
by Titikoma

Januari Bersemi
Merupa denting rindu Pada rerintiknya yang membasahi bumi cintaku Adalah engkau, bias bianglala Melesap ke dalam lubuk jiwa paling didamba; paling dicinta Jantungnya berdegup cepat membaca tiap-tiap kata yang menjadi bait indah, darinya. Seorang ikhwan[1] yang menjamah hatinya yang lemah, Amri. Hujan yang merinaikan cinta di sela-sela derai air mata. Rerintik pula mengusik hatiku mulai merindumu Lelaki hujan, lesap cintamu mulai menyemaikan cintaku Kanvas hidupku mulai berwarna karenamu Mungkinkah jua engkau adalah sandaran hati dari-Nya? Vara membalas puisi itu dengan perasaan bertanya-tanya, ‘Apa ikhwan ini jodohku, yaa Rabb?’ Menit demi menit berlalu, tak ada balasan apa pun darinya. Dia pun telah off dari ruang chat Facebook. Uhh, apa ini yang dinamakan kecewa? Sungguh jika dia bisa, Vara ingin bertanya pada hati itu. “Am!” Amri terkejut mendengar panggilan tersebut, gurat-gurat merah muda nampak di pipinya. “Ada apa, Fiz?” “Maddin[2] sebentar lagi mulai, baiknya kamu segera kembai ke kamar. Sebelum Kyai menegurmu lagi,” Hafiz memperingatkan Amri untuk ke sekian kalinya. “Sepertinya aku telah banyak merepotkanmu, Fiz. Terima kasih untuk selama ini memberiku toleransi yang berlebih dibandingkan santri lainnya.” “Itu pun karena aku tahu, kamu ada urusan penting,” Hafiz tersenyum dan mengajak Amri kembali ke pondok. Amri paham betul aturan dalam pesantren yang membatasi santrisantrinya keluar dan batas-batas jam yang telah ditentukan. Dan dia tahu, ia telah menyalahi aturan. Keluar ke warnet bukan pada jam yang seharusnya. Amri ingat saat-saat pertama dia masuk pondok ini, boleh dikatakan dia tergolong santri ‘mbeling’. Lekat dalam ingatannya sering sekali ada puluhan santri termasuk dia yang mendapatkan hukuman. Tiga tahun lalu itu sungguh kenangan yang takkan mungkin ia lupakan. “Kamu tahu, nggak? Putri Kyai Irsyad mau pindah kuliah ke sini. Dari IAIN, dia nggak betah di sana katanya, menurut kabar kayak gitu.” “Lha terus apa hubungannya sama aku, Fiz?” “Ya, nggak ada sih, cuma sepertinya dari dulu Ning[3] Annisa itu suka sama kamu. Kamu ingat, ‘kan, waktu dulu kamu mau dihukum, dia yang belain kamu agar Kyai maafin kamu.” Amri teringat kembali peristiwa kala itu. “Ah, kalau pun iya, pasti sekarang dia udah lupa sama aku, udah dua tahun berlalu.” “Tapi ada satu hal yang mesti aku tahu darimu, Am.” “Apa Fiz?” “Apa kamu suka sama Ning Annisa?” “Fiz, kamu tahu aku, kan? Aku belum mikirin itu dulu, aku bingung masalah skripsi yang nggak tahu aku harus mulai dari mana, aku udah dzalim sama skripsi aku, terlebih sama kedua orang tuaku yang sudah memberi peringatan, wisuda nggak wisuda, tahun ini aku harus pulang.” “Aku hanya ingin tahu, Am.” Amri menyelidik dan mencoba mencari makna tersirat dari pertanyaan Hafiz padanya. “Aku sama sekali tidak mencintainya. Apa jangan-jangan kamu yang naksir Ning Annisa, ya?” Tak ada jawaban, temannya itu hanya tersenyum. Ekspresi malu-malu terlihat sekali di wajah Hafiz. Amri menghela napas, menatap langit malam Al-Ihya yang tampak mendung. ‘Dulu aku memang mencintainya, tapi sekarang sudah ada wanita lain di hatiku, Fiz.’ Amri nampak tersenyum penuh arti membaca sms-sms yang dia kirimkan pada Vara. Namun, kembali ia merenung. Karena sampai saat ini keberaniannya mengucap cinta itu belum juga hadir. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” “Ini benar dengan Vara?” “Iya, Kak.” Vara menyahut sekadarnya. “Oh iya, gimana yang aku sms-in tadi? Bisa, ‘kan?” “Ehm, aku nggak yakin bisa Kak, aku kan baru belajar bikin cover, jadinya masih takut-takut kalau mengecewakan.” “Aku yakin kamu bisa kok, aku ingin kamu yang buatin cover buku aku.” “Ya, nggak boleh maksa juga Kak, kalau hasilnya nggak maksimal jangan salahin aku, ya?” Vara tersenyum di balik kata-katanya di seberang sana. Hujan kembali menyapa, rintiknya menebar cinta itu, menyemai tunas cinta di hati keduanya. “Ada kegiatan, Kak? Bukannya jam segini Kakak ada kegiatan Maddin?” “Kepalaku lagi pusing, nggak tau kenapa, tadi udah izin sama temen yang tugas.” “Bukan hanya alasan agar bisa telepon aku kan, Kak?” “Hehe… Nggak kok,” “Hemmm, kenapa bohong?” “Kamu nggak suka, ya?” Vara hanya tersenyum, “Nggak kok, Kak, cuma aku ingin Kakak ikuti semua aturan pondok.” Amri tertegun sejenak, lima detik dia terdiam mendengar kata-kata Vara. “Kak? Kok malah diem? Mau ditutup teleponnya?” “Jangan dulu, aku mau bilang sesuatu.” “Bilang apa, Kak?” “Ehm, aku…” suara hujan mengalahkan suaranya. “Aku sayang…” “Kak, udah dulu ya, kayaknya hujan lagi deras banget. Sms saja ya, Kak, Assalamu’alaikum.” Klik. Telepon ditutup. Amri nampak kecewa dibuatnya. ‘Ah, hujan kali ini datang di saat yang tidak tepat.’ [1] Sebutan laki-laki dalam Islam [2] (Madrasah Diniyyah) Salah satu kegiatan Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin. [3] Panggilan untuk putri Kyai.