di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
103
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

You Are

“You were right here all along.” Amri memainkan handphone-nya, seiring lagu yang mengalun dari laptop kesayangannya, suara Vara yang sedang menyanyikan lagu Mirror by Justin Timberlake merdu terdengar di keheningan malam, dia membuka menu new message dan mengembalikannya pada tampilan wallpaper layar semula. Amri memaki dirinya sendiri karena terlalu naif untuk mengakui semuanya. ‘Aku mencintainya’ kata hati yang ingin melupakan masa lalunya. Ingin dirajutnya kembali benang-benang cinta bersama Vara. Mengubah langit mendung menjadi cerah merona. Saat ini rindu tengah menggelitik di sudut hati. Nama itu terlihat jelas di sana, hanya perlu sedikit keberanian dan waktu yang tepat untuk mengakuinya. Amri memberanikan diri untuk mengirim pesan terlebih dulu pada Vara. Ini di luar kebiasaannya, biasanya Vara yang selalu terlebih dulu mengiriminya pesan setiap hari. “Am, kamu apa nggak takut kena teguran lagi? Kecilkan volume laptopmu. Aku takut kamu kena masalah lagi seperti dulu.” Amri mematuhi nasihat Hafiz. “Fiz, perasaanku kenapa jadi begini ya? Sepertinya akan terjadi sesuatu tapi aku bingung menerjemahkannya.” “Ada apa? Coba aja cerita.” “Dari tadi bayang-bayang Vara selalu hadir.” “Intinya, kamu khawatir? Atau hanya sekadar rindu?” “Mungkin lebih tepatnya gelisah. Aku...” “Ini,” Hafiz memberikan Mushaf Al-Qur’an kepada Amri. “Bacalah, agar hatimu lebih tenang.” Amri tertegun. Air mata menitik di keheningan, ‘Jaga dia yaa Rabb.’ Menit demi menit terus berjalan, tiba-tiba saja Amri mendapat telepon dari Vara.  “Assalamu’alaikum,” suara itu bukan suara Vara, melainkan Ibu Vara. “Wa’alaikumsalam, iya Bu… ada apa?” Suasana semakin panik. Hatinya seperti disambar petir mendengar pernyataan Ibu Vara. “Saya malam ini juga ke Blora, Bu!” Amri bergegas hendak meminta izin pulang pada pengurus pondoknya. Beralasan bahwa ada anggota keluarganya yang sakit. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Am? Apa kamu mau dikeluarkan dari pondok ini tanpa gelar yang selama ini diharapkan orang tuamu?” Amri yang telah mengemasi pakaiannya itu pun tertegun, “Aku harus menemuinya, Fiz…” ratapan ini menggema di ruang kamarnya. “Tahan dirimu, Am. Vara takkan apa-apa, Allah akan menjaganya untukmu. Mengertilah, pondok ini takkan memberimu toleransi lagi, kamu ingat janjimu kepada Kyai Irsyad, ‘kan?” “Aku harus gimana, Fiz? Aku khawatir, aku sadar dalam keterbatasan ini, kamu tahu kan apa maksudku?” ‘Airmata ini akan jadi obat untukmu, Sayang. Aku akan selalu ada, baikbaiklah di sana. Maafkan aku yang belum bisa jujur dengan perasaanku sendiri.’ Beberapa hari kemudian... Di sepertiga malam ia terbangun dan membuka akun Facebook-nya. Ada satu pesan di sana. Vara Isnaini Fauziah : Assalamu’alaikum, maaf Akhi, saya Mita, sepupu Vara, ingin menyampaikan pesan Vara yang dititipkan ke saya untuk akhi Amri. Ini pesannya. ------------------------------------------------- Teruntuk Pangeran Diksi yang kusayangi, Kak, itu sebutanku untukmu, kamu yang selalu bisa membuatku bersabar dengan masalah-masalah yang aku hadapi. Dengan kata-katamu yang membiusku untuk pertama kali saat itu, kakak pasti ingat dengan perkenalan kita. Kak Am yang tercinta, kuharap kamu baik-baik saja di sana. Saat aku membuat surat ini pun aku sedang sakit, maaf nggak bilang. Aku tahu rasa cinta itu sah-sah aja untuk siapa pun dan dari siapa pun. Karena setiap orang punya jodohnya masing-masing, dan jodoh itu takkan tertukar. Saat pertama kali kita berbalas puisi, itu sebenarnya pertanyaan dari hatiku yang bukan hanya sekadar puisi. Apa kakak bisa merasakannya? Mungkin tidak, kakak hanya sekadar mengimbangi puisi yang kita posting di depan umum. Hanya tuntutan. Namun tidak dengan diksiku, tidak dengan hatiku, semuanya ada di sudut hatiku yang menjawab setiap malam-malam sujud tahajudku bersama-Nya, atas kehendak dari-Nya. Aku sakit, memang benar tahun kemarin aku sudah operasi. Namun, Tuhan punya kehendak lain, penyakit itu kembali, dan aku berusaha tersenyum untuk setiap terapi yang diberikan dokter padaku. Aku tak ingin mengumbar cinta, karena jika iya, aku pasti menunjukkannya lewat tindakanku. Bagaimana dengan rasa ini? Tak apa, aku dapat menahannya, dan aku pasti menunggu takdir-Nya. Bertemu denganmu sudah cukup membuatku bahagia.  Akankah bisa aku menemuimu? Akankah aku bisa bertahan dengan sakitku? Kak, teruslah tersenyum untukku, dan untuk orang yang kamu cintai di mana pun dia berada. Inilah untaian rasaku, dalam rindu yang kian bertaruh pada waktu. Tentang rasa, di sudut hati yang kini terukir namamu. Blora, 14 Februari 2014. Yang mencoba menahan rindu, Vara Isnaini Fauziah Mata itu kini berair, ditutupnya wajah itu dengan kedua tangannya. “Wallahu ‘azizun hakimun[1], ya Rabb sesungguhnya aku telah menafikan kebenaran ini,” Amri tergugu, rasa takut kehilangan kembali hadir. Bersegera ia mengambil air wudu dan melaksanakan salat tahajud. ‘Wallahu ‘ala kulli syai`in qadirun[2].’ Dia menggumam seraya menitikkan beningnya rintik cinta. Hati itu miliknya, tanpa Vara ketahui. Cinta itu ternyata bersambut, Amri menelepon Vara yang masih terbaring lemah saat ini. Senyum itu tentu saja mengembang di bibir Vara, dia kembali dengan keceriaan dan semangatnya. Untuk itulah Amri mencintai Vara, senyumnya yang manis selalu terbayang di sela-sela senja. “Besok kata dokter aku harus dipindahkan ke rumah sakit Taiwan…” ada jeda di kata-kata itu. “Aku pasti kembali untukmu.” “Kamu harus berjanji sama aku, Vara. Aku nggak mau menyesal karena kebodohanku untuk kedua kalinya,” Amri meminta dengan kesungguhan hati. Vara tersenyum. “Aku pasti kembali, percayakan itu di hatimu!” ia menekankan kata ‘hatimu’. Ada getar di sana, kedua hati insan yang sedang mencinta. “Aku percaya kamu, selama yang aku tahu, kamu nggak pernah ngecewain aku.” Lagi-lagi Vara tersenyum. Kilas wajah itu terpagut mesra di hatinya seraya ia menutup telepon genggamnya. Terngiang kembali syair terjemahan dari lagu yang sering Vara nyanyikan. Kini senja itu mengulas rindu, terhias ungu yang menandakan keabadian cinta dalam yojana itu ada. Nyata di hadapannya. Lugas, tergambar jelas senyum Vara untuknya dan akan tetap seperti itu. Amri paham betul, Vara gadis setia. Dilihatnya lazuardi membentang, menguraikan rasa seluas itu cintanya pada Vara. Oh tidak, bahkan tak ada apa pun yang dapat memetafora perasaannya. Seiring langkah kaki itu dirasakannya kehadiran Vara di sisinya. Berada dekat di hatinya, memeluknya dari kejauhan. Cinta dalam yojana suatu saat akan menemukan bahagia. Menunggu waktu berhias rindu. Amri kembali menjalani kegiatan pondok seperti biasanya. [1] dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana pada urusan-Nya, pengaturan-Nya, dan ketetapan-Nya. [2] dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices