
by Titikoma

14
Delapan bulan sudah kelangsungan usia pernikahan May dan Ken. 5 bulan sudah May dan Ken berdamai, bersenda gurau dan bercumbu mesra. Kebahagiaan dirasakan May setiap detik dalam hidupnya. Ken selalu hadir dengan kehangatan kasih sayang, penuh canda tawa dan kejutan romantis. Kebahagiaan May bertambah lengkap, hari ini Anisa datang dengan kabar gembira yaitu suaminya telah kembali padanya dan meninggalkan Lily karena terbukti Lily hanya menginginkan harta Pras. Ia tertangkap karena menggelapkan uang showroom milik Pras dan Pras menyadari semuanya. “Alhamdulillah ya, Nis. Gue seneng banget kalau lu udah bareng lagi sama suami.” “Alhamdulillah, aku juga senang banget kamu sama Ken udah berdamai dan semoga kalian cepat dapat momongan.” “Amiiin...” Ibu mertua yang baru saja muncul mengaminkan doa Anisa. “Tumben Nisa main, ada angin apa, nih? Biasanya May kesepian, loh. Harusnya kamu sering main ke sini, Nis.” “Hehehe, maunya sih gitu, Tan. Hanya saja, saya juga sibuk ngurus anak. Suami saya gak percaya sama orang lain. Jadi saya mengerjakan semuanya sendiri.” “Harus itu, perempuan memang harus mengerjakan semuanya sendiri. Mengurus rumah, merawat anak, biarpun ada yang bantuin tetap aja kan kita yang turun tangan, karena kita yang harus paling tahu rasa dan selera suami dan anak-anak kita.” “Bener, Tante. Hem, aku juga sekalian mau pamit sama May.” “Pamit?” May melotot. “Biasa aja dong matanya, hehehe. Aku mau ikut suami, dia akan menetap di London. Ada perusahaan orang tuanya di sana yang harus dia kelola. Usaha di sini juga lagi bangkrut gara-gara Lily yang udah menggelapkan uang Mas Pras,” Anisa menjelaskan. “Jadi kita harus pisah, nih?” “Kalau ada waktu dan kesempatan kita akan tetap bertemu. Aku akan pulang pergi Indonesia-London.” “Kabarin ya tiap kali kamu balik. Hati-hati di sana, jaga diri baik-baik,” May dan Anisa berpelukan, kedua perempuan yang hatinya kini berbungabunga karena cinta itu menangis haru. Ken bergegas meninggalkan kantor, melangkah menuju parkiran. Ia membuka pintu mobil putihnya. Sejurus kemudian Ken menancap pedal gas, melambat di jalan raya yang padat. Ken ingin melaju, tapi kemacetan membuatnya melambat. Padahal Ken ingin tiba di rumah sebelum tiba waktu salat asar. Beberapa bulan ini, semenjak Ken dan May berdamai dan saling memadu kasih layaknya Romeo and Juliet. Ken memang selalu pulang lebih cepat, karena sesekali ia harus menjadi imam salat bagi May. Ken juga ingin mengajak May dinner nanti. Ken akan membawa May traveling di sekitar Jakarta. Di manapun asal berdua dengan May, semua akan menjadi lebih istimewa bagi Ken. Plataran Dharmawangsa, restoran dengan interior khas Jawa, Ken ingin menyantap berbagai masakan khas Indonesia di sini. Ditemani iringan pertunjukan musik tradisional. Ken menuntun langkah May. Tangan kanannya menggenggam erat jemari sang bidadari hati. Ken membawa May ke tempat duduk strategis yang sudah ia pesan khusus untuk berdua. “Duduklah,” tutur Ken lembut. “Duduk lah, masa iya May berdiri sampai pulang, hihi…” May cekikikan. “Yang ada pegel, hehe…” May dan Ken duduk di kursi, di tengahnya meja makan, mereka berhadaphadapan. “Tunggu makanannya datang bentar lagi, aku udah pesan semuanya.” “Mas gak nanya May mau makan apa?” “Gak lah, aku tahu kamu makan apa aja. May kan pemakan segala, hehe...” “Iiissshh, Mas pikir May omnivora? May karnivora. Tapi cuman makan daging Mas Ken aja, hehe...” Ken tersenyum hangat. Emang benar sih, ternyata selain jago silat. May juga jago menggigit. Ia suka gemas gitu. Jika May sudah gemas begitu, tangan Ken habis digigitin. “Kalau kamu suka gemas begitu, Mas khawatir kalau kita udah punya anak. Trus kamu gigitin. Bayi kan lucu tuh, lebih menggemaskan dari aku...” “Ish, ish, ish. May gak segitunya kali. Hehe.” “Mas...” “Ya, Sayangku?” “Besok kita ke Puncak, yuk.” “Ngapain?” “Manjat gunung, manjat tebing. Bapak ada vila di Puncak, aku sering ke sana sendirian, kadang bawa temen juga. Teman-teman anak jalanan. Uh, seruuu!” “Gak ah, May. Mas kan gak kuat kayak kamu. Mas gak bisa terlalu capek. Di kantor juga lagi banyak kerjaan. Nantilah kalau gak sibuk.” May terdiam. Iya, ya. Ken tak boleh kelelahan. Kenapa May lupa sih, lelaki di hadapannya ini hanya menang body. Ya, Ken tampak bak lelaki perkasa yang kuat fisiknya. Terlihat dari tubuhnya yang jangkung dan atletis. Tak ada raut wajah lesu yang menunjukkan ia lelaki berpenyakit typus. “Hem, boleh gak May kerja lagi, Mas? May pusing kalau harus diam aja di rumah.” “Kamu kan suka nonton film kartun, ya udah di rumah aja, hehe.” “Nonton itu kalau May udah selesai dengan pekerjaan rumah, Mas.” Ken terdiam. Bukannya ia tak suka jika May bekerja. Tapi Ken juga ingin May mengerti bahwa lebih baik di rumah saja. Memperbaiki ibadahnya dan belajar banyak hal dari Ibu, ia juga bisa melihat bagaimana para pekerja di rumah agar ada bekal menjadi seorang Ibu nantinya. May tak perlu bekerja, toh Ken mampu membiayai hidupnya tanpa kekurangan apa pun. Bagaimanapun, Ken tak ingin memaksakan kehendaknya kepada istrinya. Karena wanita juga ingin didengarkan. Ia bukan untuk diperlakukan seenak hati kita. Ken sangat menghargai istrinya. “Gak bisa banget ya di rumah?” Ken menyelidik. “Bukan gak bisa, tapi May pegel. Tubuh May biasa gerak sana sini. Tibatiba di rumah kayak ratu. Apa-apa disediakan. Di rumah May dulu gak gitu amat, he.” “Tapi aku baru aja nerima sekretaris baru, Sayang.” “May juga gak suka jadi sekretaris. Gak ada tantangannya, Mas. Cuma duduk di depan komputer dan nurutin telunjuk bos. May malah tambah pegel.” “Trus maunya jadi apa? Jadi Doraemon? Hehe...” “Sebenarnya, May punya kerjaan sediri. May sudah mendirikan rumah singgah untuk anak jalanan. May juga sudah mendirikan sanggar seni lukis dan seni musik. May punya beberapa orang teman yang membantu mengelola itu semua. Kami bekerja sama agar anak jalanan tidak terlantar di luar sana. Setidaknya, dari mereka yang ada di sekitar kita,” jelas May panjang lebar. “Keren, kamu peduli dengan mereka yang terlantar. Aku bahkan tak berpikir sejauh itu, May.” Ken memuji May. “Awalnya minta uang Bapak, hehe. Akhirnya aku bekerja sama dengan teman-teman lainnya. Teman kuliahku dulu, Mas. Kami kelola rumah singgah, sanggar seni lukis dan seni musik. Banyak yang memiliki bakat terpendam dan mereka bisa menyalurkannya di sana,” May bersemangat menjelaskan semua pada Ken. “Jadi selama ini, itu yang kamu lakukan?” Ken antusias. “Iya, Mas. May boleh nggak melanjutkannya?” May penuh harap. Ken baru mengetahui bahwa May lebih indah dari yang ia lihat, ia perempuan penuh rasa empati. Padahal yang Ken tahu, May itu orangnya tomboi, berantakan, tidak bisa mengurus diri dengan baik. Hem, ternyata... May ke luar rumah untuk melakukan hal yang positif. “Tapi aku pengennya kamu di rumah saja. Kamu tetap bisa mengelola rumah singgah, sanggar seni dan mengurus semua keperluan anak-anak jalanan itu, bahkan aku akan membantu membiayai. Tapi kamu bisa menyerahkannya pada teman-temanmu, kamu di rumah saja, ya. Jadi istri salehanya Mas.” “May udah saleha nih, udah pake baju gamis longgar, udah pake jilbab panjang dan besar. Jalan juga udah agak kalem, suara udah kurang volumenya yang tadi lima oktaf sekarang dua oktaf,” jawab May tak mau kalah. “Iya, Sayang. Tapi tetep aja. Mas takut ditonjok, hehe.” “Ihhh, kan dosa nonjokin suami. Gak boleh sembarangan nonjok orang lain, kecuali emang mendesak karena suatu hal yang fatal, misalnya bela diri dari kejahatan. Silat atau bela diri lainnya gak mengajarkan kita menindas orang lemah, Mas,” jelas May. Ken hanya menatap istrinya penuh kasih. Semakin ia mencintai sosok itu, semakin Allah tunjukkan nilai-nilai positif seorang May yang dulu tak diketahui Ken. “Hem, tapi kalau Mas selingkuh, May tonjokin sampe babak belur bareng selingkuhannya,” May serius. “Kalau Mas sih gak mau selingkuh, tapi Mas kan gantengnya kebangetan. Jadi khawatir aja di uber-uber perempuan,” Ken menggoda May. “Bagus, daripada Mas di uber-uber laki-laki,” May tersenyum meledek. Mana boleh ada yang deketin Ken, ia milik May seorang. Awas aja kalau ada yang mau jail. Hati May bergumam. “Cieee, cemburu,” goda Ken. “Hem, kalau ada yang suka sama May. Mas cemburu gak?” “Bukan cemburu lagi, aku beri samurai!” “Ish, bisa galak juga nih, Pangeranku.” May riang. Ken meraih tangan May, menciumnya dengan romantis tak ubahnya adegan mesra pelakon sinetron dan di film-film. “I love you,” bisik Ken. “I love you too. Tapi gak usah diulang-ulang, Mas. Aku udah tahu kalau Mas cinta,” ujar May. “Aku akan mengulang-ulang kata itu, kalau perlu tiap hari. Agar kamu tak pernah lupa, bahwa aku sangat mencintaimu, May.” Kata-kata tulus Ken merasuki dinding jiwa May. Sungguh, May meleleh dibuatnya. Ya Allah, Pangeranku berhati malaikat. “Benarkah?” May berbinar. “Gak percaya?” “Ingin percaya, tapi fakta yang terjadi saat ini banyak cinta yang indah hanya di awalnya saja. Beberapa waktu setelahnya, cinta memudar dan kian hancur. Pernikahan hanya mainan baginya,” tutur May. “Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan. Orang mudah berjanji tapi tidak menepati. Aku sudah berjanji pada Allah, May. Aku tidak berani mengingkari janjiku pada-NYA.” “Janji apa, Mas?” May penasaran. “Janji seorang lelaki, bukan janji palsu, May.” “Mas gak mau berjanji di hadapan May?” “Untuk apa? Untuk menggoda hingga berbunga-bunga kemudian menyakiti?” “Emangnya Mas niat mau nyakitin?” “Justru karena gak ada niat, maka cukup bagiku Allah saja sebagai saksi. Percayalah, aku sangat mencintaimu.” Oh, so sweet. Hati May menjerit bahagia. Ken lelaki idaman. Ken memiliki segalanya. Ia tampan, baik, saleh dan setia. Melihat May yang senyumsenyum sendiri, Ken yakin May lagi klepek-klepek. “Permisi, ini pesanannya,” para pelayan muncul dengan makanan pesanan Ken. “Terima kasih.” Pelayan berlalu setelah menghidangkan beberapa makanan lezat di meja makan khusus Ken dan May. “Sayang...” Ken menyuapi May. May mengikuti, tapi ia tak bisa seromantis Ken. Ia tak mampu melakukannya, mungkin nanti. Ya, gimana lagi. May memang bukan tipe perempuan yang romantis. Ia memang anggun dengan hijabnya kini, tetapi ia tetaplah si May yang tomboi. Akan tetapi May itu pecinta sejati. Ia tak pernah melabuhkan hatinya pada lelaki manapun sebelum kehadiran Ken, ia juga tak pernah membiarkan seseorang menyentuh atau menjamah dirinya. Semua murni milik Ken seorang diri. May dan Ken memiliki banyak perbedaan. Namun satu kesamaan membuat mereka menyatu dalam satu rasa, rasa saling mencintai dan sama-sama jatuh cinta hanya pada seseorang yang halal untuk dicintai. “Boleh ya, Mas?” May masih menunggu izin dari Ken. “Apa?” Ken pura-pura lupa. “Boleh, May kerja bersama teman-teman? Mas juga boleh kok jadi donatur tetap, hihi.” “Boleh gak ya?” Ken bimbang. “Boleh, dong. May janji, akan jadi istri yang baik untuk Mas dan mencoba lebih feminin.” “Hem, tapi gak ngajar silat, ya. Mas yang akan membiayai semua kebutuhanmu, termaksud mewujudkan impianmu, May.” “Tapi, Mas ....” “Boleh, tapi setelah kita punya anak. Kita sedang program untuk mendapatkan momongan, May. Aku gak mau kamu kelelahan. Aku minta kamu bisa mengerti. Aku akan mengurus semuanya, percayalah. Mereka akan baik-baik saja tanpamu. Kamu bisa istirahat beberapa saat. Setelah kita punya anak. Kita akan bicarakan lagi, bagaimana jalan yang terbaik.” “Tapi, Mas ....” “May, keputusanku sudah bulat. Aku telah memberi solusi, aku akan menjadi donatur tetap. Kita juga bisa datang sesekali melihat keadaan mereka.” “Iya, deh. Tapi Mas janji ya, kalau May tetap boleh mengurus mereka.” “Iya, Sayang.”