak bisa dilewatkan tanpa ada perayaan sama sekali. Jadi kami memutuskan untuk makan bersama di salah satu tempat makan selepas pulang kerja.
Ini berarti, tinggal aku saja yang belum menikah.
***
“Jadinya mau pesan apa?? tanyaku pada Winda yang sibuk membolak-balik menu makanan selama tiga menit tanpa bersuara.
Tadi sore Deni, teman satu divisi kami, memesan tempat di Belle Vue, resto yang berada di hotel bintang lima tempat syuting video Syahrini di Bandung. Deni memang selalu tahu tempat asyik untuk berkumpul bersama. Kami berangkat ke sana selepas pulang kerja. Kepenatan dan tingkat stres yang tinggi karena deadline semakin dekat memang cocok dibayar dengan pemandangan dan suasana luar biasa yang ditawarkan di sini. Kami lebih memilih tempat makan di area outdoor, dan untuk ke sana harus melewati lorong kecil yang di atasnya bergantung lampu hias eksotis serta kaca di kiri kanan yang dihiasi dengan bebungaan tanaman anggur asli. Resto ini hanya menyediakan menu Eropa, dan itu yang membuat Winda bingung karena setelah dia lihat komposisi bahannya, sebagian besar dicampur dengan anggur merah. Red Wine.
“Gimana, sudah ketemu mau pilih menu apa?” tanyaku pada Winda. Pelayan sedari tadi menunggu kami di samping meja bersiap mencatatkan pesanan. “Atau mau dipesankan menu yang sama biar gak ribet?” tanyaku lagi. Sengaja kulakukan agar pelayan tidak semakin lama menunggu.
“Iya deh, buat sama saja,” akhirnya Winda memutuskan.
Tanpa berlama-lama aku langsung menutup buku menu seraya menghadapkan wajahku ke pelayan, tanda sudah siap memesan.
“Mas, saya pesan Grilled Steak Sandwich dua, Dessert-nya Opera Cake dan Trifle Sundae. Untuk minumnya Black Forest Latte satu, terus…” aku mencoba mengingat minuman apa yang kira-kira akan aman untuk Winda minum, tapi gagal, “Kamu mau minum apa, Win?” tanyaku.
“Ginger Ale saja, Mbak” jawabnya
“Iya, Ginger Ale satu ya, Mas,” ucapku. Pelayan mencatat pesanan dengan sigap dan mengulangi sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah semua pesanan benar, maka pelayan tersebut undur diri dan sejenak kami menikmati pemandangan Bandung serta kolam renang indah di bawah resto tersebut. Teman-teman lainnya begitu sibuk dengan makanan dan berfoto ria mengabadikan setiap momen kebersamaan. Pemandangan Bandung dan Lembang malam hari yang gemerlap bisa kami lihat dengan jelas. Suasana romantis namun tetap glamor ini selalu ramai. Pelayanan yang serba cepat dan interior dinding yang memiliki konsep senada dengan hotelnya membuat kami merasa ada di Eropa. Angin malam berhembus pelan menyibak setiap helai rambut dan nyala lilin kecil membuat suasana semakin syahdu.
“Jadi… dia siapa?” tanyaku pada Winda.
“Dia? Maksudnya, Mbak?” jawab Winda sedikit tidak mengerti.
“Itu… calon pasangan kamu,” jelasku.
“Oh itu…” lengkungan senyum Winda merekah tanpa diberi aba-aba. Ada rasa senang terpancar jelas dari rona mukanya serta perasaan lega seolah telah menemukan kepingan berharga yang telah lama hilang,
“Dia temannya temanku.”
“Sudah kenal lama?”
“Baru satu bulan, Mbak,” senyum itu lagi-lagi mengembang persis sama seperti sebelumnya.
“Satu Bulan? Serius?” aku kaget mendengar pernyataan Winda. Bagaimana bisa ikatan rasa terjalin erat begitu mudah dalam waktu singkat d isaat semuanya samar dan cenderung menjanjikan ketidakpastian?
“Iya.”
“Dan kamu langsung memutuskan menikah?”
“Iya.”
“Bagaimana bisa?” aku masih tidak percaya.
“Bagaimana bisa apanya, Mbak?” dia balik bertanya. Hubungan kami begitu dekat dan hanya dia saja satu-satunya staf kantor yang aku izinkan untuk memanggilku dengan sebutan ‘Mbak’.
“Ya maksudnya…” aku diam sejenak berpikir mencari kata-kata yang tepat, “Bagaimana bisa kamu menganggap dia akan menjadi penyempurna saat semuanya masih sementara?” aku termasuk tipe wanita yang sulit untuk menaruh hati hanya karena ikatan rasa yang berjarak hitungan bulan, sehingga tidak mudah percaya begitu saja jika mendengar seseorang menikah meski baru saling mengenal belum lama.
“Mbak…” dia menatap wajahku, “Di dunia ini ada beberapa hal yang kadang kita tidak bisa duga dan perhitungkan. Jodoh misalnya, meski bertemu singkat namun entah kenapa kita bisa merasa cocok satu sama lain dan yakin dialah orang yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Di atas segala rasionalitas yang berlaku, hati tetaplah hati, memilih yang diinginkan tanpa alasan.”
Hening. Winda ada benarnya juga. Tidak semua hal dipilih berdasarkan nalar. Aku lupa itu.
“Yakin dia yang terbaik?” tanyaku masih penasaran.
“Winda memang belum tahu apa dia adalah yang terbaik. Yang Winda tahu, kami berjanji akan membaik bersama dan saling melengkapi dalam ikatan pasti,” jawabnya mantap masih dengan senyum mengembang pertanda bahagia, karena sebentar lagi hidupnya akan dibersamai seseorang yang dia sayang.
Aku menerawang sekeliling ruangan, menghamburkan beberapa detik dengan sia-sia karena tidak tahu apa lagi yang harus kubicarakan dengan Winda. Pernikahan bagiku adalah hal yang sakral. Aku tidak mau mengambil risiko mempertaruhkan masa depanku kepada lelaki yang bahkan belum jelas sifat dan pemikirannya. Dalam pikiranku, menjalin hubungan tidak semudah seperti membuat janji rapat lalu lima menit kemudian dibatalkan tanpa pemberitahuan. Menggenap haruslah untuk selamanya. Once in a lifetime.
Terkadang ada perasaan iri melihat mereka yang sudah berkeluarga. Iri karena mereka bisa menemukan orang yang tepat dalam waktu singkat untuk hidup bersama dan terlihat tidak ada masalah. Menjalani hari-hari bersama dengan seseorang yang baru saja dikenal namun saling kompak seakan mereka sudah mengalami masa sulit berpuluh tahun lamanya. Melihat mereka, membuatku teringat seseorang di waktu dulu–dia yang berjanji akan menjadikanku separuh jiwanya. Namun entah hingga kini bahkan secuil kabarnya pun aku tidak tahu. Hey kamu yang nun jauh di sana, masihkah mengingatku?
“Mbak…”
Aku kaget. Winda membuyarkan momen heningku.
“Iya… apa, Win?” aku mencoba menanggapi dan mulai memusatkan konsentrasi menghadapi pertanyaan yang datang.
“Kok diam? Ada yang lagi dipikirin ya?” tanyanya menggoda.
“Ah enggak kok, gak ada apa-apa,” jawabku dengan senyum kecil.
“Mbak, Winda nanya boleh?” ujarnya.
“Iya boleh. Mau tanya apa?”
“Tipe pria idaman Mbak yang kayak gimana sih?” tanyanya dengan kerlingan mata seolah siap menyerap informasi berharga, “Mbak gak pernah sekalipun curhat tentang lelaki. Apa tidak ada pria yang Mbak suka?”
“Tipe pria idaman…?” aku berpikir sejenak, “Pastinya yang sayang, setia dan baik,” senyumku bercanda.
“Terus, pria idamannya udah ketemu?” tanyanya masih penasaran.
“Belum.”
“Belum ketemu atau belum mau dipertemukan?”
“Kamu bisa aja, Win,” aku sedikit tertawa, “Mbak masih mau fokus karier, jadi belum terlalu memikirkan masalah pernikahan.”
“Karier? Mau sampai kapan Mbak? Emang gak ngerasa sepi gitu, Mbak?” tanyanya. “Maaf ya Mbak kalau Winda banyak tanya,” senyumnya canggung seolah merasa bersalah karena menanyakan sesuatu yang begitu pribadi.
“Kenapa harus minta maaf? Kamu gak salah kok,” aku mencoba tersenyum mencairkan suasana, menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, “Mbak akan fokus karier sampai semua impian tercapai, jadi Mbak terlalu sibuk untuk merasa sepi,” paparku dengan posisi tubuh tegap agar Winda melihatku sebagai wanita kuat yang tidak pernah merasakan hampa.
Winda tersenyum mendengarkan jawabanku, “Semoga Mbak dipertemukan dengan jodoh yang baik dan mencintai Mbak apa adanya.”
Bibirku melengkungkan garis senyum mengamini doa Winda. Tak lama berselang datanglah pelayan menghampiri dan menyajikan makanan yang dipesan. Kami menyantap hidangan yang tersedia dengan lahap.
***
“Den, mobil kamu yang bawa ya,” ucapku.
“Siap, Tuan Putri,” ujarnya menggoda.
“Dasar,” jawabku kesal namun tetap tersenyum. Aku tahu dia hanya bercanda.
Kami semua pulang larut malam dari Belle Vue. Sebenarnya Deni membawa mobil sendiri, tapi harus dipinjamkan pada Arga dan Miko untuk kebutuhan pekerjaan. Deni meminta agar bisa pulang menggunakan mobilku karena jalur rumahnya melewati apartemenku. Aku menyetujui dengan syarat dia yang mengendarai mobil karena badanku lelah, sementara banyak dokumen yang harus kuperiksa besok. Aku duduk di samping Deni, lengkap dengan memakai sabuk pengaman. Kami berdua bersahabat baik di tempat kerja. Bagiku, Deni adalah teman yang asyik, ceria. Meski terkadang konyol, namun bisa diandalkan.
Kondisi jalan agak lengang dibanding sebelumnya. Maklum, sudah jam 10 malam. Untuk memecah keheningan, aku memutar beberapa daftar lagu yang biasa dimainkan saat mengendarai mobil. Deni hanya diam menyetir tidak memprotes lagu-lagu bertemakan galau dengan nada lambat yang menemani perjalanan pulang kami.
“Dara…” panggilnya.
“Apa, Den?” ucapku. Usia kami tidak terpaut jauh, hanya berjarak beberapa bulan saja. Bedanya Deni sudah menikah dan memiliki seorang putri lucu, sedangkan aku masih lajang.
“Winda udah mau nikah tuh,” ujarnya seketika dengan mata tetap memperhatikan arus jalan.
“Terus?” jawabku heran sambil menatap Deni yang masih asyik berkonsentrasi menyetir mobil.
“Lo kapan nyusul?” ujarnya datar.
Den, aku lelah dengan pertanyaan jenis ini.
“Bahas yang lain aja ya,” aku rebahkan punggungku pada badan jok dan melihat pemandangan jalan melalui jendela mobil yang semakin sepi dari lalu lalang orang.
“Mau bahas apaan emang? Kerjaan?”
“Ya apalah, pokoknya jangan bahas itu.”
“Itu apaan?” tanyanya usil.
“Denii…!!” aku melirik ke arah Deni dengan tatapan tajam. Kesal karena dia berlagak pura-pura tidak tahu kalau aku sudah tidak mau membahas masalah ‘kapan aku menikah’. Tapi nampaknya Deni senang menjahiliku. Dia tersenyum kecil sembari terus melajukan mobil.
Mobil makin melesat sampai daerah Terusan Pasirkaliki. Hotel dan tempat makan dipadati oleh pengunjung. Semakin malam kawasan ini semakin hidup. Maklum, jalan ini adalah rute menuju tol ke arah Jakarta. Selama di Terusan Pasirkaliki, jalan lumayan lancar karena sebagian besar lainnya terparkir manis di restoran dan hotel sepanjang jalan. Saat akan melintasi perempatan Sarijadi, lampu lalu lintas berubah merah, pertanda harus berhenti. Deni menggunakan rem tangan mobil dan merebahkan punggungnya yang pegal agar tidak terlalu kaku.
“Dara…” Deni menatapku tiba-tiba dengan mimik muka serius, “Gue tahu…”
“Tahu apa?” jawabku datar sambil menoleh balik.
“Lo sebenarnya bukan gak mau menikah. Fokus karier hanya alasan lo agar mereka berhenti bertanya kenapa lo masih sendiri. Lo pengen nikah tapi lo nunggu seseorang. Lo nunggu dia.”
Aku terperanjat mendengar kata-kata Deni. Aku perhatikan erat perubahan mukanya yang tajam menatap menduga. Deni menangkap reaksiku. Deni seolah tahu jelas semua hal yang kusimpan rapat. Tentang dia.
“Sampai kapan menunggu seseorang? Mencoba setia padahal kamu punya pilihan bahagia dengan orang lain,” masih dengan wajah menatap lekat padaku.
Aku terdiam. Lidahku mendadak kelu tak menemukan kata-kata tepat untuk menjawab semua yang Deni bicarakan. Aku menatap lekat wajahnya, kemudian kuhamburkan wajahku menghadap kaca mobil. Berusaha agar dia tidak menangkap rona wajahku yang mulai memerah. Deni pandai menganalisa seseorang. Dia bisa tahu jika seseorang sedang dalam masalah atau ada yang tidak beres, meski yang bersangkutan tidak pernah menceritakan kisah lengkapnya. Termasuk aku. Aku tidak pernah menceritakan detail masalah asmara kepada Deni, selama ini yang Deni tahu hanyalah aku masih sendiri, cuek pada pria dan gila kerja.
“Sampai waktu itu datang, gue tetap nunggu,” ucapku lirih.
Deni pun kembali mengalihkan pandangannya ke kaca depan mobil. “Jika dia tidak pernah datang?”
“Dia akan datang,” jawabku bersikeras.
“Seberapa yakin untuk tahu dialah yang buat lo utuh?” tanya Deni.
“Deni...” ujarku memelas dengan harapan Deni menghentikan obrolan.
“Lo masih gak mau bahas ini?”
Aku terdiam. Jawaban apa yang kamu mau, Den?
“Jika dia benar mencintaimu, dia tak akan membuatmu menunggu begitu lama dan membiarkanmu dalam ketidakpastian. Wanita sukses sepertimu layak mendapatkan cinta yang hebat,” Deni terus berbicara, tapi kali ini dalam kalimat formal. Jika sudah seperti itu, berarti Deni sedang tidak main-main dan serius menasihatiku.
Telingaku sudah kenyang mendengar hal serupa dan hatiku lelah menjawab setiap pertanyaan sembari menahan kesedihan yang datang setelahnya.
“Den, gue capek. Gue gak mau bahas apapun,” jawabku datar.
“Oke,” dia menangkap reaksiku yang menolak untuk berbicara lebih jauh, “Maaf kalau gue bikin lo gak nyaman. Gue gak mau lihat lo lewatin begitu banyak kesempatan, sedang lo punya pilihan untuk mendapatkannya. Well, I wish the best for you, my dear.”
“Thanks, Den,” jawabku.
Dan percakapan itu selesai tak lama berselang saat lampu lalu lintas berubah hijau. Deni mulai menekan pedal gas agar mobil bergerak dan secepatnya mengantarku sampai apartemen. Dengan aman sampai lobi depan.
***
Kugerakkan handukku yang masih melingkar di kepala agar bilasan rambut basah sehabis keramas cepat kering dan tidak membasahi bantal saat tidur nanti. Sekitar lima belas menit berselang, aku memulai rutinitas malam–membersihkan wajah dan melakukan perawatan rutin dengan krim yang kubeli agar tidak ada jerawat bersarang. Kulakukan semuanya tahap demi tahap–dibersihkan dengan toner, lalu serum setelahnya, tak lupa krim mata dan pelembap bibir, dilanjut dengan krim malam. Setelah semuanya selesai dilakukan, kutaruh krim malam di meja rias sebelah kanan pojok berdekatan dengan jajaran pemoles bibir beraneka warna. Sepersekian detik saat menaruh krim malam, mataku melirik benda di belakangnya dan segera mengambilnya.
Kotak hadiah berukuran sedang perpaduan warna biru–merah muda serta hiasan pita di kanan atas. Bagian permukaannya sedikit berdebu karena terabaikan dari pandangan untuk kurun waktu yang lama. Benda yang sudah lama ingin kubuang, namun tak bisa. Kutatap lamat-lamat benda ini beserta memori silam yang otomatis berputar di pikiranku, seakan ingin memberitahukan bahwa masih ada momen kejadian yang harus kuingat dan tidak boleh dilupakan. Saat kubuka perlahan dan melihat isi di dalamnya, ada rasa dingin yang menusuk dalam dada. Dingin yang teramat sangat sampai aku tak mau melihat siapapun. Dingin yang teramat sangat sampai aku pun tak tahu harus bagaimana untuk mencairkannya.
Foto, cincin dan surat dengan kertas berwarna cokelat muda masih tersimpan rapi. Kulihat satu per satu. Cincin emas dengan bulatan indah dan ukiran batu permata di tengahnya serta nama yang tersemat pada bagian dalam. Namamu dan namaku diukir sejajar meski dipisahkan beberapa jarak dengan simbol hati simetris. Kemudian mataku beralih pada sepucuk surat kecil dengan isi yang ditulis oleh coretan tanganmu. Tentangmu, tentangku, dan tentang kita untuk dua tahun yang akan datang. Kata tiap kata yang kubaca dengan lirih meski sebenarnya aku sudah hafal. Dari alinea pertama sampai yang terakhir. Dan terakhir, fotomu. Tipe wajah dengan rahang tegas dan kulit putih bersih. Alis hitam lebat dan mata berwarna cokelat muda menyiratkan sendu, namun penuh harap di saat yang sama.
Hidung mancung khas keturunan ningrat. Bibir tipis merah jambu, itu karena seumur hidupmu tidak pernah merokok. Wajah yang membuatku menolak setiap lamaran yang datang tapi yang membuatku mempertanyakan alasan bertahan setelah sekian lama. Wajah yang membuatku merasakan kesakitan. Sakit dengan kenangan indah. Sakit dengan kenangan pahit. Sakit karena akulah orang yang harus mengalaminya. Sakit karena semua kenangan itu tak mau beranjak pergi. Sakit karena aku harus menghadapinya seorang diri tanpa siapapun tahu. Sakit karena aku sadar sesak ini sudah begitu menghimpit. Aku sakit. Sakit karenamu.
Hai, kau. Bagaimana kabarmu? Bagaimana segalanya? Adakah rasa itu masih tertinggal dan berkesan sama atau sudah tergantikan? Bolehkah jika aku melupakanmu dan melanjutkan hidupku dengan menemukan separuhku yang lain?
Tak terasa pipiku basah karena bulir tangisan turun menetes jatuh dari bola mata dan berhenti tepat pada gambar wajahmu. Winda benar, aku kesepian.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices