Dua Bintang

Reads
116
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Enam Belas

Sepotong masa lalu termaafkan, dan sepotong yang lain masih menyisakan ketakutan “Sejak kapan kamu berada di sana?” tanyaku saat melihat laki-laki berkacamata dan bergigi gingsul itu sedang berdiri, bersandar pada daun pintu. Aku baru saja tiba di rumah setelah menikmati masa tenang selama seminggu di Bogor. Ya, sejak Papa datang ke sini, besoknya aku ikut Papa untuk pulang. Kedamaian dan kebahagiaanku kembali hidup tatkala melihat semuanya berkumpul kembali di bawah atap yang sama tanpa ada luka. Mama sudah memaafkan Papa, bahkan sudah lebih dulu sebelum Papa meminta maaf padanya. Papa memang sudah berubah. Bahkan sekarang dia ikut membantu Mama untuk menjalankan bisnis restorannya di Bogor. Kehangatan ini yang selalu aku rindukan. Tidak lebih. Mbak Nadia masih bekerja, dia belum berpikiran untuk menikah saat aku bertanya mengapa dia sangat betah melajang. Usianya sudah 28 tahun, hampir menuju kepala tiga. Menurutnya, belum ada laki-laki yang cocok. Aku mengerti. Bahkan aku mungkin akan melajang selamanya. “Sekitar sepuluh menit yang lalu. Kamu pulang sendiri?” tanpa kuminta tiba-tiba Juna mengambil tas besar yang kubawa. “Ini oleh-oleh dari rumahmu? Ada apa di dalamnya? Makanan?” “Anda bertingkah seolah bukan dosen,” ketusku lalu melangkah masuk, “Ada apa datang ke sini?” “Apa kamu tidak ingin menawariku minum dulu? Oh ya, kamu juga baru datang, pasti lelah. Biar aku saja yang membuat minuman,” Juna membawa tas yang tadi dijinjingnya ke dapur saat tahu di dalamnya berisi berbagai macam makanan. Mama memaksaku membawanya untuk sebagian diberikan kepada Tante Yuni. Restoran mama sudah lumayan maju sekarang. “Apa kamu merasa ini adalah rumahmu?” tanyaku lagi. Seolah sudah hafal setiap sudut dapur rumah, dia menyusun isi dari tas tersebut di kulkas dan lemari makanan. “Hei, itu untuk Tante Yuni!” “Bukankah ini ikan bakar? Bolehkah aku mencobanya?”  Astaga. Laki-laki satu ini memang menyebalkan. Aku mengambil botol air mineral dari dalam kulkas dan meneguknya. “Kita akan pergi ke Bandung sore ini,” ujarnya yang membuatku terbatuk, “Uhuk… kita?” “Ya, bukankah aku pernah berjanji akan mengajakmu pergi ke sana saat di Yogyakarta kemarin?” dengan lahapnya dia mulai menguliti ikan bakar yang bahkan aku sendiri belum mempersilakannya. “Kamu tahu aku baru pulang, bukan? Aku tidak ingin ikut. Aku lelah.” “Kamu harus ikut. Aku tidak akan menyuruhmu bekerja. Hanya sekadar menemaniku. Itu saja. Kita akan memburu kuliner di sana. Tenang, aku juga tidak akan menyuruhmu membayar semuanya.” “Heh?! Kenapa tidak sama Sophi saja? Aku yakin dia pasti mau.” Juna mengelap sudut bibirnya dengan tisu. Ikan bakar milikku yang malang itu sudah setengah dihabiskannya—seolah dia benar-benar kelaparan. “Hmm… ikan bakar ini lezat sekali. Sepertinya kapan-kapan aku harus ke Bogor. Aku suka ini. Eh, Sophi? Dia hanya selalu merepotkan. Bukannya menjernihkan pikiranku, tapi yang ada membuatku semakin stres.” “Apa kamu berpikir aku tidak akan merepotkan? Bahkan, aku bisa membuatmu jauh lebih kewalahan,” aku memasang tatapan tajam. Pertama kali bertemu, dia memang sudah sangat aneh. “Ya sudah kalau begitu, tidak usah ikut. Tapi, aku yakin Riza akan datang ke rumahmu malam ini. Tadi aku sempat mendengarnya berbicara dengan Sophi di telepon.” Deg. Kali ini aku mengakui kalah. “Baiklah. Pukul berapa kita berangkat?” “Sekitar pukul empat sore. Kamu bisa istirahat dulu sekarang. Aku akan menjemputmu setengah jam sebelumnya, oke? Dah… sampai jumpa. Eh, terima kasih untuk sarapannya. Aku memang belum sempat makan sejak kemarin malam. Yah, sedikit sibuk,” sebelum mendengar kalimatku, Juna sudah melenggang pergi.  Aku belum pernah mengenal laki-laki yang cerewet dan menyebalkan seperti itu. “Kita mau ke mana?” “Ke Kampung Daun. Kamu akan tercengang begitu tiba di sana. Suasananya luar biasa fresh, dan yang pasti makanannya tak kalah luar biasa.” Juna benar, aku memang langsung tercengang saat tiba di tempat yang dimaksudnya. Pasalnya, bukan hanya karena tempatnya yang begitu eksotis, tapi makanan yang dipesan Juna juga luar biasa banyaknya. “Kamu akan memakan semuanya? Rasanya dengan melihatmu melahapnya saja membuatku sudah kenyang,” ujarku saat Juna menyebutkan nasi liwet, ikan gurame bakar, ikan gurame goreng sambal cobek, bebek bakar bumbu Bali, surabi oncom, batagor, dan es selasih sebagai menu makanan malam ini. “Apa kamu menyukai makanan yang kupesan tadi? Aku lupa bertanya padamu,” jawabnya, disusul dengan tawa renyah. Kami berjalan bersisian menyusuri jalan berbatu yang berbelok-belok disertai lampu penerang berwarna kuning redup di setiap sisinya, yang membuatku sempat berpikir, apa ini tidak terlalu terkesan romantis? Sementara Juna pamit ke toilet, aku menikmati suasana wisata alam dan kuliner Kampung Daun yang berada di Lembang, Bandung ini. Sempat ini seolah tepian desa yang benar-benar sunyi, lampu obor berjejer di tepian sisi sepanjang jalan masuk. Selain itu, kawasan ini juga dipenuhi oleh ornamen-ornamen tradisonal khas Sunda. Sangat nyaman dan memukau. Aku harus berterima kasih lagi untuk ajakan Juna. Namun, itu terdengar memalukan. “Manda?” tiba-tiba sebuah suara yang sengaja kuhindari terdengar. Riza. Entah kenapa waktu malah mempertemukanku dengannya di tempat ini. “Kamu sedang apa di sini?” lanjutnya seraya ikut duduk di sampingku, di bawah atap saung yang kujadikan tempat untuk menunggu Juna. “Manda…” lirihnya. Aku membisu, sama sekali tak berniat untuk berbicara sepatah kata pun padanya.  “Manda, aku sungguh-sungguh ingin kembali padamu.” Embusan angin yang dingin menembus kaos baju panjang yang kukenakan. Wajahku berubah kebas. Memang benar papa sudah kembali, tapi untuk hal yang satu ini berbeda. Benar-benar berbeda. Aku yakin Riza akan terus mengatakan hal yang sama jika aku membiarkannya saja. Aku muak. Aku harus menunjukkan bahwa aku jauh lebih baik tanpanya. Aku bukan seorang wanita bodoh yang setahun lalu ditinggalkannya dan masih ingin kembali. Aku tidak mau diremehkan oleh laki-laki sepertinya, jadi… “Aku sudah bersama orang lain,” tiba-tiba saja kalimat itu keluar, membuat jantungku sendiri terpangkas dari pangkalnya. Apa yang sudah kukatakan? “Kamu sudah bersama orang lain? Siapa? Jangan membohongiku dengan menyebut nama laki-laki yang dulu bertemu di rumah sakit, Manda! Aku tahu dia bukan kekasihmu,” nada suara Riza terdengar naik satu oktaf. Hening. Satu detik, dua detik, tiga detik. Aku bingung dengan kalimatku sendiri. Bukan ini yang kumaksud. “Siapa, Manda?!” Riza mengulang pertanyaannya dengan lebih tajam. “Juna.” Aku menggigit bibirku hingga terasa perih. Tidak ada pilihan lain. Menyebutkan nama Dion memang tidak akan berguna dan aku juga tidak ingin membebaninya. Jika aku menyebutkan nama lain, justru Riza pasti tidak akan berhenti bertanya karena bisa kupastikan sebentar lagi dia pun akan bertemu Juna. Apa laki-laki berkacamata itu akan marah padaku karena sudah meminjam namanya tanpa izin? Itu pun untuk alasan yang gila. “Juna?” Belum sempat Riza menebak pasti siapa laki-laki yang kumaksud, Juna lebih dulu datang. “Kenapa kamu tidak memakai jaket? Sudah kubilang angin di sini sangat dingin. Lihat saja wajahmu sampai berubah pucat. Kamu baik-baik saja, kan?” Juna merapatkan jas biru dongker miliknya ke tubuhku. Aku tidak berani menatap wajahnya. Bahkan kedua mataku mulai terasa berkaca-kaca. Aku ingin mengakhiri semuanya dengan Riza, tapi dengan  menjadikan Juna sebagai alasan juga membuatku merasa bersalah. “Juna? Jadi… Juna yang kamu maksud…” Riza tercekat. Aku ingin bumi melenyapkanku saat ini juga sebelum Juna menyanggah bahwa semuanya bohong. “Riza? Sejak kapan kamu di sini?” tanya Juna yang baru saja menyadari sosok laki-laki di sampingku. “Kamu kekasih Manda?” Seluruh sendiku membeku. Aku tidak memiliki tenaga untuk menjelaskan semuanya pada laki-laki bergigi gingsul itu. Sekarang bahkan aku merasa saat ini Juna sedang menatap ke arahku. Lagi-lagi aku hanya bisa menunduk seraya meremas ujung jas milik Juna yang membungkus tubuhku. Apa yang akan dikatakan Juna? Apa dia akan langsung memarahiku dan menyebutku sebagai wanita tak tahu malu? Apa dia… “Iya. Memangnya kenapa?” Sontak aku mengangkat wajahku dan menatap ke arahnya, sama terkejutnya dengan Riza yang bahkan langsung berdiri dari duduknya. “A… apa? Aku salah dengar, bukan? Kamu dengan Manda? Tidak, tidak. Bagaimana dengan perjodohanmu? Bagaimana dengan Sophi?” “Sophi? Bukankah perjodohan itu belum fix terjadi? Aku yakin kamu pun tahu soal cinta yang tidak bisa dipaksakan. Aku tidak pernah mencintainya. Aku juga berharap kamu mengerti dan tidak lagi mengganggu Manda dengan kisah masa lalu yang pernah kalian jalin,” jelas Juna. Aku tercengang. Tatapan wajahnya terlihat meyakinkan. “Apa?!” Riza membuang napasnya dengan kasar, “Apa kamu tidak berpikir bagaimana adikku sangat mencintaimu? Apa kamu bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya dia jika mendengar semua ini?” Juna tertawa sumbang. “Seharusnya kamu dulu juga berpikir seperti itu sebelum menyakiti Manda. Dunia ini tentang give and take, Za. Kamu tidak berpikir bahwa kamu juga memiliki seorang adik perempuan dan bagaimana jika seorang laki-laki menyakitinya juga. Tapi, tunggu. Aku tidak pernah menyakiti adikmu. Aku tidak pernah menunjukkan bahwa aku mencintainya. Bahkan aku bilang dengan jelas tidak ingin dijodohkan.  Perjodohan atas kerja sama perusahaan itu pun belum disetujui, bukan? Jadi, kuharap kamu mengerti. Oh ya, kami mau menikmati makan malam dulu. Sampai jumpa, Riza.” Juna menarik tanganku, meninggalkan Riza yang masih terpaku di tempatnya. Pita suaranya seolah tertelan olehnya sendiri setelah mendengar penuturan Juna. “Kamu sungguh baik-baik saja? Kamu dingin sekali. Ngomong-ngomong, aku sangat berterima kasih,” senyum Juna mengembang. “Terima kasih?” Bukankah seharusnya aku yang berterima kasih dan meminta maaf padanya karena telah merusak kerja sama bisnisnya? “Iya. Kamu pasti sudah tahu kalau aku tidak menyukai Sophi. Bunda juga sama. Dengan alasan ini akhirnya aku sudah bebas sekarang. Jujur, sebenarnya sudah lama aku ingin meminta bantuanmu seperti yang kamu lakukan sekarang, tapi aku takut kamu akan menolak mentah-mentah bahkan berencana membunuhku. Haha… jadi, terima kasih. Ah, hari ini benar-benar luar biasa. Aku sudah bebas dari Sophi dan kamu pun sudah terbebas dari masa lalumu. Ternyata menyelesaikannya cukup sederhana. Kita harus merayakannya. Apa kita harus menambah menu makan malam kita sekarang? Aku sedang sangat senang.” Tawa Juna menggema, sedang aku tak mampu berkata apa-apa. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices