dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
192
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

12. Hello

Wherever you are now that I need you
Tears on my pillow wherever you go
I’ll cry me a river that leads to your ocean
You’ll never see me fall apart
In the world of a broken heart it’s just emotion
Dua minggu sudah Ryan pergi meninggalkanku. Sulit mencari jejak keberadaannya. Semua tempat yang dirasa memungkinkan disinggahinya ternyata nihil. Ryan tak ada di mana pun. Memang, telepon dan pesanku terkirim. Namun tak pernah ada balasan. Siksaan paling sadis yang diterima seorang manusia bukanlah disakiti, tapi diabaikan. Dianggap angin lalu.
Belum pernah aku hancur lebur seperti ini. Kosong. Lebih dari hampa. Meski Dita selalu menyempatkan datang dan memberi dukungannya. Memang membantu. Akan tetapi, setelah itu air mataku kembali jatuh, dan sepi.
Jujur, jatah cutiku tidak banyak sehingga harus terus datang ke kantor. Menyibukkan diri. Mencoba mengalihkan pikiran. Beruntung tidak semua orang menyadarinya, kecuali satu orang–Deni. Dia selalu tahu kapanpun aku memiliki masalah.
“Still looking for him?” tanyanya.
“Of course.” jawabku singkat. Seperti biasa, Deni menghabiskan waktu di ruanganku jika urusannya sudah selesai. Menurutnya, ruanganku adalah tempat ternyaman karena aku akan membiarkannya membaca tumpukan edisi majalah kantor dalam diam. Tanpa diganggu.
“Udah hari ke berapa?”
“Ke empatbelas. Dua minggu.”
“Ini pasti berat untuk lo?”
“Iya, sangat.”
“I’m so sorry for that.”
Aku tersenyum kecut.
“May i give you a help?”
“Go ahead.”
“Gue sadar kalau dalam hubungan kalian tak secuilpun niat untuk ikut campur. Namun gue hanya ngga tahan melihat lo dengan kondisi begini… gue tahu sebenarnya Ryan sangat mencintai lo dan begitu tak mau kehilangan lo, hanya saja mungkin kenapa sampai sekarang tak ada satupun telepon dan sms yang dibalasnya karena dia membutuhkan waktu untuk tenang dan memikirkan langkah selanjutnya… I know he will do that… dan gue rasa lo pun harus memberi waktu untuk diri lo sendiri agar bisa tenang dan berpikir jernih.”
“Maksud lo?”
“I think both of you have to freeze… maksudnya sama-sama tidak melakukan kontak apapun agar bisa menentukan langkah selanjutnya.”
“Gue masih ngga ngerti.”
“Begini…” Deni mendekatkan dirinya padaku, “Sms Ryan malam ini, jelaskan semuanya… lalu setelah itu lo harus berhenti menelepon dan mengirim pesan padanya… sementara waktu.”
“Sampai kapan?”
“Sampai Ryan datang.”
Dahiku mengernyit, “Lo yakin?”
“Iya… lo sudah berusaha menggapai Ryan tanpa henti selama dua minggu, sekarang giliran dia, dan gue yakin Ryan akan pulang.”
“Kalau ngga berhasil?” rasa pesimis mulai datang menjalar.
“Jalani dulu saja, Dara.”
“Saran itu… berdasarkan pengalaman?”
“You can say that…”
“Entahlah, Deni… gue ngga tahu harus bagaimana.”
“just try, darling.”
Aku mengangguk. Jauh dalam hati, sebenarnya beban ini sudah tak bisa kutahan. Kuputuskan meninggalkan Erik demi Ryan. Namun akhirnya, yang kupertahankan pergi entah ke mana. Aku tahu Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kesanggupan hamba-Nya. Hanya saja, aku tidak bisa menahannya lebih lama.
Tanpa sadar, aku melakukan hal yang paling kubenci–menangis di depan orang. Melihatku seperti ini, Deni cepat-cepat membawaku ke sofa dan membiarkanku mengeluarkan sesak di dada. Sesekali Deni menawarkan tissue kering. Dia duduk di sampingku sampai tangis mulai reda dan perlahan napasku bisa kembali teratur. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Your advice… I’ll try,” Kuraih ponsel. Mengetik sesuatu kemudian mengirimkannya pada Ryan. Setelahnya kututup kembali dan berterima kasih padanya. Deni membalas dengan anggukan kemudian pamit keluar dari ruangan.
Hari berganti sore, sudah saatnya pulang. Kupacu mobilku menuju rumah. Sesampainya di sana, cepat-cepat menuju kamar mandi dan membersihkan badan. Ingin beristirahat seawal mungkin namun bel pintu berbunyi. Aku tak terlalu berharap itu dari Ryan. Benar saja, itu dari Dita. Dia tak pernah absen datang dan memastikan kondisiku sejak peristiwa itu.
“Ganggu gak?” ucapnya sambil masuk ke dalam ruangan.
“Santai saja… suami mana?”
“Ngurus kerjaan jadi gak akan pulang… aku nginep di sini ya.”
“No problem, mau kopi? Susu? Air mineral?”
“Gak usah, aku bawa cemilan plus minuman juga,” Dita menunjuk keresek putih besar.
“Oke deh.”
“Kita bakal makan banyak, do a girls thing… oh iya, isi kulkasmu ada apa aja?”
“Lihat aja sendiri.”
“oke… sip,” Dita bergegas menuju dapur, sedangkan aku memindahkan barang bawaannya ke ruang tamu. Membuka keresek makanan dan menyajikannya di meja sambil menyalakan TV.
“Mau nonton film apa, Ta?”
“Apa aja terserah...” teriaknya. Kupilih saluran acara entertainment. Hiburan ringan untuk hari yang penat,
“Na… isi kulkasmu banyak bangeeet, aku masak sebagian boleh ya?”
“Iya… mau dihabisin juga gak apa-apa,” candaku.
Dita mulai mengeluarkan isi kulkas–pempek, roti tawar, selai cokelat, sirup, sosis, telur dan beberapa potongan donat. Dita menggoreng sosis beserta telur dan menghangatkan yang lainnya. Kubiarkan Dita memakai semua peralatan dapur. Tak berapa lama, Dita datang dan menyajikannya di meja. Kami mulai mencicipi hidangan sambil menikmati acara TV. Kami mengomentari acara TV kemudian berlanjut menghabiskan waktu memutar beberapa film. Dita tidak menyinggung soal Ryan. Dan berhasil buatku melupakan beban sejenak. Kami bersenang-senang sampai larut malam.
Tak terasa sudah berganti hari. Saat mataku terbuka, kulihat sisi ranjang sudah kosong dan kudengar suara berisik di dapur. Kontan saja aku bergegas ke sana.
“Lagi ngapain?”
“Masak laah….”
“Ciee… seneng deh ada yang masakin, tiap hari aja lo ke sini, Ta.”
“Ya kali gue tiap hari ke sini… laki gue kasian.”
“Hahaha… iya juga ya.”
“Gih mandi sana trus ganti baju, kita makan bareng ya.”
Aku menuruti ucapannya. Mandi dan segera berganti pakaian. Kurapikan rambutku serta diikat bentuk kuncir kuda. Sejenak kulihat wajah di cermin. Kusam. Terlihat jelas area bawah mataku menghitam. Masalah yang dihadapi tidak hanya menguras emosi, tapi aura wajah. Menyedot sampai hampir pudar. Sengaja kulengkungkan senyum dan memotivasi diri sendiri di cermin. Menguatkan hati bahwa tak lama lagi masalah ini akan selesai. Entah bagaimana caranya.
Kuhampiri Dita yang tengah menyajikan makanan di meja. Bau masakan yang baru matang menyeruak ke hidung. Selera makanku tergugah. Segera kuambil posisi duduk. Kuraih piring dan menempatkan nasi serta lauk pauknya. Dita pun sama.
“Sorry ya, kemarin gue gak ngasih kabar kalo mau main ke sini.”
“Biasanya juga kalau mau main gak pernah ngasih tahu dulu kan? Tiba-tiba udah di depan pintu…”
“Hehehe…” kekehnya.
“Suami lo tahu lo ke rumah gue?”
“Tahu lah….”
“Hmmm…” gumamku sambil mengunyah makanan. “Thanks anyway ya, Ta.”
“Makasih buat apa?”
“Buat nemenin gue… tiap hari nengokin gue… sampe nginep segala, gue jadi ngerepotin lo.”
“Gue gak ngerasa direpotin kok, Na. lagipula kita kan sahabat. Bahkan udah kayak saudara. Masa iya gue gak peduli kalo lo lagi ada masalah. ”
Hatiku tenang mendengarnya.
“Oh iya… mertua lo gak nanya-nanya?”
“Soal masalah ini?”
Dita mengangguk, “Mereka gak tahu kan?”
“Untungnya sih enggak….”
“Mereka pernah nelepon?”
“Pernah… ada beberapa kali nelepon nanya kabar gua… sama Ryan juga.”
“Terus?”
“Ya gue jawab aja kalo kita baik-baik aja, dan Ryan lagi ada urusan di luar kota.”
“Mereka gak pernah nengok lo?”
“Bulan sekarang sih belum, gue berharap mereka gak ke sini dan pasti kaget ngeliat kondisi aslinya… Ta.”
“Iya juga sih… bisa kacau kalau mereka sampai tahu.”
“Hmm…”
Percakapan berakhir dan kami menikmati makanan. Menghabiskan semuanya. Setelah selesai, kubereskan semua piring kotor dan memindahkannya ke wastafel. Mencuci bersih kemudian meletakkannya di rak. Dita dan aku bergegas keluar rumah menuju garasi. Setelah memastikan semua terkunci, kustarter mobil dan meluncur menuju jalan. Kuantarkan Dita terlebih dulu.
“Oh iya, ini…” dia menunjuk bingkisan yang ada di sampingnya, “Jangan lupa dimakan.”
“Itu apaan, Ta?”
“Bekal makan siang lo.”
Alisku mengernyit, “Sejak kapan lo jadi emak gue?”
“Aduuh… udah gak usah protes, pokoknya harus dihabisin ya.”
“Emang isinya apaan?”
“Nanti juga lo tau sendiri.”
“Kapan lo bikin itu? Kok gue tadi gak notice ya?”
“Gue bikin sebelum masak sarapan.”
“So sweet banget sih lo,” candaku.
“Hahaha… ya iya dong,” balasnya.
“Sering-sering kayak gini ya.”
Dita memonyongkan bibirnya, “Bisaaa… tapi bayar.”
“Hahaha… dasar.”
Sepanjang perjalanan Dita berusaha meramaikan suasana. Mengusir rasa bosan. Aku tahu Dita berusaha menghiburku. Kuhargai itu. Mobil terus melaju kencang sampai tiba di parkiran apartemen The Suites. Dita melepas sabuk pengaman.
“Makasih udah nganterin gue, Na,” ucapnya.
“Makasih juga udah nemenin gue kemarin, Ta,” senyumku.
“That what friend stands for… gue tahu masalah lo berat dan bikin mood lo gak karuan, gue sengaja datang liat kondisi lo karena lo harus tau… masih ada orang yang peduli sama lo… support lo… dan gak akan biarin lo sendiri.”
Kupeluk Dita erat, ”Sekali lagi makasih ya.”
Dita mengusap punggungku pelan. “Kuat ya, Na… jangan putus asa! Gue bantu doa biar masalah lo cepet beres.”
“Iya.”
***
Ryan
Seharusnya seminar berakhir sampai larut malam. Namun karena salah satu pemateri mendadak tidak bisa hadir, sehingga durasi seminar selesai lebih cepat. Aku senang. Kesempatan pulang dan bertemu Dara lebih cepat bisa tercapai.
Jam menunjukkan pukul 6 sore. Kuingin membuat kejutan untuk Dara. Tapi sebelum itu, kupikir oleh-oleh akan membuatnya senang. Aku bersama beberapa temanku pergi ke Eatboss Aceh. Tak ada alasan khusus kami memilih tempat itu. Sesampainya di sana, kami memilih kursi yang dekat dengan area bowling. Seperti biasa, pelayan memberikan daftar menu untuk kami pilih. Sebelumnya, mataku melihat-lihat sekitar. Mengganti pemandangan karena seharian bola mata ini dibombardir dengan materi dan tampilan presentasi depan layar.
Saat kuarahkan pandanganku, tampak sosok mirip Dara. Dia sedang makan dengan seorang lelaki di area luar. Kupicingkan mataku memastikan kalau aku keliru. Tapi, benar itu Dara. Deg! Sedang apa dia di sana? Siapa pria itu? Kenapa Dara tidak minta izin padaku? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam otakku. Kuperhatikan mereka berdua. Sepertinya mereka membahas sesuatu yang serius. Sampai akhirnya aku tak percaya kejadian setelahnya. Lelaki itu memeluk Dara!
Seketika rasa panas menjalar di dadaku. Tanganku mengepal. Darahku terasa naik turun dengan cepat. Apalagi saat kuperhatikan wajah pria itu–dia yang menanyakan alamat sewaktu aku di apartemen. Akalku mendadak buntu tak bisa berpikir apa-apa. Langsung aku pamit pulang dan menancap gas.
Siapa lelaki itu? Kenapa Dara mau dipeluknya? Ada apa dengan mereka berdua? Apa hubungan mereka? Sudah berapa lama Dara menyembunyikan ini? Apa yang tidak kutahu? Kenapa Dara tega melakukannya?
Kubuka pintu rumah bergegas menuju gudang. Mencari jejak yang mungkin bisa kudapat. Langkahku begitu cepat. Saat kubuka pintu gudang, kubuka semua dus Dara yang tersimpan. Saat kubuka dus terakhir yang bertuliskan ‘Buku Dara’, kutemukan kotak hadiah. Kubuka isinya. Lututku lemas saat melihat isinya. Lelaki itu punya hubungan erat dengan Dara! Hatiku rasanya hancur. Aku merasa dipecundangi.
Malam itu berakhir dengan pertengkaran hebat. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan Dara. Terlebih dia menangis dan menggedor kaca mobilku dengan keras. Namun bagaimanalah… hatiku pun sakit. Pikiranku begitu gelap.
Sudah dua minggu aku pergi meninggalkannya. Menghilangkan jejak keberadaanku. Telepon dan pesan dari Dara membuatku semakin sesak. Amarah ini belum juga reda. Aku belum mau pulang ke rumah dalam keadaan masih menyimpan kekesalan. Aku belum sanggup.
Kriing! Ponselku berbunyi.
“Halo” jawabku.
“Kamu di mana?” suara seseorang bertanya padaku di seberang sana
“Di tempat yang biasa?”
“Iya. Aku ke sana… jangan ke mana-mana!” ditutupnya saluran telepon. Hari ini aku tidak masuk kerja. Badan rasanya remuk. Selama dua minggu pola makanku berantakan. Itu berpengaruh pada stamina tubuh. Ingin rasanya hati ini pulang, tapi api cemburu belum sepenuhnya padam. Selang tiga puluh menit dari percakapan di telepon, terdengar bunyi ketukan di pintu. Kubuka dan kupersilakan masuk.
“Kamu terlihat kusut.”
Aku hanya tersenyum tipis. “Kopi?” tawarku.
Dia menggeleng. “Aku akan langsung saja pada intinya.”
“Hhh…” desahku pelan.
Dia menatapku tajam, “Sampai kapan kamu terus menyiksa Dara seperti ini?”
“Kau kira aku tidak tersiksa?”
Bola matanya memutar. “Omong kosong! Andai kau dengarkan penjelasannya lebih dulu… sudah tentu tidak akan seperti ini.”
“Tak perlu… aku sudah mendapatkan penjelasannya.”
Dahinya mengernyit, “Kapan?”
“kemarin sore… lewat sms.”
“Apa setelahnya dia mencoba meneleponmu lagi?”
“Belum ada lagi panggilan dan pesan darinya.”
“Sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Merasa menjadi korban?”
“Dara tidak jujur padaku, itu yang masih belum kuterima.”
“Tapi dia sudah jujur, Ryan… berkali-kali dia coba meraihmu namun kau tega mengabaikannya. Sepenting itukah egomu?”
Aku diam.
“Bagaimana dengamu? Bukankah kamu pun tidak jujur pada Dara?” matanya menatap tajam.
Aku terhenyak.
“Tapi itu berbeda.”
“Sejak kapan standarnya berubah?”
“Di antara kita sudah berakhir jauh sebelum kamu bertemu dengan suamimu sekarang, Dita!” nadaku sedikit meninggi. Ya, dia Dita. Sahabat Dara sekaligus masa laluku. Kami sempat berpacaran, tapi tidak lama. Setelahnya, kami kehilangan kontak dan menjalani hidup masing-masing, sampai akhirnya bertemu kembali. Dita adalah satu orang yang mengetahui tempatku diam jika sedang ada masalah.
“Hanya karena kamu lebih dulu melupakan masa lalu bukan berarti kamu bisa bersikap tidak adil pada Dara. Kalau kamu ingin impas… seharusnya kamu juga menceritakan masa lalu kita pada Dara.”
Tak ada jawaban. Di titik ini Dita benar, aku egois menuduh Dara berbohong saat aku sendiri tidak jujur.
“Aku tahu betapa sulitnya bagi Dara untuk menghadapi ini semua, dia melepaskan Erik dan memilihmu. Menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Apa itu tidak cukup untuk membuatmu kembali?”
“Aku masih cemburu. Pikiranku belum tenang, Dita.”
“Sampai kapan cemburu itu terus kamu pelihara?”
“Entah...”
“Itu bukan jawaban.”
“Apa yang ingin kamu bicarakan sebenarnya?”
“Kemarin aku menginap di rumah Dara…”
Aku kaget.
“Badannya lebih kurus… mukanya kurang bercahaya… meski tetap bisa tersenyum tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya dia sudah tidak sanggup menahan semuanya. Dara cerita padaku bahwa dia tidak akan menghubungimu lagi selepas pesan yang dikirimkannya kemarin… aku khawatir dia akan menyerah.”
Aku terhenyak, “Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Kau menghilang tanpa kabar dan tidak merespons jerih payahnya untuk membuatmu kembali. Kau dibutakan rasa cemburu.”
Aku membisu. Perkataan Dita menghentakku. Menyambar seperti halilintar. Aku tidak berpikir sejauh itu. Memori bersama Dara sedikit demi sedikit mulai berputar dibenakku. Aku rindu.
“Ryan… kenyataan Dara menunduk berbakti padamu dan mengabaikan Erik, itu lebih dari cukup bukti bahwa dia mencintaimu! Yang dia butuhkan hanyalah penerimaan… kamu menerima dia apa adanya dan membangun bahagia bersama..”
Tidak ada yang salah dari ucapan Dita. “Kenapa kamu menjodohkanku dengannya?”
“Karena Dara lebih baik dariku dan cocok untukmu. Selama ini kau pun merasakannya, kan?”
Dita benar.
“Karena kamu layak mendapatkan yang terbaik dan Dara adalah jawabannya. Semua kriteria idamanmu ada padanya. Meski aku tahu Dara pun tak luput dari kesalahan. Tapi apakah hanya karena dia melakukan kesalahan kecil lantas kamu berhak menghukumnya begitu berat?”
“Aku… belum bisa berpikir jernih.”
“Ryan… seandainya posisinya dibalik… apa kamu masih sanggup bertahan seperti Dara?” Dita begitu heran dengan sikapku. “Di luar sana, ada lelaki yang masih mengharapkan Dara, tapi dia cukup tahu diri… menuruti keinginan Dara meski rasa cintanya masih sama sejak lima tahun lalu. Sedangkan kamu malah memperlakukan Dara seperti ini. Aku hanya berpesan… sebelum terlambat… jangan biarkan semuanya semakin memburuk… atau kau akan menyesal dengan penyesalan yang belum pernah kamu rasakan seumur hidupmu!” Dita mengambil tasnya dan berjalan keluar pintu. Meninggalkanku dalam diam.
Kubenamkan tubuhku di kasur. Merenungi perbuatanku dua minggu terakhir. Masih segar di ingatan saat Dara mengejar mobilku malam itu. Dan perlakuan dia sebelumnya padaku. Aku salah. Semua kebaikan Dara terlampau banyak dan tidak sebanding dengan kesalahan yang bisa kumaafkan hari itu saja. Bukan, bukan Dara yang salah. Tapi aku. Karena terlampau cemburu. Sekarang Dara harus menanggung akibat keegoisanku. Tak seharusnya aku bersikap seperti ini.
Dita benar, setiap orang memiliki masa lalu. Tidak adil kalau terus mempermasalahkan kenangan yang sudah tertinggal jauh di belakang. Terlebih di saat sudah merelakan dan menerimanya sebagai bagian diri kita. Melanjutkan hidup dan memulai hal baru. Berharap diterima sebagaimana apa adanya tanpa mempertanyakannya lagi. To keep alive, To move on and start the new you.
Egomu yang membuat jarak ini semakin lebar, Ryan.
Kau suami yang buruk, Ryan
Kau membuatnya menderita, Ryan
Kututup wajahku dengan kedua tangan. Perlahan-lahan api yang mendiami dadaku selama dua minggu menguap. Terasa lebih lega. Kondisiku mulai berangsur pulih. Aku mulai merindukannya. Wajahnya. Senyumannya. Hangatnya. Tatapan matanya. Masakan buatannya. Semua yang ada padanya.
***
“Na…” Deni memanggilku.
“Iya, ada apa Den?”
“Ke lantai 2 please… mumpung photoshoot-nya belum beres, sekalian lo bisa koreksi hasil fotonya.”
“Oke, lima menit lagi ya.”
“Iya, gak lebih dari itu ya.”
Aku mengangguk. Beberapa lembar MoU masih harus kutandatangani. Hari ini semua karyawan sibuk, termasuk diriku. Owner perusahaan, Pak Aditya menolak rancangan salah satu konten rubrik yang akan dimuat. Beliau menginginkan diganti dengan yang lain. Otomatis pekerjaan kami sebelumnya sia-sia dan harus mengulang dari awal. Padahal tiga hari lagi majalah sudah harus siap cetak. Perhatianku tersedot sepenuhnya untuk pekerjaan ini.
Lima menit sesuai yang kujanjikan. Pekerjaanku selesai. Bergegas menuju lantai 2 dan melihat sesi photoshoot. Deni langsung memberitahuku untuk melihat hasil foto yang sudah diambil. Kuamati satu per satu. Ada beberapa yang harus di-reshoot. Aku langsung mengambil alih tugas teknis. Arahan mulai diberikan kepada model. Tak lupa aku pun memberi instruksi untuk gaya dan sudut yang akan diambil. Terus begitu sampai semuanya sempurna dan selesai. Kemudian setelahnya Deni mengajakku ke ruang konten
. Aku mengikutinya dari belakang. Aku langsung diperlihatkan konten pengganti begitu memasuki ruangan kerja mereka. Kubaca satu per satu. Memastikan tidak ada kesalahan.
Semua bekerja sampai di luar batas jam kerja. Semua draft pengganti kukirimkan terlebih dulu pada Pak Aditya. Setelah mendapat persetujuannya, langsung kuhubungi tim produksi untuk segera mencetaknya. Selesai sudah. Majalah akan dicetak tepat pada waktunya. Aku mengundang semua karyawan dan mengumumkan bahwa edisi bulan ini sedang dalam proses cetak.
Tak terkira senangnya karena itu berarti mereka bisa segera pulang dan libur selama 3 hari. Kuucapkan terima kasih pada semuanya dan membiarkan semua pulang. Deni menghampiriku saat kurapikan beberapa dokumen.
“Sibuk gak malam sekarang?”
“Enggak… kenapa emang?”
“Nongkrong mau gak?”
“Di mana?”
“Bebas… terserah lo. Gue yang traktir.”
Dahiku mengernyit, “Lagi ada acara apa nih?”
“Gak ada acara apa-apa sih… cuma pengen cari udara segar, sekalian mau ngucapin terima kasih sama lo.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Karena kita gak jadi pulang tengah malam dan bisa libur 3 hari.”
“Hmmm...” pikirku, “Kopi sama donat kayaknya enak, Den.”
“Nah itu dia… ide bagus. Mau di mana?”
“Yang deket kantor aja, daripada harus jauh-jauh nyari… capek di jalan.”
“Oke.”
“Sekalian beliin gue kue juga ya.”
“Sama tokonya sekalian juga gak apa-apa.”
“Beneran?”
“Ya enggak lah...” kami tertawa bersamaan. Kami menuju ke coffee shop. Obat terbaik sehabis lelah bekerja adalah secangkir kopi hangat dan teman. Aku langsung memilih tempat duduk dekat jendela–tempat favoritku. Kubiarkan Deni memilihkan pesanan. Kunikmati pemandangan jalan. Lelah bola mata yang sedari tadi berkutat mengurusi pekerjaan sedikit mengendur dan rileks. Pemandangan luar saat malam memberikan nuansa berbeda. Tak berapa lama Deni membawa kopi dan beberapa donat.
Deni meletakkan kopi di depanku. “Gue gak tahu lo suka donat rasa apa, jadi gue beli beberapa.”
Kuambil kopi yang sudah dipesankan Deni. “Thanks, Den.”
“Always welcome, Na,” usapnya sambil menyesap kopi, “Owner perusahaan lo gila. Seenak jidat ganti konten di saat mepet.”
“Perasaan kita kerja di perusahaan yang sama, sejak kapan owner-nya jadi beda?”
“Kalau di saat kayak gini gue gak mau ngakuin dia owner gue… haha,” tawanya.
“Wah… durhaka lo sama Pak Aditya.”
“Biarin, cuma lo ini yang tahu,” candanya
“Dasar….”
“Hehehe…” kekehnya.
“Eh iya, lo gak dicariin istri?”
“Dicariin sih.”
“Terus?”
“Gue bilang aja lagi beli oleh-oleh, jadi pulangnya agak lama.”
“Ckck! Bisa aja lo kalo bikin alasan.”
“Tapi emang bener kok gue mau beli oleh-oleh, tapi abis ngopi… hahaha.”
“Deuh yaa… emang mau beli oleh-oleh apa?”
“Donat. Hahaha…” cueknya.
“Ish… oleh-oleh itu kayak berlian, emas, hp baru gitu loh, Pak Deniii.”
“Gue belum ada duitnya kalo buat yang itu, sementara yang ekonomis saja dulu.”
Kumonyongkan bibirku. Kuminum sedikit demi sedikit kopi sambil diseling dengan donat. Penat kami berkurang.
“Na…”
“Hmmm...” mulutku masih mengunyah donat.
“Can I ask you something private?”
“Nanya aja, gue gak keberatan.”
“Gini… gue sedikit penasaran…”
“Penasaran soal apa?”
“Erik… dia gimana sekarang?”
“Udah gak ada chat atau komunikasi apapun dari Erik sejak ketemuan di Eatboss.”
“Hmm… itu pasti berat.”
“Iya… buat gue ataupun dia. Ngelepasin sesuatu yang menurut kita bakal bikin kita bahagia dan mulai nerima keputusan Tuhan lewat jodoh yang udah dateng ke kita, yang satu kriteria ideal gue, yang satu gak masuk list gue tapi sikapnya baik… dan akhirnya… pilihan kedua yang jadi jodoh gue.”
“Lo nyesel?”
“Normal gue nyesel… toh gue punya harapan. Tapi makin ke sini-sini gue nyadar… Tuhan pasti punya maksud kenapa gue harus ngejalanin ini semua.”
“Iya…” Deni menyesap kopinya, “Orang tidak akan datang secara sengaja. Mereka melintas di jalur hidup kita untuk sebuah alasan.”
“Agree.”
“Terus… lo sama Ryan gimana?”
Aku terdiam sebentar. Menghabiskan kunyahanku. Menelannya kemudian meleburnya dengan beberapa tegukan kopi. “Masih sama.”
“Udah berapa hari?”
“Berapa hari apanya?”
“Dari sejak lo gak kontak dia… udah hari ke berapa?”
“Kalau dihitung sama hari ini… udah tiga.”
Deni mengangguk.
“I have no idea, gue capek, Den. Sempat gue pikir buat nyerah.”
“Nyerah gimana maksudnya?”
“Ya nyerah aja, gak mau mikirin lagi.”
“Lo nyerah gak mau mikirin maksudnya pasrah atau… punya niat cerai?”
“Gue belum bisa pastiin keduanya.”
“Ini pasti berat buat lo.”
“Iya, tapi at least gue sibuk sama kerjaan jadi bisa ke-distract.”
Deni mengangguk. “Tapi gue punya firasat kalo dia bakal balik.”
“Gue gak mau berharap terlalu jauh, Den. Ini udah hampir tiga minggu. Gue ngerasa kesiksa. Sakit di saat lo dituduh main gila padahal enggak. Gue udah jelasin lewat sms sejujur-jujurnya. Gue juga udah minta maaf kalau bikin dia jadi emosi dan cemburu, tapi ya entahlah... i have try my best.”
“I know you have try, selebihnya biar Tuhan yang ambil bagian.”
Aku mengangguk.
“Just want you to know… apapun keputusan lo nanti, gue bakal support lo. Gue berharap yang terbaik, dan semoga masalahnya cepet beres.”
“Makasih, Den.”
“Anytime, Na,” kami menghabiskan kopi dalam diam. Setelah itu, Deni membelikanku selusin donat dan beberapa kue. Deni membawa mobilku dan mengantarkanku ke apartemen. Malam ini aku tidak mau pulang ke rumah Ryan. Aku ingin beristirahat di tempat yang belum begitu banyak terdapat kenangan Ryan–kamarku sendiri. Setibanya di sana, aku langsung merangsek masuk lift.
Deni membawa mobilku dan akan mengembalikannya saat masuk kerja 3 hari lagi. Sesampainya, kubuka pintu dan segera menaruh donat di kulkas. Menaruh tas dan syal di sofa. Bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Kupakai baju tidur dan membiarkan tubuhku larut di ranjang. Sinar lampu perlahan mulai memudar.
***
Tak sadar sudah berapa lama aku tertidur. Badanku masih lemas meski tidur nyenyak. Mataku memang belum terbuka, sengaja. Aku masih ingin berlama-lama merasakan hangat selimut menjalari ujung kaki sampai leher. Untuk sesaat pundakku terasa ringan. Pikiranku merasa mendapat udara segar.
Setelah dirasa cukup bermalas-malasan di kasur. Mulai kubuka mataku. Pelan. Berusaha menoleransi cahaya matahari yang mulai masuk. Aku kaget karena apa yang kulihat bukanlah pemandangan dapur, tapi bagian dada. Apa aku masih bermimpi? Kugosok mataku dan melihatnya kembali. Benar aku tidur menghadap dada seseorang. Kukumpulkan warasku. Terasa, aku tidur di atas lengan lelaki. Kudongakkan kepala mencari wajahnya. Tak jauh, mata kami beradu pandang.
Deg!
Sepertinya dia lebih dulu bangun dariku. Tanpa berkata apapun, matanya terus menatapku tak berkedip. Bola mataku mulai berkaca-kaca. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Dia menatapku dengan tatapan seolah tidak ingin melepaskanku. Rasa haru, bahagia, dan senang. Entah perasaan apa ini. Campur aduk. Kupegang pipinya. Memastikan apa yang kulihat ini nyata. Dia memegang balik tanganku. Masih dengan sentuhan yang sama. Pelan, tegas, lembut, dan hangat. Tanganku diletakkan pada pinggangnya. Kami tak melepas pandangan sama sekali.
Tangannya mulai membelai pinggir rambutku. “Tidurnya nyenyak banget. Pasti banyak kerjaan ya?”
Aku tak menjawab. Hanya menatapnya sambil mengucurkan air mata.
Dia mengusap bulir air yang jatuh di pipiku. “Maaf membuatmu menunggu begitu lama. Kamu pasti lelah.”
Aku diam.
“Apa aku masih bisa tinggal di hatimu?”
Isakku mulai terdengar. Ditariknya badanku mendekatinya. Membenamkanku dalam pelukannya. Dikecupnya keningku. Kami menangis. Menangis mengeluarkan semua kesah yang tertahan. Menangis untuk meleburkan ego masing-masing. Menangis karena akhirnya rindu menemukan muaranya.
Ryan sudah pulang. Suamiku sudah kembali. Di sini, di sampingku, di dalam hidupku.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices