dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
194
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

11. Tak Semestinya Begini

Inbox email kemarin malam sukses membuatku tak bisa fokus dalam bekerja. Beberapa kali aku mendapati diriku sendiri melamun. Rasa dingin yang sempat luruh kini menjalar. Tak terasa dadaku semakin sesak. Ratusan kemungkinan memenuhi akalku. Begitu berjejal sampai hampir meledak. Banyak yang ingin kutanyakan, tapi mustahil. Pikiranku buntu. Jangankan memikirkan besok, untuk hari ini saja rasanya tak terbayang. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku biarkan pesannya, tepatnya tidak tahu harus membalas apa. Menghela napas sekedar menenangkan diri pun tak ada gunanya.
“Na...” tegur Deni.
Aku terkesiap. Tak sadar Deni sudah berada di ruanganku. Sepertinya dia sedang membutuhkan bantuan, tapi aku lupa. “Iya, apa?”
“Jadi, gimana?”
Aku mencoba mengingat percakapan kami, tapi hasilnya nihil. “Gimana apanya?”
Deni memutar bola matanya, “Ya ampun, Na!! Dari tadi lo diem gue kira lagi mikirin solusinya.”
Aku menunduk malu, “Maaf, Den.”
“Jadinya gimana nih?” Deni tak sabaran.
“Sorry Den, tapi… kita lagi bahas apa ya?” hari ini aku sukses menjadi orang paling tolol dan idiot.
“Oh My Dear Lord, lo denger gak dari tadi gue ngomong apa?!”
Aku diam.
“Gue butuh approval lo buat revisi lokasi foto. Acc jangan?”
Aku terperanjat, “Iya… acc aja,” kuusap wajah yang masih terlihat bodoh dengan kedua tangan.
Deni melihatku seksama, “Ada apa, Na? Gak biasanya lo kayak gini.”
Aku tersenyum berusaha menutupi, “Gak ada apa-apa kok.”
“Na, gue kenal lo tuh gak sehari dua hari. Pasti ada yang ganggu otak lo sampe masalah approve gini harus nunggu sepuluh menit.”
Aku mendongak, selama itukah aku melamun?
Deni beranjak dari kursi, “Gue balik ke ruangan. Oh iya, cuma mau ngingetin aja, kapanpun lo butuh bantuan, langsung kontak temen lo. And that case, gue termasuk.”
Aku tersenyum, “Makasih Den tawarannya, gue pikir-pikir dulu.”
“Oke, asal jangan kelamaan mikirnya kayak tadi,” sindirnya halus.
Aku mengangguk. Deni berlalu meninggalkan ruangan. Pikiranku tak bisa diajak berkompromi. Kacau, stres, takut, you name it. Aku benar-benar tak bisa bekerja. Setiap menitnya hanya terbuang dengan diam dan mencoba berdamai dengan perasaan yang sulit kudefinisikan. Kudiamkan pekerjaan sampai masuk jam makan siang. Kuambil dompet dan keluar ruangan menuju coffee shop yang tidak jauh dari kantor. Aku butuh udara segar. Untungnya belum begitu ramai sehingga aku bisa merangsek masuk ke depan kasir.
“Silakan, ada yang bisa dibantu?”
“Iya, saya pesan Capuccino Frappe dan Single Frozen Yoghurt.”
“Baik, ditunggu sebentar ya.”
Kasir menjumlahkan semua pesanananku. Setelah dibayar lunas dan menunggu, pesananku datang. Langsung kuhampiri kursi yang tak jauh dari sana. Kupijat keningku berharap nyerinya sedikit hilang. Kusesap kopi yang masih hangat. Lumayan membantu–suasana hatiku membaik. Kucoba nikmati waktu istirahat. Setelah kopiku habis, baru kumasukkan yoghurt dingin ke dalam mulut. Kusuap sedikit demi sedikit sampai seseorang duduk di mejaku. Tak sedikitpun terlihat wajahnya karena mataku tertuju pada kudapan. Kuabaikan saja. Please Den, biarin gue istirahat bentar!
“Setahuku kamu lebih suka donat dibanding yoghurt.”
Sontak aku terhenyak. Suara ini begitu khas dan familiar terdengar. Kudongakkan kepala dan melihat sosok yang duduk tepat di hadapanku–Erik! Tanganku terhenti. Aku tak percaya apa yang kulihat. Erik memandangku sambil tersenyum. Senyum yang sama persis saat di Bandara.
“Maaf tidak memberitahumu sebelumnya, kukira kamu akan suka kejutan.”
Aku diam. Akhirnya kamu pulang. Tapi semuanya sudah berubah, Erik. Aku tak tahu harus bercerita dari mana. Ya Tuhan, kenapa dia harus datang di saat seperti ini?
“Bagaimana kabarmu? Sehat?”
Hening. Ini yang kamu tanyakan setelah pergi tanpa ada penjelasan? Apa yang sebenarnya terjadi?
“Maaf aku datang terlambat.”
Ya, kau terlambat. Sangat terlambat. Ada gemuruh yang berkumpul di dada. Jantungku berdetak cepat. Jujur, endapan rindu selama ini terbayar sudah, namun sia-sia belaka. Ada perasaan lega, impas, luruh, kalut. Erik yang dulu menuntun hatiku namun Ryan-lah yang sekarang memegang kendalinya. Tak sadar, aku menitikkan air mata. Entah air mata apa ini? Aku merasa kacau.
“Jangan menangis. Aku sudah di sini,” katanya sambil menyeka tetes isak yang jatuh dari pipiku.
Kenyataan ini terlalu pahit. Kutinggalkan Erik. Kujejakkan kaki berlari secepat mungkin ke arah kantor dan masuk ke ruangan. Kututup pintu. Bergegas kutelepon Winda kalau aku akan pulang dengan alasan tidak enak badan dan meminta dipesankan taksi. Aku gelisah. Berkali-kali aku mondar-mandir di ruangan. Kubuka ponsel kemudian menelepon Dita. Hanya dia yang bisa mengerti kondisiku saat ini.
“Halo,” Dita menjawab panggilanku.
“Dita, kamu di mana?!” tanyaku sembari menahan sengguk tangis.
“Di apartemen. Ada apa?”
“Aku ke sana sekarang, jangan ke mana-mana!”
“Iya. Tapi… ada apa?”
“Pokoknya jangan ke mana-mana!!” kututup ponselku. Segera kurapikan berkas yang tergeletak di meja dan menggunakan long coat bergegas menuju luar ruangan. Melihatku yang tergesa-gesa, Winda menahanku dan bilang kalau taksi yang minta dipesankan sudah ada di lobby. Kuanggukkan kepala dan meminta diantarkan sampai depan. Winda menurut dan menemaniku. Taksi rupanya sudah siap. Buru-buru aku duduk sambil melambaikan tangan pada Winda. Kuberitahukan ke supir ke mana akan pergi dan memintanya cepat. Supir menjalankan perintahku. Taksi membelah jalanan dengan kecepatan maksimum. Aku ingin pergi sejauh mungkin.
Tiga puluh menit akhirnya aku sampai di The Suites. Kutelepon Dita agar menghampiriku. Dita setuju dan mulai mencari taksi sesuai dengan penjelasanku. Setelah bertemu, kami langsung masuk menuju kamar. Dita menyuguhkan air putih hangat. Dita diam tak banyak bertanya. Perlahan, Sesak yang ada kuurai jadi air mata. Semakin lama semakin keras. Dita memeluk dan mengusap punggungku. Lumayan lama, sampai tangis mereda dan mulai mengatur ritme napas.
Dita mengusap kepalaku. Berulang kali sampai akhirnya aku bisa tenang. Kuperlihatkan isi inbox email-ku padanya dan kuceritakan kejadian di coffee shop. Dita mendengarkan runut kisahku. Hening. Tak ada interupsi sampai selesai. Kuberanjak ke kamar mandi Dita sekedar membasuh muka agar tidak terlalu sembap dan kembali duduk. Dita mengganti air putih yang sudah dingin dengan teh hangat dan membiarkanku menyesapnya.
“Na… aku tahu manusia akan diberikan ujian yang berbeda karena Tuhan yakin mereka sanggup menghadapinya. Termasuk kembalinya Erik.”
“Aku harus bagaimana?”
“Menurutku, lebih baik ceritakan yang sebenarnya.”
“Pada Erik?”
“Kukira tak ada cara selain itu.”
Kupijit keningku, “Aku tak tahu harus mulai dari mana, Ta.”
Dita berpikir sejenak, “Aku rasa itu akan dimulai saat Erik mulai menghubungimu untuk kedua kalinya.”
“Aku belum siap, Ta.”
“Belum siap?”
“Iya… aku belum siap untuk menghadapi semuanya. Terlebih pada Ryan.”
“Apa kamu akan menceritakan semuanya pada Ryan?”
“Cepat atau lambat Ryan akan tahu.”
“Memang betul, tapi bukankah kita sepakat untuk tidak menceritakannya?”
“Iya, namun aku merasa tidak adil pada Ryan.”
“Tidak adil? Maksudnya?”
“Tidak adil dengan menyembunyikan hal ini padanya.”
Dita menghembus napas, “Kita tak punya pilihan lain, Na. Bukankah dengan begitu kau pun perlahan bisa melupakan Erik dan mulai bahagia?”
“Iya dan tidak.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Maksudku, aku bahagia hidup bersama Ryan. Namun entah, kenangan Erik kadang hadir tanpa diundang. Ada titik di mana aku seperti orang munafik–mencintai Ryan tapi masih teringat perhatian Erik.”
Dita tersenyum, “Kamu tidak munafik, Na. Hanya saja kamu belum berdamai dengan masa lalumu. Aku mengerti, lima tahun penantianmu terhadap Erik memang tak bisa hilang berganti oleh empat bulan berumah tangga dengan Ryan. Kenanganmu dengan Ryan belum sebanyak kenanganmu dengan Erik. Aku pun tahu itu. Hanya saja, Na.
Kamu harus sadar bahwa segalanya sudah berubah. Sekeras apapun kau menginginkan Erik, nyatanya semesta mengikatmu dengan Ryan. Kalaupun waktu bisa dirubah dan Erik datang sesuai janjinya, belum tentu kau pun akan menikah dengannya. Ryan adalah skenario Tuhan yang direstui untuk masuk dalam hidupmu,” tuturnya pelan.
Dita benar. Sekeras apapun kuupayakan, yang bukan untukku, tetap tidak akan menjadi milikku. Kenapa aku begitu bodoh untuk bisa memahaminya? Ke mana saja aku selama ini?
“Bagaimana kalau aku mengabaikannya saja,” ucapku.
“Maksudmu… Erik?”
“Iya.”
“Itu terserah padamu. Kau lebih tahu cara menghadapinya.”
Kuanggukkan kepalaku. Kuhabiskan teh hangatnya dan menganggap peristiwa tadi tidak terjadi. Kupulihkan kembali kondisiku. Dita memelukku erat memberi semangat. Kubalas dengan pelukan yang sama. Setelah itu, Dita menghiburku dengan menawarkan pergi ke beberapa tempat. Aku menolak, khawatir kalau Erik masih mencari keberadaanku. Aku lebih memilih untuk diam di rumahnya. Dita membiarkanku melakukan apapun seharian di sana. Tak lupa kukirim pesan agar Ryan menjemputku di sini.
***
Sudah hampir satu bulan ini inbox email dan sms serta telepon dari Erik terus mendatangi ponselku. Menanyakan segala hal. Beberapa kali kudapati dia menunggu dengan mobilnya di seberang kantorku. Erik begitu keras kepala. Ini membuatku frustasi. Meski aku begitu menginginkannya, namun sekarang semua terasa hambar. Aku ingin mengubur kenangan Erik sedalam mungkin dengan mengabaikannya. Beranjak melangkah dengan Ryan. Namun deringan telepon yang semakin intens membuat kepalaku begitu pening. Tidakkah seharusnya Erik jeli melihat reaksiku padanya?
Kehidupan rumah tangga kujalani senormal mungkin dengan Ryan. Menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Untungnya Ryan tidak pernah memeriksa ponselku. Dia percaya sepenuhnya padaku. Dan itu yang membuatku begitu meratapi diriku sendiri–Dara, hidupmu sungguh menyedihkan. Dadaku terasa sesak semakin terhimpit. Ingin kulari saja dan menghilang kemudian keluar di saat semuanya tiba-tiba berubah. Tapi itu terlalu pengecut. Dara, You are so idiot when it comes to love.
Hal ini berefek pada produktivitas pekerjaanku. Aku menjadi mudah lelah dan cepat sensitif. Seringkali Deni mendapatiku tidak fokus pada pekerjaan–seperti hari ini.
“Na…”
“Heh?” aku tersadar. Ya ampun, aku melamun lagi!!
Deni mengusap wajahnya dengan satu tangan kemudian menatapku tajam. Terlihat sekali Deni sudah tidak bisa menolerir sikapku, ”Sampai kapan lo terus kayak ini?”
“Sampai kapan apanya, Den?” kucoba mencerna perkataannya.
“Gak fokus sama kerjaan.”
Kepalaku tertunduk malu. “Maaf, Den.”
Deni menghela napas panjang, “Lo kalau ketahuan Pak Aditya bisa kena SP 1.”
“Maaf,” kucoba mengingat kembali alasan Deni masuk ke ruanganku, “Apa ada yang harus gue beresin?”
“Udah gue beresin semuanya. Gue sengaja datang ke sini mau lihat kondisi lo. Gue takut lo kesurupan.”
“Sialan lo, Den!”
“Ya habisnya lo gak nyadar gue udah dari tadi di sini.”
Kupejamkan mata dan menepuk jidat, “Udah berapa lama lo di sini?”
“Lima belas menit.”
“Selama itu?”
Deni mengangguk santai.
“Terus kenapa gak balik ke ruangan lo?”
“Kerjaan gue udah kelar, daripada di ruangan sendiri gabut gak jelas mending ke ruangan lo.”
“Dasar.”
“Lagian ada yang mau gue obrolin.”
“Soal kerjaan?”
“Bukan, soal yang lain.”
“Apa?”
Dia memajukan kepalanya dan berbisik lirik, “Soal mantan pacar sekaligus husband-you-wish-to-be.”
Kuputar bola mata. “Maksud lo?”
“Na, kita temenan udah lama, gak sehari dua hari,sobat malah, ya meski lo lebih deket sama Dita… tapi toh sama aja kan… lo gak cerita juga gue tau masalah lo. Udah sebulan ini lo gak istirahat di luar… karena ada Erik kan?”
Kupicingkan mata dan diam. Meneliti arah pembicaraan Deni.
“Dua hari lalu pas mau istirahat, gue keluar kantor… gak sengaja pas mau keluar gue liat Erik lagi duduk di mobil liatin kantor kita. Gue samperin, untungnya dia masih kenal gue. Gue ajak dia ke coffee shop, Na,” kemudian Deni diam.
“Kenapa diam, Den?”
“Are you with me, Na?”
“Yes.”
“Ok. Then hear me carefully.”
Kukumpulkan seluruh konsentrasiku mendengar apa yang akan terlontar dari mulut Deni.
“Gue ajak dia ngopi, ngobrol ngalor ngidul. Nanya keluarganya, dia juga nanya balik kayak gak ada masalah. Pas makin ke sini obrolan gue makin serius. Gue tanya Erik lagi apa di sini, kalau emang ada urusan sama lo kenapa dia gak datang ke kantor aja… Erik cuma senyum dan bilang takut ganggu lo. Terus dia nanya lo…”
Aku langsung menyela, “Nanya apa?”
“Dia nanya kabar lo, kenapa lo gak bales semua chat dan telepon dia. Kenapa lo gak mau ketemu dia. Erik sampe tahu lo ganti mobil. Fyi, dia tiap hari liatin nungguin lo di luar kantor.”
Ya ampun Erik, aku sudah tidak mengerti jalan pikiranmu.
“Gue bilang ke Erik kalo kondisi lo sekarang udah beda, bukan Dara yang dulu dia kenal… dan saranin untuk gak usah nungguin lo di luar kantor. Awalnya Erik diem pas gue kasih tahu kayak gitu, tapi menurut gue Erik cukup cerdas buat nangkep maksud omongan gue. But you guess what? Dia tetep mau nungguin lo.”
“Den, gue gak tau harus gimana. Gue buntu.”
“Gue ngerti dan gue paham. Jauh di lubuk hati lo, lo pengen balik sama dia kan?”
Deg!
“Omongan gue bener gak?”
Aku mengangguk pelan. Dan sekarang aku merasa seperti wanita yang sudah tidak punya harga diri. “Apa gue salah, Den?”
“Gue gak nyalahin lo. Menurut gue sih wajar. Kenapa? Lebih banyak kenangan lo bareng Erik ketimbang sama suami lo sekarang. Gue juga pasti bakal ngelakuin hal yang sama kalo jadi lo. Tapi Na, lo lupa sesuatu…”
“Apa?”
“Time change, live change, people change and so does with love. Lo lupa kalau semuanya udah berubah. Apa yang udah terjadi di hidup lo sekarang inilah yang dinamakan jalan hidup. Takdir. Kehendak Tuhan buat lo. Gue ngerti lo tetep mau sama Erik because you believe he is kind of something, tapi sayangnya Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat alur hidup lo.”
Aku menunduk semakin dalam dan malu dengan diri sendiri.
“Gini deh… jangan ngerasa segan buat cerita apapun ke gue… seenggaknya biar beban lo sedikit ringan. Sekalian gue juga mau ngasih tahu lo suatu hal, mungkin dengan ini lo bisa lebih tenang dan bijaksana ngambil tindakan…” Deni menghela napas kemudian melanjutkan kembali, “Kenapa gue berani ngomong ini ke lo? Karena dulu gue pernah ada di posisi yang sama kayak lo. Persis mirip.”
Aku mendongak, “You sure?”
“Pretty sure, girl. Gue sama frustasinya kayak lo. Gak fokus di kerjaan. Marah ke diri sendiri dan nyalahin keadaan. Gue mikir kalau seandainya gue nunggu dia lebih lama, pasti gue udah bahagia. Tapi makin ke sini gue ngerti–definisi bahagia itu bukan tentang menjalani hidup sesuai yang gue mau, tapi sesuai dengan apa yang Tuhan mau meski itu gak sejalan. Gue minta dikasih jodoh terbaik ke Tuhan dan bukan dia orangnya. Bukan berarti dia gak baik, Na. Dia baik… sangat malah, tapi ya tetep… Tuhan Maha Tahu.”
“Kok lu gak pernah cerita soal ini?”
“Gue gak bisa cerita… it’s a men things you’ll never understand.”
“Hhhgh…” hembusku pelan.
“Gue tanya lo deh, tapi jawab jujur ya… lo pengen sama Erik tapi lo takut dengan semuanya ya?”
Aku malu untuk mengakuinya, tapi berbicara hal ini dengan Deni membuat bebanku terangkat. Akhirnya apa yang mengganjal di dada bisa dikeluarkan tanpa dihakimi sebelah mata. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.
Deni mengangguk seolah dia mengerti jawabanku, “Sekarang gue tanya lagi, seberapa besar lo pengen Erik di hidup lo? Apa masih sebesar dulu? Atau lo pengen bareng Erik untuk sekedar hidupin nostalgia memori lo sama dia?”
“Gue… untuk dua pertanyaan itu… gue gak tahu pasti, Den.”
“I see the point, Na,” Deni semakin mendekat padaku dengan mimik lebih serius, “Hanya ada dua opsi untuk masalah lo, mau denger?”
“Iya, Den.”
“Opsi pertama, lo bisa milih hidup dengan Erik, mau kabur atau apapun caranya terserah, gak ada yang bisa larang lo. Tapi… di saat lo pergi, apa yang bakal lo jelasin ke Ryan yang udah sebegitu sayangnya sama lo dan ngasih segala yang dia punya? Apa yang bakal lo jelasin ke mertua lo yang udah sebegitu sayangnya dan nganggap lo kayak anak mereka sendiri? Dan… apa yang bakal lo jelasin sama ortu lo yang tersudut karena dimintai penjelasan sama pihak Ryan? Opsi kedua, lo berdamai dengan semua kenangan masa lalu, termasuk Erik dan nerima keadaan sekarang. Jadi Dara yang sepenuhnya baru dengan segenap anugerah yang Tuhan kasih ke elo.”
Kudengarkan semua ucapan Deni dengan seksama.
“Na… Erik dan Ryan itu dua lelaki yang berbeda, mereka ngasih kenangan ke lo dengan cara berbeda, mereka ngasih cinta ke lo dengan cara berbeda. Tapi yang akhirnya pegang tangan dan ngajak serta nyempurnain hidup lo adalah Ryan. Gue cuma kasih saran, tolong jangan sia-siain orang yang udah rela berjuang dan berkorban buat bikin kita bahagia, karena saat mereka pergi, belum tentu kita dapat yang sama lagi.”
Aku mengangguk.
Deni menepuk bahuku, “Gue percaya lo bisa bijak ambil keputusan, gue percaya lo mampu hadepin soal ini.”
Pundakku terasa ringan saat Deni bilang seperti itu.
Deni mengangguk, “Sekian ceramah dari Ustaz Deni… semoga ada manfaatnya,” kemudian melirik jam tangannya, “Nah udah waktunya pulang, gue yakin bentar lagi laki lo dateng ke sini jemput lo.”
“Makasih, Den.”
“Makasih? Buat apa?”
“Semuanya yang lo obrolin tadi.”
“That is what friend stands for, darling,” Deni kemudian melangkah menuju pintu, “Oh iya, nanti gue kirim tagihan konsultasinya ke meja lo ya,” candanya.
“Siap, Pak Bos… gue bayar pake cek ya?!”
“Itu lebih bagus,” tawanya sambil keluar ruangan.
Dara, selesaikan segalanya dan hiduplah bahagia.
***
“Mau makan apa, Yan?” tanyaku pada Ryan.
“Apa aja terserah,” jawabnya sambil melangkah menuju kamar mandi setelahku.
“Oke.”
Segera kuganti baju dan memilihkan pakaian ganti untuknya. Masak apa ya hari ini? Kulihat isi kulkas yang masih penuh dengan bahan mentah. Kukeluarkan sebagian dan mulai memotong bahan makanan. Seperti biasanya, telor dadar selalu jadi makanan wajib dan sisanya bisa dikompromikan. Beberapa sayuran ditumis, tak lupa dengan beberapa potongan daging untuk menambah selera. Tak butuh waktu lama, makanan siap disajikan.
Kutata posisi makanan dan piring sedemikian rupa saat Ryan mendatangi meja makan dengan menggunakan celana boxer saja. Kuhidangkan sesuai dengan yang diinginkannya. Ryan makan dengan lahap sampai tak menyisakan satupun makanan di meja. Ryan beranjak menuju ruang tamu sehabis mencuci piring kotornya. Aku jadi yang terakhir menghabiskan makanan.
“Yan, mau buah ga?” tanyaku sambil memotong beberapa buah-buahan. Aku tahu ini hanya basa-basi, Ryan tak pernah menolak makanan apapun yang kubawa.
“Iya,” jawabnya sambil memilih channel yang ditonton.
Kaki berpindah menuju ruang tamu dan meletakkan buah di meja. “Kok gak pake baju?”
“Gerah, Yang,” nadanya datar, “Suapin dong,” pintanya manja.
Kuikuti kemauannya. Terkadang terasa lucu saat melihat Ryan, di luar rumah dia sangat tegas bahkan cenderung dingin, tapi berubah saat di rumah, manja dan apa adanya. Namun tetap tak mengurangi kadar ketampanannya.
“Tadi aku ke apartemen kamu,” jawabnya sambil tak mengalihkan mata dari TV.
“Emang punya kartu kuncinya?” aku heran.
“Punya dong, belum aku balikin sejak kamu pulang dari acara di Jakarta.”
“Udah lama berarti, Yan.”
“Gak inget ya?”
Kugelengkan kepala.
Ditoyornya kepalaku lembut, “Ckck, awas aja kalau nanti kamu gak inget udah punya suami!”
“Itu sih pengecualian,” kami tertawa berdua , “Ada apa di apartemen?”
“Jas kantor. Untuk dresscode seminar di ruangan besok.”
“Gak bisa pakai jas lain?”
“Kalau bisa pasti gak akan repot-repot ke apartemen.”
“Ooh….”
“Hmm… tahu gak?”
“Apa?”
“Waktu mau pulang, ada yang ketuk pintu, aku kira itu kamu.”
“Ternyata?”
“Laki-laki.”
Dahiku mengernyit, “Siapa?”
“Entahlah… dia cari seseorang.”
“Mencariku?”
“Untungnya bukan, orang lain… mungkin salah alamat.”
“Gak kenalan dulu?”
“Enggak lah, Sayang. Tapi sempet tanya namanya.”
“Siapa?”
“Erik… Erik Pradana Rahadian.”
Deg! Sesaat tanganku terhenti, namun berhasil kukondisikan lagi. Apa yang kamu lakukan, Erik?
Ryan sepertinya mendapatiku sedikit kaget, “Kamu kenal?”
“Siapa?”
“Laki-laki yang kuceritakan tadi?”
Kugelengkan kepala, “Enggak!” Aku mengenalnya. Lebih dari sekedar kenal, Ryan.
“Hmmm…” gumamnya. Suapan demi suapan buah ke mulut Ryan terus dikunyahnya sampai habis. Satu jam sudah kami berdiam di ruang tamu sampai kemudian berpindah ke kamar tidur. Seperti biasanya, Ryan menarik badanku. Mencium rambutku dan tidur sambil melingkarkan tangannya di pinggangku.
Kumatikan lampu, “Love you, Ryan.”
“Love you more, Dara,” sambil mengecup keningku.
Will you still love me the same if you know the truth, Ryan?
***
Kesayangan : Baik-baik di rumah ya.
Me : Siap, Pak Bos!
Hari ini Ryan mengikuti seminar, acara kantor tepatnya, dan pulang begitu larut. Ryan diantar jemput menggunakan fasilitas mobil perusahaan. Sedangkan aku seharian akan sibuk membereskan rumah. Sengaja kuambil cuti dua hari. Penat yang sudah menumpuk nampaknya memaksa untuk dilepas. Untungnya semua pekerjaan sudah selesai.
Ruangan demi ruangan mulai dibereskan. Perabotan ditata ulang agar tidak membosankan. Sedikit demi sedikit sampah mulai menggunung. Ryan pernah berencana mempekerjakan asisten rumah tangga namun kutolak, karena merasa masih mampu mengerjakan semua sendiri. Lagipun, perabotan rumah tangga belum begitu banyak.
Terik semakin panas. Semua sudah dibereskan. Cepat kuambil handuk dan membersihkan diri. Hanya butuh tiga puluh menit termasuk berganti pakaian. Setelahnya kuambil pengering rambut dan duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Mengendurkan punggung di sandaran sofa sambil bermalas-malasan.
The way that you’re moving
You know what you’re doing
I want to prove that I’m right about you
Go ahead, admit it
Ooh, sing it
Dering ponsel yang tidak pernah kurubah lebih dari tiga tahun tersebut mengalihkan perhatianku. Segera kuhampiri sumber suara dan meraihnya, kemudian kembali lagi ke ruang tamu. Dering ponsel berhenti saat hendak kuangkat. Kumasukkan kata sandi dan kaget melihat panggilan tak terjawab sebanyak 50 kali. Segera tangan ini membuka log panggilan masuk dan melihat nomornya. Ini bukan nomor Ryan. Notifikasi email juga sama banyaknya. Kuhembus napas kuat-kuat. Deni benar, aku harus menyelesaikan semuanya.
“Halo,” berusaha bersikap sebiasa mungkin.
“Akhirnya… bagaimana kabarmu? Sudah sebulan sejak kau lari dari coffee shop dan menghindariku… Dara,” sedikit mengintimidasi namun tetap dengan suaranya yang khas–Erik.
“Aku baik. Maaf aku lari, aku… hanya belum terbiasa… setelah sekian lama.”
“Iya, aku mengerti, dan kurasa aku harus tahu alasannya…”
“Iya… kurasa aku sudah bisa lebih tenang untuk menjelaskan semuanya.”
“Jadi… bagaimana kalau kita bicarakan hari ini?”
“Iya, lebih cepat lebih baik.”
“Di mana?”
Aku diam. “Jam 5 sore di EatBoss Jalan Aceh?”
“Baik, sampai bertemu di sana.”
Kututup ponselku. Jantungku berdegup. Aku harus menyelesaikan ini. Mengakhiri kerancuan dan memperjelas semuanya. Kupikir hari ini adalah waktu terbaik mengingat Ryan pun akan pulang larut. Bukan ingin main kucing-kucingan dari Ryan dengan bertemu Erik diam-diam. Hanya saja kurasa akan menjadi kacau jika Ryan ikut campur. Kulirik jam dinding di ruang tamu. Tiga jam lagi.
***
Aku berjalan menuju tangga. Melihat sekeliling keberadaan Erik setelah turun dari taksi. Pesan yang kuterima menyatakan bahwa Erik sudah menunggu di meja luar dekat kaca. Kaki berjalan beberapa langkah sampai akhirnya kutemukan tempat dia duduk. Erik melambaikan tangan sambil tersenyum. Senyum itu yang dulu membuatku meleleh dan tak bisa lupa. Kucoba membalas dengan hal yang sama. Ada rasa gugup saat menghampiri mejanya. Aku sudah tidak memikirkan akan bagaimana jadinya nanti. Yang kutahu, masalah ini harus segera berakhir. Malam ini.
“Hai…” sapanya mempersilakanku duduk.
“Hai juga…” sambil menyimpan tas di sebelah kakiku.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik… kamu sendiri?”
“Entahlah… belum bisa memastikan. Oh iya, aku harap kamu tidak keberatan,” dia menunjuk beberapa makanan dan minuman yang sudah tersedia di meja.
“Tidak apa-apa, terima kasih sudah repot-repot memesankannya untukku.”
“Aku harap tidak salah memesan semuanya.”
Kugelengkan kepala, “Tidak, seleraku masih belum berubah.”
Erik tersenyum, “Kita harus mulai dari mana?”
“Entahlah… kamu lebih tahu.”
Ada raut wajah yang sulit kutebak dari Erik. Aku tak tahu apa artinya. Untuk sejenak kami berdiam diri. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Menjadi akrab seperti biasa seolah tak ada apa-apa hanya menambah kebuntuan. Kami terperangkap dengan semua prasangka yang ingin dituntaskan.
“Kurasa makanan dan minuman ini tak akan bisa menunggu kita lebih lama.”
“Haruskah kuhabiskan semuanya.”
“Terserah dirimu.”
Aku mengangguk. Kami asing satu sama lain. Kikuk. Perasaan yang dulu pernah ada kini menjadi sesuatu yang sulit kukenali. Kami makan tanpa ada obrolan satupun. Waktu berjalan begitu lambat. Mata Erik terpaku pada tangan kiriku yang terpasang cincin di jari manis. Sejenak matanya memerah. Menyedihkan harus melihatnya seperti ini. Makanan terasa hambar. Segera kupinggirkan makanan dan menghirup air yang tersisa di gelas. Erik menghabiskan semuanya lebih cepat dariku. Namun kembali diam. Dadaku semakin sesak. Mau tidak mau, air jatuh dari sudut mata. Kucoba menahan agar tidak terisak.
“Maaf,” aku mengawali pembicaraan.
“Maaf untuk apa?” Erik terlihat tenang meski aku tahu hatinya tengah bergejolak. Kami sama-sama menahan emosi.
“Karena tidak bisa membayar utangmu.”
Jelas terlihat Erik memandangku sambil menangis. Tak ada isakan. Hanya air mata.
“Sudah berapa lama?” Erik menunjuk cincinku.
“Hampir enam bulan.”
Erik tersenyum, masih dengan air mata yang jatuh, “Seandainya aku bisa datang padamu lebih cepat.”
Aku tersenyum getir mendengarnya.
“Kenapa… Dara?”
“Apanya yang kenapa, Erik?”
Terlihat raut Erik sedikit kesal, “Kenapa kamu tidak menungguku? Sedikit lagi...”
“Sudah Erik! Aku sudah menunggu… aku berusaha sekuat mungkin bertahan, tapi…”
“Tapi apa?” nadanya dingin.
“Tapi aku tidak bisa menunggu lebih dari itu,” kutepis air mataku dengan tangan.
“Berapa banyak yang sudah kulewatkan?”
“Banyak… terlampau banyak.”
“Aku tidak menyangka kita bertemu dalam kondisi seperti ini,” Erik menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menerima kenyataan ini terlalu pahit untuknya.
“Setelah apa yang kita punya… kita kembali asing dan semuanya menjadi sepi.”
“Kenapa kamu menerima lamarannya?” nadanya seolah mengejekku. Aku tidak suka.
“Tak ada jejak darimu… aku bertahan di sini sendiri… apa lagi yang harus kupilih?”
“Tak bisakah aku... dan kamu… menjadi kita?”
Aku mendongak. Kaget mendengar ucapannya. “Apa maksudmu?”
“Kembalilah padaku.”
“Jangan bertindak gila, Erik!!”
Bisa kulihat mukanya memerah, “Aku sudah gila, Dara! Aku sudah gila sejak Deni memberi isyarat padaku agar menjauhimu! Dan aku lebih gila saat lelaki itu membukakan pintu apartemenmu!!” nadanya mulai meninggi. Dadaku semakin sakit mendengar ucapannya.
“Ryan tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di antara kita,” suasana semakin panas.
“Jelas dia ada hubungannya! Dia yang membuat sekat di antara kita, Dara!”
“Dia bahkan tidak tahu kamu!”
“Tidak mungkin!”
Aku lelah berdebat dengannya, “Aku tidak butuh pengakuan darimu!”
“Kumohon… Dara,” Erik memelas, berusaha menurunkan emosinya. “Aku mencintaimu… sungguh.”
Sakit rasanya hati ini, “Ryan juga mencintaiku, Erik.”
“Apa yang ada padanya tapi tidak padaku, Dara?”
“Kumohon hentikan, Erik! Jangan membuat posisiku semakin sulit.”
“Aku masih belum bisa menerima ini,” Erik menatapku tajam dengan air mata jatuh di matanya.
“Kamu ingin aku bagaimana?! Meninggalkan suamiku dan berlari padamu?!!”
“Aku harap begitu.”
“Erik, antara aku… denganmu… dan apa yang kita punya… sudah tidak ada yang tersisa. Semuanya sudah jadi masa lalu!” Air mataku semakin deras mengalir. Erik juga. Sayup angin yang menghembus seolah menambah pilu menertawakan kami berdua. Mengasihani dan meledek.
“Masih adakah… rasa itu… untukku?”
Sejujurnya ada, Erik. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus berhenti memberi kesempatan antara kita. Aku harus mengakhiri semua ini. Sungguh berat, tapi aku tak bisa memberimu lebih banyak harapan selain apa yang pernah kita miliki. “Sejak Ryan masuk dalam hidupku, rasa itu… perlahan memudar… dan menggeser semuanya.”
“Tak menyisakan apapun?” Erik ingin memastikan perasaanku padanya.
Kugelengkan kepala, “Maaf.”
“Hhhh…” desah Erik.
“Kumohon… lepaskan aku.”
“Apa kamu bahagia dengannya?”
“Yes, he is.”
“Apa dia menyayangimu?”
“Yes, he is.”
“Apa dia tulus padamu?”
“Yes, he is.”
Kami saling membisu. Kuatur napas meski air mataku masih mengalir. Rasa dingin yang dulu menyeruak, kini luruh. Debar yang dulu pernah ada, kini menguap. Degup yang dulu begitu menguasai, kini sudah tak mendominasi. Aku lega. Apa yang tersimpan akhirnya keluar sudah. Aku tidak tahu apakah Erik lebih bisa menerima kenyataan atau tidak–meski aku tahu jawabannya tidak. Setidaknya aku mencoba jujur.
“Guess he is giving you what I didn’t gave to you,” Erik mulai melunak. Masih tangannya mengusap air mata yang jatuh, meski tidak sebanyak tadi.
“Semuanya sudah berubah, Erik.”
“Apa kamu tidak mau tahu kenapa selama ini aku menghilang?”
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. “Tidak, aku sudah tidak membutuhkannya. Simpan untuk dirimu sendiri, Erik.”
Erik mengangguk. “Baiklah… aku tidak akan memaksa.”
“Jadi… maukah kau melepasku?”
“Kurasa tidak ada pilihan tersisa selain itu.”
“Sayang sekali kita harus bertemu di waktu seperti ini,” aku berusaha tersenyum, meski dipaksakan.
“Pada akhirnya… hanya inilah yang kita punya,” terlihat Erik mencoba tersenyum, mencoba berdamai dengan keadaan yang ada.
Kami menyapu semua bulir air yang tersisa di pipi. Mencoba mengembalikan suasana hati, meski tidak akan pulih dalam waktu cepat. Berkali-kali menarik napas berharap lebih tenang dari semula. Sedikit membantu. Kami mencoba merelakan segalanya. Matahari sudah berganti malam. Aku tidak begitu ingat berapa lama kami begini. Erik melirik jam tangannya.
“Sudah saatnya kamu kembali.”
Aku mengangguk. “Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Entahlah… mungkin untuk beberapa hari ke depan aku akan menangis, merutuk segalanya… mencari segala kemungkinan untuk bisa melepas kenangan tentangmu,” jujurnya.
“Kuharap kau bisa melupakanku secepatnya, Erik.”
“Akan kucari caranya,” Erik kemudian memegang tanganku, “Bisakah… aku… mendapat pelukan terakhir?”
Aku mengangguk, “Untuk yang terakhir.”
Erik membawa kursinya dan mendekatiku. Memelukku erat. Pelukannya tidak berubah. Masih tetap hangat. Seperti saat peristiwa itu. Seperti saat di Skywalk dulu. Seperti saat di bandara dulu. Bisa kudengar detak jantungnya berbunyi cepat. Napasnya masih tersekat karena tangisan tadi.
“Terima kasih pernah menjadi alasan di balik tawaku, ceriaku, dan segala kenangan bahagia. Terima kasih pernah menjadi alasanku pulang. Aku akan sangat merindukanmu, teramat sangat, entah untuk berapa lama. Aku pun minta maaf, for everything.”
Kudengarkan perkataannya dalam diam. Kuanggukkan kepala. “Maaf, tidak bisa membayar lunas utangmu, Erik.”
“Tidak… hari ini kamu akan melunasi semuanya,” masih memelukku, “Hiduplah bahagia dengannya dan lupakan semua tentang kita.”
“Anggap aku sudah melunasinya?”
Erik mengangguk. Sesaat kemudian dia melepaskan pelukannya tanpa menatapku. “Pergilah… aku tidak mau kau melihatku seperti ini,” Erik memunggungiku. Terdengar isak tangis. This is it. Lima tahun penantianku harus berakhir. Kami akan menjalani hidup masing-masing. Kuambil tas dan menyentuh pundaknya sebagai salam perpisahan. Erik bergeming. Kulangkahkan kaki menjauh darinya. Meninggalkannya dan keluar dari tempat itu. Memberhentikan taksi sambil memberitahukan lokasi rumah. Kusandarkan badanku pada jok kursi. Sayup terdengar lagu dari saluran radio di depan supir.
I’d like to say we give it a try
I’d like to blame it all on life
Maybe we’re just weren’t right
But that’s a lie…that’s a lie
And we can’t deny it as much as we want
But in time, our feeling will show
Cause sooner or later
We wonder why we gave up
The truth is everyone knows
Almost, almost is never enough
So close to being in love
If I would have know that you wanted me
The way I wanted you
Then maybe we wouldn’t be two worlds apart
But right here in each other arms
But we almost, we almost knew what love was
But almost is never enough
If I could change the world overnight
There’d be no such thing as goodbye
You’d be standing right where you are
And we get the chance we deserve
Try to deny it as much as we want
But in time, our feeling will show
Cause or sooner or later
We wonder why we gave up
The truth is everyone knows.
***
Taksi sudah hampir sampai menuju rumah. Bergegas kuambil kaca dan menyembunyikan wajah sembapku dengan riasan tipis. Kau sangat terampil dalam menyembunyikan sesuatu, Dara. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Mungkin Ryan belum pulang. Aku belum menyiapkan makan malam. Kuhampiri rumah setelah supir selesai mengantarku.
Klek! Pintu terbuka. Apa aku lupa mengunci pintu? Kuarahkan kaki ke ruang tamu dan melihat Ryan duduk menatapku tajam. Matanya menyiratkan kecewa dan marah. Mungkin lelah. Kuraih tangan hendak menciumnya namun ditepisnya keras.
“Ada apa?” tanyaku lembut.
Ryan diam masih memandangku tajam. Membuatku tidak nyaman.
Kucoba mengalihkan perhatiannya. “Mau kubuatkan telur dadar?”
Ryan masih diam
Perilakunya aneh, “Setidaknya aku harus tahu kenapa hari ini sikapmu begitu tidak biasa?”
Ryan memegang lenganku keras, “Apa maumu?”
“Apa maksudmu?”
“Sudah berapa lama?” tangannya semakin keras memegang lenganku. Ryan begitu dingin.
“Aku tidak mengerti, Ryan.”
Matanya mulai memerah. “Apa semua cintamu untukku palsu?”
“Aku tidak mengerti. Tolong jelaskan padaku ada apa?!”
“Ckck!” dia tersenyum sinis, “Kenapa aku begitu bodoh? Seharusnya aku menyadarinya,” Rintik air mata mulai menggenang di bola mata bagian bawahnya.
“Ryan, ada apa?!”
“Kamu mengenalnya!!”
“Siapa?!”
Ryan melemparkan barang dengan keras ke lantai. Mataku terbelalak. Itu adalah kado dari Erik yang kusimpan dalam dus.
“Kenapa?! Kamu mengenal barang itu?!!”
“Apa kamu sengaja membuka dus barangku?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan! Sudah berapa lama?!”
“Apanya?!”
“Hubungan kalian?!”
“Tidak lama, Ryan… hanya beberapa bulan dan setelahnya dia pergi ke luar negeri. Itu saja, tak ada yang lain.”
“Apa yang kamu sembunyikan, Dara?!”
“Ryan… tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini,” pintaku.
“Terus aku harus bagaimana, hah?? Kamu berbohong!! Aku benci!! Kamu mengenal lelaki itu!! Erik Pradana Rahadian!!”
Ya Tuhan, kenapa harus begini?
“Dia masa laluku, Ryan. Dan aku tidak mau membahasnya lagi.”
“Masa lalu?!” kali ini Ryan memegang kedua lenganku, “Kalau dia adalah masa lalumu, terus pelukan tadi itu apa?!”
Deg! Dari mana dia tahu aku bertemu dengannya tadi? Jangan-jangan…
“Sayang… ini bukan seperti yang kamu pikirkan…”
“Lantas apa yang harus kupikirkan?!!”
“Tidak ada apa-apa di antara kami, Ryan!!”
“Benarkah?” Ryan semakin mencengkeram lenganku. Belum pernah aku melihatnya semarah ini. Mengerikan.
“Ada urusan yang harus aku selesaikan dengannya, Ryan.”
“Dengan cara berpelukan?! Dengan cara bertemu di belakangku diam-diam, begitu?!!”
“Ryan… lebih baik kita duduk, aku bisa jelaskan semuanya.”
“Tidak perlu! Apa yang sudah kulihat menjelaskan semuanya… kamu ingin kembali bersamanya kan?!!”
“Ya Tuhan… Ryan… jangan bicara ngawur!! Kalau aku ingin bersama dengannya, harusnya sudah dari dulu aku tinggalkanmu!!”
“Ya betul… logika sederhananya seperti itu, tapi nyatanya… kamu tetap bersamaku dan masih berharap memilikinya, iya kan!!”
“Berhenti memegangku seperti ini, sakit!!”
“Aku yang lebih sakit!!” Ryan menghentak badanku, “Kenapa kau menikahiku?! Apa benar karena kamu mencintaiku? Atau kamu hanya sedang berkompromi?!!”
Air mataku mengalir melihatnya, “Karena aku ingin bersamamu, Ryan.”
“Dusta!!” teriaknya, “Aku hanya meninggalkanmu satu hari… hanya satu hari, tapi kau berani-beraninya bertemu dengan dia! Bahkan menerima pelukannya!!”
“Ryan, kumohon… pelankan suaramu.”
“Aku tidak peduli! Hatiku sakit melihatnya, Dara! Aku ragu kamu mencintaiku tulus dan itu membuatku sakit! Aku ragu semua yang kau lakukan itu tulus, dan itu sakit!! Dan yang lebih sakit… KAU BERBOHONG!!!”
Apa yang tersimpan sekarang sudah keluar menemukan celah dan mengungkap segalanya. Tak kusangka Ryan harus mengetahui semua ini. Kami berdua menangis. Ryan dengan segala prasangkanya. Aku dengan segala kebodohanku.
“Maaf jika kamu harus melihat itu, tapi sumpah demi Tuhan… tidak ada satu cuil niatpun untuk berbuat kotor. Tolong percayalah… semua yang kulakukan padamu itu tulus,” kuraih lengannya mencoba meyakinkan.
“Aku meragukannya, bagiku… hanya ramah tamah saja,” Ryan menghempasku ke kursi dan bergegas menuju kamar tidur. Aku menyusul dari belakang. Ryan mengambil koper dan membawa sejumlah pakaian dan celana dengan cepat.
“Berhenti, Ryan!” kucoba hentikan gerakannya namun Ryan menepis dengan kasar.
“Kumohon Ryan, berhenti!!” kulakukan yang sama. Lagi-lagi Ryan menepis tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Ryan!!!” aku berteriak padanya. Tapi sia-sia. Ryan memandangku dingin kemudian membawa kopernya keluar ruangan sambil membawa kunci mobil. Jujur aku tidak tahan. Aku tidak mau Ryan pergi.
“Jangan mencariku!” nadanya datar melangkah keluar rumah.
Kutahan lengannya kuat “Ryan tolong!! Aku bisa jelaskan semuanya, ini tidak seperti yang kau pikir… kumohon jangan begini,” aku menangis keras.
“Sudah terlambat!”
“Sayang, kumohon…”
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu… aku geli mendengarnya.”
Ryan melepaskan genggamanku menuju mobilnya. Aku berusaha menyusul namun kalah cepat. Ryan menutup semua jendela. Aku memukul jendela sekerasnya berharap dia tak pergi. Aku semakin gusar saat mesinnya dinyalakan dan mulai digerakkan ke arah luar. Kupukul semakin keras sambil meneriakkan namanya. Terlambat. Mobil melaju meninggalkanku jauh di belakang. Tangisanku semakin kencang. Aku kacau. Dunia terasa runtuh. Tanganku gemetar. Kucari ponselku dan menekan satu nomor.
“Halo…” jawabnya. Dita.
Tak ada jawaban selain isak yang meledak hebat. Dita panik dan menyuruhku diam di sana. Aku kalut sekalut-kalutnya. Tak pernah terbayangkan bagiku akan separah ini sakitnya. Air mata tak henti-hentinya jatuh. Kututup wajahku. Yang kutahu, semuanya berubah gelap.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices