
by Titikoma

Cinta Pertama
Raina adalah wanita bersahaja, cantik, dan cerdas. Usianya sudah masuk
kepala empat--tepatnya empat puluh enam tahun. Dua puluh enam
tahun hidup dengan Roman. Berawal dari cinta mereka yang begitu
merekah. Raina dan Roman adalah pasangan terindah bagi setiap mata
yang memandangnya. Begitu pun pendapat keluarga besarnya.
Roman adalah lelaki tampan berwibawa, memiliki wajah yang teduh,
tatapan yang tenang mendamaikan. Layak disebut sebagai lelaki idaman,
usianya tidak beda jauh dengan Raina, terpaut beberapa bulan saja--
Raina lebih tua. Roman selalu merasa jatuh cinta dengan keistimewaan
wanita satu-satunya yang berhijab di kelas mereka waktu SMA.
Di mata Roman, Raina memang sangat berbeda. Pergaulannya begitu
tertata. Membatasi gerak dengan kaum Adam, kesantunan yang terlahir
dari pembiasaan di keluarga terpandang. Tak ada kisah pacaran yang
menyatukan mereka. Hanya bermodal kenekatan Roman untuk melamar
selepas kuliah. Roman menyadari, untuk bisa memiliki Raina bukanlah hal
yang mudah. Namun, berbekal keyakinan dan doa… Roman yakin tentang
mimpi dan tujuannya.
Orang tua Raina sempat tersenyum melihat kenekatan Roman, namun
itulah yang menjadi penilaian bahwa Roman menjadi kandidat yang
unggul.
“Apa alasanmu melamar anak saya?” tanya Pak Tomi saat pertama kali
bertemu Roman.
Roman tertunduk, namun menjawab dengan pasti, “Saya yakin Raina
adalah wanita yang baik. Bukankah memilihkan ibu yang baik untuk calon
anak-anak adalah kewajiban saya, Pak?”
Pak Tomi terkekeh kagum. Menganggukkan kepala dengan pasti, “Saya
harus berdiskusi dengan Raina dan ibunya. Bagaimanapun, dia berhak
untuk menjawab dan memilih jalan hidupnya.”
Roman tersenyum, hatinya berdoa agar Raina mengiyakan harapan yang
dia miliki. Wajah tampan itu terlihat tegang, beberapa bulir keringat
membasahi pipinya. Sesekali tertunduk dan meremas jari-jari. T-shirt
berwarna hitam terlihat sedikit basah. Mungkin keringat telah membasahi
9
7
sekujur tubuhnya. Pak Tomi tersenyum dan memanggil Raina.
Raina menghampiri Pak Tomi, wajah cantiknya berseri. Kerudung lebar
warna maroon telah membuatnya semakin bersinar.
“Iya, Ayah…” Raina duduk di samping ayahnya, tepat di hadapan Roman.
“Mungkin Rai sudah mendengar percakapan Ayah dengan Roman. Mau
segera memutuskan atau minta waktu untuk memikirkan secara matang?”
Pak Tomi memandang anak semata wayangnya. Sambil menggeser kursi
yang masih kosong--dipersilakan kepada istrinya yang baru datang.
Raina tersenyum manis, terlihat putih bersih deretan giginya. Kemudian
dia tertunduk dan meremas jari, mirip seperti yang Roman lakukan. Diam
beberapa saat, kemudian menghela napas.
“Ayah, menikah adalah ibadah terpanjang…” Raina memulai pembicaraan.
Seisi ruangan hening. Tiga wajah dalam balutan cemas menunggu
keputusan Raina. Dia tahu jawabannya menjadi sumber ketegangan
orang-orang yang menunggu. Pak Tomi memandang, sesekali keningnya
berkerut. Bu Lila berupaya tersenyum memandang anak gadisnya,
seakan-akan tengah menenangkan degup jantung. Roman seperti tengah
diguncangbuaikan ombak di lautan yang tengah pasang, tenggelam dalam
kecemasan.
Raina menghela napas kembali, “Sejujurnya ini adalah keputusan berat
untuk Rai. Semoga Ayah, Ibu, dan Roman menerima dengan lapang dada.”
Roman merasa jantungnya berhenti berdegup, aliran yang begitu hebat
seketika mampu melemahkan keyakinannya. Roman menebak jawaban
Raina. Dia berpikir bahwa Raina akan menolaknya.
Ruangan masih saja hening, menunggu Raina menuntaskan isi hatinya.
“Lama sekali Raina mengenal Roman. Cukup paham tentang kebaikan
dan juga kekurangannya. Meskipun kami tak banyak bertegur sapa. Ayah,
Ibu… Rai memutuskan untuk menerima Roman,” Raina tertunduk penuh
kesantunan di balik tegasnya sebuah jawaban.
Nyaris saja Roman loncat, saking kaget mendengar jawaban Raina yang
tak terduga. Ketegangan seketika mencair meskipun masih terasa tak
percaya, semua seperti mimpi.
10
8
“Jadi, Rai menerima lamaran Roman? Boleh Ayah tahu apa alasanmu?”
Pak Tomi tersenyum bijaksana.
“Rai yakin kesederhanaan Roman mampu membawa hidup Rai lebih baik,
Ayah…” Raina tersipu.
“Baiklah, Rai sudah menentukan pilihan dan memberikan jawaban. Ibu
hanya titip semoga semua menjadi jawaban yang benar-benar matang
dan terbaik menurut-Nya,” Bu Lila pun tersenyum.
Mereka tersenyum, berharap esok bisa menata kehidupan untuk sebuah
istana yang akan dibangun Roman dan Raina.
***
11
9
Indahnya cinta pertama, ketulusan kasih sayang yang menggelora.
Menyatu dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Roman dan Raina
melewati masa-masa jatuh cinta yang tidak melanggar norma--baik
agama maupun sosial. Mereka menikmati romantisme berpacaran dalam
ruang yang halal.
Raina memiliki orang tua terpandang dan cukup kaya. Namun, semua tak
dipilih untuk melengkapi awal perjalanan kisahnya bersama Roman. Dia
ikhlas menjadi pendamping Roman melewati banyaknya keterbatasan dan
ketiadaan. Roman yang terlahir dari ibu yang bersahaja meskipun tak ada
sosok ayah yang menguatkannya. Sang ayah pergi seakan setengah berlari
dibawa sakit paru-paru basah yang menggerogoti. Masihlah sangat muda
usianya, dua puluh lima tahun menurut kisah sang ibu. Sehebat apa pun
sesak mendera dari setiap ibunya bercerita, Roman sadar, takdir hidupnya
telah tergaris begitu kuat.
Roman hanya berjalan menemani ibunya dengan setia, menulis adalah
hobi yang membuat dia bisa membantu ibunya membayar uang kuliah.
Menjadi sarjana baginya sangat susah, tidak seperti kehidupan Raina yang
serba mudah. Gelar sarjana pendidikan telah disandangnya, meskipun
Roman sadar itu bukan hal yang diinginkannya. Tetapi almarhun sang ayah
sudah berpesan, agar Roman menjadi seorang guru pembelajar yang bisa
menanam benih kebaikan dari ilmu kehidupan.
Betapa bersyukurnya Roman, karena kini di sampingnya telah ada Raina,
menghiasi setiap relung hati.
“Di sampingku telah ada dia, sosoknya begitu utuh hidup dalam jiwaku.
Mengisi ruangan cinta pertama yang menggairahkan. Aku sangat
mencintainya. Dia wanita cantik yang kumiliki. Matanya begitu teduh,
kulitnya putih mulus, menyempurnakan setiap indah yang terlukis darinya.
Senyumnya membuatku memiliki kedamaian, tangisnya melahirkan
empati yang lirih, semangatnya selalu membuatku memiliki keberanian
hidup yang utuh,” bisik hati Roman.
Roman menatap Raina yang terlelap di sampingnya. Dengan lembut dia
membelai wajah istrinya yang tercinta. Raina bergerak perlahan. Kedua
matanya mengerjap. Seulas senyum Raina berikan untuk lelaki pujaan
yang tengah menatapnya penuh cinta.
“Roman, mengapa belum tidur?” Raina setengah berbisik.
12
10
“Rai, maafkan aku. Rasanya ingin menghabiskan banyak waktu untuk
berlama-lama menatapmu,” Roman tersenyum.
Pipi Raina merona merah--tanda malu, segera dia alihkan pembicaraan,
“Sudah selesaikah naskahmu?”
Roman menggelengkan kepala dan tersenyum, “Semua inspirasi ada di
wajahmu.”
“Roman, janganlah memberi rayuan gombal. Aku tak sanggup,” Raina
tersipu.
“Tidurlah kembali, Sayang. Aku harus melanjutkan tulisan. Besok harus
segera dikirim. Semoga ini menjadi jalan rezeki kita untuk kesekian
kalinya,” Roman mengusap lembut pipi dan mencium kening Raina.
Sunyinya sepertiga malam terasa begitu hangat, ketika hati Roman
menemukan cinta yang begitu mawar dari seorang Raina. Dia lantunkan
harapan syahdu dalam sebentuk doa-doa dan khalwat bersama-Nya, agar
kisahnya sampai hingga ke surga nanti.
***
13
11
Pagi yang cerah, melukiskan semburat sinar mentari. Hangat menyelusup
tubuh. Sehangat jiwa Raina yang dipeluk Roman begitu sempurna.
“Sepertinya aku tak akan menemukan masalah yang serius bersama
Roman. Cintanya begitu mewah, pelukannya begitu hangat. Tuturnya
sanggup melipurkan segala sedihku ketika ada duka datang mendera.
Senyumnya selalu menyempurnakan kebahagiaanku,” bisik hati Raina
saat menatap punggung Roman beranjak kerja.
Selain sebagai penulis, Roman bekerja di sebuah yayasan pendidikan
milik Pak Tomi. Beberapa bulan berlalu dari hari pernikahan. Kehidupan
keduanya tetap baik-baik saja, meskipun hidup di rumah kontrakan yang
sederhana. Hingga tiba pada sebuah kondisi, di mana mereka harus
menerima kenyataan baru dalam kehidupan. Cinta selalu menuntut
pembuktian dan kesabaran. Raina jatuh sakit, tak bisa diduga apa
sebabnya. Tubuhnya sering limbung, badannya kurus, matanya mulai
terlihat cekung. Gairah hidup seketika hilang. Tiba-tiba sering menangis
tanpa sebab, marah, kesal pun tak bisa ditebak, berawal dari mana
semuanya?
“Rai, kita ke dokter ya. Sepertinya ada yang salah dengan kondisi tubuh
dan perasaanmu…” Roman mengusap pundak Raina dengan lembut.
Raina menggelengkan kepala, bulir bening mulai membasahi netranya
dan bergulir di pipi yang terlihat kurus. Dia tertunduk, kemudian tersedu.
Selalu tak bisa diduga. Roman semakin dibuat kebingungan.
“Mau ya, Sayang. Kita ke dokter hari ini. Supaya kita tahu, apa penyebab
dari rasa sakitmu ini?” Roman tak menyerah. Butuh waktu yang lama agar
Raina menganggukkan kepala. Roman tertunduk. Tak kuasa menahan
pilu, melihat kondisi sang kekasih yang kehilangan banyak daya.
“Baiklah, Sayang. Aku tak ingin melihatmu sedih karena kondisiku ini…”
Raina tersenyum lemah. Roman memeluk pelan, dia sembunyikan segala
kerisauan di balik dekapan hangatnya untuk Raina. Roman merapikan baju
istrinya, dipilihkan kerudung maroon, gamis berwarna abu-abu kesukaan
Raina. Tak lupa dia memasangkan kaos kaki warna cokelat bercorak
hiasan henna, kemudian melengkapi tubuh Raina dengan sebuah sweater
agar Raina tetap hangat. Langkah keduanya begitu pasti menuju halaman
rumah seorang dokter langganan. Roman terus berdoa agar Raina tetap
dalam kondisi baik.
***
14
12
Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, dokter tersenyum dan
mengucapkan selamat.
“Roman, selamat ya. Istrimu tengah hamil…” dokter tersebut terlihat
bahagia.
“Benarkah, Ferdy?” Roman terkesiap kaget. Ada berjuta rasa yang datang
menyergap.
Dokter tersebut menggenggam tangan Roman, “Jaga kesehatan istrimu.
Jangan biarkan kelelahan!”
Roman menatap Raina yang tengah terisak bahagia. Mata kuyu itu tak lagi
sayu, ada binar yang mengisyaratkan sinar berpendar. Ternyata semua
sakit itu beralasan, reaksi dari kehadiran jiwa mungil di rahimnya.
Mereka memilih berjalan menuju rumahnya. Seperti ada kekuatan hebat
untuk Raina, kabar bahagia itu telah memompa kekuatan untuknya agar
bisa perlahan berjalan, memeluk erat tubuh Roman.
“Roman, jangan pernah meninggalkan aku...” Raina berbisik manja.
Roman terkekeh geli, “Tidak dong, Sayang. Insya Allah, aku akan senantiasa
di sisimu dan menjaga hatimu.”
“Tak salah aku menjatuhkan pilihan padamu,” Raina menggenggam erat
tangan suaminya.
“Kita berjodoh, semuanya sudah tertulis menjadi takdir.”