akibat salah gaul
Akibat Salah Gaul

Akibat Salah Gaul

Reads
20
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Berhasil Dapat Beasiswa Di Jakarta

 “Ambuu…!” teriak Nien sambil berlari dengan mengacungkan selembar kertas di tangannya. Wanita setengah baya itu tersentak dan ikut berlari kecil dari arah dapur. “Ada apa Nien?” tanya Mak Entin, begitu panggilan akrab dari para pelanggan kuenya. “Aku lolos seleksi di International High School!” teriaknya masih kegirangan. “Lolos ? Lolos apa maksudnya, Ambu nggak ngerti?” tanya Mak Entin polos. “Ambu ingat nggak, tiga bulan yang lalu aku ikut seleksi di sekolah? Itu Ambu yang buat sekolah di Jakarta, sekolahannya anak-anak orang kaya. Anak-anak berprestasi. Ambu ingat, kan?” Mak Entin masih mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat kejadian tiga bulan silam. Alisnya yang tebal pun ikut mengerut. “Ooo… iya iya, Ambu ingat sekarang! Waktu itu teh kamu minta photocopy kartu keluarga segala, kan?” jawab Mak Entin. “Iya Ambu, sama kartu surat keterangan RT, RW, sampai kelurahan juga!” sambung Nien. “Emang kenapa? Aya naon eta?” tanya Mak Entin masih tak mengerti. “Si Ambu mah kumaha atuh? Dikirain sudah ngerti,” jawab Nien agak kesal melihat Mak Entin yang belum juga paham. “Nih, dengar ya Ambu! Anak Ambu yang cantik ini akan sekolah di Jakarta. Aku akan jadi anak Jakarta euy!” papar Nien dalam logat Sunda yang kental. “Sekolah kamu di sini gimana atuh?” Mak Entin semakin bingung. “Ya, aku pindah sekolah Ambu!” “Lantas kamu mau tinggal sama siapa di Jakarta, Nien? Di sana kota besar, nggak ada yang kamu kenal?” “Kan, ada Mang Didin, Ambu?” jawab Nien mengingatkan Ambunya. 

 “Tapi kan Mang Didin banyak anaknya, mana pada kecil-kecil. Rumahnya juga sempit.” Nien terdiam. Apa yang dikatakan Ambunya memang benar. Satu-satunya orang yang dikenalnya di Jakarta cuma Mang Didin, sepupu Ambunya. Pekerjaannya cuma satpam kantor biasa. Anaknya empat, rumahnya cuma cukup buat tidur saja. Lalu di mana dia mau tidur nantinya? “Inikan cuma sementara, Ambu?” jawab Nien menghibur diri. “Nien, kamu kan tahu Ambu bukan orang kaya. Abah kamu juga nggak punya warisan yang ditinggalkan. Sedang Ambu hanya dagang kue keliling. Itu juga Alhamdulillah bisa buat sekolah adikmu sama makan sehari-hari.” “Tapi Ambu, aku sudah berjuang keras untuk mewujudkan impianku,” sahut Nien agak lirih. “Emang apa impianmu, Nien?” tanya Ambu. Nien hanya diam. Matanya menerawang ke langit-langit rumah. Ada genangan yang hampir keluar dari sudut matanya. Kertas yang tadi diacungkannya tergeletak di meja. “Aku ingin jadi orang kaya. Aku ingin berhasil seperti orang-orang di Jakarta, Ambu,” jawab Nien seraya matanya berbinar. “Kamu harus sadar Nien, asal kita ini dari mana? Apa yang kita punya? Bisa sekolah dan makan tiap hari pun sudah bersyukur, Nien.” Mak Entin mendekati Nien. Anak sulungnya ini memang cantik. Matanya jeli dengan lentik di bulu matanya. Hidungnya yang bangir persis hidung Abahnya. Tubuhnya tinggi semampai dengan warna kulit yang putih membungkus tubuhnya. Nien juga anak yang cerdas, sejak kecil selalu mendapat beasiswa di sekolahnya. “Ambu, apa pun yang terjadi aku harus tetap sekolah di Jakarta. Di sana ada cita-cita dan impianku. Soal tempat tinggal, untuk sementara aku akan numpang sama Mang Didin. Selanjutnya, aku akan cari kerja, Ambu!” “Kamu mau kerja apa, Nien?” tanya Mak Entin cemas. Beliau tahu Nien keras jika sudah berkeinginan. Dan itu tak bisa dicegahnya. “Kerja apa saja, Ambu!” jawab Nien singkat. “Maksudnya kerja apa, Nien?” 8 6 “Aku belum tahu, tapi kita lihat saja nanti!” jawab Nien penuh keyakinan. “Impianmu terlalu tinggi, Nien?” jawab Mak Entin penuh khawatir. “Impian nggak bakal tercapai kalau kita hanya bermimpi, Ambu. Aku akan kejar impianku apa pun resikonya. Aku harus berhasil!” Mak Entin geleng-geleng kepala melihat Nien yang berlalu meninggalkannya. Ada kecemasaan melihat tekad keras anak gadisnya itu. Apa yang akan terjadi jika Nien tinggal di Jakarta jauh darinya? Di Dusun Cikole yang kecil ini saja, Nien tak pernah jauh darinya. Ke kota saja selalu ditemani adik atau sahabatnya. Mang Didin pasti tak selalu bisa mengawasinya. Jarak sekolahnya nanti dari rumah Mang Didin pasti jauh dan itu perlu biaya. Belum lagi uang jajan sekolah dan makan tiap harinya. Mang Didin hanya pegawai kecil yang tak selalu bisa memberinya uang. Mak Entin mendesah. Apa yang sebenarnya kamu cari, Nak? Tanya hatiya sedih


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices