by Titikoma
3. Kamu Di Waktu Itu (1)
2013, XXI Bandung Indah Plaza
Jam di tangan menunjukkan pukul 20.15 WIB saat aku berdiri di baris antrean tiket untuk menonton film yang sedang menjadi perbincangan ramai di berbagai ulasan linimasa. Film yang diadaptasi dari novel karya Buya Hamka ini diperankan oleh Herjunot Ali, Reza Rahadian dan Pevita Pearce. Ceritanya mengangkat kisah percintaan dengan latar belakang Minangkabau yang kental dengan polemik hierarki adat dan garis keturunan. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Berdasarkan ulasan yang kubaca, pembuatan kapal untuk kebutuhan syuting dibuat oleh perusahaan yang memproduksi kapal Van Der Wijck itu sendiri. Setiap detail kapal beserta interior di dalamnya dibuat sama persis dengan aslinya. Itu yang membuatku tertarik ingin menontonnya.
Aku sengaja memilih menonton di jam malam karena tidak mau terganggu dengan hiruk pikuk orang yang ramai. Di samping itu juga karena rapat kantor selalu beres malam. Maklum, ada revisi besar-besaran perihal dana pemotretan dan lainnya. Namun tak dinyana, di jam tersebut masih banyak orang yang berniat menonton film serupa.
Awalnya jarakku dengan loket tiket hanya sejauh sepuluh orang saja. Tak berapa lama antrean depanku tersisa tiga orang, namun memakan waktu lama karena ternyata staf loket membuat kesalahan dalam konfirmasi reservasi online. Seharusnya tiket dipesan untuk empat orang, tetapi yang terkonfimasi hanya tiga, sedang kuota reservasi online sudah penuh. Ini menyebabkan pertengkaran yang lumayan heboh.
Semua orang di tempat tersebut berkerumun untuk melihat apa yang terjadi. Menyebalkan. Aku tidak bisa menyela barisan karena antrean sebelah kanan dan kiri penuh. Komplain terus berlanjut sampai konsumen tersebut, wanita kisaran usia tiga puluh tahun dengan pakaian terlihat mahal dan bergaya angkuh mulai berkata kasar dengan nada tinggi, bahkan setengah menghardik.
Suasana semakin memanas. Aroma pertengkaran adu fisik mulai tercium. Satpam bioskop yang sedari tadi gagal menenangkan wanita tersebut tidak memiliki pilihan lain selain membawanya ke tempat aman untuk penanganan lanjut. Satpam terpaksa memegang tangan wanita itu untuk dibawa ke ruangan pengaduan. Seketika tangannya dipegang, wanita itu berontak mendorong satpam sekuat tenaga. Badan satpam langsung terhuyung tepat mengenai orang yang berbaris di belakang wanita tersebut.
Bagai efek domino, akupun ikut terkena dan tak bisa mempertahankan kestabilan badan. Keseimbanganku goyah. Aku benci jika harus jatuh dan terlihat konyol. Untungnya itu tidak terjadi. Tinggal beberapa meter lagi sampai badanku menyentuh lantai saat dua tangan asing menahan setengah merengkuh mencegahku terjungkal. Sekilas kulihat tangannya yang besar dengan urat menyembul menegaskan kesan maskulin. Jelas terasa bagian kepala dan setengah punggungku mendarat mengenai dadanya.
Semuanya terjadi begitu cepat. Rengkuhan tangan itu membantuku bangun dengan tenaganya yang sempat membuatku sedikit sesak. Buru-buru kuberdiri dan membetulkan posisi. Refleks aku berbalik melihat siapa orangnya. Tepat di belakangku. Lelaki dengan perawakan tegap setinggi kurang lebih 180 sentimeter berkulit kuning langsat bersih. Alis lebat, hidung mancung, bibir tipis merah muda serta bola mata berwarna cokelat terang persis seperti pemeran Ikal dalam film Laskar Pelangi. Mata kami sempat beradu pandang agak lama. Saling mengamati.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya
Aku mengangguk mengiyakan. Belum sempat bibirku terbuka untuk mengucapkan terima kasih, petugas loket tiket menyuruhku bergegas memesan tiket film. Wanita pembuat onar tadi sudah berhasil diamankan.
Sontak kuarahkan badanku menghadap petugas tersebut dan memesan dengan cepat. Seusai tiket dicetak, aku langsung diminta masuk ke studio karena film sudah telat tayang sebab insiden kecil tadi. Mataku sempat melihat kembali pada lelaki itu. Dia pun melakukan hal sama.
Sesampainya di pintu studio, petugas menyobek tiketku sembari meminta maaf atas keributan tadi. Aku tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Petugas kemudian mempersilakanku memasuki ruangan. Gelapnya ruangan langsung menyapa saat aku melangkah. Tak jauh dariku, ada petugas lainnya yang menawarkan popcorn dan minuman bersoda sebagai teman menonton. Langsung saja kuhampiri dan membelinya. Tak butuh waktu lama setelahnya aku langsung duduk di tempat yang sudah kupilih–13E. Posisi duduk ideal untuk menonton film bioskop, tidak terlalu depan, tidak juga terlalu belakang. Pas. Tempat favorit setiapku menonton film bioskop.
Kuletakkan popcorn dan minuman bersoda pada kursi yang didesain khusus memiliki lubang penyimpan dua makanan tadi saat iklan pertanda film sebentar lagi akan dimainkan. Sepatu kulepas dan kuangkat kedua kaki membentuk gaya duduk bersila. Ah cuek saja, toh tak ada yang memperhatikan ini.
Film dimulai. Volume suara film begitu besar menggelegar. Layar ukuran raksasa memutar adegan demi adegan dengan kualitas High Definition. Mataku otomatis tertuju ke arah depan, fokus memperhatikan alur cerita serta totalitas peran yang dimainkan masing-masing aktor dan aktris. Sesekali terdengar suara tawa kecil atau sekedar berbicara dengan nada kecil. Tak hanya mata saja yang fokus, tanganku juga fokus meraih makanan yang sudah dibeli. Mengabaikan sekitar.
Aku terkesima dengan polemik yang ditampilkan. Tidak dibuat-buat. Premis masalah yang disuguhkan sangat dekat dengan kejadian di sekitar kita. Saat cinta harus mengalah karena terhalang arogansi nasab dan hierarki status sosial. Sempat terharu saat melihat adegan di mana Herjunot Ali yang memerankan Zainuddin, menyesal karena begitu angkuh menolak Pevita Pearce atau Hayati yang ternyata masih mencintainya. Namun semua terlambat, karena ajal Hayati sudah diambang batas dan Zainuddin hanya menangis. Di tengah adegan film berlangsung, aku kembali teringat akan lelaki yang sudah menyelamatkanku tadi. Teringat karena aku merasa menjadi orang pongah yang tidak tahu berterima kasih. Sempat ada perasaan menyesal, tapi mau bagaimana lagi. Semuanya terjadi begitu cepat.
Tak terasa dua jam sudah film selesai diputar. Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu pukul 23.15 WIB. Kloter terakhir dalam jadwal pemutaran film bioskop di sini. Cahaya ruangan studio menyala dan semua penonton otomatis sibuk membersihkan remah makanan dari badan dan memeriksa barang agar tidak ketinggalan. Aku pun begitu. Kulirik sela kursi berharap tidak ada barang yang jatuh. Setelah memastikan semua barang bawaan aman, aku langsung menenteng tasku dan beranjak pergi. Belum juga beranjak, aku menangkap sosok familiar persis di sebelahku.
Dia, lelaki yang menolongku tadi.
Mataku terbelalak kaget. Dia belum menyadari kehadiranku sampai matanya menoleh ke arah kiri–ke arahku. Kepalanya sempat tertarik mundur ke belakang karena sama tidak percayanya denganku. Ternyata sedari tadi kami duduk bersebelahan.
“Kita ketemu lagi,” ujarnya berbasa-basi dengan ekspresi muka mengernyit tak menyangka.
“Iya,” jawabku dengan senyum kecil yang dijawab dengan hal serupa olehnya.
Dia kemudian mundur membuka jalan, pertanda memberiku giliran keluar terlebih dahulu menuruni tangga menuju lorong exit. Barulah dia mengikuti setelah aku melewatinya bersamaan dengan tundukan kepala isyarat meminta izin lewat.
Baru saja berjalan beberapa langkah, gadis remaja dari arah belakang berjalan tergesa-gesa tanpa memperhatikan kerumunan. Dia–gadis remaja itu menuruni tangga dengan terburu-buru, tak peduli lalu lalang sehingga punggungku terkena imbasnya. Tertubruk cukup keras.
“Ah!” aku refleks berteriak kecil.
Badanku limbung terhuyung ke depan. Sepertinya malam ini adalah malam paling sial dalam hidupku karena daritadi aku hampir jatuh. Aku sudah pasrah. Please, kalaupun harus jatuh, setidaknya jangan mukaku dulu yang menyentuh karpet lantai.
Namun lagi-lagi…
Kedua tangan itu sigap memegang lenganku dan menahan erat. Aku memandangnya yang masih belum melepaskan kesepuluh jarinya di lenganku. Aku menatapnya heran. Heran dengan responsnya yang begitu cepat menolong saat bahaya mengancam. Ditegakkannya posisi badanku yang hampir jatuh dengan kemiringan empat puluh lima derajat sembari menatapku. Sedang gadis yang tadi menubrukku sudah jauh menghilang dari pandangan.
“Hobi ya?” ujarnya
“Apaan?”
“Jatuh.”
“Ngapain juga dijadiin hobi? Gak ada untungnya,” ketusku.
“Lah itu apa?”
“Itu apa, apaan?”
“Dua kali kamu hampir jatuh.”
“Itu kan kecelakaan. Gak niat sengaja.”
“Hmmm…” jawabnya sambil berlalu melewatiku tak menghiraukan begitu saja. Tanpa aba-aba.
Menyebalkan. Dia meninggalkanku yang masih mematung diam tak percaya ada lelaki sedingin itu. Dia berjalan dengan tempo cepat tanpa melihat ke belakang, seolah tidak ada yang terjadi. Ada rasa kesal saat dia menolongku. Andai saja waktu bisa diputar, maka aku lebih memilih untuk jatuh daripada ditolong kedua kalinya.
Aku menuruni lantai dasar menggunakan lift. Sesampainya pintu terbuka, mataku mencari sembarang lelaki tersebut namun tak kutemukan sosoknya. Dia sudah pergi. Dari pandangan mata umumnya . Serta dari kesan baik khususnya. Tak mau ambil pusing, aku terus berjalan santai tanpa memikirkan apapun sampai keluar melewati pintu depan.
Aku melihat lalu lalang kendaraan. Kakiku pegal menunggu di pelataran pintu masuk utama. Sudah sepuluh menit tak kulihat satupun taksi yang biasanya mudah kutemukan. Aneh. Aku tidak membawa mobil karena kupikir akan sangat menguras tenaga jika harus menyetir dalam keadaan lelah sehabis menonton film. Sebenarnya bisa saja naik angkutan umum, tapi sialnya aku tidak tahu angkutan mana yang melewati apartemenku. Sudah lama aku tidak pernah naik angkutan umum.
Aku mulai khawatir, terlebih melihat orang yang keluar bersamaku dari studio bioskop satu per satu sudah pergi meninggalkan. Jalanan semakin sepi dan membuatku sedikit takut.
Dua kali hampir jatuh. Bertemu pria aneh lagi menyebalkan. Taksi belum juga terlihat. Besok harus ke kantor pagi sekali. Ada lagi yang lebih parah dari ini? Ya Tuhan.
“You haven’t thanked me yet,” suaranya dari belakang mengagetkanku tiba-tiba. Hampir saja jantungku berhenti.
Aku menoleh ke belakang.
Dia lagi.
Aku semakin kesal dibuatnya, “Apa gak ada cara lagi selain bikin jantung orang copot?”
“Hahaha…” dia tertawa renyah sekali dan aku tak habis pikir melihat tingkahnya yang seolah sudah mengenalku lama, “Emang sekarang jantung kamu copot?”
“Ya enggak sih.”
“Berarti jantungnya masih aman.”
“Tapi gak kayak gitu juga!”
“Kayak gitu apa?”
“Tiba-tiba ngomong dari belakang bikin kaget orang. Masih untung tangan gak melayang,” ucapku ketus dengan ekspresi tidak suka.
“Melayang? Maksudnya menggampar begitu?”
“Iya.”
“Terus kenapa gak jadi?” tanyanya santai.
“Kasian. Anak orang,” jawabku datar.
Dia tersenyum. Kuakui senyumnya manis. Tapi tetap saja menyebalkan. Dia berbicara seolah kami adalah sahabat. Sok kenal. Sok dekat. Aku tergolong introvert sehingga tidak terbiasa jika ada seseorang yang bertingkah sedikit akrab di kali pertama. Terutama pria.
Aku diam tidak melanjutkan percakapan. Aku mengabaikannya dengan harapan dia segera pergi sehingga aku bisa tenang menunggu taksi kosong. Aku melihat kiri-kanan tapi tak muncul penampakan mobil dengan bentuk khas tersebut, sementara lelaki itu masih berdiri di sampingku.
Ini lelaki maunya apa sih?
“Nunggu taksi juga?” tanyaku berusaha mencairkan suasana agar tidak terkesan angkuh. Badanku berbalik dan menghadap ke arahnya.
“Bukan.”
“Terus?”
“Jawaban kamu.”
Aku diam berpikir, “Jawaban?”
“Iya, jawaban. You haven’t thanked me.”
“Pamrih nih?”
“Katakanlah begitu.”
“Mau imbalan apa? Traktir makan?”
“Makan? Gak lapar. Sudah kenyang. Tadi sehabis film selesai langsung cari tempat makan.”
Oh, ternyata itu alasan kenapa dia terburu-buru keluar studio.
“Terus? Maunya apa?”
Dia diam dan memandangku lekat.
Jujur aku merasa risih dibuatnya, “Begini saja…” aku balas menatapnya, “Terima kasih sudah menolong saya. sekarang kita impas, sudah tidak ada utang budi. Anda sekarang bisa lanjut berkegiatan lagi, maaf kalau saya sudah mengganggu,” aku mengakhiri percakapan, berharap dia akan beranjak sesegera mungkin.
Dia kembali diam beberapa saat lalu membuka bibirnya berucap, “Oke,” kemudian berjalan menjauh setelahnya.
Yes, akhirnya dia pergi juga. Sekarang aku bisa tenang menunggu taksi tanpa ada gangguan.
Aku masih diam di pelataran menunggu taksi yang belum juga terlihat. Dia, lelaki itu, sudah berlalu menjauh. Aku lihat lagi jam tangan, sudah jam 23.30 WIB. Lima belas menit aku berdiri menunggu taksi. Pantas saja kakiku pegal.
Semakin malam aku menyadari jalanan semakin sepi dan lalu lalang orang sangat jarang, hampir tidak ada. Aku sudah putus asa menunggu taksi. Akhirnya kuputuskan untuk naik angkutan umum saja. Aku mulai berjalan ke arah kanan. Setahuku di sana angkutan umum banyak berkumpul menunggu penumpang. Kulangkahkan kaki sambil berharap ada yang bisa ditanya perihal rute angkutan umum. Aku harus sampai di rumah malam ini. Aku ingin istirahat.
Saat menyeberang, kulihat seseorang berjarak beberapa langkah di depanku. Akhirnya, ada yang bisa kutanya. Aku berlari kecil menghampiri. Kutepuk pelan pundaknya. Dia menoleh dan membalikkan badannya. Pria paruh baya ternyata. Kisaran usia 40-an. Penampilannya rapi, tapi entah kenapa hatiku merasa tidak enak seolah mencegah untuk berinteraksi lebih jauh. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Tiada siapapun lagi di sekitar.
Aku mencoba tersenyum ramah, “Maaf ganggu waktu Bapak, mau tanya kalau angkot ke arah Ahmad Yani biasanya warna apa ya?”
Dia membalas senyumku dan mengamatiku dari atas sampai bawah. Pandangan matanya membuatku tidak nyaman.
“Ahmad Yani-nya sebelah mana, Neng?” tanyanya dengan nada sedikit merayu dan senyum yang membuatku merasa ganjil.
“ke Gateway, Pak,” aku mencoba sopan.
“Oooh… apartemen ya?” ucapnya dengan mata masih melirik badanku dari atas sampai bawah.
Aku risih. Perasaanku tidak enak.
“Iya.”
“yang dekat RS. Santo Yusup?”
“Betul, Pak.”
Tatapannya semakin membuatku aneh. What should I do?
“Biasanya ada angkot warna biru garis kuning, tapi sudah jarang.”
“Tapi masih ada meski satu-dua kan, Pak?”
“Iya.”
“Baik kalau begitu, terima kasih infonya ya Pak,” aku mencoba tersenyum dan bergegas berjalan menuju shelter khusus pemberhentian angkot tak jauh dari tempatku berada. Firasatku mengatakan untuk menjauhinya sesegera mungkin.
Tapi…
Gap! Tanganku tertahan. Aku kaget. Refleks ku menoleh kebelakang.
Lelaki itu. Dia memegang tangaku dengan senyum menyeringai. Apa-apaan ini?!
“Mau ke mana? Kok cepet banget jalannya?” godanya
Ada yang tidak beres.
Aku lepaskan genggamannya dengan keras, “Saya mau pergi, tolong jangan ganggu saya!”
Bukannya menghindar, lelaki itu malah semakin mendekat, “Galak amat sih Neng.”
Aku tahu akhir-akhir ini suasana Bandung tidak begitu kondusif dengan berita begal dan perkosaan. Aku hanya tidak menyangka kalau bahayanya menghampiri sedekat ini. Di depan mataku sendiri.
Aku mempercepat langkahku meninggalkannya. Namun, lagi-lagi lelaki itu lebih cepat dari perkiraanku. Dia mencengkeram pundakku. Aku semakin takut. Kutepis tangannya tak menghiraukan dan berlari menjauh. Namun entah bagaimana, lelaki itu bisa menyusulku dan mencengkeram tanganku. Kali ini lebih kuat.
“Lepas!” teriakku sambil menarik tangan berharap cengkeramannya lepas.
“Ikut saya!”
“Enggak! Lepas!”
“Jangan sombong gitu lah, kita senang-senang sedikit malam ini yuk, hahaha…”
“Lepas! Saya laporkan Anda ke polisi!”
“Saya pastikan semuanya sudah terlambat, manis. Hahaha...”
“Kurang ajar!”
“Hahaha…” tawanya begitu menjengkelkan, “Wanita cantik seperti kamu sayang untuk dilewatkan.”
Aku pukul tangannya agar dia menghindar, tapi dia bergeming. Dia menarik tanganku lebih kuat sampai aku hampir terjungkal. Semakin aku menolak semakin kuat tenaganya. Aku takut. Sangat takut. Berteriak tak ada gunanya karena sudah tidak ada siapapun di jalan ini. Pandangannya liar menatap tubuhku. Senyumnya seolah mengisyaratkan sedang mendapat mangsa empuk untuk dihabisi. Seumur hidupku belum pernah diperlakukan rendah seperti ini.
Anybody, help me please!!
Aku meronta. Tetap saja lelaki itu semakin beringas menarikku. Aku tahan tarikannya dengan condongan badanku ke arah belakang. Gagal. Aku menarik kembali tanganku sekuat mungkin agar lepas. Gagal. Aku pukul lebih keras tangannya agar dia kesakitan. Gagal. Aku tinggikan teriakanku agar ada yang mendengar. Gagal. Mataku basah hampir menangis. Aku mulai putus asa.
Tiba-tiba.
Bak!
Tinju keras melayang. Lelaki itu jatuh seketika. Genggamannya terlepas. Aku kaget melihatnya, tapi lega di saat yang sama.
“Ah!” teriak lelaki itu sambil memegang pipinya. Aku terpaku menatapnya merintih.
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku bingung harus bagaimana. Terdiam melihat semuanya.
Tapi itu tidak lama.
Baru saja tanganku lepas dari genggaman, tangan satunya menarikku. Tangan orang lain.
Ya Tuhan, apa lagi ini?
Tangan itu membawaku menjauhi lelaki yang berniat memperkosa. Aku diajaknya berlari dengan kecepatan maksimal. Mengikuti setiap dentum langkahnya. Aku hanya bisa melihat punggungnya saja. Tak sempat melihat wajah. Aku sudah tidak bisa berpikir apapun. Yang kutahu, aku harus ke satu tempat. Tempat yang aman.
Kaki terus melaju kencang sampai berbelok ke RS. Sariningsih. Di sana ada beberapa mobil masih terparkir berjajar. Kesempatan bagus. Kami menyelinap berjongkok di antara celah antar mobil. Bersembunyi memastikan kalau lelaki brengsek itu tidak mengikuti. Beruntung satpam sedang tidak ada di tempat pos. Dia memunggungiku seraya tak melepaskan genggamannya. Kepalanya melirik kanan dan kiri melihat sekitar. Cahaya lampu yang tidak begitu terang membuatku tak bisa melihat jelas wajahnya meski dari samping. Napasku masih tersengal-sengal karena lelah.
Hampir sepuluh menit kami bersembunyi. Selama itu pula tangannya memegang erat tak melepas. Kepalanya melirik lagi. Melakukan hal yang sama–menoleh ke kanan dan kiri. Setelah dirasa aman, dia berdiri dan menarik lagi tanganku tanpa bertanya. Setengah berlari.
Aku mengikutinya sejauh kurang lebih 100 meter berbelok lagi menuju bangunan tak jauh dari sana. Tempatnya masih ramai. Aku tidak begitu memperhatikan tulisan besar yang terpampang saat masuk ke sana.
Aku melihat sekitar. Ada toko, lobi, dan… tunggu… kamar ? Berjajar pintu di kanan dan kiri. Berarti ini? Hotel. Aku terbelalak. Seketika badanku dingin. Tubuhku menggigil.
Ya Tuhan, aku dibawa ke mana?
Aku baru menyadarinya saat dia membawaku masuk ke sebuah kamar dan menguncinya secepat kilat. Mendudukkanku di tepi ranjang sedang dia menelisik lalu lalang orang di sebalik lubang yang ada di pintu kamar. Tubuhku semakin bergetar hebat. Keringat dingin deras mengucur di wajah. Semuanya sudah terlambat. Riwayatku tamat kali ini. Kepalaku terus menunduk. Aku kalut. Sekalut-kalutnya.
Apa dia masih satu komplotan dengan pria brengsek tadi? Haruskah aku lari? Tapi, Lari ke mana? Pintunya dikunci. Jalanan sudah sepi. Kalaupun aku kabur, kegaduhan pasti tak bisa dihindari. Itu akan menambah masalah. Kumohon Tuhan, aku tidak mau diperkosa. Jauhkan dia dariku! Tolong selamatkan aku! Keluarkan aku dari kamar ini! Aku hanya ingin pulang dan bekerja esok hari.
Bulir air jatuh dari mata. Kutahan isaknya agar tak menunjukkan lemah. Sudah tidak ada kata yang menggambarkan betapa kondisi saat ini adalah yang terburuk. Sepanjang hidupku. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekedar rencana untuk hari esok pun sudah tidak ada di otakku.
Buyar. Kacau. Kosong. Putus Asa. Keringat dingin. Sendiri. Terasing. Malam panjang. Takut.
Semua perasaan itu semakin bercampur aduk saat dia menghampiri dan duduk di sebelahku. Buru-buru aku mundur sedikit menjauh. Menjaga jarak aman. Entah dia sedang menatapku atau tidak karena kepalaku terus menunduk menyembunyikan sedan yang sedari tadi terus ditahan. Khawatir dia melihat tanganku yang semakin menggeligis, aku cepat menyembunyikannya dengan memegang ujung kain bajuku. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kami terdiam membisu beberapa saat. Sampai akhirnya kalimat itu terlontar.
“Maaf. Seharusnya aku membawamu ke tempat yang lebih layak. Tapi aku tidak menemukan tempat aman selain di sini. Jadi, kamu boleh istirahat di kamarku. Aku akan pindah dan pesan kamar baru agar kamu tidak terganggu.”
Aku tak bersuara. Diam. Gelisahku sedikit berkurang meski khawatir tetap ada. Apa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya? Kepalaku masih menunduk. Kami kembali terdiam. Nampaknya dia menunggu jawabanku.
Tiga menit. Aku membisu.
Lima menit. Suara yang terdengar hanyalah detak jam di dinding.
Sepuluh menit. Resah belum juga reda. Tanganku masih memegang ujung kain baju dengan isak tersekat di kerongkongan.
Sampai akhirnya, “Kamu… gak apa-apa kan?” dia akhirnya berucap.
Deg! Kata-kata itu. Aku mengenalnya. Aku langsung mengangkat kepala. Ada dorongan dalam diri untuk berani memastikan wajahnya.
Dia. Ternyata dia. Yang menolongku di bioskop tadi.
Aku terus menatapnya. Bukan karena terpesona atau penilaian fisik lainnya. Tapi karena bersyukur, peristiwa tadi dan semua prasangkaku tidak terjadi. Aku akan baik-baik saja. Semua kepanikan mencair sudah. Lega. Tenang. Merasa Aman. Termasuk segala keresahan yang membuncah. Semuanya luruh melalui sedan yang terlepas setelah ditahan cukup lama.
Air mataku mulai meluncur deras menjatuhkan semua gundah. Semakin lama semakin deras. Aku menangis seperti bayi. Di hadapannya. Cukup memalukan untuk ukuran orang dewasa. Aku begitu gengsi dengan aktivitas mengeluarkan air mata. Bagiku menangis adalah tanda kelemahan dan kalah. Aku ingin terlihat kuat, maka sebisa mungkin tak pernah sudi menangis di depan orang. Bahkan orang tua sekalipun. Sehingga tak sedikit yang menjulukiku sebagai Princess Ice.
Namun malam ini, teori itu runtuh. Di hadapan lelaki asing. Baru kukenal beberapa jam yang lalu.
Anehnya, aku merasa tidak malu menampakkan kelemahanku padanya. Dia terkejut melihat reaksiku. Salah tingkah. Bingung bagaimana caranya meredam isakku yang belum juga menunjukkan tanda berhenti. Serba salah. Dan akhirnya, dia melakukan hal yang tak kuduga.
Tangannya merangkulku. Memeluk tepatnya. Erat. Kepalaku terbenam di dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya. Suhu badannya hangat. Membuat isakku mereda meski belum sepenuhnya usai. Ini pertama kalinya aku dipeluk lelaki. Setelah ayahku. Dan lagi-lagi, anehnya, aku tidak menolak. Membiarkannya memelukku.
“Tidak apa-apa kalau ingin menangis. Aku tidak akan menghentikannya. Ini malam yang sulit dan melelahkan untukmu. Aku mengerti. Satu hal yang pasti, malam ini kamu aman. Di sini.”
Mendengar ia berkata seperti itu, kepanikanku menurun drastis. Bebanku semakin lepas terangkat. Ritme napasku mulai teratur. Dan refleks tanganku merengkuh punggungnya. Memeluk balik.
Aku nyaman. Dipeluknya.
***