di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
115
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Episode Rindu I = Sands Of Time

Seminggu berlalu. Amri berdiam di kamarnya, tak mengikuti kegiatan Pengajian Selasaan seperti hari Selasa yang lalu-lalu. Dia seakan mati rasa, makan pun juga tak teratur seperti biasanya. “Ada apa denganmu? Ustadz Nur Cholis mencarimu di pengajian tadi.” “Entahlah Fiz, aku nggak mengerti, rasanya aku ingin keluar saja dari pondok ini. Nggak ada semangat lagi, untuk siapa aku wisuda?” “Orang tuamu.” Ada getar dalam dada Amri, orang tuanya disebut-sebut. Namun tetap sama saja, tak ada motivasi diri, toh orang tuanya menginginkan tahun ini dia pulang, dengan atau tidak dengan gelar sekalipun. Amri tak peduli dengan hal tersebut, dia seperti kehilangan arah, apa pun yang ia lakukan serasa serba salah. “Aku kehilangannya, Fiz.” “Aku mengerti Am, tapi jika karena wanita kamu seperti ini, kamu bisabisa dikeluarkan dari sini.” “Aku sudah tidak peduli dengan semua gelarku, dengan semua hal yang hanya menyakitiku, aku tak bisa mempertahankan yang menggenggam tanganku, apalagi yang belum aku gapai, bagaimana bisa aku merengkuh gelarku?” “Apa kamu meragukan-Nya? Apa kamu meragukan kehendak-Nya? Mengapa kamu seperti ini? Allah menyukai mereka yang berusaha, jika kamu tak ingin kehilangan dia maka kamu harus melakukan sesuatu hal, pertahankan dia!” Amri menutup wajah dengan sorban cokelatnya. Ada bening menetes dalam kain yang dicoba tuk membalut lukanya. From : My Princess Sayang, jangan lupa makan ya. Aku kangen kamu J  Satu pesan ia terima dari kekasihnya, ada senyum yang satu menit kemudian menjadi lelehan air mata kehilangan. ‘Aku tak akan menyakitimu, Vara.’ Dia menyeka air matanya. Mengirim pesan balasan kepada kekasihnya. Kemudian membuka laptopnya untuk menuangkan kesedihannya dalam sebuah cerita fiksi, rindu, cemburu, keinginan untuk bertemu dengan Vara tergambar jelas. Mas Aris call… Ada telepon masuk dari sahabat mayanya yang sudah ia anggap kakaknya sendiri. “Assalamu’alaikum, Mas.” “Wa’alaikumsalam, Am. Loh, kok kayaknya kamu habis nangis ya? Suara kamu berubah.” “Ah, nggak Mas. Aku lagi flu aja,” “Mana ada flu pakai acara sesenggukan kayak gitu, emang Masmu ini nggak bisa bedakan antara nangis dan sakit flu? Jujur aja, kamu kenapa adikku cakep,” Aris Rahman Yusuf sedikit menggodanya. “Vara, Mas.” “Ada apa dengan Vara? Kalian berantem lagi? Haduh… bingung.” “Aku lagi serius, Mas,” Amri mendesah agak kesal. “Aku juga nggak bercanda adikku, beneran Mas bingung sama kalian ini.” “Vara, sebentar lagi akan dilamar?” Aris yang sedang minum air pun tersedak. “Dilamar? Sama kamu?” “Bukan, Mas. Tapi… Imran.” “Whats, mantannya? Kenapa kamu biarin aja sih? Gemes jadinya sama kamu.” “Aku bisa apa, Mas?”  Tuut tuuut… sambungan tiba-tiba terputus. Signal di Cilacap memang gampang-gampang susah. Hmmm, Amri kembali tertunduk lesu menatap kosong layar monitornya. From : Mas Aris Rahman Sudahlah, jangan sedih. Cinta akan berpihak padamu jika Vara memang jodohmu. Bukan Imran yang berhak menentukan masa depanmu, ataupun Vara di sana, tapi ingatlah rencana-Nya yang paling benar, Am. Keep smile… J Amri membaca pesan singkat yang baru saja ia terima. Dia membuka kembali laptopnya dan menuliskan sebuah kisah fiksi yang berjudul ‘Sands of Times’ dan ia tujukan untuk Vara. Tentang rindu yang menggebu dan harus ditepisnya, harus diredamnya hingga Allah mempertemukan mereka. Sampai ketika fiksi menjadi nyata dengan segala keajaiban cintaNya yang membuat rencana begitu istimewa. Semoga… Sands of Times oleh Muhammad Amri F Rerintik hujan ini adalah derap hati yang membeku, menahan gejolak rindu di antara puing-puing hati yang hanya mendamba untaian cinta setelah nyanyian senja yang berdiorama bianglala membias di batas cakrawala. Dua hati saling menyapa, mendedah jiwa di bawah jantera mayapada bernapaskan doa paling didamba... Cinta. Apatah hanya untaian kata berbilur ribuan makna seharum bunga di taman seloka? Atau hanya roman picisan yang menawarkan kedramatisan namun mengagumkan? O, entahlah... namun aroma itu kini mulai menyesap rindu ketika dua hati saling menyatu, saujana membentang di batas pinangan dewi malam yang mungkin secepatnya akan menggubah temaram; kini, rindu itu serupa ombak yang mematikan... Ini adalah Sands of Time yang menjadi saksi bisu senandung cinta biru... kugenggam erat benda yang bertuliskan namamu, --sedang Sands of Time yang bertuliskan namaku ada dalam genggamanmu--, agar tak pernah lepas meski nanti Tuhan akan memisahkan kita. Aku mafhum betul, jika akhirnya waktu dan jarak adalah benteng sebagai tolak-ukur kesetiaanku pun kesetiaanmu yang tak seharusnya kita ragukan. “Vara... Biarlah cinta yang berbicara jika hatimu tak kuasa menanggung luka yang kian mendera, aku di sini masih bersama rasa yang akan aku berikan untukmu, hingga Tuhan tengah mengizinkan engkau untuk menjadi bidadari di taman hatiku paling dirindu.” “Mungkin aku tak bisa memberikan janji, namun percayalah Vara... bahwa cintaku benar adanya. Apakah kamu masih meragukannya? Sedang aku mencintaimu karena Tuhan yang telah melabuhkan rasa cintanya. Memang tak banyak kata untuk meyakinkanmu, tapi sungguh, aku mencintaimu...” Aku tertunduk, sebelum akhirnya kuberikan Sands of Time itu untukmu. Sebatas menjadi sebuah kenangan yang mungkin tak akan mudah untuk kulupakan. Kuamati kembali Jam Pasir yang tergenggam erat di tanganku. Masih ada rindu, pun jua seberkas cahaya cinta yang tersemat di dalamnya. Ini sudah lebih dari dua belas purnama setelah pertemuan kita. Aku masih menyimpan rasa itu; rasa cinta yang mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu. Vara, kuharap kau masih tetap setia menantiku hingga di penghujung waktu... Jarak kita bukanlah sesuatu yang harus kita takuti, tapi perlu kita syukuri, setidaknya untuk menata diri dan hati kita masing-masing, hingga nanti benar-benar terpatri sebuah rasa yang bernama kesabaran ketika ketentuan Tuhan menggariskan akan ketiadasempurnaan setiap rencana yang telah kita pautkan. Saat ini mungkin kau tengah merindukanku. Seperti kekatamu setahun lalu ketika aku memberikan Sands of Time itu untukmu. “Aku akan selalu merindukanmu, Amri.” Kau tersenyum seraya berkata yang membuatku terpesona dibuatnya. Semoga itu benar adanya. Karena aku di sini pun berbilur rindu ingin bertemu. Tapi kewajiban dan keharusan yang mustahil aku tangguhkan, aku mencoba meredamkannya sementara bersama ayatayat keagungan. Malam menyepuh rindu, sebelum temaram membawaku dalam pusara mimpi keabadian, kupastikan doa puja-puji Tuhan senantiasa kurapalkan. Jika cinta tak mengembalikan engkau padaku dalam hidup ini, cinta akan menyatukan kita di kehidupan yang akan datang. Aku pun pernah berjanji, setelah wisudaku nanti, aku akan menemuimu lagi. Menyatukan kembali Sands of Time yang sempat terpisahkan. 56 54 Menawarkan kembali renjana yang bertakhta di istana jiwa. Akan kubangunkan singgasana untuk keabadian cinta kita. Agar tak ada lagi gelak tanpa tawa, dan tak ada lagi tangis tanpa air mata bahagia. Jam Pasir itu, adalah detik rindu yang menjaga cintaku hingga Tuhan menjawab doa yang teruntai di setiap sujud tahajudku, “Percayalah, Vara... aku akan segera menjemputmu. Baik-baik di sana, tunggu aku di batas kota,” Segera kukirim pesan singkat itu, sebelum akhirnya kugenggam erat kembali Sands Of Time yang berpahatkan namamu di situ, sama seperti di hatiku... Amri sendiri pun tak mengerti mengapa jemarinya bisa lancar menerjemahkan rindunya dalam bentuk narasi. Ini bisa dibilang adalah curahan hatinya yang terdalam untuk kekasihnya. Hati itu sangat tak ingin kehilangan, rasanya baru kemarin ia mengucapkan cinta dan berjanji akan menemuinya. Namun, rasanya kini harapan itu hampir musnah karena Imran. ‘Pertahankan aku dan cintaku, Kak.’ Lagi-lagi halusinasi Vara hadir di benaknya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices