Dua Bintang

Reads
115
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Enam

Andai aku bisa memilih, aku ingin menghilangkan ingatanku tentang sinar-sinar yang pernah menerangiku dan sekaligus yang membutakanku Aku terkulai lemas. Acara pesta dan keramaian sejak dulu adalah fenomena yang selalu kuhindari. Aku tidak terlalu suka dengan kebisingan seperti itu. Apalagi hari ini. Aku menunjukkan tampang memelasku pada Tante Yuni supaya mencari alasan agar aku tidak perlu pergi ke acara pesta Bunda Anna nanti malam. Aku kira acaranya hanya pagi hari tadi, tetapi ternyata puncaknya ada di malam ini. Dan apa yang Bunda Anna ambil untuk tema pesta di hari bahagianya? Pesta dansa. Aku benar-benar tidak menyangka akan menghadiri pesta seperti itu yang dulu hanya pernah kudengar dari dongeng-dongeng kerajaan. “Tante, aku mohon, tolong bilang saja pada Bunda Anna aku tidak bisa hadir di acara puncaknya. Bilang saja… aku… aku sakit, iya, sakit!” pintaku pada Tante Yuni yang malah membuat senyuman aneh wanita separuh baya itu terukir. “Tante tidak bisa, Manda. Kamu sudah mendapatkan gaun yang harus kamu pakai khusus nanti malam. Ini pemberian Bunda Anna loh. Dia akan sangat menyesal jika sampai tahu kamu menolaknya,” jawaban Tante Yuni membuat bola mataku membeliak sempurna. “A… apa?! Tante jangan bercanda! Untuk apa Bunda Anna melakukan hal itu kepadaku? Maksudku, kami baru saja bertemu dan mengobrol sebentar,” kilahku tak percaya. “Bunda Anna memang seperti itu jika sudah bertemu dengan seseorang yang sudah disukainya. Tapi sangat sulit juga membuat Bunda Anna bisa care seperti itu. Sophi saja tidak pernah mendapatkan keistimewaan ini. Kamu memang beruntung.” Kalimat terakhir Tante Yuni membuatku benar-benar frustasi. Bagaimana bisa situasi seperti ini disebut sebuah keberuntungan. Aku hanya ingin menjauh dari cahaya-cahaya yang mulai lagi terlihat dan yang selama ini selalu kubenci. Tante Yuni membuka sebuah kotak yang berisi pakaian dari Bunda Anna  untukku. Sebuah gaun berwarna biru setengah betis yang berbahan dasar sifon dengan hiasan warna-warna senada sehingga terlihat elegan. Pada bagian pinggang dihiasi dengan manik-manik bermotif bunga berwarna silver yang memberikan kesan lebih anggun. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tidak pernah terbayangkan dalam mimpiku untuk mengenakan pakaian seperti itu. Akan terlihat seperti apakah aku jika memakainya? Andai aku bisa menolak untuk pergi. Tapi, aku juga tidak bisa membayangkan wajah kecewanya Bunda Anna yang sudah memberikan hadiah ini untukku—karena sudah memuaskannya dengan cake ulang tahunnya. “Waw… ini sangat indah dan cantik jika dipakai olehmu,” kata Tante Yuni dengan bola mata berbinar. “Aku pun ingin memakainya,” lanjutnya. “Pakai saja, Tante. Mungkin di tubuh Tante akan lebih pas.” “Ini untuk ukuran gadis sepertimu, bukan untuk seorang wanita yang sudah memiliki anak.” Oh Tuhan, semoga tidak terjadi sesuatu yang dapat merusak susana hatiku malam ini.  Pukul 20.00 Suara klakson terdengar dari halaman rumahku. Tante Yuni yang sedang mengikat rambut Dina seketika terdiam. “Siapa di luar? Apa kamu meminta taksi untuk menjemput kita sekarang?” Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban tidak. Kuhentikan pekerjaan yang sedang menata rambut hitamku. Aku menolak dengan keras saat Tante Yuni berusaha mengajakku untuk ke salon. Aku lebih suka dandan sendiri dengan polesan sederhana jemari tanganku yang ternyata cukup membuat Tante Yuni terpukau. Dengan penampilan yang hampir selesai, aku menuju daun pintu dan membukanya. Dion. Tuxedo tail coat dengan gaya single breasted berwarna hitam dipadu dengan dasi kupu-kupu dan rompi berwarna putih terlihat sangat serasi di tubuhnya. Tatapan kami bertemu. Tanpa menunggu lima detik, bibir di depanku menampangkan senyum khasnya—seperti biasa. “Kenapa kamu ke sini?” tanyaku yang sudah bisa kutebak bahwa dia ingin menjemputku. “Menjemputmu,” jawabnya datar dengan senyuman yang masih sama. Ah… laki-laki ini memang mudah sekali ditebak. Segera kupersilakan Dion untuk masuk setelah sadar bahwa tatapannya terus mengarah ke arahku dan membuatku sedikit risih. Setelah memintanya untuk beberapa menit menunggu, aku kembali ke dalam kamar menemui Tante Yuni yang sudah selesai bersiap. “Siapa? Juna?” “Dion,” jawabku tanpa ekspresi. Aku ingin segera berangkat supaya bisa segera pulang kembali. Hampir tiga kali aku menguap karena kantuk. Hari ini tak ada jam santai apalagi jam tidur siang. Waktu liburku tersita untuk acara Bunda Anna yang aku sendiri baru saja mengenalnya. Dia memang sosok wanita yang anggun dan menyenangkan. Dion membukakan pintu mobil sama seperti saat aku akan berangkat ke tempat Bunda Anna. Namun, kali ini Dion menyodorkan lipatan sikunya ke arahku. “Kenapa seperti ini?” tanyaku tanpa mencoba menutupi nada tak sukaku.  “Bukankah semua pasangan yang pergi ke pesta dansa seperti ini?” kilahnya yang kujawab dengan kerlingan kesal. Seakan tidak peduli dengan isyaratku, Dion menempelkan telapak tanganku di lengannya. Aku berniat melepaskan peganganku yang akhirnya batal karena sebuah panggilan. “Manda?” tanya seorang wanita paruh baya dengan mengenakan gaun berwarna ungu tua yang terlihat serasi dengan seorang laki-laki yang memakai kemeja berwarna senada dan dibalut jas berwarna hitam pudar. Aku menjawab dengan anggukan—bingung. “Jadi, ini wanita yang sering kamu bicarakan pada Mama. Cantik sekali,” imbuhnya yang kini membuatku mengerti siapa sosok di depanku, orang tua Dion. “Yang sering Dion bicarakan?” tanyaku mengulang kata-kata wanita itu yang ternyata bernama Riana dengan raut wajah bingung. Entah kenapa setelah kejengkelan yang merajai hariku, kini kebingungan yang mengambil alih semuanya. “Iya. Dia sering cerita bahwa kamu…” kata-kata Tante Riana segera dipotong oleh Dion di sertai gelagat anehnya, “Sudahlah, ayo kita masuk! Di dalam sudah sangat ramai. Bertahanlah untuk saat ini denganku,” urai Dion dengan kalimat terkhir yang diucapkannya setengah berbisik di telingaku. Kantukku menyeruak seketika tak bersisa. Peluh mulai membasahi punggung leherku. Mama, aku ingin pulang. Aku mengembuskan napas lega saat Dion meminta izin untuk menemui salah satu saudaranya yang datang dari Bali. Tak kutemukan jejak Tante Yuni di antara bejibun orang-orang yang penampilannya membuatku hanya mampu berkata ‘wah’. Sepasang mataku menatap si empunya acara yang masih terlihat sama, anggun dan elegan. Tidak ditampakkannya penampilan yang mewah namun membuatnya malah semakin terlihat cantik. Gaun panjangnya kini berwarna hitam dengan sedikit pernakpernik berwarna perak yang tersebar di blusnya. Alunan musik So Close milik Jon Mclaughlin menandakan pesta dansa akan segera dimulai. Tiba-tiba saja tanganku bergetar. Peluh semakin  deras dan kini mulai membasahi keningku saat bola mataku menangkap sosok yang pernah hadir memecahkan kepingan terakhir hatiku. Riza. Dengan seorang wanita berambut sebahu sedang bersiap melakukan gerakan dansa. Kenapa bintang itu harus muncul lagi di saat aku sudah melupakan sinarnya? Aku mencoba menyelundup mencari tempat yang memungkinkan diriku untuk tidak dilihat olehnya. “Apa kamu akan mengotori gaunmu lagi?” suara Juna terdengar saat hampir segelas jus lemon terjatuh dari tanganku. “Ada apa? Apa yang terjadi?” lanjutnya. “Di mana Bunda Anna? Maukah kamu membawaku padanya sekarang sebelum aku pulang?” pintaku dengan suara yang hampir tercekat. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Juna mengulangi pertanyaannya. “Aku mohon,” pandanganku mulai nanar karena air mata yang mencoba aku tahan. Entah karena air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku atau karena terpaksa, Juna akhirnya membawaku menemui Bunda Anna yang tengah berdansa. “Tunggu sampai Bundamu menyelesaikan musik pertamanya,” ujarku seraya menahan Juna saat akan mendekati Bunda Anna. Wanita itu sedang menikmati setiap alunan musik yang berputar bersama Om Ferry dengan dansa yang menawan. Aku tidak berani mengganggu senyum kebahagiaannya, meski tubuhku tidak bisa berhenti bergetar. “Apa kamu baik-baik saja?” Juna lagi-lagi bertanya. Nada suaranya terdengar cemas. Aku hanya tersenyum dan sedikit berlindung di belakang tubuhnya yang jangkung. Mungkin Juna merasa heran dengan sikapku. Tapi, memberitahunya alasanku saat ini adalah hal yang tak mungkin. Aku dan Juna menghampiri Bunda Anna tepat saat alunan musik berakhir. Bunda Anna menyayangkanku yang harus cepat pulang karena wajahku sudah sangat pucat. Juna diminta olehnya untuk mengantarkanku meski aku mencoba untuk menolaknya.  “Biarkan Juna mengantarmu, Manda. Bunda takut terjadi sesuatu padamu. Semoga lekas sembuh, ya?” ungkap bunda Anna seraya menempelkan telapak tangannya yang hangat di kedua pipiku. Alunan musik Flightless Bird, American Mouth yang menjadi musik kedua mengiringi kepulanganku yang dipapah oleh Juna. Mulutku sudah tidak bisa mengeluarkan suara. Juna merapatkan jas silver miliknya di punggungku. Aku hanya bisa diam dan Juna tidak bertanya apa-apa selain berkata ‘jangan khawatir, semua akan baik-baik saja’ seolah tahu apa yang sedang aku alami. Air mataku merebak. Ketenangan setiap ruas jalan membuatku tak bisa menahannya terlalu lama. Kubirkan ia membuncah seiring isakan yang terdengar pilu. Juna tidak bersuara. Dia membiarkanku menikmati tangisku dan mengeluarkan semuanya. Andai aku bisa memilih, aku ingin lupa setidaknya untuk masa lalu yang membuatku terkurung dalam keterpurukan. Apa yang harus aku lakukan supaya bisa melupakan semuanya? Supaya saat waktu mempertemukanku kembali aku sudah tak lagi mengenangnya; lukaku, kepedihanku, dan air mata yang selalu berurai tanpa aura yang berbeda. Ponselku bergetar. Aku membiarkannya ia berteriak di dalam dompet biruku. Setelah hampir tiga kalinya mengulang dan tak berhenti, Juna mengambil ponselku dan menjawab teleponnya. Aku tidak peduli dengan siapa kini Juna sedang berbicara. “Manda sekarang sedang aku antar pulang. Wajahnya pucat dan sepertinya dia sakit. Mungkin lebih baik kamu menemuinya besok saja, biarkan dia beristirahat!” ujar Juna. Dari kata-katanya aku tahu siapa yang berbicara lewat telepon itu. Ya, laki-laki yang seolah ingin hadir di setiap jamku.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices