
by Titikoma

Aku Pulang
Ada perdebatan di pagi yang sangat Amri nantikan. Di perpustakaan tepatnya, Ning Annisa dan Furqon sedang bersengketa pendapat. Tanpa memberi tahu Ning Annisa terlebih dulu, Furqon dengan rasa tidak berdosa menyampaikan kabar pada Vara bahwa Amri akan segera dinikahkan dengan putri Kyai. ‘Ya Rabb, maafkan hamba-Mu yang telah mendustakan kebenaran ini, bagaimana bisa hamba yang samasama seorang perempuan menahan luka yang teramat dalam karena penantian. Dan akhirnya malah mendapat kabar yang sangat melukai hati dan jiwanya. Maafkan Akhi Furqon, Ukhti.’ “Akhi apa-apaan? Kenapa Akhi mengabarkan berita yang tidak benar? Saya tidak menyuruh Akhi untuk berbuat seperti itu. Ukhti Vara mencintai Akhi Amri, bagaimana jika Akhi Amri tahu, bisa-bisa Akhi Furqon jadi sasaran amarahnya.” “Saya melakukan ini demi Ning!” “Saya sudah merelakan Akhi Amri untuk Ukhti Vara, dia sangat baik, saya sendiri terasa amat berdosa karena telah menyembunyikan paket ini dari Akhi Amri. Sudahlah, saya tidak ingin memperdebatkannya lagi, saya ingin Akhi menyadari kesalahan Akhi sendiri.” Tanpa menunggu balasan kata-katanya, Annisa segera membawa paket yang diterimanya sekitar dua bulan lalu untuk Amri. Kompleks Sabilul Hidayah, Kamar Biru. “Kamu yakin mau ke Blora hari ini? Cuaca sedang buruk, Am,” Hafiz memperingatkannya. Amri telah mengemasi pakaiannya, satu hari yang lalu pun telah memesan travel. “Aku harus pulang hari ini, ingin menepati janjiku,” Amri tersenyum sembari menata buku-bukunya. “Pulang?” “Ya, ada Vara yang menungguku, aku kan janji sebelum pulang ke Lampung, aku menemuinya terlebih dulu.” Ia berpamitan pada Hafiz, dan teman-teman pondoknya yang lain. Pendidikannya telah selesai, rasa sedih tentu saja ada karena hampir empat tahun ia menimba ilmu di Pondok Al-Ihya ini. “Jika ada waktu dan kesempatan, mainlah ke sini. Saya pasti senang melihatmu telah sukses nanti,” Ustadz Nur Cholis memeluk Amri yang sudah dianggap anaknya sendiri. “Iya, Ustadz… Amri pasti kemari, doakan Amri agar bisa sukses, Ustadz.” “Berjuanglah, jangan menyerah. Saya dengar kamu akan menemuinya ya? Semoga kalian bahagia, dan cepat dihalalkan,” Amri hanya tersenyum. “Baik Ustadz, Amri berangkat dulu.” Amri berjalan menuju gerbang AI-Ihya. Ia telah meminta izin pada orang tuanya terlebih dulu untuk pulang ke Blora. Rupanya di gerbang, ada seorang gadis yang menunggunya, Ning Annisa. “Akhi Amri, tunggu!” Ning Annisa menyodorkan sebuah bungkusan kado kepada Amri yang disambut dengan kernyitan dahi. “Maaf Ning, saya tidak bisa menerimanya,” Amri meneruskan langkahnya. “Ini dari Ukhti Vara, Akhi. Abi menyita paket ini sekitar dua bulan lalu, saat Akhi ada masalah dengan Akhi Furqon, paket ini saya ambil diam-diam karena ini adalah sebuah amanah yang harus tersampaikan.” “Oh, syukron, Ning… terima kasih atas kebaikan Ning Annisa selama ini pada saya.” Ning Annisa menjawab dengan seutas senyum. “Doakan saya agar mendapat seseorang yang baik seperti Akhi Amri.” “Sebenarnya dia ada di dekat saya, Ning. Dia teman sekamar saya, tentu Ning Annisa tahu jawabannya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam,” Annisa tertegun sesaat, ada air mata yang tertahan. Wajar saja, ada rasa kehilangan di hati itu. Ia menatap mobil yang telah membawa Amri pergi. “Ning, Kyai memanggil Ning Annisa, beliau menunggu di kamarnya,” Suara Hafiz menyadarkannya dari lamunan, ia paham bahwa yang dimaksud Amri tadi adalah orang yang berdiri di hadapannya. Hafiz. Perjalanan masih begitu jauh, Amri menyempatkan diri untuk salat zuhur di masjid area Purwokerto. Untunglah travel yang dipesannya ini mengerti. Usai salat, ia pun penasaran dengan isi paket dari Vara, dengan hati-hati ia membukanya. Sebuah sorban rajutan tangan, di sana juga terdapat surat singkat : Teruntuk kekasihku, Amri. Dibacanya surat itu dan betapa sakit hati itu melihat tanggal pembuatan surat tersebut. 03 Juni 2014. Tepat saat keesokan harinya Amri memutuskan hubungan mereka, dengan sangat terpaksa. Hati itu kini menangis, digenggamnya sorban itu dengan hati giris. ‘Terima kasih, Sayang. Kamu udah buatin aku sorban ini, maaf aku menyakitimu tanpa sebab apa-apa. Terima kasih untuk hatimu, terima kasih untuk setiamu yang tanpa batas waktu. Aku harap kamu baik-baik saja di sana, tunggu aku, Vara.’ Amri berbisik pada angin yang berembus. Sesaat kemudian, ia pun melanjutkan perjalanan. Didekapnya sorban itu hingga ia tertidur, berharap Vara hadir di mimpinya. ‘Maaf bidadariku, aku sempat membuatmu terluka, namun aku yakin kamu masih setia di sana.’ Sementara itu, suasana di rumah Vara begitu sepi. Ya tentu saja, karena saat ini Vara berada di rumah sakit. “Vara, kamu harus kuat ya, Nak. Bunda sama Ayah selalu jagain kamu di sini. Jangan tinggalin kami.” Vara koma. Dia tidak dapat menahan sakit di kepalanya. Dokter bilang Vara bisa stroke jika ia banyak pikiran dan ada sesuatu yang bisa membuatnya shock. Dan tentulah hal tersebut karena Vara mendengar Amri akan dinikahkan dengan putri kyai. Dia tak sadar berita tersebut hanya kebohongan yang dilakukan oleh Furqon. “Apa kita sebaiknya memberi tahu Nak Amri saja Bun, soalnya Vara masih sering mengigau nama Nak Amri terus tiap malam, Ayah mendengarnya sendiri.” “Mungkin iya, Yah. Bunda juga berpikir begitu, tapi Bunda tidak tahu nomor Nak Amri. Mungkin kita harus memberi tahu Mita juga, karena dia pasti tahu tentang hubungan Amri dan anak kita.” “Tapi, Mita sedang ada tugas KKN, Bun.” Bunda Vara menghela napas panjang dan menutup wajahnya dengan tangannya. Helaan itu lebih tepatnya adalah desahan ketakutan akan kehilangan anak perempuan satu-satunya yang selama ini menjadi penopang hidup keluarga. Satu-satunya harapan adalah menunggu pertolongan-Nya untuk kesembuhan anak tercinta mereka. “Bun, lebih baik Bunda pulang ya, kasihan Hary dan Arga menunggu, Arga pasti kangen sama Bunda, nanti suruh Hary jaga di sini sama Ayah, ya.” Bunda Vara pun menurutinya. Beliau berkemas untuk pulang, sebentar lagi sore. Arga, adik Vara yang paling kecil pun pasti mencarinya. “Bunda pulang dulu ya, Nak,” dikecupnya kening putrinya yang terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Blora di waktu malam pukul 20.00 WIB. Udara semakin dingin, para anak muda yang terlihat sedang asyik menghabiskan waktunya di angkringan[1] atau warung-warung di pinggir jalan mulai memacu motornya untuk pulang ke rumah. Amri memutuskan untuk turun saja di jalan raya utama menuju kompleks Vara, karena memang kompleks Vara masuk gang yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan, khususnya mobil. Ia kini masih berjalan memegang kertas alamat Vara, berharap menemukan seseorang yang dapat dijadikannya tempat bertanya alamat rumah yang dicarinya. Mungkin sudah ada 1 kilometer ia berjalan, namun kompleks ini sepi. Hanya ada suara burung di malam hari. “Adik ini mencari siapa?” Amri terkejut, ia dikagetkan oleh seorang bapak-bapak yang mungkin usianya berkisar 50 tahun. “Ini Pak, saya mencari alamat teman saya,” Amri memberikan secarik kertas yang sedari tadi digenggamnya. “Ini, alamat Bapak, Nak.” “Berarti Bapak, Ayahnya Vara.” “Nak ini namanya siapa, jika Bapak boleh tahu?” “Amri, Pak. Saya temannya Vara, yang dari di Cilacap.” “Subhanallah, terima kasih ya Allah.” “Ada apa, Pak? Sepertinya Bapak senang sekali saya datang?” “Nanti Bapak jelaskan di rumah, lebih baik kita pulang dulu, Bapak ini habis dari rumah sakit,” Amri yang bingung pun menurut saja pada Ayah Vara, dengan hati gelisah diikutinya langkah kaki itu menuju ke suatu rumah sederhana yang terlihat sepi. “Assalamu’alaikum, Bunda… Bun… Ayah datang sama yang Ibu tunggutunggu, Bun.” Bunda Vara keluar dari kamar sambil menggendong Arga. “Nak Amri?” “Iya Bunda,” Amri mencium tangan Bunda Vara. “Kok sepi, Pak? Vara sudah tidur ya?” “Vara… Dia koma, Nak.” Dirasakannya tubuh itu bergetar hebat, menggigil kedinginan saat ia mendengar kata-kata dari Bunda Vara. Ia bersimpuh, kakinya tak kuasa untuk berdiri. “Antar Amri ke sana Bunda,” Amri memohon pada Bunda Vara. “Sudah malam, Nak. Besok pagi Ayah akan antar kamu ke sana, lebih baik kamu sekarang istirahat, kamu pasti lelah sehabis perjalanan jauh. Kamu tidur di kamar Vara ya, Nak.” Dalam hati ia menggumam, mempertanyakan keadilan Ilahi. ‘Kenapa ia yang harus sakit yaa Rabb, kenapa bukan hamba saja? Harusnya hamba yang menanggung semua beban ini. Allah, jaga dia.’ Amri mengikuti Bunda Vara menuju sebuah kamar, di sana semuanya serba ungu. “Ini Nak Amri, kamar Vara. Istirahat ya, besok kita sama-sama pergi ke rumah sakit.” Amri mengangguk dan tersenyum. Ditutupnya pintu kamar itu, ia letakkan tas dan barang-barangnya di atas meja. Matanya melihat ke sekeliling, kini tatapannya tertuju pada sebuah foto yang terpajang manis di meja editing Vara, bersanding dengan buku-buku terbitan dari penerbitan miliknya. Fotonya ada di sana. Amri tergugu, jadi diam-diam Vara memajang fotonya di kamarnya. Betapa hati itu menangis. Di sebelahnya ada sebuah buku diary warna ungu, ia membuka dan membacanya. 03 Juni 2014 Dear diary, Diaryku, hari ini aku sudah kirim sorban yang aku siapkan untuk dia sejak Februari lalu. Aku berharap dia memakainya. Aku juga sudah menyelesaikan jahitanku, baju gamis warna abu-abu. Dia suka warna itu, jadi aku menjahitnya sendiri dengan kemampuanku yang memang baru belajar, tapi hasilnya lumayan bagus kok… Baju itu belum bisa aku berikan, menunggu dulu sampai dia menjadi suamiku, kan kata orang Jawa, ndak baik memberikan baju pada laki-laki yang belum menjadi muhrim kita. Jika pacaran katanya bisa putus. Dan aku nggak mau mendengar atau membayangkan kata putus itu. Aku akan menunggunya, sampai ia datang dan menjemputku. Sampai ketika dia membawa keluarganya melamarku. Aku ingin menjadi istri yang patuh pada suaminya, mendampinginya, membuatkan sarapan buat dia sebelum dia berangkat mengajar, ah aku terlalu mengkhayal, ya? Saat ini aku bahagia, bahagia karena hatiku dimilikinya dan aku harap hingga aku tiada, hanya dia yang ada di pikiranku, di hatiku. Aku akan menyayanginya hingga menua, kulitnya keriput sekalipun, serta rambutnya memutih. Aku akan selalu ada buat dia, sampai maut memisahkan kami. Ups, aku jadi nangis nih… haha… Aku cengeng banget ya, tiap kali kangen pasti nangis, baju ini akan aku simpan sampai pemiliknya datang. Air mata itu jatuh satu-satu, di keheningan malam ini dia telah mengetahui apa saja yang Vara lakukan untuknya. Amri mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ada sebuah baju di sana, gamis abu-abu yang tergantung rapih di tembok dekat tempat tidur Vara. Ia mendekat, diambilnya baju itu dan memeluknya. ‘Aku pasti memakainya, Sayang.’ Hati itu tergugu. [1] -Tempat para anak muda menghabiskan malam untuk sekadar mengobrol, atau minum kopi. -Warung pinggir jalan yang biasanya disediakan tikar. (lesehan)