melepasmu dalam senja
Melepasmu Dalam Senja

Melepasmu Dalam Senja

Reads
19
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Cinta Pertama

Raina adalah wanita bersahaja, cantik, dan cerdas. Usianya sudah masuk kepala empat--tepatnya empat puluh enam tahun. Dua puluh enam tahun hidup dengan Roman. Berawal dari cinta mereka yang begitu merekah. Raina dan Roman adalah pasangan terindah bagi setiap mata yang memandangnya. Begitu pun pendapat keluarga besarnya. Roman adalah lelaki tampan berwibawa, memiliki wajah yang teduh, tatapan yang tenang mendamaikan. Layak disebut sebagai lelaki idaman, usianya tidak beda jauh dengan Raina, terpaut beberapa bulan saja-- Raina lebih tua. Roman selalu merasa jatuh cinta dengan keistimewaan wanita satu-satunya yang berhijab di kelas mereka waktu SMA. Di mata Roman, Raina memang sangat berbeda. Pergaulannya begitu tertata. Membatasi gerak dengan kaum Adam, kesantunan yang terlahir dari pembiasaan di keluarga terpandang. Tak ada kisah pacaran yang menyatukan mereka. Hanya bermodal kenekatan Roman untuk melamar selepas kuliah. Roman menyadari, untuk bisa memiliki Raina bukanlah hal yang mudah. Namun, berbekal keyakinan dan doa… Roman yakin tentang mimpi dan tujuannya. Orang tua Raina sempat tersenyum melihat kenekatan Roman, namun itulah yang menjadi penilaian bahwa Roman menjadi kandidat yang unggul. “Apa alasanmu melamar anak saya?” tanya Pak Tomi saat pertama kali bertemu Roman. Roman tertunduk, namun menjawab dengan pasti, “Saya yakin Raina adalah wanita yang baik. Bukankah memilihkan ibu yang baik untuk calon anak-anak adalah kewajiban saya, Pak?” Pak Tomi terkekeh kagum. Menganggukkan kepala dengan pasti, “Saya harus berdiskusi dengan Raina dan ibunya. Bagaimanapun, dia berhak untuk menjawab dan memilih jalan hidupnya.” Roman tersenyum, hatinya berdoa agar Raina mengiyakan harapan yang dia miliki. Wajah tampan itu terlihat tegang, beberapa bulir keringat membasahi pipinya. Sesekali tertunduk dan meremas jari-jari. T-shirt berwarna hitam terlihat sedikit basah. Mungkin keringat telah membasahi 9 7 sekujur tubuhnya. Pak Tomi tersenyum dan memanggil Raina. Raina menghampiri Pak Tomi, wajah cantiknya berseri. Kerudung lebar warna maroon telah membuatnya semakin bersinar. “Iya, Ayah…” Raina duduk di samping ayahnya, tepat di hadapan Roman. “Mungkin Rai sudah mendengar percakapan Ayah dengan Roman. Mau segera memutuskan atau minta waktu untuk memikirkan secara matang?” Pak Tomi memandang anak semata wayangnya. Sambil menggeser kursi yang masih kosong--dipersilakan kepada istrinya yang baru datang. Raina tersenyum manis, terlihat putih bersih deretan giginya. Kemudian dia tertunduk dan meremas jari, mirip seperti yang Roman lakukan. Diam beberapa saat, kemudian menghela napas. “Ayah, menikah adalah ibadah terpanjang…” Raina memulai pembicaraan. Seisi ruangan hening. Tiga wajah dalam balutan cemas menunggu keputusan Raina. Dia tahu jawabannya menjadi sumber ketegangan orang-orang yang menunggu. Pak Tomi memandang, sesekali keningnya berkerut. Bu Lila berupaya tersenyum memandang anak gadisnya, seakan-akan tengah menenangkan degup jantung. Roman seperti tengah diguncangbuaikan ombak di lautan yang tengah pasang, tenggelam dalam kecemasan. Raina menghela napas kembali, “Sejujurnya ini adalah keputusan berat untuk Rai. Semoga Ayah, Ibu, dan Roman menerima dengan lapang dada.” Roman merasa jantungnya berhenti berdegup, aliran yang begitu hebat seketika mampu melemahkan keyakinannya. Roman menebak jawaban Raina. Dia berpikir bahwa Raina akan menolaknya. Ruangan masih saja hening, menunggu Raina menuntaskan isi hatinya. “Lama sekali Raina mengenal Roman. Cukup paham tentang kebaikan dan juga kekurangannya. Meskipun kami tak banyak bertegur sapa. Ayah, Ibu… Rai memutuskan untuk menerima Roman,” Raina tertunduk penuh kesantunan di balik tegasnya sebuah jawaban. Nyaris saja Roman loncat, saking kaget mendengar jawaban Raina yang tak terduga. Ketegangan seketika mencair meskipun masih terasa tak percaya, semua seperti mimpi. 10 8 “Jadi, Rai menerima lamaran Roman? Boleh Ayah tahu apa alasanmu?” Pak Tomi tersenyum bijaksana. “Rai yakin kesederhanaan Roman mampu membawa hidup Rai lebih baik, Ayah…” Raina tersipu. “Baiklah, Rai sudah menentukan pilihan dan memberikan jawaban. Ibu hanya titip semoga semua menjadi jawaban yang benar-benar matang dan terbaik menurut-Nya,” Bu Lila pun tersenyum. Mereka tersenyum, berharap esok bisa menata kehidupan untuk sebuah istana yang akan dibangun Roman dan Raina. *** 11 9 Indahnya cinta pertama, ketulusan kasih sayang yang menggelora. Menyatu dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Roman dan Raina melewati masa-masa jatuh cinta yang tidak melanggar norma--baik agama maupun sosial. Mereka menikmati romantisme berpacaran dalam ruang yang halal. Raina memiliki orang tua terpandang dan cukup kaya. Namun, semua tak dipilih untuk melengkapi awal perjalanan kisahnya bersama Roman. Dia ikhlas menjadi pendamping Roman melewati banyaknya keterbatasan dan ketiadaan. Roman yang terlahir dari ibu yang bersahaja meskipun tak ada sosok ayah yang menguatkannya. Sang ayah pergi seakan setengah berlari dibawa sakit paru-paru basah yang menggerogoti. Masihlah sangat muda usianya, dua puluh lima tahun menurut kisah sang ibu. Sehebat apa pun sesak mendera dari setiap ibunya bercerita, Roman sadar, takdir hidupnya telah tergaris begitu kuat. Roman hanya berjalan menemani ibunya dengan setia, menulis adalah hobi yang membuat dia bisa membantu ibunya membayar uang kuliah. Menjadi sarjana baginya sangat susah, tidak seperti kehidupan Raina yang serba mudah. Gelar sarjana pendidikan telah disandangnya, meskipun Roman sadar itu bukan hal yang diinginkannya. Tetapi almarhun sang ayah sudah berpesan, agar Roman menjadi seorang guru pembelajar yang bisa menanam benih kebaikan dari ilmu kehidupan. Betapa bersyukurnya Roman, karena kini di sampingnya telah ada Raina, menghiasi setiap relung hati. “Di sampingku telah ada dia, sosoknya begitu utuh hidup dalam jiwaku. Mengisi ruangan cinta pertama yang menggairahkan. Aku sangat mencintainya. Dia wanita cantik yang kumiliki. Matanya begitu teduh, kulitnya putih mulus, menyempurnakan setiap indah yang terlukis darinya. Senyumnya membuatku memiliki kedamaian, tangisnya melahirkan empati yang lirih, semangatnya selalu membuatku memiliki keberanian hidup yang utuh,” bisik hati Roman. Roman menatap Raina yang terlelap di sampingnya. Dengan lembut dia membelai wajah istrinya yang tercinta. Raina bergerak perlahan. Kedua matanya mengerjap. Seulas senyum Raina berikan untuk lelaki pujaan yang tengah menatapnya penuh cinta. “Roman, mengapa belum tidur?” Raina setengah berbisik. 12 10 “Rai, maafkan aku. Rasanya ingin menghabiskan banyak waktu untuk berlama-lama menatapmu,” Roman tersenyum. Pipi Raina merona merah--tanda malu, segera dia alihkan pembicaraan, “Sudah selesaikah naskahmu?” Roman menggelengkan kepala dan tersenyum, “Semua inspirasi ada di wajahmu.” “Roman, janganlah memberi rayuan gombal. Aku tak sanggup,” Raina tersipu. “Tidurlah kembali, Sayang. Aku harus melanjutkan tulisan. Besok harus segera dikirim. Semoga ini menjadi jalan rezeki kita untuk kesekian kalinya,” Roman mengusap lembut pipi dan mencium kening Raina. Sunyinya sepertiga malam terasa begitu hangat, ketika hati Roman menemukan cinta yang begitu mawar dari seorang Raina. Dia lantunkan harapan syahdu dalam sebentuk doa-doa dan khalwat bersama-Nya, agar kisahnya sampai hingga ke surga nanti. *** 13 11 Pagi yang cerah, melukiskan semburat sinar mentari. Hangat menyelusup tubuh. Sehangat jiwa Raina yang dipeluk Roman begitu sempurna. “Sepertinya aku tak akan menemukan masalah yang serius bersama Roman. Cintanya begitu mewah, pelukannya begitu hangat. Tuturnya sanggup melipurkan segala sedihku ketika ada duka datang mendera. Senyumnya selalu menyempurnakan kebahagiaanku,” bisik hati Raina saat menatap punggung Roman beranjak kerja. Selain sebagai penulis, Roman bekerja di sebuah yayasan pendidikan milik Pak Tomi. Beberapa bulan berlalu dari hari pernikahan. Kehidupan keduanya tetap baik-baik saja, meskipun hidup di rumah kontrakan yang sederhana. Hingga tiba pada sebuah kondisi, di mana mereka harus menerima kenyataan baru dalam kehidupan. Cinta selalu menuntut pembuktian dan kesabaran. Raina jatuh sakit, tak bisa diduga apa sebabnya. Tubuhnya sering limbung, badannya kurus, matanya mulai terlihat cekung. Gairah hidup seketika hilang. Tiba-tiba sering menangis tanpa sebab, marah, kesal pun tak bisa ditebak, berawal dari mana semuanya? “Rai, kita ke dokter ya. Sepertinya ada yang salah dengan kondisi tubuh dan perasaanmu…” Roman mengusap pundak Raina dengan lembut. Raina menggelengkan kepala, bulir bening mulai membasahi netranya dan bergulir di pipi yang terlihat kurus. Dia tertunduk, kemudian tersedu. Selalu tak bisa diduga. Roman semakin dibuat kebingungan. “Mau ya, Sayang. Kita ke dokter hari ini. Supaya kita tahu, apa penyebab dari rasa sakitmu ini?” Roman tak menyerah. Butuh waktu yang lama agar Raina menganggukkan kepala. Roman tertunduk. Tak kuasa menahan pilu, melihat kondisi sang kekasih yang kehilangan banyak daya. “Baiklah, Sayang. Aku tak ingin melihatmu sedih karena kondisiku ini…” Raina tersenyum lemah. Roman memeluk pelan, dia sembunyikan segala kerisauan di balik dekapan hangatnya untuk Raina. Roman merapikan baju istrinya, dipilihkan kerudung maroon, gamis berwarna abu-abu kesukaan Raina. Tak lupa dia memasangkan kaos kaki warna cokelat bercorak hiasan henna, kemudian melengkapi tubuh Raina dengan sebuah sweater agar Raina tetap hangat. Langkah keduanya begitu pasti menuju halaman rumah seorang dokter langganan. Roman terus berdoa agar Raina tetap dalam kondisi baik. *** 14 12 Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, dokter tersenyum dan mengucapkan selamat. “Roman, selamat ya. Istrimu tengah hamil…” dokter tersebut terlihat bahagia. “Benarkah, Ferdy?” Roman terkesiap kaget. Ada berjuta rasa yang datang menyergap. Dokter tersebut menggenggam tangan Roman, “Jaga kesehatan istrimu. Jangan biarkan kelelahan!” Roman menatap Raina yang tengah terisak bahagia. Mata kuyu itu tak lagi sayu, ada binar yang mengisyaratkan sinar berpendar. Ternyata semua sakit itu beralasan, reaksi dari kehadiran jiwa mungil di rahimnya. Mereka memilih berjalan menuju rumahnya. Seperti ada kekuatan hebat untuk Raina, kabar bahagia itu telah memompa kekuatan untuknya agar bisa perlahan berjalan, memeluk erat tubuh Roman. “Roman, jangan pernah meninggalkan aku...” Raina berbisik manja. Roman terkekeh geli, “Tidak dong, Sayang. Insya Allah, aku akan senantiasa di sisimu dan menjaga hatimu.” “Tak salah aku menjatuhkan pilihan padamu,” Raina menggenggam erat tangan suaminya. “Kita berjodoh, semuanya sudah tertulis menjadi takdir.”

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices