dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
186
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

8. Membuka Untuk Menutup

2018, Kafe Selasih
“Aku sudah di sini, Ta,” jawabku lewat ponsel. Hari ini Dita berniat mengenalkanku dengan salah satu kenalannya. Aku mencoba membuka diri. Berharap semua tentang Erik segera memudar. Meski dalam hati aku tak tahu pasti. Sudah tak terhitung berapa kali Dita berusaha menghapus jejak Erik dengan memakcomblangkan pada beberapa pria. Namun selalu gagal. Tepatnya, aku yang menggagalkan.
“Ini yang terakhir, Ta,” tegasku.
“Iya… baik” ucapnya.
Aku sudah berada di tempat bertemu menunggu Dita dan kenalannya. Tak lama sampai kulihat mereka mulai masuk menuju ke arahku. Kurapikan lagi bajuku sembari memeriksa khawatir ada yang salah dan membenarkan posisi dudukku. Butuh waktu dua menit berselang, Dita tersenyum menyapaku dan mengajak kenalannya duduk.
“Hai,” sapanya sambil mengulurkan tangan.
“Hai,” ucapku membalas ramah tamahnya.
Kami saling berjabat tangan. Dita langsung mengambil posisi memojok. Pelan kuambil napas mencoba menenangkan diri.
“Dara… kenalkan ini temanku, Yudha,” ujarnya membuka percakapan.
Lelaki itu tersenyum ramah padaku, “Salam kenal… saya teman suami Dita.”
“Iya… salam kenal juga. Saya teman Dita,” kataku.
“Sudah lama menunggu?” tanya Yudha.
“Ah tidak juga… saya juga baru sampai kok.”
Percakapan mengalir dengan santai. Sambil bertanya tentang latar belakang masing-masing, tak lupa kamipun memesan makanan. Sesekali kami bercanda agar suasana sedikit mencair. Nama lengkapnya Yudha Pranata. Untuk ukuran lelaki, dia sempurna tanpa cacat. Badan tinggi jenjang. Berkulit putih terang menjadikan wajahnya semakin tampan. Berpakaian rapi dengan wangi parfum khas lelaki. Ditambah dengan sikapnya yang sopan dan tidak terlalu terburu-buru. Tidak ada kesan buruk yang tertinggal di benakku. Hanya saja, entah kenapa itu masih belum cukup. Erik sudah berdiam mengisi hatiku untuk waktu yang lama.
Waktu terus bergulir. Obrolan semakin mengerucut. Yudha berniat untuk mengenalku lebih jauh dan meneruskan ke jenjang lebih serius. Dia menceritakan kriteria harapan calon istri yang akan menjadi pendampingnya. Aku membiarkannya menyelesaikan perkataannya. Setelah beres, giliranku berbicara. Aku berterima kasih dengan niat baiknya. Sejenak akalku menerima permintaannya, namun hatiku begitu memberontak. Ini sangat kacau. Di satu sisi aku ingin melanjutkan hidupku dan membuka lembaran baru. Tapi di sisi lain aku tidak mau membohongi Yudha dengan berkata ‘iya’ padahal hatiku menolak. Ada satu titik di mana bahkan aku tidak tahu apa yang kuinginkan sebenarnya–tetap menunggu Erik atau menerima hati lain? Memikirkannya saja sudah membuatku kesal.
“Tolong berikan saya waktu untuk mempertimbangkannya,” ucapku.
“Baik… apapun keputusannya, tolong beri tahu aku,” jawab Yudha.
“Iya.”
Kami mengakhiri pertemuan yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua jam itu. Kami saling berjabat tangan. Aku membiarkan Yudha dan Dita pergi terlebih dahulu sambil kemudian merebahkan punggungku pada kursi. Kutenggelamkan diriku dalam lamunan. Melamun karena aku tidak tahu apa yang kucari dengan menolak Yudha. Dita tahu–kalimat ‘meminta waktu berpikir’–adalah kode halus untuk menolak tanpa orang lain tahu–hanya kami berdua yang paham.
Dita: Aku rasa kamu berutang sebuah penjelasan. Hari ini jam 8 malam di Lekker!
Kubaca pesan masuk dan kugeletakkan di meja. Aku pasrah. Wajar jika nanti Dita akan marah dan kecewa padaku. Ah, Ya Tuhan, kenapa urusan hati dan perasaan harus serumit dan sepelik ini?
Malam ini sedikit gerimis, untungnya aku sudah tiba di tempat makan yang terletak di Simpang Lima sesuai yang Dita inginkan. Bangunan peninggalan khas Belanda berwarna putih gading ini memberi kesan elegan. Aku memilih tempat favoritku–kursi dekat jendela. Untunglah suasana tempat tidak begitu ramai. Aku sengaja menyimpan mobilku di apartemen dan berangkat dengan taksi menuju ke sini. Kumenunggu Dita datang sembari memesankannya minuman. Alunan musik yang diputar membuat ingatanku membuka kenangan lama–memori bersama Erik di Skywalk. Pemandangan jalan yang terpampang melalui jendela bisa sejenak memulihkan kondisi hati yang sempat kacau karena kejadian tadi siang. Kuperhatikan lamat-lamat sampai tak sadar ada yang datang mendekat.
“Udah lama?” katanya sontak mengalihkan perhatianku. Kuarahkan fokusku pada sumber suara.
“Lumayan… dua jam,” jawabku.
“Dari jam 6?”
“Iya.”
“Mobil mana?”
“Disimpan di apartemen.”
“Naik taksi?”
“Iya.”
“Oh…” dia mengangguk mengerti, “Ke toilet dulu ya.”
“Iya,” jawabku.
Dia langsung berlalu. Tempat ini adalah Foodhouse favorit aku dan Dita. Saat Dita belum menikah, kami selalu menghabiskan waktu di sini. Terutama saat kami memiliki kekesalan satu sama lain. Tempat ini selalu cocok untuk melampiaskan dan meleburkannya kembali. Sembari Dita ke toilet, aku kembali memandangi lalu lalang jalan.
“Ini minuman siapa?” ujarnya setelah lima menit berlalu. Dia menunjuk salah satu minuman.
“Minumanmu, sengaja kupesan tadi.”
“Oh… oke, makasih ya.”
“Iya,” kataku sambil tersenyum. Dita menghabiskan minumannya tanpa berkata sepatah pun. Sepertinya dia sedang mengulur waktu mempersiapkan dirinya membombardirku dengan sederet pertanyaan. Kubetulkan posisi dudukku senyaman mungkin.
“Adara Qorina Haris…” ucapnya memulai.
“….”
“Bisa jelaskan apa maksudmu dengan berkata–beri aku waktu berpikir?”
“….” mulutku tadinya terbuka untuk memberi jawaban, namun akalku mendadak lumpuh. Aku kembali diam.
“Di antara semua lelaki yang kucoba kenalkan, tak adakah yang menarik hatimu?”
“….” mereka semua menarik hatiku, namun entah aku pun bingung.
“Mereka dengan semua kualifikasi yang selalu diidamkan wanita, kau tolak?”
“….” iya, hatiku mati rasa pada setiap mereka yang datang mendekat.
“Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?”
“….” aku hanya ingin hidup bahagia tanpa harus seperti ini. Ini membuatku sesak, Dita.
“Untuk apa bersikap ramah kalau ujungnya menolak?”
“….” karena awalnya aku percaya penantianku akan berakhir, namun bayang Erik menghentikan semuanya.
“Kenapa Dara? Kenapa?!”
“….” Kumohon berhenti bertanya, Dita. Aku sudah tidak sanggup.
“Apa kamu masih mengharapkan Erik?”
“….” dadaku semakin sakit. Udara mendadak lebih dingin menusuk. Lidahku kelu. Telingaku tidak siap mendengar hal ini. Tanganku bergetar. Lelaki itu.
“Tolong Dara… jawab aku, jangan diam saja!” Dita sepertinya sudah kehabisan akal.
Payah kugerakkan bibirku. Kukumpulkan semua tenaga sambil mencoba merangkai kta berharap Dita mengerti alasanku. “Aku… sebenarnya aku...” belum sempat kubereskan, wajahku memerah dan pelan riak air jatuh di pelupuk mata. Kuatur napas meski air mata tak bisa berhenti. Kubiarkan mengalir. Sekuat mungkin kutahan agar tidak terisak.
“Dita… maaf kalau aku sudah menyusahkanmu dan menjadi beban untukmu. Sebenarnya…” lidah ini terhenti dan air mata semakin mengalir. Kucoba menghela napas untuk melanjutkan, “Sebenarnya… aku pun sama ingin seperti yang lain. Berbahagia dengan yang lain. Namun kau pun tentu tahu kelemahanku–saat aku jatuh cinta, aku akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Tentang Erik, betul dialah alasanku menolak semua pinangan yang ada. Bukan tanpa sebab aku menunggunya begitu lama… hiks… hiks…. Aku sudah berjanji padanya untuk menunggu dan menjadi istrinya, aku tak bisa melihat siapapun selain dia…. Dialah yang membuatku merasa dicintai seutuhnya dan aku tak mau kehilangan perasaaan itu dengan memilih penggantinya… aku takut tidak bisa merasa seperti itu lagi….
Aku membangun dinding dengan harapan suatu saat dia akan datang… dan aku tak mau ada yang menghancurkan karena… karena… aku takut jatuh cinta lagi… aku takut untuk memulai… aku takut terbangun dan menyadari Erik tak lebih dari bayangan…” air mataku jatuh semakin deras. Ada sakit menghimpit dan begitu sesak dalam dada. Aku tidak sanggup berbicara. Napasku tercekat. Aku menekan dada dengan tangan berharap kadar sakitnya berkurang, namun gagal. Sakitnya makin menjadi.
Dita menghampiri dan memeluk erat. Meminjamkan bahunya untukku bersandar. Meminjamkan tangannya untukku genggam. Meminjamkan hangatnya untukku meluruhkan segala isak. Meminjamkan bajunya untukku basahi dengan bulir tangisku. Membiarkanku. Terdiam. Tak berkomentar apapun. Memberi ruang untukku mengeluarkan endapan beban yang bersarang karat di hati.
Bisakah aku memiliki babak hidup pilihanku sendiri?
“Terkadang… hidup tidak selamanya persis seperti yang diinginkan. Ada hal yang kita harap akan terjadi tapi nyatanya tidak. Aku tahu ini pasti sulit bagimu, namun aku ingat kamu pernah bilang–obat rasa takut itu adalah dengan menghadapi ketakutan itu sendiri. Kau tahu maksudku,” ujar Dita. Dia mengantarku pulang sejak tangisku sedikit mereda. Meski belum sepenuhnya berhenti. Mungkin Dita merasa bersalah karena membuatku harus bercerita.
“Iya… aku mengerti,” jawabku setelah isak mereda.
“Aku mengerti semua butuh proses… setiap orang memang memiliki ujiannya masing-masing.”
“Iya,” ucapku dengan suara agak parau.
“Daraku sayang,” ucapnya sambil membelai lembut kepalaku, “Maaf jika caraku salah–menuntutmu bahagia dengan caraku bukan caramu.”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Take your time… ini yang terakhir–menjadi mak comblangmu. Aku hanya berharap semesta memberi takdir terbaiknya untukmu. Hanya saja apakah kau berbahagia dengan Erik atau lelaki lainnya–keputusan ada di tanganmu.”
Kami saling berpelukan.
“Maaf karena sempat emosi tadi,” katanya.
Aku mengangguk seraya membalas tatapannya, “Thanks, sweety.”
“Well, I guess it’s time for me to leave.”
Kuanggukkan kepala. Dia berkemas dan mulai beranjak dari sofa. Kuantar sampai pintu. Namun saat gagangnya diputar, dia berhenti sejenak tanpa memandangku, “Dara, aku harap kau tidak menitipkan bahagiamu pada orang lain sehingga kau bisa menikmati hidupmu, apapun yang terjadi.”
***
Sudah satu bulan berlalu sejak peristiwa itu. Aku dan Dita masih saling mengirim kabar satu sama lain, hanya saja tidak ada bahasan mengenai jodoh dan lelaki. Ucapak terakhir Dita saat beranjak pulang menjadi titik balik keputusanku–mungkin selama ini aku begitu menggantungkan bahagiaku pada orang lain. Aku mencari Erik di setiap sosok lelaki lain. Seharusnya aku sadar bahwa akan selalu ada pengganti untuk setiap kehilangan.
Aku terus memelihara masa lalu sampai tak sadar masih memiliki masa depan yang harus kuurus. Aku ingin diterima tapi tidak siap menerima. Memang butuh waktu bagiku untuk membangun semuanya dari awal. Menata ulang hati. Menghancurkan sekat. Meleburkan dingin hati. Sulit, tapi setidaknya melegakan. Aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mencoba dan membiarkan semuanya berjalan mengalir.
“Hey, Na…” sapanya lewat ponsel.
“Hey juga,” ucapku.
“Lagi ngapain nih?”
“Lagi ngabisin stok makanan di kulkas... haha.”
“Dasar gembul!”
“Yang penting sehat, Ta... kamu sendiri gimana?”
“Lagi ikut suami… acara kantor.”
“Waah istri idaman.”
“Iya dong, harus!” jawabnya diiringi gelak tawa kami berdua.
“Eh sebentar, ikut acara kantor kok masih bisa telepon?”
“Iya bisa, acaranya belum dimulai. Jadi daripada bengong gak jelas, ya udah telepon kamu aja.”
“Jadi ceritanya biar gak bosen makanya nelepon?”
“Ya bisa dibilang begitu.”
“Dasar”, kami tertawa lagi, “Emang masih lama acaranya?”
“Lima menit lagi… Na.”
“Ooh, kirain masih lama,” ujarku.
“Bentar lagi kok Say… eh udah dulu ya… suami manggil nih.”
“Eh bentar, Ta…”
“Ada apa?”
“Aku mau ngomong.”
“Kan dari tadi juga kita ngomong.”
“Bukan itu maksudnya.”
“Ya terus apa?”
“Gini…” aku terdiam menghela napas dan mencoba melanjutkan, “Please, let me know kalo lo punya kenalan… siapa tahu jodoh.”
Tak ada jawaban untuk beberapa saat, “Gak lagi iseng bercanda kan?”
“Enggak, Ta. Ini serius,” nadaku berusaha meyakinkan Dita.
“Oke kalau gitu… let see how it goes.”
“Oke, thanks by the way.”
“Always welcome darling… bye.”
“Bye.” Klik. Kumatikan teleponku dan melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices