
14. Epilog
Ryan asyik melihat album kenangan yang ada di kamar. Seharian kami ada di rumah orang tua Ryan. Acara syukuran keluarga. Adiknya baru saja lulus kuliah. Aku membantu ibu memasak. Lainnya menyiapkan piring, menata kursi dan sebagainya. Sederhana dan berlangsung khidmat. Setelah semuanya selesai, lelah menghinggap tidak bisa diajak berdamai. Aku dan Ryan sepakat untuk menginap semalam.
“Lagi apa sih? Serius banget?” aku menghampiri Ryan yang bersandar di dinding ranjang.
“Ini… album foto keluarga,” Ryan menunjuk foto anak kecil, “Liat ini, ganteng ya.”
Kuamati foto anak kecil tersebut, “Itu siapa?”
“Aku lah...” ucapnya bangga, “Ganteng kan?”
Aku menggeleng, “Enggak, gak ganteng.”
Dahinya mengernyit.
Aku tersenyum, “Lebih ganteng cowok yang lagi buka-buka album fotonya.”
Ryan tampak tersipu, “Ckck! Udah makin pinter ya sekarang ngegombalnya.”
“Oh iya dong… harus.”
Ryan tertawa kemudian diam. Menatapku dalam. “Tahu gak? Waktu aku pergi gak ada kabar. Sehari gak liat kamu bikin aku uring-uringan. Gak sabar pengen pulang tapi selalu batal.”
“Kenapa?”
“Karena emosiku belum reda. Khawatir kalau datang ke rumah malah jadi marah-marah dan bikin kamu nangis lagi. Aku gak tega.”
Kucibirkan bibir bercanda. “Lagian… siapa suruh ngambek?”
“Itu bukan ngambek.”
“Terus apa?”
“Itu namanya...cemburu.”
“Alasan… haha,” candaku.
“Yeee… justru kalo cemburu itu tandanya sayang.”
“Mana ada cemburu sampai gak pulang tiga minggu… minggat bawa koper… masih untung istrinya sabar, coba kalau enggak… gak tahu deh akhirnya kayak gimana”
Ryan cengengesan. Sejurus kemudian badannya memelukku erat. “Aku janji gak akan ninggalin kamu lagi. Hilang gak ada kabar. Kasar sama kamu. I’m so sorry.”
Kuusap punggungnya. “It’s oke. Mungkin sudah jalannya harus begini… ujian agar kita tambah dekat, tambah sayang, tambah cinta… satu sama lain.”
Ryan mengangguk.
Kulepas pelukannya dan berhadapan lurus. Kugenggam tangannya. “Untuk semua yang sudah kamu berikan… perhatian, lembut, pelukan hangat, berusaha menjadi lelaki sempurna untukku yang begitu lemah, dan semua yang sudah terjadi… suamiku, Ryan Prianto, dengan ini saya terima nikahnya. Aku terima kamu menikahiku. Aku terima kamu menjadi suamiku. Aku terima kamu menjadi bagian hidupku. Aku terima kamu menjadi pendamping di sisa umurku.”
Ryan tertegun dan terharu. “Emang kemarin-kemarin gak nerima?”
“Nerima sih, tapi….”
“Tapi?!”
“Tapi sekarang lebih nerima.”
Kami saling menyunggingkan senyum dan berpelukan. Lebih erat dari yang pernah ada. Aku bahagia sekarang. Bahagia karena akhirnya semua kejadian membawaku pada titik ini. Merelakan keinginanku dan menerima jodoh terbaik yang dikirim Tuhan untukku.
Other Stories
Kepentok Kacung Kampret
Renata bagai langit yang sulit digapai karena kekayaan dan kehormatan yang melingkupi diri ...
Kuntilanak Gaul
Rasa cemburu membuat Lydia benci kepada Reisha. Dia tidak bisa terima saat Edward, cowok y ...
Kucing Emas
Suasana kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta senin pagi cukup kondusif. Berhubung ada rapat ...
Kasih Ibu #1 ( Hhalusinada )
pengorbanan seorang ibu untuk putranya, Angga, yang memiliki penyakit skizofrenia. Ibu rel ...
Cinta Rasa Kopi
Kesalahan langkah Joylin dalam membina bahtera rumah tangga menjadi titik kulminasi bagi t ...
Just Open Your Heart
Terkutuk cinta itu! Rasanya menyakitkan bukan karena ditolak, tapi mencintai sepihak dan d ...