Dua Bintang

Reads
121
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Delapan

 Tidak semua hal di dunia ini dapat dipaksakan kehadiran dan kepergiannya. Seperti itulah perasaan. Pekat menguasai lapangnya langit malam. Tak ada bintang, apalagi bulan. Seolah semuanya tertelan dalam gelap. Aku mengembuskan napas panjang yang diikuti deru lembut sang angin. Pikiranku masih mencoba memecahkan misteri mengenai pengirim bingkisan sarapan itu. Tidak hanya sekali tepat pada saat Juna datang, tapi bingkisan itu terus mengalir datang di beberapa pagi berikutnya dengan pesan yang sama. Setiap kali bertanya pada Juna, laki-laki bergigi gingsul itu hanya menampangkan guratan yang tidak bisa aku terjemahkan. Dion? Mungkinkah dia? Tapi beberapa hari ini laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Menurut Risa, Dion pergi ke luar kota untuk memulai mengurus bisnis papanya. Ya, di usianya yang masih cukup muda, dia memang sudah terlihat dewasa. Meski tahun ini baru akan wisuda bersamaan denganku. Getaran ponsel di atas meja membuyarkan lamunanku. Nomor baru yang tidak aku kenali terpampang. Sejenak aku menyipitkan kelopak mataku hingga akhirnya menekan tombol hijau. “Halo,” sapaku bersamaan dengan ponsel yang kurapatkan di telinga kiriku. “Halo, Manda. Ini Bunda. Apa kamu ada waktu malam ini?” suara di seberang sana membuatku hampir tersedak. “Bunda Anna?” tegasku yang memang aku hanya mengenal satu orang yang kupanggil bunda, yaitu Bunda Anna. “Iya, kamu ada waktu malam ini? Jika tidak keberatan, maukah kamu datang ke rumah Bunda?” pintanya dengan halus, namun tidak ingin dibantah. Aku melirik jam yang menggantung di dinding lalu kembali bersuara, “Ba… baik, Bunda.” Klik. Jaringan terputus tepat setelah Bunda Anna mengucapkan terima kasih. Jam menunjukkan pukul 19:15, belum terlalu malam. Segera kuganti  piyamaku dengan celana jeans biru gelap dan baju panjang berwarna putih tulang setelah meyakinkan diriku bahwa bunda tidak akan mengajakku ke acara pesta. Kugait tas berwarna putih dengan kolaborasi warna hitam. Setelah sedikit mengoles wajahku agar tidak terlalu terlihat kusam dan membiarkan rambut panjangku tergerai, aku segera menelepon taksi dan berangkat. Rumah Juna tampak sepi. Aku kembali mengembuskan napas lega saat sadar bahwa tidak sedang ada pesta yang berlangsung. Bola mataku yang menangkap sosok Riza tempo itu sudah cukup membuatku kembali menengok masa lalu. “Manda, terima kasih sudah datang,” Bunda Anna menyambutku di ambang pintu dan menggandeng tanganku—seolah pada teman lama. Kulihat Bunda Anna berpenampilan sangat rapi, seolah akan pergi keluar. “Sebenarnya ada apa, Bunda? Tumben Bunda menelepon saat malam seperti ini,” aku memberanikan diri membuka perbincangan. “Sejak acara pesta itu Bunda belum melihatmu. Bunda belum sempat menjengukmu. Mungkin kamu terlalu lelah saat itu,” ujar Bunda Anna yang kujawab dengan senyum samar. “Bunda akan keluar makan malam dan ingin ditemani olehmu. Tadinya Bunda tidak ingin pergi, tapi dia memaksa dan Bunda tidak bisa menolak. Jadi Bunda memintamu datang ke sini,” lanjut Bunda Anna yang menyebutkan ‘dia’ entah menunjuk pada siapa. Kusapu setiap sudut restoran yang dipilih Bunda Anna. Salah satu restoran yang terdapat di daerah Plaza Indonesia ini sangat fenomenal di Jakarta. Desain tempatnya membuat para pengunjung berasa di Amerika, tepatnya di New York. Belum sempat aku menyapu semua interiornya, seorang wanita melambai ke arah kami. Wanita yang sepertinya terpaut usia tidak jauh dariku. Pakaiannya terlihat glamour dan berkelas. Dress berwarna hitam selutut dengan kalung mutiara beruntaian panjang yang menggantung rendah, seperti seorang gadis flapper dari tahun 1920-an yang pernah kulihat di layar televsi. Tak lupa lipstik berwarna merah marun menempel di bibirnya yang tipis. Cantik, namun terasa berlebihan menurutku. Apalagi ditambah tas, sepatu, dan pernak-pernik lainnya. Mencerminkan sekali bahwa dia  merupakan seorang wanita berdarah biru. “Selamat malam, Bunda,” wanita itu tersenyum yang terlihat dipaksa semanis mungkin dan hanya dijawab bunda dengan senyum sekadarnya dan anggukan kecil. Tatapan bola mata berlensa biru itu bergilir ke arahku. Raut wajahnya seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak suka aku berada di antara acara mereka. Namun, akhirnya aku memperkenalkan diriku dengan sedikit enggan seraya menyentuh telapak tangannya yang halus, “Manda.” “Sophi,” wanita itu memperkenalkan diri. Aku tidak berhenti menatap sosoknya yang terkesan aneh untukku. Sepertinya dia tidak pernah melewatkan perawatan salon, setidaknya satu minggu sekali. “Dia siapa, Bunda?” tanya Sophi setengah berbisik namun cukup jelas terdengar oleh gendang telingaku. “Dia Manda, yang sudah membuat cake ulang tahun Bunda kemarin. Selain memiliki bakat yang bagus, dia juga cantik, bukan?” ungkap Bunda Anna yang membuat perasaanku tak enak. Bunda Anna seolah ingin mematahkan tatapan wanita itu. Sophi hanya tersenyum simpul dan melirikku dengan tatapan yang semakin memancarkan ketidaksukaannya. Aku mengalihkan pandangan dengan polos. Aku menikmati Valrhona Dark Chocolate Fondant tanpa mencoba ikut terhanyut dengan obrolan basa-basi yang terdengar tidak begitu penting. “Kamu kuliah di mana, Manda?” tanya Sophi yang kali ini ditunjukkan padaku. “Aku baru akan menyusun skripsi untuk target wisuda tahun ini. Aku kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta,” timpalku tak bergairah. Andai bukan karena rasa hormatku pada Bunda Anna, mungkin aku sudah pulang sejak tadi. “Universitas swasta? Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di London,” kilahnya tanpa aku bertanya. Aku menelan ludah pahit. Apa sekarang dia sedang mencoba membanding-bandingkan diriku dengan dirinya yang merasa sempurna?  “Oh, baguslah. Kamu mungkin akan lebih sukses dariku,” aku kembali mengisi mulutku dengan santapan yang kini seolah hambar. “Kamu sudah wisuda? Sekarang bekerja di mana?” lanjutku. “Aku wisuda akhir Desember nanti. Aku tidak bekerja. Papi dan Kakakku selalu menuruti semua keinginanku,” dengan begitu percaya diri Sophi mengatakan kalimat itu. Ah, ternyata masih ada yang bangga dengan harta orang tuanya. Dari sudut mataku, Bunda Anna terlihat jengah. Mungkin karena hal ini pula Bunda Anna tidak terlalu suka seperti kata Tante Yuni tempo itu. “Sophi, maaf… Bunda harus segera pergi. Ada hal yang perlu Bunda selesaikan,” Bunda Anna mulai bersiap untuk beranjak dari tempat duduknya. Syukurlah, aku sudah sangat tidak betah berhadapan dengan wanita seperti Sophi. Kalau aku laki-laki, mungkin aku bisa sebut dia bukanlah tipeku. “Aku ikut ya, Bunda? Kebetulan aku sangat jenuh tidak ada teman. Tadi saat aku menelepon Juna, katanya dia sedang sibuk,” wajah Sophi mencoba memelas di hadapan Bunda Anna. “Maaf, Sophi. Bunda akan pergi ke rumahku untuk menyelesaikan sebuah urusan. Aku tidak bisa mengajakmu. Lagian, suasana rumahku tidak senyaman dan semegah milikmu,” timpalku saat membaca gelagat Bunda Anna yang seolah ingin menghindar dari sosok wanita yang entah siapa baginya. Sophi hanya bergumam kecewa lalu membiarkan aku dan bunda untuk pulang lebih dulu. “Terima kasih, Manda,” ada kelegaan yang terselip dari embusan napas wanita di sampingku. “Sama-sama, Bunda. Tapi, memangnya dia siapa? Kenapa Bunda menemuinya jika akhirnya ingin segera pergi?” aku memberanikan diri bertanya mengenai Sophi. “Bunda hanya tidak enak hati saja selalu menolak ajakannya. Dia anak dari relasi bisnis suami Bunda. Tapi, kamu juga bisa lihat bagaimana sikapnya tadi. Itulah kenapa Bunda tidak suka terhadapnya. Entah apa jadinya jika dia menikah dengan Juna.” “Me… menikah? Dengan Juna?” tiba-tiba aku tergagap, sedikit terkejut dengan kalimat terakhir yang diucapkan Bunda Anna. “Iya, Papanya Juna mencoba menjodohkannya dengan Sophi karena urusan bisnis. Tapi Bunda tidak setuju. Pada akhirnya, kami membiarkan Juna sendiri yang memilih. Bunda berharap dia tidak memilih wanita yang hobi pamer itu,” Bunda menarik napas panjang. Aku seakan kehilangan suaraku untuk menimpali kata-kata Bunda. Hanya senyum samar yang aku sendiri tidak tahu ada apa denganku.  “Manda, bangun! Ayo, bangun!” samar-samar kudengar suara wanita cerewet mengusik tidur lelapku. “Manda, ayo bangun!” tidak berhenti dengan suaranya yang terdengar lebih keras, tepukan yang tidak bisa kubilang lembut pun mendarat di kedua pipiku. “Ada apa sih?” dengan kasar kututupi seluruh tubuhku dengan selimut. “Manda, kita hangout ke Yogyakarta, yuk!” “Bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku?” tanyaku tak nyambung dengan apa yang baru saja Risa katakan. “Aku kan punya duplikat kunci rumahmu.” “APA?! Bagaimana kamu bisa punya? Seolah ini rumahmu saja,” sewotku yang langsung terbangun menatap tajam ke arah wanita yang balik menatapku kesal. “Bukankah kamu sendiri yang memberikan ini padaku?” Aku baru ingat dua hari yang lalu aku memercayakan kunci duplikat rumahku pada Risa supaya tidak susah jika ada sesuatu. Akhirnya aku hanya menimpali dengan kata ‘oh’ sebelum akhirnya tertidur kembali. “Ih, Manda! Ayo bangun!” lagi-lagi Risa menggoyangkan bahu dan menarik selimutku. “Apakah kamu tidak memiliki pekerjaan lain selain mengganggu tidurku? Sahabat macam apa kamu?” aku bergumam kesal tanpa membuka kedua kelopak mata yang masih mengantuk. Semalaman aku tidak bisa tidur setelah pulang dari rumah Bunda Anna. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaanku. “Nanti siang kita berangkat ke Yogyakarta,” ungkap Risa. “Mau apa?” timpalku masih dengan posisi tidur dan menutup mata. “Kita refreshing sekaligus mencari ide tambahan bahan skripsi.” “Skripsiku hampir selesai.” “Bukan untuk skripsimu, tapi skripsiku. Dion juga sudah pulang dari Bekasi. Jadi, dia bisa bareng kita juga.”  Aku menghela napas panjang. “Ya sudah, bareng Dion saja!” Aku tak mendengar Risa kembali berceloteh. Mungkin dia sudah pergi dengan menyeret rasa kesalnya padaku. Ah, biarlah untuk kali ini saja. Namun, sebuah isakan yang tertahan terdengar. Aku membuka sedikit kelopak mata untuk menatap ke arah samping tempat tidur. Ya ampun, aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku melihat Risa menangis. Dan sekarang wanita cerewet dan kadang menjengkelkan itu menatap ke arahku dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya. Rasa bersalah menyamarkan kantukku seketika. Perlahan kuambil posisi duduk berhadapan dengannya. “Ris… Risa, ke… kenapa kamu menangis?” semenyebalkan apa pun, tapi dia tetaplah sahabatku yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tak tega rasanya melihat air mata itu mengalir. “Kenapa kamu bertanya alasan aku menangis jika kamu sendiri sudah tahu jawabannya? Manda, sebentar lagi skripsi kita selesai dan sebentar lagi kita wisuda,” kubiarkan Risa menyelesaikan kalimatnya yang perlahan terhenti. “Sebentar lagi kita akan menjalani kehidupan masing-masing. Kamu akan kembali ke Bogor dan aku tetap di sini. Kita tidak akan menikmati waktu sama-sama seperti ini lagi. Apa masalah yang sedang memenuhi otakmu sampai membuat kamu melupakanku? Aku mengajakmu pergi bukan semata-mata untuk kesenanganku. Tapi, sedikit banyaknya untuk membuatmu lebih tenang dan tidak terlalu terbebani dengan apa yang sedang kamu alami sekarang.” Uraian panjang Risa membuat butiran bening ikut menetes dari sudut kelopak mataku. Aku selalu salah menilai Risa yang justru selalu memahami setiap masalahku. Ah, ternyata aku tidak bisa melihat maksud baik yang terselip dari setiap kecerobohan dan kejengkelan yang dibuatnya. Aku bukan sahabat yang baik. Beberapa detik berlalu dengan keheningan. Cahaya matahari yang sudah masuk menghangatkan pipi kananku yang masih basah karena air mata. Suaraku tercekat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar, sekadar menggerakkan telapak tanganku untuk menghapus air mata yang baru kusadari betapa berharganya dia untukku saja tak mampu. Dia yang selalu ada untukku. Aku hanya mampu menatap bola mata basah Risa yang  memancarkan kekecewaan. “Manda, kamu bukanlah orang asing bagiku. Kamu bukan hanya sahabat untukku. Bagaimana bisa aku berdiam diri ketika aku sendiri tahu bagaimana perasaanmu? Mungkin caraku salah, tapi maksud dan tindakanku tidak seburuk yang kamu pikirkan. Aku sayang padamu, Manda. Kamu sudah seperti kakak untukku. Dan aku ingin menikmati waktu yang mungkin akan terasa berputar lebih cepat dari yang kita kira bersamamu, bersama sahabatku.” Risa perlahan beranjak dari duduknya. “Jika kamu memang tidak bisa pergi hari ini tidak apa-apa. Aku pulang dulu,” Risa berbalik memunggungiku dengan masih menyisakan isakannya. Tanpa berpikir panjang aku segera menghampiri Risa dan memeluk punggung kecilnya. “A… aku minta maaf, Risa. Aku sungguh minta maaf. Kita bisa pergi hari ini.” 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices