
by Titikoma

Tujuh Belas
Karena tak ada satu pun yang mampu membohongi hati, termasuk dirimu sendiri Alunan musik I Will Be Loving You Forever milik Westlife membuat kedua kelopak mataku mengantuk. Sejak Juna membiarkanku mendengar lagu Westlife berjudul Open Your Heart waktu itu, aku jadi tertarik pada lagulagu personil musik ternama ini. Bahkan aku sempat bertanya pada diriku sendiri, sejak kapan aku suka musik berlirik? Suasana perpustakaan kampus sedikit gaduh. Bahkan penjaga perpustakaan berkali-kali harus mengingatkan mereka untuk tetap tenang. Banyak mahasiswa yang berkutat dengan laptop dan beberapa buku di depannya. Mereka sibuk mengerjakan tugas dan skripsi. Karena aku tidak begitu suka membaca, akhirnya aku mengisi waktu dengan menggambar beberapa sketsa. Hanya sekadar menggambar bungabunga. Skripsiku tinggal menunggu tanggal sidang saja. Ah, benar-benar hari yang menyenangkan. Apalagi aku tidak perlu khawatir tentang Riza. Juna sudah membereskan semuanya. Tapi, benarkah sudah selesai semuanya? Pertanyaan itu meluncur begitu saja saat tanpa sengaja otakku mengingat nama Dion. Entah kenapa aku tidak memiliki firasat baik tentang dia. “Hayo, ngelamun!” Risa yang tiba-tiba saja sudah muncul membuatku hampir melayangkan pensil ke wajahnya. “Cie… yang tinggal nunggu jadwal sidang. Sama kayak Dion dong,” lanjutnya. Aku mengehela napas berat. Baru saja nama itu teringat, sekarang Risa sudah menyebutnya lagi dalam nyata. Lagipula kenapa Risa sangat sering menyinggung soal Dion padaku. Ya, dari awal niatnya yang ingin mendekatkanku dengan Dion memang tidak benar. Sekarang aku pula yang harus menanggung semuanya. Aku tidak ingin menyakiti laki-laki yang memiliki senyum khas itu. “Kamu sendiri sudah selesai?” kututup buku sketsaku dan memasukkannya ke dalam tas bersama earphone yang sudah kucabut. “Belum. Lihat, bahkan Pak Kris dengan tega terus saja mencoret-coretnya dengan tinta merah. Menyebalkan,” rutuk Risa seraya membanting pelan tumpukan kertas tebal yang masih tanpa sampul ke hadapanku. “Salahmu sendiri yang tidak menyelesaikannya dengan baik.” “Ya ampun, apa aku akan benar-benar akan wisuda tahun ini? Atau aku harus menunggu tahun depan sendirian? Aku heran, kamu yang banyak kerjaan seperti itu saja mampu menyelesaikannya dengan baik. Atau… jangan-jangan karena Pak Kris naksir kamu?” tudingnya dengan mata memicing. Aku menatapnya datar. “Kalau begitu, kamu juga berpikir Pak Kris naksir pada Dion?” Beberapa menit berlalu dalam hening. Risa langsung sibuk dengan membuka kembali revisi skripsinya. Karena bosan, aku menyusuri lorong rak buku untuk mencari sebuah buku yang mungkin sedikit menarik. Tapi, mood membacaku memang benar-benar buruk. Aku kembali duduk, menopang dagu, memperhatikan kesibukan Risa yang sesekali menggerutu. “Oh ya Manda, kamu sepertinya harus ke butik siang ini. Aku antar, ya?” “Ke butik? Aku? Untuk apa?” “Kamu tidak tahu? Ya ampun, seharusnya aku memang tidak memberitahumu. Bukan surprise lagi namanya. Lupakan saja. Haha… aku hanya memberitahumu supaya tampil cantik malam ini.” Aku mengerutkan kening. Setiap Risa membicarakan hal yang aneh, maka itu adalah suatu hal yang tidak akan menyenangkan. Aku hanya berharap tidak akan ada pesta yang harus dihadiri. “Kamu sungguh beruntung, Manda,” kerutan keningku semakin menebal. “Aku pun berharap kamu merasa seperti itu. Aku yakin kamu akan bahagia selamanya. Aku juga melihat hari-harimu semakin membaik.” “Sebenarnya apa yang kamu maksud, Ris? Aku tidak mengerti.” Risa menghentikan kesibukannya menatap layar laptop dan beralih menatapku dengan senyumnya yang mengembang. Aku tidak asing dengan ekspresi wajah Risa yang langka. Entah kapan aku pernah melihatnya. “Dion akan melamarmu malam ini.” Cuaca cerah yang terlihat dari balik jendela perpustakaan tiba-tiba tersengat ribuan kilat. Seketika aku hampir kehilangan degup jantungku. Andai saja pendengaranku sedikit terganggu saat Risa mengatakan kalimat itu. Tapi, nyatanya dia dengan jelas mengulanginya, “Dion akan melamarmu malam ini, Manda” “Aku tidak suka cara bercandamu, Ris,” timpalku dengan nada suara sedikit gemetar. Perasaanku semakin tidak tenang. “Apa aku terlihat sedang bercanda?” Risa menggelengkan kepalanya dengan kencang, “Tidak… tidak, aku tidak sedang bercanda. Dion sungguh akan datang malam ini. Kamu mau aku antar membeli sebuah gaun?” Menyebalkan. Bukannya membantuku mencari jalan keluar, Risa justru menawarkan diri untuk mengantarku membeli gaun? Aku bahkan masih tidak percaya jika Dion akan datang untuk melamarku. Ya, untuk dia yang sepertinya memang menyukaiku, aku sedikit paham. Tapi, melamarku? Semuanya benar-benar di luar dugaanku. “Kenapa dia mau melamarku? Bukankah usia kita saja sama? Dia masih sangat muda untuk ukuran seorang laki-laki yang hendak melamar. Tidak, aku tidak percaya ini.” “Itulah kerennya Dion, Manda. Aku menyebutmu beruntung juga karena itu. Bukankah itu berarti menandakan dia serius mencintaimu? Dia ingin memilikimu seutuhnya, Manda. Soal usia? Dewasa tidak mengukur soal usia. Kamu pasti tahu Dion berbeda dari kebanyakan orang. Aku juga sudah sangat mengenalnya. Aku tidak mungkin membiarkanmu bersamanya jika dia memang tidak pantas dan tidak baik untukmu. Dia nyaris sempurna, bukan? Aku yakin dia akan mengobati sepenuhnya luka masa lalumu.” Aku tertegun. Entah apa yang harus aku lakukan. Tentang Dion yang berbeda dengan kebanyakan laki-laki, Risa memang benar. Aku juga mengakui bahwa dia merupakan laki-laki yang baik. Sejak kejadian di rumah sakit itu pandanganku terhadap Dion lebih positif. Dia nyaris sempurna, memang benar. Meski saat pertama kali mengenalnya membuatku kesal. Namun, bukan berarti aku juga mencintainya. Dion adalah salah satu orang yang mengubah hidupku. Setidaknya untuk menghapus kalimat bahwa semua laki-laki sama selalu mudah menyakiti hati wanita. Karena itulah aku tidak ingin menyakiti hati laki-laki hangat itu. Dia sudah melakukan banyak hal. Salahku juga yang membiarkannya masuk terlalu jauh hingga menimbulkan perasaan yang tidak semestinya. Aku harus mencoba membuka hati? Lagi? Rasanya tidak. Cinta itu terlalu rumit. Meski aku tidak bisa menebak masa depan, tapi rasa takutku akan luka yang sama masih menghantui. Aku lelah merasakan hati yang harus terus terkoyak. Ya, mungkin Dion tidak akan melakukan itu. Namun, sekarang aku yang takut jika nanti melukai hatinya. Tepatnya, hatiku tidak mengatakan bahwa, “Aku mencintainya.” “Kamu tidak berniat menolaknya kan, Manda? Kesempatan tidak datang dua kali. Kamu bisa saja tidak menemukan lagi laki-laki sebaik itu,” bola mata Risa menatapku dengan penuh keyakinan. Dia memang selalu ingin membuatku bahagia. Tapi, adakah hati yang bisa dibohongi? “Aku mungkin tidak akan pernah menemukannya lagi. Aku mungkin akan menjadi sahabatmu yang melajang selamanya,” pandanganku mulai kabur karena air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. “Risa, aku sungguh tidak ingin menyakitinya. Aku tidak ingin menyakiti Dion. Tapi, aku tidak mencintainya. Hatiku tidak menerimanya.” “Perlahan hatimu juga akan menerimanya jika kamu mengizinkan dia untuk belajar. Cinta itu bisa tumbuh, Manda. Lebih baik ada seseorang yang mencintaimu dan berusaha mencintaimu. Membangun cinta terkadang lebih baik daripada harus jatuh cinta. Kamu paham, kan? Aku ingin melihatmu bahagia. Tidak baik wanita pintar dan cantik sepertimu tidak memiliki pasangan hidup.” Wajahku menunduk. Membangun cinta? Entah kenapa hatiku menolak dengan uraian yang baru saja diuraikan Risa. “Atau… kamu sudah mencintai orang lain, Manda?” Kedua pipiku tiba-tiba memanas dan degup jantungku semakin berloncatan tak karuan. Aku sudah mencintai orang lain? Di gazebo milik Tante Yuni pikiranku menerawang, menembus lapangnya langit yang sedikit kelabu. Sejak obrolan di perpustakaan dengan Risa, seluruh jiwaku tidak terasa tenang. Apa yang harus aku lakukan jika Dion benar-benar datang malam ini? Apa aku harus pergi dari rumah sementara waktu? Menghindarinya? Tapi, itu bukan ide yang bagus. Semakin aku lari dari kenyataan itu, maka semuanya tidak akan selesai. Bisa saja Dion akan terus berusaha untuk lebih mendekatiku dan itu hanya akan membuat semuanya terluka. Selain itu, kalimat Risa yang mengatakan “Kamu sudah mencintai orang lain?” terus terngiang di kedua gendang telingaku. Aku tidak pernah memikirkannya. Bahkan, aku merasa aku tidak mencintai siapa pun. Tapi, entah mengapa ada sepotong hatiku yang sakit jika menampik hal itu. “Apa ada hal buruk yang terjadi padamu, Nona?” suara itu terdengar bersamaan dengan sensasi dingin yang menyentuh kedua pipiku. “Mau es krim?” tawarnya lagi seraya mengukir senyumnya. Aku tertegun sejenak lalu mengusir jauh-jauh gengsiku hanya untuk berkata, “Juna, aku mohon, bisakah kamu membantuku sekali lagi?”