
by Titikoma

7
Rumah Sakit Pondok Indah. May menunggu di ruang tunggu. Tadi ia menemukan Anisa yang pingsan di rumahnya seorang diri. May yakin, Anisa sedang mengalami masa sulit. Ia harus menahan rasa sakit akibat ulah suaminya yang menikah lagi. Di usia kandungannya kini adalah masa trimester 3 bulan kehamilan. Menyaksikan beratnya beban hidup yang dialami Anisa, rasanya May belum siap untuk menikah. Apalagi dengan orang yang sama sekali tidak mencintainya. Dulu suami Anisa sangat mencintai Anisa dan sekarang berubah. Ada wanita lain yang ia cintai selain Anisa. Ken? Ia bahkan sama sekali tak pernah menginginkan May berada di dekatnya. Bagaimana mungkin May akan baik-baik saja? Tiba-tiba May ingin lari, tapi ke mana? May bisa saja meninggalkan semua kemewahan yang ada pada keluarganya. Tapi tidak pada Ibu, Bapak dan Kak Aidil. May tak bisa membayangkan jika tak lagi mendengarkan omelan Kakak tampannya itu. May tak bisa jika tak ada Ibu yang hampir tiap pagi bangunin May mandi dan salat subuh. Bapak yang menjaga May sampai saat ini. Air bening membasahi pipi May, ia bisa pergi ke mana saja, ia bisa hidup apa adanya. Karena ia suka kesederhanaan. Namun, ia tak bisa jauh dari keluarga. Ibu, Bapak dan Kak Aidil adalah lautan cinta di hati May. Jika mereka jauh, lautan itu akan terasa kering. May akan tetap di sini. Apa pun yang akan terjadi nanti. Biarkan takdir yang menentukan. May tak akan menyerah. Selama keluarganya utuh, selama itulah bahagia bagi May. Ia tak akan mengecewakan Bapak, Ibu dan Aidil hanya dengan menuruti ego. May masih di rumah sakit bersama Anisa yang terbaring. Anisa sudah siuman. Tapi kondisinya masih sangat lemah. “Makanlah, Nis. Kasian bayi lu.” “Aku mau pulang, May.” “Ntar kalau lu udah sehat. Gue bisa minta nomor telepon laki lu? Setidaknya dia harus tahu kalau lu sakit.” “Gak usah May, aku gak mau Mas Pras khawatir.” May melongo. Pras itu suami Anisa, kenapa ia tak boleh khawatir? Harusnya lebih dari khawatir. Pras harus ada di sini, apalagi di saat seperti ini. Anisa sedang rapuh. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, May terbelalak. Seorang lelaki jangkung, bertubuh kekar dan berwajah pas-pasan menurut May. Melihatnya saja berasa mual. Lelaki itu berdiri di depan pintu bersama gadis cantik yang memiliki rambut panjang berwarna emas. Tubuhnya ramping, kulitnya putih dan wajahnya tirus. May melihat Anisa jauh lebih cantik daripada gadis yang dibawa Pras. May beranjak, ia menghampiri Pras dan gadis itu. Bagaimana mungkin Pras datang bersama gadisnya? Bukankah hal itu membuat Anisa makin terluka? Ia benar-benar lelaki tak berperikemanusiaan. May geram. “Siapa dia?” May menatap tajam ke arah gadis di samping Pras. “Kamu gak perlu tahu May, toh kamu cuma teman Anisa, bukan Ibunya Anisa,” jawab Pras. “Lu tahu gak, apa yang udah lu lakuin itu melukai Anisa, dan gue sebagai temannya gak terima. Lu tahu ‘kan dia yatim piatu. Lu anggap aja kalau gue ini emaknya dia!” tegas May berapi-api. Pras terdiam. May menatap lurus. Ia tidak bisa diam saja menyaksikan kepedihan Anisa. “Ngapain lu nikah lagi, sih? Lu gak bersyukur udah dapat istri muda dan cantik? Lu udah tua, Pras. Nyadar diri harusnya,” tuturnya lagi. “Lu juga,” May menatap gadis yang dibawa Pras itu. “Emang gak ada laki laki lain di luar sana? Atau lu sudah gak laku? Laki orang juga lu rebut!” May melontarkan keresahan hatinya. “Mending gak usah nikah seumur hidup, Mbak. Daripada lu ngerebut lakinya orang. Gak akan bahagia. Gak akan tenang hidup lu, Mbak,” May antusias. “Lagipula, Mbak ini cukup cantik, kenapa harus menikahi suami orang? Jelas-jelas merusak hubungan orang lain. Suka banget, sih menghancurkan hidup orang lain,” May masih bicara panjang lebar. “Mbak, tahu gak, sih? Orang yang mempermudah urusan orang lain itu akan Allah permudah juga urusannya. Tapi kalau orang mempersulit orang lain, akan Allah persulit juga hidup dan urusannya. Mbak mau begitu? Mau Allah persulit? Mbak bisa apa kalau Allah sudah berkehendak?” May tak sadar kini ia hampir seperti Aidil, ceramah di depan Pras, Anisa dan gadis menyebalkan itu. Hem, May memang tidak seperti Aidil yang paham betul tentang agama Islam. Hanya saja, May sering mendengar Aidil menyebutkan hadis hingga May hafal banget. Bahkan hadis yang membuat May berpikir bahwa menjadi bermanfaat untuk kehidupan orang lain akan membuat kehidupannya lebih indah. Terlebih karena memudahkan atau membantu orang lain ternyata membuat hati May semakin tenang dan damai hingga melukiskan rasa bahagia. “Ini urusanku, kamu gak berhak ikut campur!” Pras marah. “Gue cuman ngingatin lu, Pras. Harusnya lu gak nikah lagi. Apalagi kondisi Anisa yang sedang membutuhkan perhatian. Anisa mengandung anakmu,” sergah May. “May ....” Anisa memelas, berharap May diam. May terdiam dengan kekesalan yang tertahan. Pras dan gadisnya mendekati Anisa yang terbaring lemah. Pras meraih jemari Anisa. Kemudian mencium kening Anisa. Hueekk. Sungguh May ingin muntah melihat lelaki serakah itu. “Mas, kenapa Mas repot-repot datang ke sini?” suara lembut Anisa membuat May melotot. Repot? Anisa, Pras itu suami lu. Dia memang harus repot demi lu dan bayinya. Enak aja habis manis sepah di buang. Hati May berontak. Kesal pada kenyataan di hadapannya, harusnya Anisa marah, bukannya malah ngertiin. “Hem, sebenarnya kamu sakit apa, sih? Gak usah terlalu manja deh, aku aja lagi hamil gak manja-manja banget,” tutur si gadis berambut emas. “Heh!” bentak May. May langsung menepuk pundak wanita itu dengan keras. May tak pernah bisa menahan diri atas ketidakadilan. Menurut May, Pras tidak adil pada Anisa. Ia menduakan Anisa padahal kondisi Anisa yang sedang lemah. Hal itu akan menambah rapuh jiwa Anisa yang kondisinya sedang hamil muda dan mabuk berat. “Sakit!” jeritnya. “Kamu gak papa, Lily?” Pras mengelus pundak si rambut pirang yang ternyata bernama Lily itu. “Oh, nama lu Lily. Eh Lily, lu tuh udah kebangetan ya jadi orang. Udah jadi pelakor. Mana mulut lu asal ngomong seenak isi perut lu. Bener-bener ya lu, harus diberi pelajaran!” May menggulung lengan bajunya. Ia siap membasmi Lily sang monster alias pelakor. Apalagi si Lily mengabaikan ceramah May barusan. Hanya dianggap angin lalu. Ia perempuan yang tak mau menerima kebenaran, May semakin kesal melihatnya. May tak pernah bisa mengerti, membenarkan dan memaklumi pelakor di manapun berada, kapanpun dan apa pun alasannya. Alasan terpaksa karena keadaan, karena bla bla dan bla. Sungguh tidak ada alasan yang May benarkan. “May, kamu pulang saja, aku muak. Kamu hanya mengacaukan suasana!” tegas Pras. BUKKK! May tak tahan, akhirnya tinjuan mautnya mendarat tepat di perut Pras. “Addauuu...” Pras meringis. “May, aku bisa memperkarakan tindakan kamu, ini kriminal!” “Bodo amat!” May berlalu sebelum emosi semakin menguasainya. Sebenarnya tangan May masih gatal ingin menonjok kepala kedua orang menyebalkan itu. May kesal melihat mereka berdua. Tapi May juga tak bisa berbuat banyak. Ini bukan tentang May yang jago silat, karena silat tidak mengajarkan kekerasan apalagi tindak kriminal dan anarkis. Ini tentang kekesalan May kepada sosok pelakor yang kian marak. May sangat geram dengan perempuan yang mengusik kehidupan rumah tangga orang lain. Bagaimana mungkin seseorang bisa bahagia dengan merampas hak milik orang yang jelas-jelas menyakiti orang lain? May tak bisa menahan emosi saat berhadapan dengan pelakor. Betapa pun ia ingin berdamai, tetap saja hatinya memberontak. Tak ada tempat untuk pelakor di hati May.