
by Titikoma

Sakit Hati
“Kita harus putus, Gin.” Suaranya jelas terdengar bagai petir di telinga
Gina.
Gadis itu melongo dengan wajah polosnya. Sama sekali dia tak pernah
menyangka kalimat itu di ucapkan oleh cowok yang amat di cintainya.
“Tapi kenapa?” Hanya itu yang keluar dari bibir mungilnya.
Cowok itu berjalan menghampiri pilar bercat putih. Satu tangannya
memegang pilar itu dan tangan kanannya meremas rambutnya yang
ikal. Ia tahu, ini amat berat untuk dikatakannya. Terlebih pada Gina
yang selama dua tahun ini sudah begitu mencintainya dan telah banyak
berkorban untuknya. Ia menarik napas dalam sampai bahunya terangkat.
“Aku … aku harus bertanggung jawab pada Dila,” jawabnya lirih.
“Siapa Dila?” Tanya Gina sebelum cowok itu melanjutkan kalimatnya.
Cowok berkulit putih itu menoleh pada Gina. Wajahnya yang mirip artis
Korea kelihatan sangat tirus. Mata sipitnya mengerjap sesaat. Ada sesuatu
yang menakutkan dari ketakutan itu sendiri. Ia tak tahu bagaimana cara
menjelaskan supaya Gina mau mengerti posisinya saat ini.
Gadis itu mendekatinya. “Siapa Dila?!” Kali ini suara Gina terdengar
gemetar. Menatap wajah kekasih yang selama ini selalu menjadi cintanya.
Satu tangannya memegang erat lengan cowok itu.
Cowok itu tak berani menatap wajah gadis di sampingnya. Pandangannya
masih menatap pada ranting daun yang menari ditiup angin. Bagaimana
mugkin ia bicara jujur pada Gina. Dia tahu gadis itu amat agresif bahkan
seringkali temperamental jika tersinggung. Tapi ini pun tak mungkin ia
tutupi. Gina akan tahu dari yang lain. Dan akan lebih baik jika gadis itu
tahu langsung dari dirinya.
“Dila anak sahabat Papaku. Dia diperkosa dan hamil. Dan aku harus
bertanggung jawab demi keluarganya, Gin!”
“Siapa yang memperkosanya? Kenapa kamu yang harus bertanggung
jawab?”
“Aku nggak tahu siapa?”
6
4
“Kamu bohong!” Teriak Gina.
Gina menyingkir ke sudut ruangan. Ia terduduk lemas. Suara tangis mulai
terdengar dan bertambah jelas. Cowok itu menghampirinya. Duduk
berjongkok di samping Gina. Ia memegang tangan Gina yang menutupi
wajah cantik gadis itu.
“Aku nggak tahu siapa pelakunya. Sumpah, aku jujur ceritakan ini, Gin,”
ucapnya sembari berusaha membuka tangan gadis itu. Perlahan Gina
membuka tangannya.
“Tapi kenapa kamu yang harus tanggung jawab?”
“Karena keluargaku hutang budi pada keluarganya. Kamu ingat cerita
Ayahku dulu sewaktu terlibat kasus di kantornya, kan? Selama Ayahku di
penjara, Papanya Dila yang menanggung semua biaya hidup keluargaku.
Ini kulakukan demi Ayah. Demi hutang budi kami.”
Gina menatap sengit cowok itu. Ia menepis tangan cowok itu yang ingin
membelai kepalanya. “Lalu bagaimana dengan aku? Berapa banyak yang
sudah kukorbankan untuk kamu? Biaya kuliah, biaya hidupmu. Apa semua
itu nggak berarti. Apa cuma Dila yang berhak menerima semua itu sedang
aku nggak?”
“Ini lain persoalannya, Gin. Kamu nggak diperkosa. Kamu nggak hamil.”
“Lalu karena itu kamu dengan seenaknya nendang aku dari hidupmu?
Kamu pikir aku sampah apa?!” Gina berteriak lagi. Kedua tangannya
mencengkeram krah baju cowok itu. Dia hanya diam dengan perlakuan
Gina.
“Aku…aku…mengertilah, Gin. Pliisss…”
“Kamu tahu aku amat mencintaimu. Apa pun akan aku berikan asal kamu
bersamaku. Coba bilang, kamu mau apa? Mau mobil baru? Mau pindah
ke apartement? Sebut aja, aku akan bilang pada Papa untuk mengurus
semua itu.” Kali ini Gina memohon dengan memegang wajah cowok itu.
“asal kamu jangan tinggalin aku, yah?” matanya mengerjap basah.
Cowok itu menggeleng lemah. Kepalanya menunduk tak berani menatap
wajah Gina yang memohon. Mana mungkin dia menerima permohonan
gadis itu sedang dia sudah berucap janji akan menikahi Dila demi nama
7
5
baik keluarga sahabat Ayahnya.
“Aku nggak bisa, Gin.”
“Kenapa nggak bisa? Kamu pasti bisa. Kita sudah dua tahun saling
mencintai. Kita sudah janji akan menikah, kan? Nanti kita buat pesta yang
besar yah. Kita akan honeymoon ke mana pun kamu mau. Tinggal berdua
di rumah yang besar dengan fasilitas yang lengkap. Papa akan kasih kamu
jabatan di kantornya nanti. Mau, kan? Mau yah?”
Cowok itu berdiri menjauhi Gina. Ketakutan semakin besar dalam dirinya.
Baginya ini bukan lagi soal cinta, harta atau kekuasaan. Tapi ini soal balas
budi keluarga. Dan Gina tak akan pernah bisa mengeti. Ia bersandar pada
pilar itu.
“Bukan itu persoalannya, Gin!”
“Lalu apa?” Gina berdiri dan menghampiri cowoknya. Gemerutuk giginya
samar terdengar. Cowok itu menoleh pada Gina.
“Ayahku saat ini sedang sekarat di rumah sakit dan dia berpesan agar
aku menikahi Dila. Kalau tidak, Ayahku nggak akan pernah memaafkan
kesalahanku.”
“Oke, aku akan menemui Ayahmu dan bilang kalau kita sudah pacaran.
Bahkan kita mau menikah,” napas Gina memburu.
“Bukan itu solusinya, Gin,” sergah cowok itu. “Dila lebih membutuhkan
aku daripada kamu. Dia diperkosa, hamil dan nggak tahu harus meminta
siapa untuk bertanggung jawab. Aku…”
“Dila! Dila! Dila terus yang kamu bela! Aku nggak pernah ada artinya di
matamu.” Teriak Gina.
“Sudahlah, aku pusing! Yang pasti aku akan menikahi Dila. Dan kita nggak
bisa melanjutkan hubungan ini. Kamu harus ngerti dan terima. Paham!”
Cowok itu melangkah keluar teras rumah Gina. Dia tak peduli pada gadis
itu yang memanggil namanya.
“Kamu sudah menyakitiku. Jika aku tak dapat, yang lain pun tak akan
dapat. Kita lihat saja, kamu akan menyesal telah meninggalkan aku.
Jangan berharap hidupmu akan tenang. Karena sejak hari ini, kamu sudah
8
6
memulai mimpi burukmu!”
Napas Gina terus memburu. Linangan di sudut matanya terus mengalir
tanpa kendali. Segala sumpah serapah memenuhi isi hatinya. Cowok itu
lupa, dulu Gina pernah bercanda dalam kalimat ancaman untuk tidak
menyakiti dirinya jika tak ingin berujung pada kematian. Gina ucapkan itu
dalam tawanya.
Dan sekarang, cowok itu sudah membuatnya terpuruk. Segala cara sudah
di perbuatnya agar cowok itu tak meninggalkannya. Bahkan dia rela
mengemis dan merendahkan harga dirinya.
Tatapan mata Gina penuh dendam. Bisikan-bisikan setan seolah menjadi
nyanyian di telinganya. Hati dan pikirannya dipenuhi amarah. Dirinya
masih saja menyumpah serapah. Menginginkan cowok itu celaka lalu
mati, hingga tak ada satu pun yang dapat memiliki. Baik dirinya atau Dila
yang sudah menghancurkan impiannya.