dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
199
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

5. Kamu Diwaktu Itu (3)

“Sebentar… utang? Gak ngerti.”
“Ini bukan bagian yang harus kamu mengerti.”
“Lalu?”
“Cukup dilunasi saja.”
“Caranya?”
“Kuberi tahu nanti.”
“Kapan?”
“Tunggu saja!”
“Gak bisa sekarang?”
“Enggak”
“Kenapa?”
“Kalau dibayar lunas sekarang, aku tidak punya alasan untuk bertemu kamu lagi,” matanya menatapku tajam.
Deg. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak salah dengar, kan?
“Memang kenapa? Gak punya teman wanita?”
“Teman wanita banyak.”
“Terus?”
“Hanya saja tidak selepas dan se-apa ada-nya saat denganmu.”
“Kok bisa?”
“Should I have to tell you?”
“Yes, please.”
Dia terdiam sejenak. Dibenarkan posisi badannya. Dia meneguk Blacksot Vanilla-nya sampai tersisa setengah gelas.
“Teman wanita memang banyak. Hanya saja mereka tidak sepenuhnya berteman selayaknya teman pada umumnya. Mereka punya kepentingan dan aku tidak suka itu. Mereka memanfaatkanku.”
“Memanfaatkan? Maksudnya?”
“Awalnya mereka memperkenalkan diri. Bermanis di depanmu seolah ingin menunjukkan mereka tulus. Sampai mereka mengeluarkan sifat aslinya. Merajuk meminta bantuanmu. Mulai dari meminjam uang, minta ditemani jalan-jalan, sampai akhirnya kau membelikan semua kebutuhannya dan bersikap posesif seolah aku kekasih mereka. Mereka berteman untuk kepentingan sendiri.”
Ada rasa iba saat mendengarkan tuturnya. Benar, tidak semua tulus. Ada kalanya kita dianggap tak lebih sebagai pelengkap kepentingan seseorang dan dibuang begitu mudahnya saat tak digunakan lagi.
“Maaf,” mulutku tiba-tiba mengucapkan kata itu.
Dia kaget, “Maaf untuk apa?”
“Maaf karena membuatmu bercerita tentang semua polemik pertemananmu.”
“Ooh,” dia paham maksudku, “It’s oke,” sambil tersenyum.
“Memangnya tidak risih?”
“Risih apanya?”
“Iya, saat kamu tahu orang yang berteman denganmu hanya karena kamu adalah penyempurna segala keinginan mereka.”
“Ya… mau bagaimana lagi, resiko orang ganteng,” jawabnya.
“Pede!”
“Emang.”
Kami tertawa berdua. Suasana serius berganti ceria. Dalam sekejap aku seolah mengenalnya luar dalam. Merasakan sakitnya. Memahami sedihnya. Sebentar saja, dia sudah menempati ruang khusus dalam benakku. Rasa ketertarikanku muncul. He is a special kind of something. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi egoku menahan itu semua. Aku tidak boleh terburu-buru dan terlihat murahan.
Kami menghabiskan minuman dan mengambil sedikit waktu membiarkan airnya masuk ke dalam usus agar bisa dicerna. Tak terasa matahari sudah meninggi. Udara sedikit panas.
“Yuk,” ucapnya.
“Ke mana?” tanyaku.
“Keluar, kita tidak mungkin di sini sampai tengah malam kan?” jawabnya.
“Oh… tapi, ke mana?”
“Nanti kamu tahu sendiri.”
“Hmmm,” aku pasrah mendengarnya, “Oke, terserah.”
Dia beranjak dari tempat duduknya. Begitupun denganku. Kami berjalan menjauhi meja makan dan menghampiri kasir. Dia langsung berdiri di depan kasir menanyakan total harga pesanan yang harus dibayar. Kasir dengan ramah menghitung dan menyerahkan bon rincian kepadanya. Dia langsung membayar tunai tagihannya. Setelah transaksi selesai, kami keluar dan masuk ke mobil.
Sambil menautkan sabuk pengaman, aku bertanya padanya yang sedang mengeluarkan mobil dari parkiran, “Sebenarnya… utangku berapa?”
“Utang?” dia sibuk melihat spion mobil memperhatikan jalan saat akan menyeberang.
“Iya.”
Dia diam tak begitu memperhatikan. Fokusnya tertuju pada arah jalan. Lalu lintas sekitar sudah mulai padat dengan kendaraan. Terlebih kendaraan motor begitu sigap menyalip membuatnya berhati-hati. Setelah beberapa menit baru mobil bisa menyeberang. Kemudian dia menaikkan kaca mobil, menyalakan AC dan menghidupkan musik dengan suara agak kecil.
“Utangmu sebenarnya tiga,” jawabnya dengan mata mengarah ke depan.
“Tiga juta?” tanyaku kaget. Sebanyak itu?
“Bukan.”
Pffuh, aku lega mendengarnya.
“Lantas… maksudnya tiga, apa?” tanyaku penasaran.
“Saat aku menolongmu di bioskop, itu utangmu yang pertama. Saat aku membawamu lari kemarin malam, itu utangmu yang kedua. Saat aku membawamu masuk ke kamar dan membiarkanmu menangis, itu utangmu yang ketiga.”
“Wah, banyak juga utangnya.”
“Iya… dan akan kuberi tahu kapan kau akan melunasi semua utangnya, berikut caranya. Tapi tidak sekarang.”
Aku melihatnya dengan heran, “Gak bisa dilunasin sekaligus hari ini?”
“Gak bisa.”
“Kenapa?”
“Gak kenapa-kenapa, pengen aja.”
Aku sedikit kesal, “Seneng banget ya bikin orang kayak gini?”
“Kayak gini gimana maksudnya?”
“Bikin orang banyak utang dan susah ngelunasin.”
“Cuma ke kamu aja kok,” jawabnya datar dengan mata menatap jalan.
Terdiam. Dahiku mengernyit. Sikapnya yang berbicara lugas dengan ekspresi datar membuatku semakin ingin tahu. Dingin dan misterius, tapi seolah rapuh. Lelaki seperti ini jarang ditemui. Aku semakin tertarik.
Mobil melaju menembus jalan. Tanpa aba-aba, dia mengambil rute yang tadi kuberi tahu. Ingatannya lumayan kuat. Tak ada percakapan selama perjalanan. Hening. Sebenarnya ingin kulanjutkan pertanyaanku tentang utang itu, namun kupikir akan sia-sia saja. Akhirnya aku diam dan melihat sekeliling lewat jendela pintu.
“Kok diam?” tanyanya memecah hening untuk sekian lama.
“Gak boleh?”
“Bete?”
“Sedikit.”
“Masih kepikiran soal utang?”
“Mau dipikirin juga sama saja, toh gak bisa dilunasi hari ini.”
Dia tersenyum, “Ngebet banget pengen dilunasi.”
“Iyalah”
“Kenapa?”
“Gak terbiasa.”
“Well, sayangnya untuk yang ini, kamu akan terbiasa.”
“Hmmm…” aku merengut. Kok ada ya lelaki yang seneng bikin orang kesal?
“Gak penasaran nih kita mau ke mana?” tanyanya.
Aku baru tersadar, ”Emang kita mau ke mana?”
“Ke tempat kemarin.”
Aku berpikir sejenak, “Ke hotel?”
“Bukan.”
“Ke mana?”
“Ke rumah makan. Ambil barang yang ketinggalan.”
“Ooooh.”
“Bulat.”
“Iya,” kami tertawa kecil. Suasana kembali mencair.
“Oh iya, ini…” tanganku menunjuk baju pemberiannya, “Dipinjamkan atau bagaimana?”
Dia melirik bajunya kemudian menatapku sebentar, “Anggap saja hadiah.”
“Oke… terima kasih ya.”
“Sama-sama.”
“Tapi ada yang aku heran.”
“Heran?”
“Bagaimana kamu bisa tahu baju ini cocok untukku? Padahal kita baru pertama bertemu.”
“Oh… itu… sebenarnya postur badanmu sedikit mirip dengan adik perempuanku. Jadi saat membeli baju, ukurannya tidak akan beda jauh.”
“Oooh…” tak lama kemudian ponselku berbunyi. Aku lekas meraih tas kecil dan membuka resleting. Meraih ponsel dan melihat nama yang muncul. Dita. Aku tekan tombol hijau.
“Iya, ada apa?”
“Di mana?”
“Di jalan.”
“Jalan mana?”
“Kepo.”
“Yeeee…”
“Ada apa?”
“Lieur, Dara.”
“Kerjaan beres?”
“Gagal total.”
“Gagal total? Maksudnya?”
“Gak ada satupun talent yang bisa di-shoot.”
Aku terkejut, “Kok bisa?”
“Gini, aku kan udah kasih memo kapan harus call talent ke staf karyawan. Entah dia lupa atau gimana, gak dikerjain. Ya aku marah lah, aku suruh dia beresin kerjaannya. Eh ternyata jadwal talentnya penuh. Aku suruh dia telepon talent yang lain, sama penuh juga. Sampai aku turun tangan telepon semua talent, gak ada yang bisa,” jelasnya dengan nada memuncak.
“Sebentar,” aku menghela napas, “Kok marahnya jadi ke sini ya?”
“Ya habis ke siapa lagi? Tukang tahu?”
“Dasar.”
“Gimana nih?”
“Gini, kan sekarang semua talent gak bisa diminta shoot. Mau dipikir sekarang juga pasti buntu. Mending sekarang rehat dulu, ke apartemen aja, di sana baru kita pikirin bareng-bareng solusinya.”
“Males ke apartemen kamu terus. Nongkrong yuk!”
“boleh.”
“Sekarang?”
“Ya gak sekarang juga!”
“Emang kamu di mana sih?”
“Ada lah… lagi di jalan.”
“Sendiri?”
“Enggak.”
“Berdua?”
“Iya.”
“Sama siapa? Sama pacar ya?”
“Hush ah!”
“Hahaha… ya udah nanti ditelepon lagi.”
“Iya,” nada itu diputus oleh Dita.
Aku menutup telepon dan menyimpannya kembali dalam tas. Aku tak sadar ada yang mendengar percakapanku dan mengamatiku sedari tadi.
“Kayaknya seru banget ngobrolnya,” tukasnya.
“Eh...” aku kaget kemudian menyadari arah obrolannya, “Ooh… itu… teman kerja.”
“Teman?” godanya.
“Teman kok.”
“Ooh.”
“Nguping ya?”
“Nguping apanya? Keras begitu suaranya ya pasti terdengarlah di telinga.”
“Oooh.”
“Gak ada jawaban selain ‘Oooh?”
“Aaah.”
“Hmmm…” dengusku. Erik tersenyum manis melihat responsku.
Tak terasa mobil sudah masuk ke Kawasan Jalan Merdeka. Melaju dan masuk ke area parkir Bandung Indah Plaza. Setelah terparkir, kami keluar area parkir dan menyeberang menuju tempat makan Jepang persis di depan. Aku mengikutinya dari belakang.
Dia masuk kemudian menghampiri pramuniaga. Setelah berbicara sebentar, pramuniaga mengajaknya menuju ruangan atas. Sebelum beranjak, dia menatapku dan memberi isyarat agar aku menunggu. Aku mengangguk. Selagi dia pergi dengan pramuniaga, aku menghampiri meja kosong dan duduk.
Aku melihat jam tangan. Lima belas menit sudah. Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Tidak terasa. Seharian penuh bersamanya. Aku melihat lalu lalang jalan melalui jendela besar restoran. Tak jauh dari tempat duduk. Entah kenapa, meja menghadap jendela besar selalu menjadi tempat favoritku.
“Hey!” suaranya membuatku terhentak.
Aku kaget dan menolehnya yang sedang meraih kursi, “Selesai?”
“Iya.”
“Apa yang tertinggal?”
“Ini…” dia mengangkat tangannya dan menunjukkan sesuatu. Dompet kecil.
Rasa penasaranku muncul, “Apa isinya?”
Dia mulai membuka penutup dompet dan mengeluarkan isinya. Sekumpulan foto. Ada beberapa kertasnya menguning dan sebagiannya nampak seperti baru. Dia menunjuk salah satu foto, “Ini yang selalu membuatku merasa di rumah,” frame foto berisikan empat orang dengan formasi baku. Dua anak dewasa. Kupastikan ini adalah foto keluarga.
“Senang mengoleksi foto ya?” tanyaku.
“Iya… salah satu cara terbaik menyimpan momen bahagia,” kemudian dia mengambil buku menu yang tergeletak di meja dan membukanya, “Mau makan apa?”
“Makan? Bukannya tadi sudah?”
“Lain cerita… tadi kan makan pagi, sekarang sudah siang jadi harus makan lagi.”
“Ya ampun.”
“Emang gak lapar?”
Aku terdiam memastikan apakah perutku masih membutuhkan asupan. Sempat perutku berbunyi halus, “Ssedikit sih,” aku akhirnya mengakui.
“Mau sedikit atau banyak… kalau judulnya lapar tetap harus makan,” dia mengangkat tangan kepada pramuniaga meminta tambahan buku menu. Aku mengalah menuruti permintaannya. Aku ikut melihat menu dan berencana memesan. Namun, belum sempat mencatatkan pesanan, ponselku berdering lagi.
“Iya, ada apa?”
“Di mana, Dara?” Dita meneleponku lagi.
“Gokana, seberang BIP.”
“Aku ke sana ya.”
“Emang udah pulang kerja?”
“Udah, ini kebetulan lagi di Balaikota.”
“Ngapain di sana?”
“Ada urusan bentar, tunggu ya.”
“Iya.”
Kututup ponsel dan menghela napas, kuarahkan pandanganku, “Tidak apa-apa kan kalau ada satu orang tambahan di meja ini?”
Dia memandangku balik, “Siapa?”
“Teman.”
“Hmmm…” dia menutup buku menunya, “Oke… satu orang lagi pasti akan seru.”
Kami menunggu. Jarak Balaikota ke Jalan Merdeka tidaklah jauh. Kututup buku menu dan melihatnya sedang mengotak-atik sesuatu di ponsel.
“Kamu akan melunasi utangmu yang pertama,” jawabnya. Aku terhenyak mendengar perkataannya. Dia mendekatkan ponselnya padaku, “Simpan nomormu di sini… maka utangmu tersisa dua.”
Aku tercekat dan menahan napas. Aku mengambil ponselnya dan terdiam sejenak. Mulutku terbuka ingin mengatakan sesuatu, namun entah kenapa isi otakku mendadak kosong. Kututup kembali mulutku dan mulai mengetik nomorku dan membubuhkan nama, kemudian menekan tombol ‘simpan’ di ponselnya. Kuserahkan ponselnya dan ia membaca sejenak, kemudian menekan sesuatu. Ponselku berdering. Seketika kulihat. Nomor baru.
“Hanya mengecek kalau kamu tidak salah memasukkan nomor.”
Aku mendengus. Dia tersenyum simpul melihat reaksiku, “Itu nomorku… disimpan atau tidak itu terserah… tapi deretan angka ini akan sering menghubungimu entah sampai kapan.”
Lagi-lagi alisku mengerut. Sikap lelaki ini tidak mudah ditebak. Sedikit kesal tapi membuat penasaran. Kukaburkan pandangan pada jendela, menyembunyikan rasa kesalku. Tak sengaja mataku melihat Dita. Dia sudah sampai. Dita melambaikan tangannya dan masuk ke dalam serta duduk di meja kami tanpa aba-aba. Dita tersenyum kepadaku kemudian arah matanya melihat Erik. Jelas kutahu sorot mata Dita bersinar dan dia tertegun. Kemudian dia menatapku kembali dengan isyarat mata yang khas. Aku tidak bisa berbuat banyak, “Erik, kenalkan temanku Dita… Dita kenalkan ini Erik.”
Erik tersenyum manis mengulurkan tangan, “Erik,” yang kemudian disambut dengan jabat tangan, “Halo… Dita, temannya Dara. Gak ganggu kan?” tanyanya memastikan.
“Oh tidak… santai saja. Sudah makan?” tanya Erik ramah.
“Belum.”
“Makan bareng yuk, kebetulan belum pesan apa-apa,” ujarnya yang diiyakan oleh Dita. Kami bertiga melihat menu makanan. Hanya sebentar, Dita mengangkat tangan kepada pramuniaga. Kami masing-masing memilih menu makanan.
Di sela-sela pramuniaga pergi membawa pesanan, Dita memandang Erik seksama, “Kayaknya aku baru lihat, teman Dara?” kami kaget dan menatap satu sama lain. Agak kikuk sebenarnya. Kami tidak mungkin menceritakan detail kejadian kemarin. Terlalu dini dan bisa menimbulkan salah paham.
“Hmm… iya,” jawab Erik.
“Ooh…” seolah tak puas mendengar jawaban Erik, “Teman sekolah?”
“Hmm…” Erik sempat berpikir, “Bukan, teman jauh.”
“Ooh…” naluri analisis Dita sepertinya bangkit, “Tinggal di mana sekarang?”
“Kebetulan sedang cuti,” jawab Erik. Dita terus bertanya beberapa hal dan Erik dengan santai menjawab. Mereka saling bersahutan. Terkadang Erik bertanya beberapa hal. Dita memang orang yang mudah akrab dengan siapapun. Terkadang aku iri dengan kemampuannya dan berharap bisa sepertinya. Dalam sekejap saja mereka menjadi akrab. Aku diam melihat mereka berdua. Ada rasa sesak. Sejak kapan bernapas menjadi berat seperti ini? Aneh.
Pramuniaga datang dan meletakkan hidangan di meja. Kami mulai bersantap. Hanya berselang beberapa menit, Dita mulai melanjutkan jurus pendekatannya pada Erik. Sedang aku? Aku sibuk menyantap makanan. Bento mendadak terlihat lebih enak dan teduh dari mereka berdua.
“Erik…” Dita terlihat agak menarik napas, “Maaf kalau terdengar kurang sopan. Begini… dalam dua minggu ini kami akan rilis edisi majalah bulanan. Semuanya sudah selesai… tapi satu rubrik belum ada foto artis. Kami sudah menghubungi semuanya tapi hasilnya nihil. Jadi… kalau tidak keberatan… apa kamu bisa membantu kami… menjadi model di majalah bulan sekarang?”
Kami mendadak berhenti makan. Saling menatap. Menatap Dita. Aku tidak tahu dari mana ide gila itu berawal. Meminta Erik menjadi model? Aku tidak bisa membayangkannya. Erik terus menatapku seakan butuh penjelasan. Ini di luar kendaliku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mengangkat bahu dan meneruskan makan. Erik terlihat bingung.
“Model?” Erik salah tingkah, “Tapi aku belum pernah melakukan itu sebelumnya.”
Dita menatap Erik mencoba meyakinkan, “Tenang saja, kamu tinggal berkata ‘iya’ dan semuanya akan aku urus. Gimana? Mau kan?” Dita memelas. Memaksa tepatnya.
Erik diam berpikir, “Kapan pemotretannya dimulai?”
“Rabu depan,” jawab Dita, “Jadi… mau bantu kita kan? Please…” dia melancarkan jurus andalannya–Jurus Mata Memelas. Hampir mirip seperti kucing. Dita akan melebarkan pupil matanya sehingga akan terlihat begitu lucu dan membuat siapapun tak kuasa menolak permintaannya. Aku melihat respons Erik. Tampaknya sudah terbuai dalam jurus maut Dita.
“Baiklah kalau begitu,” jawabnya dengan nada berat, “Sampai bertemu Rabu depan.”
Seringai manis merekah dari bibir Dita. Senang karena akhirnya menemukan talent untuk pemotretan. Matanya melirikku penuh arti. Aku tahu maksudnya. Kujawab tatapan Dita dengan senyum simpul dan tetap melanjutkan aktivitas makan.
“Terima kasih Erik… aku jamin segalanya akan lancar,” ucap Dita
“Iya… sama-sama,” tukas Erik.
Entah berapa kata lagi yang ingin keluar dari mulut Dita. Dia sudah membuka mulut namun dering ponsel menghentikannya. Dita membuka tas kemudian mengangkat ponsel. Berbicara sebentar dan mematikan tak lama setelahnya.
“Ada apa, Ta?” tanyaku.
“Ada telepon dari Ibu, kayaknya aku harus pulang sekarang.”
Aku kaget, “Sekarang?”
“Iya… katanya ada urusan penting jadi diminta pulang cepat. Maaf ya gak bisa sampai beres. Pamit pulang gak apa-apa kan?” pintanya padaku dan Erik. Kami mengiyakan. Tak lama berselang dia keluar dan memacu mobilnya bersatu dengan kendaraan lain di jalan. Meninggalkanku dan Erik.
“Itu teman kerjamu?” tanyanya.
“Iya.”
“Hmmm… ramah, supel… nice,” ujarnya seolah tertarik dengan Dita.
“iya… memang,” jawabku datar. Aku kesal mendengarnya. Ritme makanku berubah agak cepat. Mendadak nafsu makanku bertambah. Rasanya ingin makan semuanya yang ada, termasuk dia.
“Teman dekat?” tanyanya.
“Sahabat tepatnya.”
“Sejak kapan?”
“SMA.”
“Sudah menikah?”
“Siapa? Aku?”
“Bukan… teman kamu.”
“Setahuku belum,” jawabku. Erik mengangguk, ada yang dia pikirkan. Kupikir sepertinya akan ada pekerjaan sampingan–mak comblang. Sepuluh menit berselang. Makanan di meja habis tak bersisa. Aku merasa perutku sudah tak kuat menampung lebih banyak lagi. Kulirik jam tangan. Seratus dua puluh menit sudah kami di sini.
“Habis ini ke mana lagi?” tanya Erik.
Aku mengangkat bahu, “Pulang ke rumah?”
“Rumahku atau rumahmu?” canda Erik.
“Rumahku,” aku mendengus. Erik tertawa kecil melihatku.
Kami berdua keluar setelah Erik membayar bill. Menyeberang dan masuk ke area parkir BIP. Masuk ke dalam mobil kemudian meluncur ke arah jalan. Aku memberitahunya untuk berbelok dan mengikuti arah. Kami tak begitu banyak bicara. Efek kenyang mungkin. Aku bersandar pada jok. Musik menemani perjalanan. Sesekali aku beri tahu dia untuk belok kanan dan kiri. Mataku melepas pandangan ke arah jalan raya, menikmati suasana luar. Inginku berkata sesuatu. Namun mendadak otakku lumpuh. Aku memilih diam. Sampai akhirnya aku menyuruh berbelok masuk ke area parkir apartemen. Aku mulai mengecek semua barang–khawatir ada yang tertinggal. Aku bernapas lega. Aku bisa pulang dan melanjutkan hidupku.
“Terima Kasih, Erik,” aku tersenyum padanya sembari melepaskan sabuk pengaman.
“Terima kasih untuk apa?”
“Untuk segalanya.”
Dia menatapku, ”Sama-sama. Selamat istirahat, Dara.”
“Iya… kamu juga… Erik,” aku membuka pintu. Kami saling melambaikan tangan. Aku jalan meninggalkan Erik yang melajukan mobilnya menjauhi apartemenku. Aku masuk lift sambil memencet tombol angka di dalamnya. Tak lama, aku keluar dan berjalan menghampiri pintu kamar. Ponsel berdering. Aku meraihnya dalam tas dan kuangkat.
“Halo…” sapaku.
“Halo juga,” tukasnya. Suaranya. Langkahku berhenti tepat di depan pintu kamar.
“Iya… ada apa Erik?”
“Apa kita… bisa bertemu lagi?”
Aku tertegun sesaat. Apa katanya tadi?

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices