
by Titikoma

6
“Assalamualaikum.” Ken terpaku. Salam Aidil Rahman Sanjaya ia jawab dalam hati. Kapan lelaki itu datang? Tiba-tiba saja muncul di kantor. Ken langsung berdiri dan menghambur ke pelukan Aidil. Meski usia Aidil dan Ken hanya terpaut satu tahun. Aidil lebih tua, namun banyak hal yang Ken pelajari dari sosok Aidil. “Aku lagi galau berat, Dil,” Ken melepas pelukannya. “Kamu gak mau nikah sama May, ‘kan? Kenapa kamu gak nolak aja?” “Gak semudah itu, kamu tahu orang tua kita, ‘kan?” “Terus, kamu menerima pernikahan itu? Mau kamu bawa ke mana? Kalian akan berantem terus sampe tua?” Hening. Ken tak mengerti, akan dibawa ke mana pernikahan yang tidak ia inginkan itu. Ia tak pernah jatuh cinta selama hidupnya. Tak pernah ada perempuan yang menarik hatinya. Namun yang paling tidak ia pahami, mengapa May perempuan yang selalu mampu memancing emosi di jiwanya itu yang akan ia persunting? “Hem, sebenarnya kamu bisa nolak loh, Ken. Ada gak gadis yang kamu suka? Itu bisa jadi alasan buat nolak May.” Ken tertohok. Gadis yang disuka? Oh, siapakah? Ken memejamkan matanya sejenak, berharap menemukan satu wajah manis dalam bayangannya. May! Ya Allah, kenapa gadis itu yang muncul. Tidak! Ken membuka mata sambil geleng-geleng kepala. “Kenapa? Kesambet?” “Gak, Dil. Aku gak ada suka sama gadis manapun,” tegas Ken yakin. “Ya udah, kamu terima aja. Kali aja ntar kamu bisa suka sama May, hehehe.” “Suka mungkin gampang, dia cantik dan manis. Tapi aku gak pernah suka gayanya dan semua hal yang dia lakukan, gak banget. Lagian kok bisa sih, dia gak ada tiru gaya keren kamu? Paling gak, ada mirip dikit, kan adik 46 44 kakak. Atau jangan-jangan May anak yang tertukar, hehehe.” “Husssttt! Emang dia gitu dari kecil, ‘kan? Hem, baru kali ini aku dengar kamu bilang May itu cantik dan manis? Ada angin apa?” goda Aidil. Wajah Ken bersemu merah. Ada angin apa?Kenapa aku bilang May cantik dan manis? Dasar aneh. Ken tak mengerti. Di usianya yang telah menginjak 28 tahun. Usia yang cukup matang untuk menikah, ia pun telah mapan. Baru kali ini ia menyadari bahwa hatinya tak pernah berbunga karena jatuh cinta pada seseorang. Apakah perempuan di sekitarnya tak ada yang manis? Tak ada yang cantik dan menarik? Bukan itu permasalahannya. Permasalahan yang sebenarnya adalah ia sendiri tak pernah ingin membuka hati untuk May. Mereka selalu perang, hingga kini Ken bahkan tak memberikan ruang untuk May. Ken terlarut dalam rasanya sendiri, rasa kesalnya pada semua tingkah laku May dan ia menyimpulkan bahwa itu sebuah kebenciannya pada May. Ken tak menyukai gadis yang tidak pandai menjaga penampilannya dengan baik, Ken tak menyukai gadis yang tomboi apalagi yang berbicara keras dan kasar. Ken itu menginginkan perempuan feminin yang bersuara pelan dan lemah lembut juga yang sopan dan santun. Seandainya May itu feminin, akankah Ken menyukainya? Entahlah, Ken sendiri tak mampu meraba perasaan yang ada di hatinya tentang sosok May. Semua terasa sulit ditebak, penuh teka-teki dan tanda tanya yang sukar Ken uraikan. “Emang dia manis, manis banget. Tapi udik. Semua yang ada padanya membuatku gerah. Ia juga gadis yang keras kepala,” sahut Ken jujur. “Hem, kali aja ntar kamu bisa jadi imam yang baik buat dia, meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, menaklukkan keras kepalanya dan bisa membimbing ia ke jalan-NYA.” Aidil ingin menyelami rasa yang kini dirasakan oleh Ken, sahabat sekaligus calon adik iparnya yang sedang kalut saat ini. Aidil tahu, Ken tak pernah menyadari bahwa ada cinta yang bersemi di relung hatinya. Bagaimana mungkin seorang lelaki normal tak pernah merasakan jatuh cinta dalam hidupnya? Aidil tak percaya. Ia yakin Ken hanya mencoba menutupi rasa itu hingga berawan dan tertutup kabut hitam, dan akhirnya membuat Ken berada pada kelamnya rasa yang pekat. Ken tak membiarkan hatinya diisi oleh manisnya jatuh cinta dengan sejuta rasa. Ia tak tahu bagaimana getaran yang berdegup kencang. Sungguh, Aidil prihatin pada Ken. Mungkin ia tak ingin merasakan cinta itu karena ia telah jatuh cinta pada orang yang tidak ia inginkan, May. Ken lelaki yang hampir sempurna, ia sangat menjaga penampilan dan kebersihan juga kerapian dirinya. Ia juga cukup saleh sebagai lelaki yang sibuk dengan segudang aktivitas. Ken juga tak pernah meninggalkan salat wajib 5 waktu. Ia juga pandai bergaul, dengan siapa pun bisa akrab tapi tetap menjaga jarak dan membatasi diri dari hal-hal yang tidak patut dan menyimpang dari norma dan hukum, baik norma dalam agama maupun norma dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Sepertinya aku akan menikahi May, entah akan seperti apa nantinya. Aku cuma mau nurutin orang tua kita aja, Dil. Gimanapun aku nggak bisa menolak jika ini permintaan Ibu dan Bapak, gak tega buat mereka kecewa.” Ken memang tak ingin menikahi gadis tomboi, namun Ken percaya bahwa orang tuanya tak akan memilih sesuatu tanpa alasan dan landasan yang kuat. Ibu selalu memuji sosok May, meskipun yang tampak di mata Ken sosok itu sangat menyebalkan. Tetapi Ken mempercayakan semua pada orang tuanya. Ken cukup lelah, selama ini ia telah menolak perjodohan itu, dan tak pernah berhasil. Berbagai cara telah Ken lakukan untuk menolak May. Semua percuma saja, Ibu selalu membela May. Sesungguhnya, Ken menyukai perempuan sederhana dan apa adanya. Ken tidak menyukai gadis yang memakai make up berlebihan, terlalu glamour dan over action. Hanya saja, yang dimaksud Ken itu sederhana yang bersih dan rapi. Bukan asal-asalan alias tidak rapi seperti May. “Alhamdulillah kalau kamu yakin. Ingat, kamu harus mengalah. Tapi, gak boleh kalah dengan May. Aku pastikan kamu beruntung mendapatkannya. Ia bukan gadis murahan, dan kamu tidak akan menyesal karenanya. Hanya saja... bersabarlah, karena gak akan mudah menaklukkannya.” “Aku akan belajar. Kamu siap ‘kan jadi kakak ipar sekaligus guruku? hehehe.” “Siap, Insya Allah.” Ibu dan Bapak memang cukup religius, tapi tidak dengan Ken. Ia juga masih berjibaku dengan kaum hawa. Bagaimana tidak, dunia bisnisnya bukan hanya terdiri dari rekan bisnis kaum adam, tetapi kaum hawa pun tak kalah banyaknya. Ken memang selalu menjaga jarak, tidak sekalipun para perempuan mendekatinya tanpa jeda. Namun Ken tidak seperti Aidil yang sangat religius, Aidil selalu menjaga jarak dan selalu menundukkan pandangannya saat harus bertemu dengan wanita. Aidil akan berbagi ilmu agama yang ia ketahui kepada Ken. Aidil memang akan memberi beberapa nasihat dan arahan kepada Ken, sebelum ia melangsungkan pernikahan dengan May. Aidil sudah sering menasihati May, meminta May berhijab, meminta May untuk lebih sopan dan santun layaknya perempuan. Namun May tak pernah mengindahkannya. Gadis itu acuh tak acuh. Ia cukup keras kepala. Terbukti, hingga kini May masih tak mengenakan jilbab. Aidil resah karena belum berhasil memperbaiki adiknya sendiri. Uhh. Mungkin Ken perantara jalan yang Allah berikan untuk hidup May, mungkin Ken yang akan membimbing May berhijab dan menjadi perempuan yang santun. Aidil akan menitipkan pesan-pesan kepada Ken. Aidil akan lebih sering menemui Ken di sela kesibukannya, ia akan membantu Ken menjadi imam yang baik untuk May. Agar kelak, Ken membawa May ke Jannah-NYA. “Insya Allah semua akan baik-baik saja, Ken.” “Amiiin, semoga saja.” Hari ini Aidil mulai bekerja di kantor milik Bapaknya. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu sudah sejak lama dikelola oleh Bapak dan rekan bisnis lainnya, termasuk Bapak Surya Ningrad, Bapaknya Ken. Kini Aidil dan Ken hanya akan meneruskan perjuangan orang tua mereka. Aidil meraih ponselnya. Memencet daftar kontak, nama Kendy. “Hallo. Assalamualaikum.” “Waalamualaikum salam, Ken. Kamu sibuk gak? Temenin aku ngecek lokasi baru yang akan kita gunakan, yuk.” “Iya, ntar siang aku rehat sekalian temanin aku nyari cincin nikah, ya. Gak mungkin aku kalau nyari sama May. Ntar dia milih sepatu boots, hehehe.” “Hehehe, okay.” Klikkk. Telepon berakhir. Aidil bernapas lega. Ini pertanda baik. Ken akan mencari cincin sendiri, amazing. Aidil yakin bahwa Ken tidak benar-benar membenci May. Ken dan Aidil akan makan siang bareng. Keduanya merasa lapar setelah melihat lokasi proyek baru mereka. Ken dan Aidil memasuki sebuah restoran sederhana di pinggiran Jakarta. Mereka memilih tempat duduk di pojok ruangan, sejurus kemudian pelayan menghampiri Ken dan Aidil. “Silakan, Tuan.” “Makasih, Mbak. Panggil Mas aja, gak usah Tuan,” Aidil mengamati menu restoran yang baru saja ia terima dari pelayan cantik nan seksi itu. Setelah Ken dan Aidil memesan, pelayan berlalu. “Aku gak terlalu suka makan di tempat begini, lebih nyaman di rumah.” “Kenapa, Dil?” “Pelayannya cantik-cantik, seksi banget. Aku gak kuat iman ntar kalau kelamaan di sini. Makanya lebih baik menghindari.” “Emang kamu lihat? Dari dulu kalau ada cewek, kamu nunduk gitu kok. Apa bahasanya itu, gadhul bashar? Ya, menundukkan pandangan. Gitu masih bisa tahu kalau dia seksi? Insting cowok banget. Ahaha.” Ken belum bisa menundukkan pandangan setiap kali berhadapan dengan lawan jenis, namun sejauh ini Ken belum pernah melihat perempuan manis, cantik dan seksi yang membuatnya merasakan debaran jantung dan getaran hati. “Aku cowok tulen. Cium parfumnya aja hidung aku kembang kempis.” “Wah, aku gak salah dong nikah dengan May. Dia gak akan berbagi aroma wanginya, yang ada ia berbagi bau jengkol ama pete tuh, hahaha.” “Hahaha…” kedua cowok itu terbahak. “Bener banget. Aku heran dari mana May tahu makanan itu. Ibu gak pernah masakin tuh, di rumah cuma dia aja yang doyan.” “Makanya aku gak bayangin kalau ntar dia makan itu di rumah kami nanti, trus aku mual-mual kayak orang ngidam gitu, deh.” “Semoga gak, ya. Aku gak bisa bayangin kalau kamu sampe mual-mual.” “Udah kali, Dil. Sebelum kamu balik. Aku sempat di opname gara-gara bau jengkol ama petenya itu. Aku sampe ngeluarin semua isi perut dan hal itu membuatku lemah.” “Serius?” “Yap!” “Terus ... kamu mau lanjut?” “Lanjut apa?” “Nikahin May.” “Yaaa, aku mau membuat dia wangi kembang tujuh rupa, hehehe.” Aidil tersenyum simpul. Ia menatap Ken lekat. May beruntung mendapatkan lelaki baik seperti Ken. Ken adalah seribu satu lelaki di dunia yang tidak mudah melabuhkan hati kepada setiap perempuan cantik. Dunia Ken dikelilingi perempuan dari berbagai kalangan, kelas atas tajir melintir. Cantik, manis dan seksi. Dari yang elegan, modis dan glamour semua ada di sekeliling Ken, tetapi Ken selalu bisa menjaga jarak dengan mereka sesuai batasannya. “Aidil,” suara lembut itu, Ayrin! Jantung Aidil berdetak kencang. Ayrin gadis yang pernah menyatakan cinta pada Aidil saat di SMA dulu. Tepat saat mereka merayakan kelulusan. Ayrin memiliki kulit dan wajah putih, Bertubuh seksi bak gitar spanyol. Rambutnya tergerai indah, lurus dan panjang hampirsampai pinggangnya. Pipinya sedikit chubby. Alisnya melengkung indah, matanya bulat menarik. Hidungnya mancung standar, bibirnya sensual dengan polesan lipstik berwarna merah muda. “Aku pemilik restoran ini. Kamu boleh datang kapan saja.Gratis, hehehe...” Ayrin langsung duduk di kursi sebelah Ken, ia terus menatap Aidil yang menunduk. “Kapan kamu balik dari Amrik?” “Udah hampir sepekan, Rin.” Ken sedikit tersenyum melihat Ayrin yang agresif dan Aidil yang malumalu kucing, Ken yakin ada sesuatu di antara mereka. Mungkin mantan terindah atau cinta monyet atau apalah. “Hem, aku tunggu di mobil aja, Dil.” “Eh, jangan. Gak boleh berdua-duaan. Ntar yang ketiganya setan.” “Makanya aku mau cabut, enak aja aku jadi yang ketiga.” “Hehehe, gak apa-apa. Kenalin, aku Ayrin. Calon istri Aidil Rahman Sanjaya,” ucap Ayrin spontan. Wajah Aidil bersemu merah. Sejak kapan ia melamar gadis itu? Rasanya Aidil belum melamar siapa pun. Ken menatap gadis bernama Ayrin yang rupanya fans berat Aidil. Ia cukup cantik dan fashionable dengan segala aksesoris yang mewah. Tapi sepertinya ia bukan tipe Aidil. Sebab Aidil lelaki saleh, pasti ia menginginkan sosok perempuan yang saleha juga. “Mbak calon istrinya Aidil? Bukannya Aidil suka sama gadis yang menutup Aurat? Apa Mbak mau melakukan hal itu?” kata Ken spontan. Ayrin tersenyum kaku, Apa-apaan sih dia? “Eh, maksud aku tuh, hem... bukannya Aidil tidak punya pacar? Atau jangan-jangan kamu suka sama Aidil?” Ken salah tingkah ketika bertanya seperti itu. “Sejak lama. Tapi dia gitu, no komen mulu.” Ayrin menatap Aidil tajam. “Terus, kamu tahu Aidil itu cowok yang seperti apa?” “Alim gitu, sih.” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tak diganggu. Dan Allah senantiasa maha pengampun lagi maha penyayang. (Q.S AL-Ahzab ayat : 59) Ken melirik Ayrin yang terdiam. Aidil rasanya ingin memeluk Ken sebagai tanda terima kasih karena telah mewakili perasaannya dan menyampaikannya pada Ayrin. Sebenarnya sudah sejak lama Aidil juga menyukai gadis itu. Hanya saja Aidil selalu ragu. Ia gadis idola cowok satu SMA-nya dulu. Ayrin juga play girl. Bahkan ia hampir memacari cowok se SMA-nya dulu. Putus dengan si A, si B dan seterusnya. Ia memang selalu mendekati Aidil tapi Aidil benci caranya yang agresif itu. “Kamu siapanya Aidil?” “Aku Kendy. Adik ipar Aidil.” “Salam kenal, ya. Terima kasih nasihatnya,” Ayrin melirik ke arah Aidil, “Aidil itu selalu diemin aku. Aku gak ngerti kenapa, tidak ada yang ia sampaikan kecuali jika itu hal yang sangat darurat atau penting. Rasanya, Aidil itu berbeda dari yang lain. bahkan semua mantanku pun tidak ada yang sifatnya mirip Aidil. Itulah kenapa aku terus saja memikirkan cowok aneh ini,” Ayrin mengucapkannya sambil tersenyum. Ya, Ayrin adalah orang yang jujur dan spontan. Tak peduli bagaimana tanggapan Aidil padanya. “Hehehe. Yang sabar, adiknya juga udah bikin aku menderita batin, aku juga gak tahu harus berbuat apa setiap kali berhadapan dengannya dan semua selalu berakhir kacau.” Ken menghela napas. Ia merasa bahwa dirinya dan Ayrin memiliki sedikit persamaan. Sama-sama mencoba mengerti sikap orang lain. May, Aidil, Bapak dan Ibu berkumpul di meja makan. Waktu makan tak selalu bisa bersama seperti ini, kecuali saat hari libur. Hari minggu atau ada tanggal merah. Siang ini sangat menyenangkan bagi Ibu, beliau bisa masak makanan kesukaan suami dan anak-anaknya. Sebab hari-hari lain Ibu juga sibuk mengurus butik, Bapak sibuk di kantor. May dan Aidil apalagi, mereka jarang di rumah selama mulai bekerja. Walaupun ada beberapa orang yang membantu pekerjaan rumah. Bi Ijah, Bi Eci, Bi Iput dan Mang Karman. Keluarga Sanjaya tidak menggantungkan semua keperluan mereka kepada para pekerja itu. Jika bisa melakukan sendiri, tak perlu bantuan mereka. Hanya saja, karena kesibukan masingmasing anggota keluarga Sanjaya mengharuskan para pekerja, yang membantu pekerjaan rumah itu harus ada di rumah ini. Bagaimanapun Ibu tidak sanggup membersihkan rumah yang sangat luas ini. Mang Karman tukang kebun sekaligus yang membantu jika ada pekerjaan berat bagi pekerja perempuan. Bi Ijah, Bi Eci dan Bi Iput yang mengurus rumah dengan baik, mulai dari kebersihan luar dan dalam hingga urusan dapur, masak-memasak serta mengatur, menata dan merapikan semua yang ada. Sesuai tugas masing-masing pekerja yang sudah dibagi sejak pertama mereka mulai bekerja di rumah Sanjaya. May menikmati makanan yang terhidang di meja makan dengan lahap. Aidil mengamati tingkah adiknya itu, May benar-benar tidak berubah. Usianya tidak muda lagi dan lihatlah, adab makan macam apa itu? Ini meja makan, tapi kaki May satu menginjak kursi yang seharusnya hanya untuk duduk. Makannya lahap seperti orang kelaparan yang sudah sehari semalam tidak makan, padahal semalam May makan banyak. “May, pelan-pelan kalau makan, buat kamu semua juga gak apa-apa. Gak usah buru-buru gitu makannya, kayak takut kehabisan aja. Kayak lagi lomba makan.” “Abis aaa ....” “Kalau mulutnya masih penuh gak usah ngomong. Lagian kamu itu makan segitu banyak, badan tetap aja kurus, kamu cacingan, tuh.” “Enak aja, May rutin minum obat cacing tiap enam bulan sekali, kalau ingat, hehehe.” “Udah, gak usah nambah lagi. Ingat hadis ‘makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang’. Kamu lapar gak lapar tetap makan, trus berhenti kalau udah kekenyangan. May, kamu itu cewek, bersikap manis sedikitlah.” May mulai gerah. Di mana-mana Kak Aidil ceramah. Gimana May akan tumbuh sehat kalau makan aja diomelin. “Gitu emang udah kebiasaan adik kamu, Dil. Kalau Ibu udah capek ngasih tahu, tapi kupingnya lagi budek tuh, gak bakal dengar.” May mengakhiri makan siangnya. Sebelum Bapak buka suara menghakimi May. Omelan Ibu dan Aidil membuat May cepat kenyang. “Kak Aidil, May mau ke rumah teman dulu, ya. Bentar aja. Kasian dia sedih karena ....” May tak ingin memberitahu siapa pun tentang masalah yang dialami Anisa. Tapi semenjak Kak Aidil pulang ia sulit bergerak. Mau keluar rumah susah, di larang mulu. Apalagi Kak Aidil tahu May akan menikah dengan Ken, harus dipingit gitu, kan nyiksa May banget. “Karena?” “Dia ada masalah pribadi.” “Pribadi? Kenapa kamu ikut campur?” “Dia teman May. Dia butuh May.” “Anisa?” tanya Aidil. “Ya, Kak.” Aidil terdiam, ia pernah menaruh hati pada teman May yang saleha itu. Tapi keduluan orang lain. Anisa sudah menikah. “Apa kabar dia?” “Gak begitu baik,” May beranjak dari meja makan, melangkah menjauh dari ruangan meja makan. Ia tak ingin Ibu dan Bapak ikutan kepo kayak Aidil. Aidil membuntuti langkah May. Ia cukup penasaran tentang hal yang berhubungan dengan Anisa. “Kenapa? Bukannya Nisa nikah dengan orang kaya itu?” “Emang kaya bisa jamin kebaikan?” “Gak sih, tapi ....” “Kakak jangan cerita ke orang lain, suaminya menikah lagi, dan dia pasrah gitu aja. Walaupun sebenarnya dia gak ikhlas tapi tetap aja dia terima semua keputusan suaminya.” Aidil mendesah berat, uhh. Menikahi lebih dari satu wanita memang diperbolehkan, tapi semua ada aturan dan hukum yang telah ditetapkan dalam Islam. Poligami yang bukan sekedar menuruti hawa nafsu itu sahsah saja. Aidil tak percaya pada lelaki yang menikahi Anisa itu. Namun Aidil pun tak bisa ikut campur. “Jangan terlibat jauh dengan urusan orang lain, May. Bentar lagi kamu akan menikah, ‘kan? Harusnya kamu gak boleh keluar dulu.” “Nyiksa banget sih, May gak mau dipingit.” “Ya, tapi lebih baik ‘kan kalau kamu diam di rumah dulu, perawatan gitu lebih baik daripada keluar rumah gak jelas. Masalah teman kamu, toh gak akan selesai hanya karena kamu ada di situ.” “Terkadang kita butuh kehadiran seseorang untuk menemani kita tertawa, tapi yang menangis bersama kita lebih kita harapkan. Tak butuh penjelasan ataupun penyelesaian, kita tahu bahwa dia peduli. Entah itu dia hadir hanya untuk memberi tisu, lap untuk air mata. Entah dia hanya memberi pundaknya tuk bersandar, itu sangat berarti.” May menatap Aidil datar. “Orang sakit tak selalu butuh makanan yang dibawakan para pembesuk, tapi kehadiran mereka selalu mengukir bahagia. Seperti sebuah energi memberi sebuah semangat yang tersalurkan meski tanpa ungkapan dan kata motivasi. Banyak hal yang tak selalu terungkapkan tapi bisa kita rasakan. Karena pembuktian tak selalu membutuhkan kata-kata, seperti ketulusan dan keikhlasan yang mengalir dari jiwa yang luhur.” “May berangkat, Kak. Assalamualaikum.” “Waalaikum salam. Hati-hati.” May berlalu, Aidil menatapnya hingga bayangan May menghilang. Rupanya di balik jiwa cuek bebeknya May, tersimpan jiwa yang penuh empati. Aidil melupakan satu hal. Ya, kini May bukan anak kecil lagi. Ia pasti sudah banyak belajar di usianya yang sudah 23 tahun. May sudah dewasa, meski beberapa hal masih menampakkan ia seperti anak kecil. Salah satunya hobi nonton film kartun dan semua film anakanak masih menjadi favorit May sejak kecil hingga kini.