
by Titikoma

Empat Belas
Semua insan pernah melakukan kesalahan. Namun, kebencian tidak akan mampu membohongi cinta yang tumbuh sejak pertama melihat dunia Aku tersenyum lega. Akhirnya akan segera kutinggalkan ruangan rawat yang pengap ini. Aku merasa lebih baik meski berjalan sedikit pincang. Dokter memperbolehkan pulang setelah empat malam menikmati menatap langit-langit dari tempatku berbaring di bangsal rumah sakit. Aku melarang Tante Yuni untuk memberi tahu mama atau Mbak Nadia mengenai kecelakaan kecilku, karena tidak mau membuat mereka khawatir. Tapi, kenapa harus Dion yang datang menjemputku? Ke mana Tante Yuni dan Risa? Tante Yuni yang semalam tidur menjagaku di sini berjanji akan menjemputku sore ini. Tapi, yang datang sekarang adalah laki-laki yang entah kenapa sejak datang tak menyirnakan senyuman khasnya. “Di, ke mana Tante Yuni dan Risa? Kenapa mereka tidak datang untuk ikut menjemputku?” kuberanikan diriku bertanya setelah duduk di jok mobil dibantu olehnya. “Mereka bilang sedang ada kesibukan. Kenapa? Apa kamu tidak suka jika aku yang menjemputmu?” Dion balik bertanya, membuatku menjadi gelagapan. “Bbu… bukan begitu. Aku hanya penasaran, kesibukan apa yang mereka kerjakan di akhir pekan ini,” timpalku ngasal. Dion tidak lagi berbicara. Hanya senyum yang terus membuatku merasa aneh. Apa yang membuat laki-laki di sampingku terlihat begitu bahagia? Ahh… entah kenapa kedua pipiku memanas, berharap itu bukan karena sosok sepertiku. Sikap Dion sejak di Jogja memang membuatku merasa gelisah. Mendung perlahan merajai langit sore. Sepertinya senja akan terlihat sedikit tak indah hari ini dan gerimis akan segera turun. Kupandangi rumahku yang selalu tampak sepi. Tempat yang selalu menaungi dan menyelimutiku dalam kesendirian. Dion tetap memaksa untuk memapahku sampai ke dalam rumah, meski sebenarnya aku bisa sendiri walaupun harus dengan langkah pelan. Di ambang pintu aku berhenti. Mencari kunci rumahku yang semalam dititipkan Tante Yuni di saku jaket. “Kamu mencari apa?” tanya Dion, “Jika kamu mencari kunci, sepertinya pintu rumahmu tidak sedang terkunci kok.” Apa Risa ada di sini? Saat Dion membukakan pintu untukku, tiba-tiba… “SELAMAT ULANG TAHUN!” suara serentak mengagetkanku yang baru saja melangkah masuk. Aku tidak bisa membendung rasa haruku. Mungkin ini sebabnya Dion yang datang menjemputku dan terus saja tersenyum. Ternyata mereka semua sudah mempersiapkan semuanya. Ruangan tengah sudah didekorasi dengan sangat cantik. Ada Tante Yuni, Dina, Risa, Bunda Anna, Nina, Roni, Juna, dan… Sophi. Untunglah, Riza tidak terlihat batang hidungnya saat ini. Tante Yuni, Risa, dan Bunda Anna membawa masing-masing satu kue cantik lengkap dengan nyala lilin ke arahku. “Selamat ulang tahun, Sayang. Ayo tiup lilinnya,” ujar Tante Yuni yang membuat bola mataku berkaca-kaca. Dengan lima kali tiupan, nyala lilin dari tiga cake beraneka bentuk itu padam seketika. “Kita masing-masing yang menghias kue ini loh, Manda. Walaupun tidak sebagus buatan kamu, tapi semoga kamu suka,” ungkap Bunda Anna yang membuatku tertawa tak peracaya dengan apa yang sudah mereka lakukan. “Terima kasih untuk semuanya. Boleh aku potong kuenya?” “Tentu saja.” Aku duduk di meja makan yang melingkar. Kuabaikan tatapan tak suka milik Sophi sejak pertama kali kuinjakkan kaki ke rumahku. “Siapa yang akan mendapat potongan kue pertamamu?” goda Risa yang membuat rona di pipiku berubah. Dengan senyum merekah, kusodorkan potongan kue pertamaku pada wanita setengah baya di sampingku. “Ini untuk Tante yang sudah seperti seorang kakak untukku. Terima kasih untuk semuanya.” Tante Yuni menyambutku dengan pelukan hangatnya. “Semoga hidupmu selalu dipenuhi kebahagiaan, Sayang.” Aku mengerat potongan kue kedua dan menatap Dina yang sudah menarik ujung sweater-ku dengan gemas. “Aku, Kak… aku!” protesnya yang membuatku terkekeh. “Ini untuk gadis kecil cerewet yang dulu pernah memberi sebuah kado berisi kotak musik. Terima kasih,” ungkapku lalu mengusap ubun kepalanya dengan lembut. “Itu bukan dariku, Kak. Dulu kan aku pernah bilang kita mendapat kado yang sama. Itu dari Om-ku,” kilah Dina yang kutimpali dengan mengendikkan bahuku. “Dan ini… untuk sahabat terbaikku yang selalu mengerti dan selalu ada untukku,” aku menatap Risa yang matanya terlihat berembun. “Ahh… aku terharu,” Risa menyerbuku dengan pelukannya. “Semoga selalu bahagia, Manda.” Sejenak Risa terdiam lalu kembali berbisik, “Dan… semoga kamu cepat menemukan belahan hatimu yang akan melengkapi hidupmu.” Aku melepaskan pelukannya dan memasang tatapan seolah kesal. “Harusnya kamu memikirkan itu untuk dirimu sendiri,” cibirku yang membuatnya tergelak. Aku memotong kue keempat. Tatapanku sempat tertuju pada laki-laki yang tidak lepas memandang ke arahku. Dion. Seperti biasa dia selalu memamerkan senyuman khasnya—yang dulu pernah tidak aku suka. “Ini untuk Bunda. Terima kasih untuk semuanya, Bunda.” Bunda memeluk tubuh mungilku yang langsung merasa nyaman. “Semoga selalu bahagia, Sayang.” Kini tersisa tiga orang setelah potongan kue yang lain kuberikan pada Nina dan Roni. “Ekhem… lalu? Tiga orang yang tersisa?” ungkap Risa dengan nada rasa ingin tahu yang membludak. Ah, kalimat Risa membuatku semakin tersudut. Ya, aku tidak mungkin memberikannya dulu pada wanita yang sekarang memandangiku dengan sinis, bukan? “Ini untukmu. Terima kasih sudah banyak membantuku selama ini. Maaf untuk sikapku yang pernah membuatmu kesal,” terlihat jelas lukisan bahagia tersirat dari raut wajahnya. Aku hanya tersenyum samar. Entah kenapa di dekatnya membuatku gelisah tak menentu. Dion. “Ekhem! Karena aku sudah tidak kuat lapar, jadi aku memotongnya sendiri!” celetuk Juna membuat semua orang terlonjak. Dengan polosnya Juna memotong sendiri kuenya dan memakannya langsung dengan cepat. “Kenapa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Juna dengan sudut mulutnya yang penuh dengan krim cokelat. “Kamu tidak sedang cemburu, kan?” bisik Bunda Anna yang terdengar samar di telingaku. Ya, tempat dudukku tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri. “Tidak mungkin, Bunda. Iya kan, Juna? Sini, aku bersihkan krim di mulutmu,” sambar Sophi lalu mengambil tisu di tas kecilnya dan memandang wajah Juna. “Terima kasih. Tapi, aku bisa sendiri,” Juna mengambil alih membersihkan mulutnya sekaligus membuat mulut Sophi berubah berbentuk kerucut. Acara yang sederhana. Namun, bagiku ini adalah hal yang istimewa. Aku memang pernah kehilangan beberapa orang yang kucintai, tapi aku juga mendapatkan orang yang sangat berarti. Mereka merupakan keluarga kedua bagiku. Senyumku terpahat. Kuharap tidak ada kata saling menyakiti dan tetap berjalan hangat seperti ini. Terkecuali dengan Sophi, mungkin. Pada wanita satu itu aku sedikit enggan. Bukan hanya karena sikapnya, tapi juga karena dia adik Riza. Mataku terpaku pada sosok laki-laki dengan senyum khas dan binar bola mata yang hangat. Dion. Laki-laki itu selalu membuatku bimbang. Terkadang pertanyaan-pertanyaan aneh selalu menggangguku tentangnya. Apa dia benar-benar menyukaiku? Tepatnya, apa dia mencintaiku? Tapi, sikap dan tatapannya begitu mudah ditebak. Aku ingin membohongi diriku bahwa tak ada perasaan spesial yang disimpan Dion untukku. Tapi, sejak di rumah sakit, aku tak bisa mengelak kenyataan itu. Aku berharap itu tak benar. Perkiraanku tak benar. Aku tak mungkin ingin menyakiti hati baiknya. Ponsel yang terselip di tas kecilku bergetar. Nama mama yang tertera di layar membuat senyumku semakin mengembang. “Siapa?” tanya Juna saat aku beranjak dengan tertatih dari kursi menuju sudut ruang tamu yang sedikit lebih sunyi. Tante Yuni dan yang lainnya sedang menikmati obrolan yang aku sendiri tidak begitu paham. “Mama,” jawabku. “Bisa jalan sendiri?” Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tentu saja aku bisa. Aku tidak mungkin bersikap manja dan memintanya memapahku, bukan? Sophi mungkin akan menjambak rambutku saat itu juga. Tapi, tiba-tiba suara bel terdengar. Tanpa membuka gorden biru muda yang menutupi jendela, aku memutar kenop pintu. Saat terbuka sempurna, seorang laki-laki yang posturnya seperti aku kenal sudah berdiri membelakangi. “Maaf, Anda mencari siapa …” Kalimatku yang belum tuntas seketika tersangkut di tenggorokan saat sosok itu berbalik. Kenapa… dia datang lagi?