dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
191
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

4. Kamu Diwaktu Itu (2)

Aku tidak ingat persis bagaimana aku tidur lelap. Yang kutahu kemarin malam aku menangis sangat lama di depan dia. Hanya itu saja. Kemudian aku terbangun dengan badan tertutupi selimut dan barang lainnya tersimpan di meja.
Tak ada jejaknya di ruangan ini saat aku terbangun. Benarlah, dia pindah kamar. Aku mencoba mengumpulkan tenaga dan mendekati meja. Kubuka tas dan meraih ponsel memeriksa pesan yang masuk. Deni mengirim pesan berkabar bahwa rapat hari ini diganti besok karena materi artikel tidak cukup matang untuk dibawakan dalam rapat. Harus dirubah dan tentunya memakan waktu lama. Deni sangat teliti dan perfeksionis dalam bekerja. Dia tidak mau ada secuil pun kesalahan dalam pengerjaan setiap halaman majalahnya.
Aku lega membaca pesannya. Aku tidak usah masuk kantor. Ini berarti aku punya banyak waktu luang untuk memulihkan diri. Memperbaiki suasana hati dan pikiran yang sempat kacau kemarin. Entah dengan istirahat di kamar, pulang ke apartemen, atau jalan-jalan. Sehari penuh.
Aku membuka daftar panggilan keluar dan mencari nomor Dita, sahabatku. Kami bekerja di perusahaan yang sama. Dia bagian Public Relation Manager. Aku bagian Editor-In-Chief. Dita lebih sering harus masuk kantor. Stafnya akhir-akhir ini kurang fokus dan membuat beberapa kesalahan yang lumayan berat. Sedang aku? Bahkan kalaupun tidak masuk seminggu, Direktur tidak akan keberatan. Beban pekerjaanku bukan lagi mengerjakan sesuatu yang bersifat teknis. Tidak mengharuskanku absen ke kantor.
“Halo, Dita…” ujarku.
“Dara, ya ampun kamu di mana ? Kok gak masuk kantor sih? Kamu sakit?”
“Aduh banyak banget pertanyaannya. Harus jawab yang mana dulu?”
“Yang pertama tadi.”
“Yang mana?”
“Kamu di mana?’ Itu.”
“Anggrek Shopping Hotel.”
“Hah?! Kok di hotel?!”
“Ceritanya panjang. Pulang kerja ketemuan yuk, aku cerita segalanya.”
“Oke, terus yang kedua, kenapa gak masuk kantor?”
“Tadi pagi Deni sms minta reschedule meeting, jadi aku gak ke kantor.”
“Iya sih, aku juga dapet sms dari Deni. Lagian bos mah bebas, masuk gak masuk kantor gak masalah.”
“Hahaha… ada-ada aja. Di kantor sampai jam berapa, Dit?”
“Sampai jam 2. Hari ini supervisi staf follow up talent buat shoot minggu depan.”
“Oke deh kalau gitu. Good luck ya.”
“Sip…. Eh, pertanyaan yang ketiga belum dijawab.”
“Apaan?”
“Kamu sakit?”
“Gak tahu, antara iya dan tidak.”
“Dih, gak jelas jawabnya. Yang bener yang mana? Sakit atau enggak?!”
“Tau ah, ketemuan dulu aja pokoknya. Nanti kamu baru tahu aku sakit atau enggak.”
“Okelah. Aku telepon kalau kerjaan udah beres.”
“Sip” ucapku sembari memutus percakapan.
Aku menyimpan ponselku di meja kecil bersebelahan dengan kasur. Dita dan aku bekerja profesional. Di luar pekerjaan kami adalah sahabat. Bebas berbicara informal. Di dalam pekerjaan, kami saling memanggil dengan sapaan “Ibu” sebagai penghormatan dan bicara dengan bahasa baku.
Setelah selesai menyimpan ponsel, aku memeriksa rak mencoba menemukan handuk. Aku ingin mandi. Menyambut hari dengan badan yang bersih mungkin akan membuat hatiku cerah kembali. Kubuka dan kulihat ada dua jenis handuk yang belum terpakai, satu handuk panjang berukuran lebar dan satu lagi berbentuk kimono. Kuambil keduanya dan langsung menuju kamar mandi.
Hanya butuh waktu lima belas menit sampai aku keluar kamar mandi. Aku merasa lebih fresh. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku berjalan beberapa langkah menuju kaca dan meja rias yang masih satu ruangan dengan area kamar mandi. Terlihat mataku yang bengkak sehabis menangis dan pergelangan tangan sedikit memar di kaca. Aku berusaha menghibur diri dengan tersenyum pada cermin dan berkata–Adara Qorina Haris, everything is ok. Anggap semua tidak pernah terjadi. Kamu akan terlihat ceria. Seperti biasanya.
Lumayan. Aku termotivasi.
Kupakai baju yang sama dengan hari kemarin. Kukeringkan rambutku dengan hair dryer milik hotel. Setelah itu aku keluar dari kamar mandi. Kuambil tas dan mengeluarkan beberapa alat kecantikan. Lipstick, bedak, eyeliner adalah tiga hal yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Aku mulai merias wajahku. Menyamarkan mata bengkak akibat menangis semalam dengan sapuan kuas eyeliner. Membubuhkan bedak seperlunya dan mewarnai bibir dengan lipstick warna natural tipis-tipis. Aku tidak mau terlihat pucat. Terlebih seperti orang yang baru saja mengalami masalah berat.
Setelah selesai berdandan. Aku rapikan barang-barangku. Kusimpan kembali di tempatnya semula. Tak lama setelahnya, kurebahkan badan di pinggir ranjang yang juga sudah kurapikan. Sedikit mengendurkan otot yang tegang. Kubenamkan kepalaku pada bantal bulu angsa. Kunyalakan TV dan memilih program channel luar negeri. Kutonton tayangannya. Sambil melihat notifikasi pesan masuk di ponsel. Aku memilih acara hiburan. Semacam sitkom namun lebih ringan. Lumayan menghibur. Kadang jika iklan muncul, aku lebih memilih membalas beberapa chat teman di media sosial.
Tak terasa satu jam sudah aku menikmati tayangan acara yang disuguhkan. Suasana hatiku sudah pulih. Aku memilih untuk melupakan kejadian semalam. Memilih untuk tidak membiarkannya menghantuiku. Memilih untuk merelakannya dan mengambil hikmahnya. Memilih melawan semua rasa takut dan menjadi lebih kuat. Bukankah setiap orang selalu memiliki hari terburuknya dan masih bisa bangkit?
Tok Tok !
Aku menoleh. Bunyi itu berasal dari pintu. Ada yang mengetuk. Tapi, siapa?
Bergegas kumatikan TV. Kubetulkan tatanan rambut yang sedikit terurai acak. Kubuka tirai jendela dan membiarkan sinar matahari masuk. Aku berjalan ke arah pintu. Meraih batang pintu dan memutarnya sedikit bertenaga. Klik! suara kunci pintu terbuka. Kutarik pintu ke arah dalam untuk melihat siapa yang datang. Saat pintu terbuka sepenuhnya. Kulihat dia, berdiri didepan pintu. Menatapku.
Dia berpakaian rapi. Kaus polo shirt berwarna putih dipadu padan dengan blue jeans. Rambutnya tersisir rapi dengan belahan samping dan terlihat berkilau. Efek Pomade mungkin. Di pergelangan tangan kanan tersemat jam berwarna hitam dengan ukuran sedikit besar. Sedang tangan kirinya membawa tas belanja. Entah apa isinya.
“Hai,” sapanya sambil tersenyum. Canggung.
“Hai juga,” balasku. Dengan senyuman pula.
“Maaf ganggu, aku kira masih tidur makanya aku ketuk dulu pintunya.”
“Santai saja, gak ganggu kok.”
“Hmm…” dia terdiam sepersekian detik, ”Udah makan belum?” tanyanya tanpa basa-basi.
Ah iya, aku baru sadar belum makan dari tadi. Aku gelengkan kepala, “Belum… belum makan.”
“Mau makan bareng?”
“Iya, boleh.”
“Oke,” kemudian dia menyodorkan tas belanja yang sedari tadi bertengger manis di tangannya, “Ini… untuk kamu.”
Aku kaget, “Itu apa?” aku melihat ke arah tas tersebut.
“Aku pikir mungkin kamu butuh baju ganti. Jadi aku belikan satu pasang,” ujarnya dengan ekspresi kikuk.
Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Serba salah. Sekaligus terkesan. Aku mengambil tas belanjanya pelan. Melihat sekilas. Bajunya terbungkus plastik bening. Aku tersenyum padanya, “Terima kasih ya”, ucapku.
“Iya.”
Suasana kembali hening. Kami berdua diam. Salah tingkah. Entah harus bagaimana.
“Jadi…” tanyanya seolah sedang menunggu kepastian.
Aku berusaha menangkap maksudnya, “Jadi?” tanyaku balik.
“Tawaran makannya.”
“Oh…” aku terbelalak, “Iya. Aku ganti baju dulu kalau begitu.”
“Oke, aku tunggu di lobi ya.”
“Iya.”
Kami berdua tersenyum. Kemudian dia pamit pergi menuju lobi. Aku mengangguk mengiyakan. Dia kemudian berjalan ke arah lobi. Aku melihatnya sebentar kemudian menutup pintu dan masuk kamar. Aku letakkan tas belanjanya di kasur dan mengeluarkan isinya. Penasaran. Ternyata dia membeli jumpsuit warna peach polos dan bolero lengan pendek berwarna cokelat tua. Pilihan bagus. Kubentangkan bajunya. Pas dengan ukuran badan. Langsung kupakai dengan segera
. Khawatir dia menunggu lama. Seberesnya berganti pakaian, aku lipat baju sebelumnya dan dimasukkan dalam tas belanja. Aku menghadap cermin dan mematut diri. Bajunya membuatku tampak cerah. Kusisir kembali rambut panjangku dan membiarkannya tergerai bebas. Aku kemudian membawa tas belanja dan lainnya. Kuambil kartu pintu elektrik di meja. Berjalan sambil membuka pintu. Menuju lobi.
Sesampainya di lobi, aku melihat sekeliling mencoba mencarinya. Tak lama kemudian aku menemukannya sedang duduk dekat jendela dan sibuk melihat layar ponsel. Aku mendekat menghampiri sampai sudah berada di depannya. Dia tidak sadar dengan kehadiranku. Tatapannya masih tertuju pada ponsel.
“Terima kasih. Bajunya bagus, saya suka,” ucapku sengaja.
Sontak dia kaget. Tersadar dari kesibukannya. Kepalanya seketika mendongak menyadari bahwa aku sudah di depannya. Kami beradu pandang.
“Maaf...” dia tersenyum bersalah, “Tadi sedang balas chat dulu.”
“Gak apa-apa.”
“Ukuran bajunya tidak kekecilan kan?”
“Tidak. Pas.”
“Syukurlah kalau begitu,” dia berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang dibawa, “Yuk.”
Aku mengangguk pertanda setuju.
Dia berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang. Dia melangkah ke arah parkiran. Cuaca di luar cukup cerah. Tidak panas. Tidak juga mendung. Pas. Jarum jam menunjukkan angka sembilan saat aku melirik jam di pergelangan tangan kananku. Tak butuh berapa lama dia merogoh tasnya dan mengeluarkan kunci. Kunci mobil. Dia menekan tombol otomatis sehingga mobilnya tidak terkunci. Dia membuka pintu sebelah kiri mempersilakanku terlebih dulu. Aku masuk dan duduk sambil menyimpan barang di pangkuan. Setelah itu, dia menutup pintu dan berjalan melewati bagian depan dan masuk di sebelah kanan. Kami otomatis memasang sabuk pengaman.
“Makan di mana?” tanyanya sambil menghidupkan mesin Jazz putihnya.
“Yang dekat di sekitar sini saja.”
“Ada saran?”
“Maunya yang seperti apa?”
“Yang enak pastinya.”
“Hmmm…” aku berpikir mencari referensi tempat makan yang pernah dikunjungi, “Bober Café?”
“Enak?”
“Iya.”
“Tempatnya asyik?”
“Iya.”
“Pernah ke sana?”
“Iya”
“Oke.”
“Pernah ke sana juga, kan?”
“Belum.”
Aku heran mendengarnya, “Kok bisa?”
“Panjang ceritanya.”
“Panjang banget?”
“Iya.”
“Sepanjang apa?”
“Aku cerita kalau sudah sampai di sana.”
“Sip”
“So, would you direct me?”
“With Pleasure.”
Kami tersenyum sebentar. Dia mulai menjalankan mobilnya bergerak menuju jalan raya. Tidak ada rasa canggung. Semuanya mengalir. Aku memberitahu ke mana kendaraan harus berbelok. Dia mengikuti arahanku. Arus kendaraan hari ini tidak begitu padat. Relatif lancar. Selain itu, musik mengiringi sepanjang perjalanan. Musik pilihannya, sebagian besar playlist-nya adalah lagu kekinian. Tempo upbeat. Beberapa yang beraliran progressif. Ada di antara lagunya yang juga merupakan lagu kesukaanku. Sejauh ini aku melihat banyak kesamaan dengannya. Aku merasa senang. Sampai tak ingat peristiwa kemarin malam.
Tapi aku lupa. Ada peristiwa setelahnya yang akan mengendap dalam ingatan. Mengerak. Sulit untuk dihilangkan.
Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai di lokasi. Area parkir belum terlalu penuh. Dia memilih memarkirkan mobilnya di pinggir sebelah kanan. Setelah terparkir dengan benar, kami otomatis mencabut seatbelt masing-masing dan keluar bersamaan. Kami berjalan masuk dan melihat tempat duduk yang masih kosong. Ah, ternyata ada. Mataku menemukan spot yang lumayan bagus. Sebelah kanan pojok. Satu meja. Dua kursi. Dekat jendela. Pun dekat dengan panggung mini yang selalu dipakai untuk live performance. Segera kumenatapnya dan menunjukkan meja yang akan dipakai dengan telunjukku. Dia mengangguk pertanda setuju.
Aku langsung berjalan mengarah ke tempat tersebut. Dia mengikutiku dari belakang. Setelah sampai, kami mengambil posisi duduk masing-masing. Aku langsung mengangkat tangan berharap ada pramuniaga yang melihat. Hanya sebentar. Pramuniaga menghampiri meja kami. Diberikannya menu makanan kepada kami berdua. Lembar demi lembar dilihat untuk menentukan mana yang akan dipilih.
“Mas, saya pesan Cream Soup and French Bread. Minumnya Banana Greentea saja,” ucapku pada pramuniaga. Tangannya mencatat dengan cepat.
“Kalau Mas-nya pesan apa?”
“Hmmm…” dia berpikir sejenak, “Saya mau Chicken Honey Lemon. Minumnya Blacksot Vanilla ya,” katanya sambil menutup buku menu makanan.
“Baik,” pramuniaga melihat catatannya sejenak, “Saya ulangi lagi pesanannya. Makanannya Cream Soup and French Bread dan Chicken Honey Lemon. Minumnya Banana Greentea dan Blacksot Vanilla. Betul, Mbak?”
“Iya, betul,” jawabku
“Oke, ditunggu ya.”
“Iya, makasih ya Mas,” senyumku merespons perkataannya.
Pramuniaga tersenyum balik sambil berlalu membawa pesanan kami ke ruang dapur. Tinggallah kami berdua. Aku dan dia. Saling bertatap. Canggung. Entah basa-basi apa lagi yang akan dikeluarkan. Sekedar untuk mencairkan suasana.
“Ini pertama kalinya saya ke sini,” akunya memulai percakapan.
“Serius?”
“Iya.”
“Memang aslinya domisili mana?”
“Bandung.”
“Lha? Kok?”
“Jarang keluar.”
“Dipingit?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Karena pekerjaan.”
“Jarang libur?”
“Bisa dibilang seperti itu.”
“Kerja di mana?”
“Perusahan Manufacture. Bagian Mesin & Listrik. Masuk di jam kerja. Hanya saja kalau ada malfungsi atau mati mendadak saya harus ke kantor. Meski hari libur,” jawabnya panjang lebar, “Jadi ya begini, lama di kantor. kurang update.”
“Kasihan,” candaku
“Memang.”
“Hahahaha…” segan itu telah hilang. Berganti dengan akrab dan nyaman dalam waktu singkat. Seperti sahabat dekat.
“Memang tidak ada staf lain?”
“Ada, tapi mereka tidak mau yang lain.”
“Mereka?”
“Iya, mereka. Atasan.”
“Wow, anak emas kalau begitu.”
“Tidak se-emas itu, masih ada sedikit peraknya.”
“Hhahaha...”
“Kamu sendiri?” tanyanya.
“Saya bekerja di Perusahaan Cetak. Majalah tepatnya. Bagian Editor.”
“Editor?”
“Iya.”
“Bukannya Editor itu lebih sering menghabiskan waktu di kantor?”
“Terkecuali saya.”
“Hmmm…” gumamnya seraya berpikir, “Editor-In-Chief?”
Keningku mengerut, “Iya, benar. Tahu dari mana? Asal tebak?”
“Kebetulan punya teman yang profesinya sama denganmu. Pekerjaannya memang tidak mengharuskan untuk selalu ke kantor. Yang penting deadline terpenuhi. Jadi saat kamu bilang begitu, saya langsung ingat.”
“Hmmm, nice,” kataku, “Kamu sendiri? Bukannya ini jam kerja?”
“Ambil cuti tiga hari. Lumayan,” jawabnya, “Sekalian ada acara dengan teman juga.”
“Ooh, berarti sekarang hari pertama?”
“Nope, hari kedua.”
“Oke,” jawabku sambil menganggukkan kepala.
Dia tersenyum kecil kemudian mengulurkan tangannya, “Erik. Erik Pradana Rahadian.”
Aku lupa. Kami belum saling memperkenalkan diri.
Aku ulurkan tanganku. Menjabat tangannya, “Dara. Adara Qorina Haris.”
“Baiklah… Dara,” ucapnya membalas jabatan tanganku.
“Baiklah juga… Erik,” balasku.
Hari ini aku menikmati perbincangan dengannya. Yang baru kutahu namanya. Aneh memang. Aku belum pernah merasa se-enjoy dan selepas ini saat berbicara dengan pria. Dengan Deni sekalipun. Meski dia teman karibku.
Pramuniaga datang tak lama berselang. Sambil tersenyum, dia memindahkan makanan serta minuman dari baki ke meja. Kami mengucap terima kasih pada pramuniaga tersebut. Dia membalas kemudian berlalu meninggalkan kami. Lalu kami menyantap makanan dan minuman masing-masing. Selama makan, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Begitu fokus. Lapar tepatnya. Lahap melumat hidangan yang tersedia. Butuh waktu lima belas menit perpindahan dari piring saji ke perut masing-masing. Sehabisnya kudapan, kami langsung menyeruput sedikit minuman. Agar tenggorokan terbasahi. Tidak diteguk sekaligus. Sengaja. Mencoba memberi jeda pada lambung untuk mencerna terlebih dahulu.
Kami terdiam berdua. Mataku mulai melemparkan pandangan dengan bebas. Suasana dalam ruangan tidak begitu ramai. Berarti hawa udara lumayan memberikan kesejukan di saat terik panas di luar begitu menyengat. Saat aku masih melihat sekitar, tiba-tiba, Krek! Suara kamera ponsel berbunyi. Seketika aku sigap melirik siapa yang memotret. Ternyata dia, Erik. Kamera ponselnya tertuju pada pemandangan interior ruangan.
“Motret ruangan?” tanyaku.
“Iya.”
“Untuk?”
“Kenang-kenangan.”
Dahiku mengernyit, “Kenang-kenangan?”
“Iya. Sudah kebiasaan. Potret apapun selama pergi ke mana pun.”
“Dokumentasi?”
“Iya, begitulah. Pengusir jenuh saat kerja.”
“Efektif?”
“Lumayan. Kamu sendiri? Sering kayak gitu gak?”
“Enggak pernah.”
“Kenapa?”
“Nanti memorinya penuh. Mending diisi sama foto sendiri.”
“Foto selfie maksudnya?”
“Yes.”
“Narsis juga,hehe…”
“Lumayan. Jimat pengusir tikus.”
“Emang tikusnya kabur?”
“Enggak. Banyak yang datang malah.”
“Wah, hahahaha…” tawanya lepas. Sesaat setelahnya dia menatapku “Kamu humoris juga. Tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami hal buruk.”
Kepalaku membesar. Bukan apa-apa. Dipuji saat kita berhasil melewati hal mengerikan membuat dadaku sedikit berbangga. Senyumku makin mengembang, “Menyesali yang sudah lalu tidak akan merubah apapun. Jadi aku memilih untuk melupakan dan kembali bahagia.”
“Kamu benar. Selalu ada pilihan untuk setiap kejadian,” senyumnya mengamini ucapanku.
“Iya,” aku menyetujui pernyataannya, ”Oh iya, ada yang belum aku paham.”
“Apa?”
“Bagaimana kamu bisa tahu aku dalam bahaya? Maksudku, jalanan kemarin malam begitu sepi. Aku sendiri pesimis ada orang yang lewat.”
“Well, sebenarnya malam itu aku sudah kembali ke kamar hotel. Namun sesampainya di sana, aku lupa. Ada barangku yang tertinggal di tempat makan. Terpaksa aku keluar lagi. Ketika setengah jalan, aku dengar teriakan. Kupikir ada yang tidak beres. Sontak aku mencari asal suara. Dari situ baru aku sadar ada yang sedang dalam bahaya. Tanpa pikir panjang tinjuku langsung melayang dan kelanjutannya… kamu tahu sendiri,” jelasnya panjang lebar.
“Hmmm…” ujarku mencermati perkataannya, “Terima kasih,” aku tersenyum.
“Terima kasih? Untuk apa?”
“Untuk menolongku.”
“No need to say thanks.”
“Bukan. Bukan berterima kasih padamu.”
“Lantas?”
“Aku berterima kasih pada barangmu yang tertinggal.”
“Maksudnya?”
“Ya… andai saja barangnya tidak tertinggal dan kamu tetap diam di hotel, mungkin aku sudah masuk headline berita sebagai korban perkosaan.”
“Everything happened for a reason, Dara.”
Aku mengangguk mengiyakan. Benar kata Erik, tidak ada yang kebetulan. Kita tidak pernah tahu ke mana takdir akan membawa kita. Aku menatapnya seraya tersenyum, “Terima kasih,”
Keningnya mengernyit, Dia heran, “Untuk barangku yang ketinggalan?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Untukmu. Terima kasih sudah menolongku.”
Kedua alisnya terangkat seakan tak percaya mendengar ucapanku. Setelahnya kemudian dia condongkan badannya lurus. Didekatkan wajahnya kepadaku. Aku sedikit kaget. Kepalaku sedikit mundur. Khawatir beradu. Pandangan kami saling bertemu untuk beberapa lama. Matanya yang berwarna cokelat muda membuatku tertegun. Aku menahan napasku. Dia menatapku lama tanpa sepatah katapun. Ada yang ia cari. Aku bisa merasakannya.
“Cukup dengan terima kasih?” masih dengan menatapku.
“Terus? Maunya apa?”
“Lebih dari itu.”
“Maksudnya?”
“You owe me.”
Apa? Utang? Gak salah dengar? Ini orang kok jadi pamrih gini ya!?
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices