Dua Bintang

Reads
115
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Tiga Belas

Ketika kehidupan hanya memberiku alasan untuk tetap kuat dan terus berjalan. Ceria sang pagi menjemput. Gorden berwarna putih tulang tersibak, menampakkan aroma pagi yang tak bisa kunikmati sejuknya. Ya, yang tercium hanya bau rumah sakit yang aku yakini tidak akan ada yang suka tahan dengan aromanya. Kuisi pagiku dengan masih terbaring di ranjang rumah sakit seraya mencoba menikmati sebuah novel yang sengaja ditinggalkan Risa. Padahal dia tahu bahkan aku tidak terlalu suka membaca. Tante Yuni pulang pagi ini setelah memastikan sarapan dan obat sudah kulahap habis. Risa pergi ke kampus untuk memperlihatkan pengajuan judul skripsi pada dosen pembimbingnya. Dia berjanji akan datang siang nanti. Sedangkan Dion, dia dengan susah payah kusuruh pulang kemarin malam setelah seharian tak pulang karena menungguiku. Bosan. Dokter melarangku pulang hari ini untuk memastikan memang tidak ada masalah serius dari luka di kepalaku. Aku ingin keluar meski hanya sebatas berkeliling di taman rumah sakit. Ruangan ini berubah pengap dan hanya mampu membuatku terus memikirkan hal-hal yang tidak bisa kupecahkan. Dan laki-laki bertopi itu, Tante Yuni berkata bahwa dia akan datang menemuiku lagi. Kapan? Siapa sebenarnya dia? Suara pintu terbuka yang seketika membuyarkan lamunanku. “Selamat pagi, Manda.” Bunda Anna datang dengan sebuah parsel buah yang cantik disertai senyum hangatnya. Aku membalasnya dengan senyum. “Bagaimana kabarmu, Manda? Maaf, Bunda baru bisa menjenguk kamu pagi ini,” aroma khas Bunda Anna menyeruak mengisi setiap sudut ruangan. Kepenatanku perlahan menghilang. Wanita ini memang sangat sempurna. “Tidak apa-apa, Bunda. Tidak cedera serius kok,” imbuhku dengan wajah sehangat mungkin. Belum sempat kubertanya dengan siapa bunda datang, laki-laki berkacamata masuk. Juna. “Kok tanganmu kosong? Bukankah tadi Bunda menyuruhmu untuk  mampir membeli bunga buat Manda?” tanya Bunda Anna dengan nada sedikit tinggi. “Aku lupa, Bunda. Tadi buru-buru soalnya Sophi ada di kantorku.” Bunda Anna seketika menyurutkan kekesalannya mendengar alasan anak semata wayangnya itu. “Ah, gadis itu. kamu seharusnya cepat menikah supaya dia tidak mengganggumu lagi.” “Menikah?” bola mata hitam itu membeliak. Aku hanya bisa terkekeh melihat perbincangan ibu dan anak ini di depanku. “Iya, kecuali kamu memang mau menikah dengan Sophi,” teror bunda seraya menyimpan parsel buahnya di meja. “Bunda saja tidak suka dengan dia, apalagi aku. Aku belum menemukan jodohku, Bunda. Apa aku harus ikutan ajang pencarian jodoh, ya?” kilah Juna yang membuatku terbahak. “Buat apa ikut acara begituan. Jika Bunda jadi kamu, Bunda mau saja menikahi Manda.” Tanpa kurencanakan tawaku habis seketika. Uraian kalimat Bunda Anna membuat mulutku terkunci dan kedua pipiku berubah warna. Kulihat Juna tidak menimpali perkataan bundanya lagi. Kecanggungan seakan mengambil alih keadaan. Juna hanya tersenyum. Senyuman manis yang penuh teka-teki, tak bisa kuterjemahkan apa artinya. “Sudahlah. Kapan kamu bisa pulang, Manda?” tanya Bunda Anna memecah kesunyian. “Sebenarnya hari ini juga aku ingin pulang, Bunda. Tapi, belum diperbolehkan,” timpalku mencoba menetralisir kegugupan yang-tibatiba meraja. “Semoga lekas sembuh, ya. Bunda ingin mengajak kamu jalan-jalan. Bunda sangat kesepian sendirian di rumah. Punya suami dan anak pada sibuk semua. Apalagi, laki-laki memang susah sekali memahami kondisi wanita,” tutur Bunda Anna dengan bahasa yang lebih akrab. Aku mengiyakannya disertai senyum kaku. “Itu kan menurut Bunda. Padahal laki-laki itu pengertian, tapi selalu disalahartikan oleh mata wanita. Melakukan hal ini, salah. Melakukan hal  itu, salah juga. Giliran ditanya inginnya apa, malah diam,” cibir Juna. “Bukan begitu. Wanita hanya menuntut laki-laki untuk bisa sedikit peka terhadapnya tanpa harus diberi tahu, meski itu hanya dua puluh persen,” kali ini aku angkat bicara. Namun, bayangan Dion mengenai kejadian kemarin kembali berkelebat. “Nah, Bunda setuju. Terkadang wanita itu ingin laki-laki lebih memahami tanpa harus diucapkan dulu. Terkadang wanita menyiratkan lewat bahasa tubuh dan binar matanya. Termasuk binar mata yang seolah mengatakan cinta. Benar kan, Manda?” Aku terkesiap dan mengangguk kecil. “Iyalah, wanita memang tidak ingin kalah. Tapi ngomong-ngomong, apa kamu ingin menikmati udara luar, Manda? Aku yakin kamu merasa sumpek seharian di ruangan ini,” Juna mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapan dari bola mata hitam itu seakan mengunci. “Aku memang ingin keluar. Namun, tidak bisa pergi sendiri,” imbuhku seraya menunjuk kaki yang diperban. “Aku akan mengambil kursi roda dulu. Nanti kita keluar sebentar,” lanjut Juna dan langsung berlalu. “Kenapa anak itu baru bicara sekarang? Ahh… dia memang selalu begitu. Nanti kamu jalan-jalan diantar Juna, dan Bunda mau menemui teman Bunda yang bekerja di sini dulu,” ujar Bunda Anna yang lagi-lagi kujawab dengan sekadar anggukan. Tepat saat Bunda Anna keluar, Juna datang dengan kursi roda yang didorongnya. Aku tersenyum kecut. Membayangkan diriku di atas kursi roda dengan seorang dosen muda yang mendorongnya sedikit membuatku geli. “Tunggu, biar aku memindahkan tubuhmu ke kursi roda ini,” ungkap Juna yang seketika membuatku mendelik. “Tidak perlu! Aku bisa tanpa perlu kamu gendong. Cukup membantu dengan menopang lenganku,” protesku yang membuat desahan kecil keluar dari gumaman Juna. Sebelum mencapai ambang pintu, Juna menyumpal kedua lubang  telingaku dengan earphone yang tersambung dengan alunan musik di ponselnya. Aku memutar kepalaku menghadap ke arahnya. “Sudah, dengarkan saja!” Lantunan lagu berjudul Open Your Heart milik Westlife begitu memanjakan pendengaranku. Embusan angin yang pertama kali kuhirup terasa lembut. Beberapa pasien terlihat sedang berjemur di bawah mentari pagi. Aku tersenyum. Dua hari di dalam ruangan yang tertutup membuatku tak berselera. Juna berhenti di sebuah bangku kecil berwarna hitam. “Sedikit diterpa cahaya matahari pagi akan membuatmu lebih baik,” ungkapnya, lalu memberhentikan kursi rodaku di samping bangku taman yang didudukinya. Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Aku memandang burungburung gereja yang mencari rerumputan kering untuk membangun sarangnya di pucuk cemara. Ternyata, hal-hal sederhana terkadang membuat perasaan sangat nyaman. Duduk di bawah sinar hangat matahari, menikmati alunan musik, dan menatap tingkah burung-burung kecil yang terbang seolah tanpa beban. Juna beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri sebuah pohon bunga kamboja. Dipetiknya sebuah bunga berwarna putih tulang yang baru saja mekar itu. Lalu dia kembali ke arahku dan menyodorkannya. Aku menatap wajahnya dengan tatapan sedikit jengkel. “Apa kamu mendoakanku supaya cepat mati?” “Bukan begitu maksudku. Dari tadi aku mencari yang lebih indah dari ini, tapi tidak kutemui juga. Anggap saja ini bunga mawar merah yang indah. Aku merasa bersalah tadi tidak membawakanmu dari toko bunga. Ya, meski hanya sekadar simbol pengucapan ‘semoga lekas sembuh’,” ungkapnya yang hampir saja membuat tawaku menggema. “Apa kamu tidak ingin tertawa atau sekadar tersenyum dan bilang ‘terima kasih’?” “Kamu laki-laki aneh yang pernah kutemui,” namun, pada akhirnya bunga kamboja malang itu tetap berpindah ke telapak tanganku. Juna mengambil salah satu earphone dan disumbatkan di telinga kanannya. “Manda, sebenarnya aku ingin menanyakan satu hal,” raut wajah Juna berubah serius. “Bicara saja.” “Mengenai pesta Bunda dulu, kamu yang tiba-tiba menangis, apa karena seseorang yang kamu lihat?” tanya Juna yang menyihir senyumku hilang seketika. “Aku tahu dari Tante Yuni. Tante bilang bahwa dia memang belum pernah melihat laki-laki itu. Dan kemarin malam saat kamu pulang dari Jogja, laki-laki itu datang ke rumahmu, bukan?” Aku mengambil napas sejenak dan mengembuskannya. “Dia masa laluku. Dia merupakan salah satu alasan kenapa aku masih hidup pada masa lalu dengan kebencian dan ketidakpercayaan yang terus membelenggu. Dan aku tahu, kamu pasti mengenalnya. Dia Riza, kakak Sophi,” aku bersyukur, tak ada lagi air mata yang keluar saat ini. Setidaknya tidak untuk kedua kalinya di depan Juna. “Riza? Ja… jadi, dia mantanmu?” tanya Juna seolah tidak percaya. “Iya,” jawabanku kembali datar tanpa ekspresi. “Belum lama ini dia memutuskan pertunangannya. Dia bilang, karena ada seseorang yang lebih dicintainya, yang pernah dia tinggalkan. Berarti, itu… kamu?” Aku tertawa sumbang. “Entahlah. Kemarin dia pun datang ke sini bersama Sophi.” Gumpalan awan menghalangi cahaya matahari yang menerpaku. Angin yang berembus pun seakan tidak berasa. Hanya daun-daun yang sudah kehilangan waktunya, yang terombang-ambing hingga akhirnya menimpa tanah berumput. Suasana kembali hening. Aku tidak bisa membaca pantulan wajah laki-laki di sampingku yang sedang menatap kosong pohon bunga kamboja. “Lalu, bagaimana tanggapanmu tentang itu?” suara Juna menarikku kembali ke alam nyata “Tanggapanku? Aku sudah terlalu lama menderita karena kehidupan  masa lalu. Dan mungkin kamu pun menyadari perubahan pribadiku akhirakhir ini. Ya, aku sudah melupakan semuanya. Aku sudah memaafkan semua kesalahan memori lalu. Aku sudah banyak bertemu dengan orangorang yang menyadarkanku, inilah hidup yang harus terus dijalani,” aku bercerita dengan lancar. “Aku sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kesempatan kedua. Melihat bagaimana dia meninggalkanku dulu dan sekarang datang kembali, mungkin angin saja akan mengutukku jika menerimanya. Aku sudah kehilangan memori manis termasuk bersama Papa, dan itu benar-benar membuatku banyak belajar,” lanjutku. “Jadi, tidak ada kemungkinan bahwa kamu akan bersamanya kembali?” tanya Juna yang kujawab dengan anggukan kecil. “Aku suka cara pandangmu. Biarkan orang lain yang mendapat kesempatan itu lagi,” tambahnya yang membuatku mengerutkan kening. “Maksudmu?” dengan suara bingung aku menatap wajah Juna yang hanya tersenyum memperlihatkan gingsulnya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices