
by Titikoma

9
Sebenarnya Ken tak ingin bangun, ia ingin tidur hingga waktu honeymoon mereka berakhir. Ia lelah bertengkar dengan May, jauh-jauh ke Singapura hanya untuk bertengkar. Ken selalu meyalakan alarm di ponselnya untuk mengingatkan waktu salat. Sebelum tiba di Singapura, Ken telah mengatur jam sesuai jam Singapura. Waktu salat telah tiba, waktu yang berbeda 1 jam dari Jakarta. Ken berdiri dan melangkah pelan menuju kamar mandi. Brukkk! May dan Ken meringis, mereka saling bertabrakan secara tidak sengaja. Ken dan May mengelus bahu masing-masing. “Duh, mau ngapain, sih?” Ken mengernyitkan kening. “Mau buang air gede, segede upil lu!” tukas May asal ceplos. “Upil kamu kali, aku gak punya upil. Belum sempat mampir udah aku bersihin tiap saat,” Ken berkilah. “Aku duluan, mau wudu. Udah masuk waktu salat subuh.” “Gue dulu Ken, gue udah kebelet,” May memohon. “Aku dulu, bentar aja kok wudunya,” Ken tak mau kalah. Akhirnya kedua sejoli itu berebut kamar mandi, dan dimenangkan oleh Ken. Alhasil May menahan sakit perut. Prot... prot... prot. Angin sepoi-sepoi dari bokong May keluar memenuhi ruangan tepat pada saat Ken keluar dari kamar mandi. May langsung buru-buru masuk ke kamar mandi setelah Ken keluar. Tiba-tiba hidung Ken kembang-kempis, ia mencium aroma tak sedap di dalam ruangan. Bau bangkai dari mana? Ken yakin, kamar ini sudah sangat wangi sejak awal menginjakkan kaki di sini. Ken tidak terlalu memikirkan, ia pun menunaikan salat subuh. Usai salat, Ken meraih Al-quran berukuran sedang di atas lemari. Ken tadarus beberapa saat, membaca ayat demi ayat sesuai tartil dan tajwid. May baru saja keluar dari kamar mandi, akhirnya ia merasa lega karena telah membuang sampah di dalam perutnya yang menyebarkan aroma bangkai tadi. Ken melirik May yang kembali berbaring dan mempererat selimutnya. Ken mengakhiri tadarusnya. Ia wajib membasmi penyakit malas May. “May, kok tidur? Salat dulu! Jangan banyak alasan, kalau aku suruh salat berjamaah bareng aku, kamu gak mau. Trus salat sendiri juga ogahogahan. Mau jadi apa May? Mandi malas, salat juga malas!” “Gue gak malas, ntar aja. Sekalian salat sekalian mandi.” “Gak ada sekalian-sekalian, gak ada ntar-ntaran. Ayo bangun. Wudu, salat dulu. Waktu terus berjalan May, mereka gak nunggu kamu.” “Iya, iya!” akhirnya May bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudu. Ken geleng-geleng kepala, heran. Sudah dari kamar mandi buang-buang air, kenapa gak sekalian mandi atau berwudu? Sudah tahu waktu salat, masih saja molor. Ketika May salat, Ken mengamati. Mata Ken terus tertuju pada May yang terlihat khusyuk. Ken akan menjadi imam salat untuk May, tapi tidak saat ini. Rupanya selain pekerjaan kantor yang menumpuk, kini Ken harus menambah pekerjaannya mengurus May. Usai salat, May langsung meraih selimutnya lagi dan... Ken dengan sigap menarik selimut berwarna putih itu. “Kata siapa kamu boleh tidur lagi? Udah gak tadarusan, mau tidur pagi lagi, mandi sana!” “Ken, gue masih ngantuk. Ini juga mumpung libur kerja.” “Iya liburlah, kita kan bulan madu.” “Iya, tapi ntar gue bakal lu siksa lagi di kantor lu, kalau udah habis masa cuti gue.” “Kamu cuti selamanya, cukup aku yang kerja. Kamu di rumah aja, temanin Ibuku. Nanti sekalian ikutan Ibu pengajian, ikutin acara majelistaklim, biar kamu banyak belajar agama.” “Iya, biar kata gue gak kerja. Tetap aja kan lu nyiksa gue. Kenapa sih lu suka banget nyiksa gue? Apa salah gue, Ken? Gue gak pernah ngusik lu. Gue cuma gak bisa diam kalau mulut lu itu seenaknya ngata-ngatain gue.” Ken terdiam, ternyata selama ini May tersiksa? Ken pikir hanya dirinya sendiri yang merasa teraniaya. “Gue jadi istri lu terpaksa, jadi lu gak berhak ngatur hidup gue.” “Berhak May, sekarang kamu ada dalam genggamanku, dan aku akan mengobrak-abrik kemalasan dan kejorokan dalam dirimu itu.” Sadis. Hati May menjerit. Ia bahkan lebih kejam dari biasanya. Ken menatap May teduh. “Ya Allah. Tuntun aku agar bisa bersikap lembut terhadap May.” Melihat air muka May yang berubah, Ken jadi panik. “Hem, kita emang gak saling suka. Tapi kita harus coba saling suka, harus terbiasa dengan kebersamaan ini dan aku sedang mencobanya. Mencoba menerima keadaan ini.” “Gak usah drama, gue gak suka. Lakuin aja yang pengen lu lakuin. Soal gue malas mandi, itu urusan gue. Kalau gue maunya mandi sehari sekali itu juga bukan urusan lu.” Allahuakbar.Rupanya Kenmasih harus bersabarmenungguMaymenjelma menjadi bidadari surga, bidadari yang saleha yang menjaga kebersihan, menutup dan menjaga auratnya dan menaati suaminya. Sore hari, Ken mengajak May ke lantai club tingkat 3, Ken ingin mengantar May menikmati perawatan spa. May tak bisa banyak berkutik, ia terpaksa menuruti kehendak Ken selama di Singapura. May menjalani rangkaian spa yang gak banget bagi May. Ya, May tak pernah melakukan spa di salon mana pun selama hidupnya. Namun kali ini Ken mengharuskan. Setelah itu, Ken mengajak May melihat kolam renang di puncak gedung pencakar langit, di lantai 20. Di puncak inilah, Ken dan May mengamati anak-anak yang ramai berenang dan menikmati pemandangan sekitar dari ketinggian puncak. Sembari menikmati indahnya suasana pemandangan di puncak gedung lantai 20 Four Seasons Hotel Singapore, Ken juga memandangi wajah May lekat. Ken terpesona padanya. Setelah perawatan spa tadi, May mengenakan baju kemeja putih lengan panjang yang rapi dan celana jeans hitam yang tidak robek-robek lagi. Semua celana jeans May yang robek sudah Ken buang pada tempatnya. Sungguh May sangat mirip dengan artis Korea, yaitu Suzy miss A. Kulit May memang putih, bibirnya merah jambu. Walau tanpa polesan, wajah itu tidak kalah manis dengan artis papan atas Korea. Ken akan membuat May menutupi keindahan yang seharusnya hanya boleh dilihat oleh mahramnya saja. Tapi Ken masih butuh waktu, karena semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. May cukup keras kepala, Ken tak akan menyerah. Ken tak pernah melakukan pekerjaan setengah-setengah. Apa pun itu, Ken selalu melakukan segala hal sampai tuntas. “May... kata Ibu, sebelum kita balik ke Jakarta, kita wajib foto di depan patung merlion,” pinta Ken. Kini ia duduk tepat di sebelah May, di kursi santai pinggir kolam renang. May terdiam, foto-foto itu hal yang tidak menarik bagi May, ia tak suka berfoto. May tak pernah berfoto dengan kemauannya sendiri. Semua foto yang terkumpul di album Ibunya May di rumah itu pun bukan atas kehendak May. “Gue gak suka foto-foto, Ken,” sahut May datar. Ken merapatkan posisi duduknya, hingga tak ada jarak, May agak risih. Namun ia berusaha santai. Biarkan Ken berulah, jika May tak tahan dengan ulahnya itu, gampang. May langsung ceburin aja tuh ke kolam renang. “Kalau udah mandi, apalagi udah spa gini kamu wangi juga ya, May. Kamu gak bau apek dan gak dekil, kan jadi manis banget, May.” Ups, keceplosan. Ken menutup mulutnya yang tak sengaja memuji May. May menoleh ke samping kirinya, menatap Ken yang menempel bak perangko. “Emang gue manis dari dulu, lu aja yang buta. Gak bisa ngeliat orang manis. Gimana bisa lihat kalau yang dipikirin cuman wangi-wangian. Padahal gak wangi bukan berati bau. Wangi berlebihan juga gak baik. Bisa menimbulkan fitnah, ‘kan?Orang nyiumwanginya tuh sambilmemuji,trus penasaran. Siapa dia yang wangi? Trus lihat, wah manis. Trus banyaklah negatifnya daripada positif atau manfaatnya. Lu kan lebih paham agama daripada gue.” Hati Ken hampir meleleh mendengar kalimat panjang May. Subhanallah, maha suci Allah dengan segala keindahan-NYA. Ternyata May memiliki sudut pandang yang berbeda tentang aroma wangi yang Ken banggakan. Astaghfirullah, Ken tak menyadarinya. Selama ini Ken selalu tampil wangi semerbak di manapun Ken berada. Tak peduli di tengah kaum adam maupun kaum hawa. May benar, wanginya Ken mungkin sudah menimbulkan fitnah pada kaum hawa. Ya Allah... tiba-tiba wajah Ken sendu. May melirik, “Ihhh. Kenapa lagi sih dia? Barusan ceria, tiba-tiba murung gitu, cowok aneh!” May berusaha tidak acuh pada Ken yang terlihat sendu. “May, kamu gak pengen gitu peluk aku?” Ken menggoda. “Pengennya jitak pala lu!” ceplos May. Ahh, berapa lama lagi sih? Ken mulai geregetan dengan penolakan May. Well, Ken akan bersabar lagi. Ken yakin, ia akan menaklukkan keras kepalanya May dan merebut hati gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu. Pagi ini, Ken duduk termenung di dalam kamar hotel. Ia menatap keluar jendela ceruk besar, lalu menatap langit-langit kamar yang tinggi, kamar yang elegan ini terasa nyaman, tak jauh dari kenyamanan di rumah Ken. Namun tidak bagi hatinya yang gelisah. Ingin berdamai dengan May selalu saja berakhir kacau. May muncul dari pintu kamar mandi. Ia sudah mandi dan terlihat sangat segar bak buah yang ranum. Mata Ken tak berkedip menatap May yang mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Tumben kamu mandi pagi? Jalan, yuk!” ajak Ken bersemangat. “Ogah banget jalan bareng lu,” Ken menelan ludah pahit. Tuh kan, dia selalu saja membuat resah. Begitu sulitnya meluluhkan si May. “Gue laparrrrr,” ucap May. “Buah satu keranjang sudah habis. Kulitnya aja belum kering, artinya baru aja dibabat habis,” Ken melirik keranjang buah di meja pojok ruangan kamar seraya melirik May. “Iya, tadi gue makan sebelum mandi, habis mandi lapar lagi,” jawab May santai. “Makan kayak buaya. Tapi kok gak gemuk-gemuk, ya? Kamu cacingan kali May, hehe.” “Enak aja, gue sehat lahir batin tanpa cacing, he…” Mereka tertawa sebentar. Lalu hening kembali. May menunduk. Sebenarnya May sadar kini ia telah menikah dengan lelaki yang cukup menyebalkan itu. May tak tahu mengapa tiba-tiba ia merasa lelaki itu sangat dewasa, lucu, suka usil, tapi juga jahat sekali. Ken sangat kasar jika membangunkan May salat subuh dan mandi pagi, karena keduanya memang hal tersulit bagi May. Sebelum Ken, Ibunya May yang selalu membangunkan salat subuh dan mandi pagi. Cukup menguras emosi dan tenaga. Karena May akan terbangun sejenak lalu tidur lagi, begitu seterusnya hingga waktu subuh beranjak pada pukul 06.00 pagi. Jika seperti itu, Ibu pun akan sama,sama seperti yang Ken lakukan, menyiram wajah May dengan air. Tapi Ibu masih sedikit lembut. Dengan Ken? May merasa telah menjadi anak tiri. Mata May menatap Ken yang sedari tadi menatapnya. Mereka saling tatap, Ken memberi senyum manis penuh kehangatan, May mencoba bertahan dengan tidak meyunggingkan senyum sama sekali walau kini hatinya bersorak gembira. Mungkinkah ada rasa cinta yang diam-diam menyelinap ke dalam relung hati keduanya? Entahlah, semua masih sama-samar. Ken teringat pesan Aidil, yang memintanya membimbing May dalam kebaikan. Aidil menyatakan bahwa seharusnya May berhijab agar kelak bisa ke Surga bersama Ken, sang suami. Kata Aidil, semua urusan yang bersangkutan dengan diri May itu menjadi tanggung jawab Ken sebagai suami. Ken harus membuat May berubah, lebih cepat lebih baik. Semua pesan-pesan Aidil itu terngiang di telinga Ken. Ah, ini amanah yang cukup berat bagi Ken. Karena May saja tak mau berdamai. “May, aku ingin kamu berjilbab syar’i,” tutur Ken pelan. Ken ingin melaksanakan amanah, pesan-pesan dari Aidil. Ken berharap May tak menolak kebenaran itu. “Ngapain berjilbab kalau hati masih kotor, suka iri hati dan dengki,” jawab May ketus. “Itu pikiran orang awam, May. Yang berjilbab orangnya bukan hatinya. Lagian kalau nunggu hati bersih dulu baru mau berjilbab, gak akan ada orang berjilbab di dunia ini, May. Karena gak ada hati yang benar-benar bersih. Setan di mana-mana membisikkan kesesatan, manusia mudah terpedaya dan kesalahan bisa saja terulang. Tapi orang yang pintar tidak akan mengulang kesalahan yang sama berulang kali.” Hal utama yang ingin Ken sentuh dari sosok May sang istri adalah jilbab. May telah memamerkan rambut dan aurat lainnya selama 23 tahun lamanya dan itu telah masuk perhitungan hisab-NYA kelak. May harus bisa mencoba menjadi wanita saleha. Aidil benar, semua itu menjadi tanggung jawab Ken sebagai imamnya May. “Berjilbablah, May. Dengan menutup aurat, kamu akan banyak belajar.” May bergeming. “Jilbab itu wajib, perintah Allah, May. Hati dan jilbab memang dua hal yang tak boleh dipisahkan. Tapi ia dua hal yang berbeda. Jadi berjilbablah jangan menunggu hatimu bersih. Mau nunggu hati bersih? Kamunya aja jorok, hehe.” “Terus boleh berjilbab kalau hatinya kotor? Suka iri hati dan dengki?” sanggah May. Urat-urat lehernya menegang. “Perbaikilah semua saat kamu berjilbab. Hati juga tindakanmu, kalau sebelumnya kamu suka iri, berhentilah. Berhijrahlah dengan baik. Islam mengajarkan segala kebaikan, iri hati dan dengki bukan kebaikan. Mulailah dari kewajibanmu, pelan-pelan saja asal istiqomah. Seiring berjalannya waktu semua akan mengikuti. Baik sikap, perbuatan, dan perkataan.” Ken menatap May, dalam hati ia berdoa agar usahanya untuk perubahan seorang Maymun Maharani tidak sia-sia. May adalah istrinya, ia memiliki kewajiban membimbing May menjadi wanita saleha. Aidil telah berulang kali menasihati Ken tentang hal itu. Wajar jika Ken mengingat semua hal itu. Selama ini Ken tahu, Ibu sering mengatakannya. Ibu dan Inaya sang adik pun memang berhijab sejak dulu. Ken pikir, asal berbuat baik pada orang lain, tidak mengusik orang lain dan asal sayang kepada kedua orang tua itu sudah cukup. Ternyata lebih dari itu. Rupanya Ken masih harus mengkaji dan belajar tentang Islam secara kafah. Banyak hal yang belum ia ketahui, bahkan hal terkecil sekalipun, yang kadang sepele itu bisa berdampak besar dalam kehidupan. Ken terdiam, ia ingin melihat reaksi May. Apakah gadis itu akan menerima atau akan menentangnya? “Gue gak bawa jilbab,” tutur May pelan. Ken berbinar, bola matanya yang indah itu memancarkan cahaya. Bibir manisnya mengukir senyum bahagia. Ia ingin bersorak karena respons positif dari May. “Ayo kita beli sekarang, aku akan bawa kamu ke manapun kamu mau beli,” Ken senang sekali, karena memberitahu kebenaran itu kepada May tak perlu menghabiskan energi seperti biasanya. May bahkan tak menentang keras. Ken salut, ia menatap May penuh kekaguman. Ternyata May gadis yang mudah menerima kebenaran. Ken yakin, ia tak akan kesulitan membimbing May. “Gue juga tahu, lu pikir gue baru ke sini? Jangankan Singapura, gue udah keliling,” jelas May. “Keliling dunia, May?” “Keliling Jakarta, hehehe...” May tersenyum miris. May baru menginjakkan kaki di Singapura, sedangkan Ibu dan Bapak telah beberapa kali melancong di berbagai negara. Namun May tak pernah ikut serta. Karena May benarbenar sibuk dengan dunianya sendiri. “Ayo beli jilbab dan baju muslimah, aku temenin. Tapi tunggu sebentar, ya.” Ken bergegas ke kamar mandi. May tak akan membiarkan dirinya menunggu. May akan mencari sendiri. Toh, ada petunjuk arah, ‘kan? May tidak buta huruf. Lagipula jarak antara tempat perbelanjaan tak jauh dari Four Seasons Hotel Singapore. May kembali ke kamar hotel, ia telah membeli jilbab syar’i dan gamis muslimah. Ia langsung menemui Ken setelah belanja. “Tadaaa, gue udah beli baju dan jilbab syar’i, nih,” May terlihat sumringah. Meski kesal ditinggal May tadi, Ken berusaha bersikap manis. “Pakailah, May. Ntar kita ke depan patung Merlion. Pasti Ibu kita senang lihat foto kamu berjilbab, bareng orang ganteng pula.” “Foto patungnya aja, gue gak suka foto, Ken. Foto gue lebih cantik, ntar lu naksir, hehe.” Ken tersenyum penuh arti lalu memandang wajah May. Ya Allah... Apa dia bilang? Ntar aku naksir? Emang aku udah mulai naksir, ia memesona di mataku dan kini ia di sisiku, menghabiskan waktu siang dan malam bersamaku. Belum jugakah ia menyadarinya? “Gantilah bajumu. Mulai saat ini, kamu berjilbab ya anak salehanya Ibu Sanjaya dan Ibu Surya Ningrad.” Ken mengalirkan kehangatan pada jiwa May yang dingin, May merasakan ketulusan dari seorang lelaki. Ken adalah laki-laki yang baik, jika tidak, ia tak mungkin perhatian seperti perhatiannya Ibu dan Aidil. Hati May mengembara, masih menjelajah memasuki lorong kesimpulan tentang sosok Ken. Tanpa dikomando lagi, May masuk ke kamar mandi, ia akan mengganti pakaiannya dengan baju dan jilbab syar’i. Selang beberapa waktu May telah menjelma menjadi si Suzy Miss A, artis Korea cantik dan manis itu, May Suzy Korea yang berjilbab. Ken terpanah asmara menatap keindahan itu. Subhanallah, maha suci Allah yang menciptakan makhluknya dengan keindahan yang sedemikian rupa. “Ayo kita jalan sekarang, karena besok kita balik ke Jakarta.” “Ke mana, Ken?” “Ke hatiku, he.” “Plagiat, picisan!” “Ke depan patung Merlion, kita foto buat kenangan aja kok, gak yang gimana gitu. Foto biasa aja, berpelukan kayak Teletubbies, haha.” tawa Ken renyah. “Hiiiii...” May bergidik. “Ibuku dan Ibumu yang nyuruh, Ibu kita berdua.” “Iya deh,” May menurut. Merlion Park Singapore, ikon utama wisata Singapore. Sebuah taman seluas 2.500 meter persegi, di One Fullerton. Terdapat aneka restoran, lounge, dan klub dansa di tepi sungai. Area ini juga sebuah tanjung dengan teras tempat duduk dan sebuah dek untuk menonton yang sanggup menampung sampai 300 orang. Dek ini menawarkan pemandangan merlion yang terbaik untuk foto-foto, dengan background kota dan Marina Bay yang indah, termaksud gedung-gedung seperti The Fullerton Singapure dan Esplanade-Theatres on the Bay. Merlion Cub terletak 28 meter di belakang patung Merlion. Dipasang pula sebuah sistem pompa untuk Merlion dan anak Merlion, sehingga dapat menyemburkan air sepanjang hari. Ken menyewa fotografer untuk pemotretan mereka berdua, Ken tak ingin melewatkan momen honeymoon begitu saja. Cukup banyak hal yang terlewatkan, namun kebersamaan ini harus Ken abadikan. Cekrek, cekrek, cekrek. Ken terus saja merangkul May yang kegerahan karena ia belum terbiasa dengan baju muslimah dan jilbab syar’i yang dipakai. “Udah, Ken. Gue gerah, nih.” “Ntar, kata Ibu kita foto satu album, hehe.” May meringis, ia ingin cepatcepat kembali ke kamar hotel, ia benar-benar kepanasan. Acara pemotretan Ken dan May terus berlangsung. Ken dengan gaya kerennya merangkul May, memasang senyum manisnya. May memaksakan senyum, mengikuti aura ceria Ken. May juga takut terlihat tidak bahagia, pasalnya foto-foto ini akan dilihat orang tua mereka. May gak mau sampai kena omelan Ibu dan Bapak, ditambah kini Ibu mertua dan Bapak mertua juga Kak Aidil. Usai berfoto-foto, Ken dan May mengitari sekitar patung Merlion. “Gue gerah, Ken. Lu sih enak gak kepanasan.” “May, bisa gak kamu berhenti ngomong ‘gue- elu’ sama aku? Aku kan suami kamu, lagian usia aku jauh lebih tua daripada kamu. 5 tahun lebih tua. Jadi kamu bisa panggil Mas Ken, Bang Ken, AA Ken, Kak Ken, Ayank Ken atau Bebeb Ken.” May manyun, itu tak mudah baginya. Lidah May akan terasa kelu. Ken meraih jemari May, hal itu membuat jantung May hampir copot. “Please, panggil aku....” “Doraemon,” tukas May. “Hehehe, jangan. Biar kata kamu Nobita, aku gak siap jadi Doraemon,” May tersenyum simpul. Lama-lama ia semakin grogi. “Panggil aku... Mas. Mas aja, itu udah cukup. Terima kasih jika kamu bersedia, dan aku akan memanggilmu Mbak, Mbak jamu, hahaha.” May manyun, Ken nyebelin. Ken merangkul bahu May. “Aku akan tetap panggil kamu May. Nanti saat kita punya anak, baru aku akan memanggilmu Ibu. He.” Dag dig dug. Jantung May berdebar-debar. Ken sedang menggoda atau sedang usil lagi, nih? Ahh, May sulit membedakan Ken yang serius dan Ken yang jahil. Karena ia lebih sering jahil ketimbang seriusnya. Setelah beberapa waktu di Singapura, Ken dan May kembali ke Indonesia. Kembali ke Jakarta, ke rumah Ken. Karena Ibu dan Bapaknya Ken tak ingin jauh dari Ken dan May. Maka kedua orang tua May pun merelakan May. Beliau yakin Ken akan membahagiakan putri semata wayangnya itu. Malam semakin larut, Ken masih di kantor, ia sedang lembur bersama karyawan, tapi rasanya Ken ingin segera pulang. Ia tak tahu mengapa rasa itu hadir, rasa ingin cepat bertemu dengan perempuannya yang menggemaskan atau lebih tepatnya merepotkan. Abtahiyyat wabsalam Ansyuru ahlal kalam Jainuddin yahtirom Abmahabbat wabtisam Ansyuru bainil anam hadahu din assalam. Nada panggil Ponsel Ken berdering. Aidil memanggil. “Hallo.” “Hallo, Assalamualaikum Ken.” “Waalaikum salam. Ada apa, Dil? Tumben menelepon malam-malam gini?” “Aku cuma kepikiran aja, adikku pasti sangat merepotkanmu, ya?” “Don’t worry, aku suaminya. Dia punya hak atas diriku, termasuk merepotkanku, hehe.” “Alhamdulillah, adikku beruntung. Aku jadi tenang mendengarnya. Hmm, kamu gak pengen curhat? Keluhan-keluhan tentang May?” “Udah aku curhatin sama Allah. Semoga semakin baik ke depannya. Oiya, karena Kakak Ipar yang cukup kepo. Jadi harus aku jelaskan bahwa sepertinya aku mulai ingin cepat pulang ke rumah menemui Adikmu itu. Apa itu pertanda baik? Hahaha. Mungkin aku sudah jatuh cinta.” “Alhamdulillah, memang seharusnya kita mencintai yang halal untuk kita, istri kita bukan istri orang. Aku turut bahagia. Aku tidak sabar menunggu kehadiran ponakan, hehe.” “Hehe, belum tampak jelas. Dia masih menutup diri. Bantu doa ya Kakak Iparku yang super kepo.” “Hehe, doa terbaik buat kalian. Oiya, udah tahu belum kalau aku bakal nikah bulan depan?” “Udahlah, sama siapa? Aku belum tahu calonnya.” “Ayrin.” Ken mengernyit dahi, hingga akhirnya tersenyum. “Katanya bukan tipe kamu, dia gak berjilbab,‘kan?” “Kadang kita gak butuh tipe dalam mencintai, bahkan kadang kita gak tahu kenapa kita jatuh cinta. Kenapa sama dia? Tiba-tiba jatuh gitu aja, jadinya milih dia. Aku rasa aku mencintainya, dia udah berhijab saat ini. Semoga aku bisa jadi imam yang baik untuknya.” Aidil benar. Saat kita benar-benar jatuh cinta pada seseorang, kita tak lagi mengenal tipe, tipe seperti apa gadis pujaanmu akan kalah dengan yang telah membuatmu terjatuh, jatuh cinta. Karena cinta bisa jatuh kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja, sekalipun bukan tipemu.