
by Titikoma

Tiga
Masa lalu yang kamu benci akan terus melekat, sepanjang kamu ingin melupakannya dengan kebencian dan bukan mencoba berdamai dengannya. “Iya, Kak. sebentar lagi kuliahku selesai kok. Aku pasti akan pulang. Iya, aku juga kangen. Bagaimana kabar Mama sama Ara?” di bawah payung berwarna merah muda yang terguyur hujan, aku berbincang dengan Mbak Nadia lewat earphone yang menyumbat kedua lubang telingaku. “Oh, di sini juga hujan deras, Kak. Ini aku lagi di jalan mau ketempat Tante Yuni. Awas, jangan kirim banjir ya ke sini, haha… apa?” belum sempat aku menyimak kalimat yang kurang terdengar jelas olehku, tiba-tiba sebuah cipratan mengotori sepatu, celana, bahkan sampai ke jaketku. Aku menggerutu kesal. Emosiku tak bisa kutahan ketika sebuah sedan hitam yang menjadi biang keladinya berhenti tak jauh di depanku. Kututup perbincanganku dengan Mbak Nadia. Dengan langkah cepat serta tangan terkepal aku menghampiri mobil sedan hitam itu, tepatnya sang pengemudi yang tidak tahu sopan santun. Aku mengetuk kaca mobil dengan keras mencoba menyamai suara derasnya hujan. Tak lama, kaca mobil itu terbuka dan sebuah wajah dengan roman menyesal terlihat. “Apa Anda tidak tahu bahwa jalan tadi tergenang air? Dan apa Anda tidak tahu bahwa ada seseorang yang sedang berjalan di sampingnya? Jangan mentang-mentang Anda mengemudi mobil lalu seenaknya saja lewat dengan cepat tanpa berpikir akan membuat kesal seseorang!” kata-kataku begitu lancar keluar dengan nada sentakan yang mewakili seberapa besar kekesalanku. “Maaf… maaf… Nona! Aku benar-benar tidak sengaja. Aku sedang buruburu untuk menghadiri acara ulang tahun keponakanku dan harus ke tempat kerjaku sebelum mencari sebuah kado untuknya,” jelas seorang laki-laki berkacamata yang masih terlihat muda itu. Kenapa laki-laki di depanku ini malah curhat? Aku tidak mau tahu bagaimana sibuknya dia, karena dia sudah terlanjur membuatku kesal setengah mati. “Harusnya Anda berpikir dulu sebelum melajukan kendaraan Anda itu sampai mengotori pakaian dan sepatu saya! Bagaimana jika yang Anda buat kesal itu adalah orang yang berani mendaratkan tinjunya ke hidung Anda?! Huh, menyebalkan!” Tanpa mau mendengar suara laki-laki itu lagi, aku segera berpaling dan melanjutkan perjalananku yang hampir sampai dengan masih menyisakan umpatan menjengkelkan. Aku tahu Tante Yuni merasa heran melihatku yang berpenampilan berantakan karena pakaian dan sepatuku bernoda cokelat dan wajahku yang terus cemberut. “Kamu kenapa, Manda? Kenapa bajumu bisa kotor begini? Kamu jatuh, ya?” tanya Tante Yuni seraya membawakanku handuk kecil. “Ada laki-laki menyebalkan yang menyipratkan air dari genangan kotor di jalan tadi dengan mobil sedannya. Uh, kalau tidak merasa kasihan udah aku tonjok dia!” gerutuku seraya membuka jaket yang sedikit basah karena kejadian tadi. “Ya ampun. Kamu ganti baju saja dulu! Dress warna merah mudamu ada di kamar yang biasa kamu tempati,” ujar Tante Yuni yang segera kembali menyibukkan dirinya di dapur. Aku mengambil napas berat. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengganti pakaianku dengan gaun merah muda sebetis itu dan mulai ikut membantu persiapan pesta ulang tahun Dina. Nyanyian ‘selamat ulang tahun’ menggema di seluruh ruangan pesta. Sanak saudara dan teman-teman Dina ikut memeriahkan hari kebahagiaannya. Aku tidak begitu memperhatikan para tamu undangan yang hadir. Aku hanya terpaku pada senyum kebahagiaan Dina yang sangat menyukai hasil karyaku. Aku bangga? Tentu saja. Dengan melihat senyum mengembang itu rasanya kekesalanku hari ini sirna seketika. Setelah acara tiup lilin dan potong kue, aku masuk ke kamar untuk mengambil sebuah kado yang telah kusiapkan untuk Dina. Kupandangi bingkisan itu agak lama. Rasa rindu akan adik semata wayangku hadir kembali begitu saja. Ara, sudah lama ternyata aku tidak berjumpa dengannya. Rasa rindu itu pun merambat pada sosok mama yang hanya bisa kudengar suaranya lewat telepon seperti dengan Mbak Nadia beberapa jam yang lalu. Dan aku sudah tahu, jika perasaan rindu ini sudah hadir, segores luka akan terpampang pada hatiku kembali. Ya, luka yang mengingatkanku akan kata ‘seandainya’. Seandainya dulu tak terjadi kepahitan itu, aku pasti tetap bersama mereka, bersama keluarga utuhku. Cepat-cepat kusapu sebuah butiran bening yang mulai berdesakan di ujung mataku dan mencoba tersenyum. Semua akan baik-baik saja. “Selamat ulang tahun, Sayang,” kukecup kedua pipi Dina dengan lembut, disusul dengan pelukan hangat dari tangan mungilnya. “Terima kasih, Kak. Kue ulang tahunnya aku suka,” ujar Dina dengan nada antusias. “Entah sudah berapa kali Kakak mendengar kamu bicara seperti itu. Kakak memang pintar, bukan? Haha.” “Iya, Kakak sangat pintar membuat aku gembira, hehe. Dan sebagai janji aku siang tadi, aku punya hadiah untuk Kak Manda, loh.” Aku mengerutkan kening dan berkata dengan wajah cemberut, “Jangan bilang kamu mau mengenalkan Kakak sama Om-mu itu!” “Hahaha, enggak. Aku mau memberikan sebuah kado juga untuk Kakak,” timpal Dina seraya berbalik mencari sesuatu di sebuah laci. Dan tak lama, sebuah bingkisan persegi yang lumayan besar dengan pita merah terjulur ke arahku. “Kamu yang ulang tahun, kenapa Kakak dapat kado juga?” tanyaku dengan senyum geli. Padahal tadi siang aku cuma bercanda. “Ya, tidak apa-apa. Aku pesan ini mendadak loh. Isinya juga sama dengan kado ulang tahunku.” “Maksudnya? Sama gimana?” “Iya, aku kan pesan kado sama Om. Aku minta dua dan disamakan. Aku tahu hiasan kue buatan Kak Manda pasti bagus,” jelasnya dengan senyuman yang tetap tersungging. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku menarik langkahku menuju meja hidangan ketika teman-teman gadis kecil itu mengerubunginya untuk memberikan hadiah. Aku mencicipi semua hasil masakan Tante Yuni. Dia memang pintar memasak di samping membuat cake super lezat yang membuatku selalu ketagihan. Setelah merasa cukup kenyang, aku membalikkan tubuhku, berniat pergi ke kamar untuk menelepon Mbak Nadia dan melanjutkan percakapan yang tadi sempat terputus. Namun, ketika tubuhku berbalik, sesuatu yang basah dan dingin terasa membasahi dress merah mudaku. Perasaan kesal yang samar-samar mulai sirna, kini muncul kembali dengan berlipat-lipat. Kenapa hari ini rasanya orang-orang mengotori bajuku? Aku mendelik. Dan kekesalanku semakin membludak ketika kedua bola mataku melihat sosok berkacamata itu. Orang yang sama saat di perjalanan di bawah guyuran hujan pagi tadi. Aku memasang tampang marah dan berdecak pinggang tepat di depan laki-laki yang merusak mood-ku hari ini. “Oke, kamu lagi. Sepertinya kamu hobi banget mengotori bajuku, ya?” ketusku. Sepertinya laki-laki di depanku tak jauh beberapa tahun di atasku. Kulihat dia sejenak terdiam. Namun, tak berapa lama tiba-tiba saja tawa yang begitu renyah terdengar dari bibirnya. Tawa yang memperlihatkan gigi gingsulnya. Andai dia bukan orang yang membuatku sebal setengah mati, aku pasti menyebutnya ‘manis’. Tapi, senyum itu terasa membawaku pada perihnya masa lalu. Lagi. Masa lalu yang ingin kurobek sampai serpihan-serpihan kecil. Masa lalu yang sampai saat ini belum pulih setelah kejadian papa. Terkadang aku berpikir, alangkah baiknya jika aku lupa ingatan. Tatkala hatiku sepenuhnya kuberikan, dia malah menyayatnya sehingga membuat luka menganga dan membuatku tak percaya lagi dengan yang namanya laki-laki dan cinta. Aku segera mengibaskan ingatan itu dan melihat laki-laki di depanku dengan heran. Apa ada yang lucu sampai membuat laki-laki berkacamata di depanku ini terbahak? Dan bukannya meminta maaf, dia malah tertawa dan… tepatnya menertawakanku? Benar-benar laki-laki sinting. “Kenapa kamu tertawa? Apa kamu tidak sadar tawamu menyakiti gendang telingaku?” aku benar-benar tak bisa menahan nada emosiku meski dengan volume tidak keras. Ya, aku tahu ini tempat umum dan aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri hanya karena laki-laki ini. “Hahaa, maaf… maaf, Nona! Aku merasa geli saja kenapa malam ini aku bertemu denganmu lagi dan secara tidak sengaja selalu mengotori pakaianmu. Aku benar-benar tidak sengaja, sungguh!” jelasnya dengan masih menyisakan tawa. Aku menatapnya datar. Lalu pandanganku berhenti pada sebuah gelas berisi setengah air berwarna merah yang sedang dipegangnya. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil alih gelas itu dan menumpahkan semua isinya pada kemeja putihnya diiringi senyum puas. “Saya minta maaf, Tuan. Saya sudah mengotori pakaianmu. Dan sekarang, kita samaan. Jadi… adil, bukan?” ungkapku seraya berlalu. Aku hampir tak bisa menahan tawa melihat wajah yang berubah polos itu terlihat syok dan salah tingkah. “Manda, kenapa lagi bajumu?” tanya Tante Yuni tatkala aku melangkah masuk ke kamar yang sama. “Tante ngapain di sini?” aku balik bertanya ketika melihat Tante Yuni mengobrak-abrik lemari pakaian seperti tengah mencari sesuatu. “Tante lagi mencari kaos hijau toska, itu loh buat Juna. Kemeja putihnya kotor entah kenapa,” jelas Tante Yuni yang hanya kujawab dengan kata ‘oh’. “Mbak, kaosnya ada tidak?” sebuah suara yang sudah tidak terdengar asing tiba-tiba ikut masuk ke dalam kamar. Jadi… laki-laki itu keponakan Tante Yuni? “Ada, nih! Sepertinya pas buat kamu. Kamu mau ganti lagi baju kamu, Manda? Mungkin ada baju Tante yang cocok buat kamu,” ujar Tante Yuni beralih melirik ke arahku. “Enggak usah, Tante. Cuma sedikit kok, mau dibersihkan di toilet saja.” “Ternyata kamu tipe orang yang tak mudah memaafkan, ya? Mmmm, bisa disebut juga pendendam, barangkali,” sebuah suara yang pedas tibatiba terdengar oleh kedua telingaku. Sejak kapan laki-laki ini berjalan di sampingku? “Bukan urusanmu!” tukasku cuek. “Ya, itu jelas urusanku, Nona. Mmm… siapa tadi? Manda. Kenapa kamu tadi tidak memaafkanku dan malah membalas mengotori bajuku?” “Kalau mood-ku lagi baik, aku tidak akan seberani itu. Lagian jangan sok tampan dan baik deh!” “Kayaknya aku mengingatkanmu pada seseorang, ya?” uraian kata Juna membuat langkahku terhenti seketika. Sial! Bagaimana dia bisa tahu? “Bukan urusanmu!” jawabku seraya mengambil langkah lebih cepat lagi. “Aku tahu, Nona. Aku adalah seorang dosen yang mampu membaca setiap tindakan dan sorot mata mahasiswaku.” Oh, jadi laki-laki ini seorang dosen muda? “Tapi, saya bukan mahasiswa Anda, ngerti?!” seakan tak bosan dengan sikap cuekku dan malah membuatku bertambah kesal, akhirnya aku berhenti dan menatap tajam kedua bola mata hitam di balik kacamata itu. “Sebenarnya mau kamu apa sih? Semenjak bertemu denganmu, kamu selalu membuatku bertambah sebal saja!” nada suaraku terdengar naik satu oktaf, “Bisakah Anda pergi ke tempat lain tanpa harus membuntuti saya?” Baru saja Juna akan membuka mulutnya, dengan cepat kudaratkan highless-ku di atas sepatu hitam yang dipakainya dengan keras. “Aww…” kulihat Juna meringis kesakitan. Bagus. Biar remuk sekalian tulang-tulang jarinya. Segera kumanfaatkan situasi itu untuk pergi menjauh meninggalkannya. “Hei, tunggu!!” Kalau tahu dia mengingatkanku akan sesorang, kenapa dia bertanya? Tidak tahukah kalau mengingat itu sangat menyakitkan?!