
by Titikoma

Dua Puluh
Andai aku memiliki mesin waktu, aku ingin mengulangnya pada saat-saat yang seharusnya aku berkata, “Aku mencintaimu.” Tiga minggu berlalu. Tak ada kabar sedikit pun tentang Juna. Tak banyak juga yang menyinggung tentangnya. Kecuali Risa, mungkin. Dia belum tahu apa-apa karena memang sangat sibuk dengan skripsinya. Sesekali dia datang untuk menumpang tidur dengan alasan sangat lelah dan selintas membicarakan soal Dion. “Manda, bagaimana sidang skripsimu minggu kemarin? Pasti lancar banget, ya?” seloroh Risa seraya menyimpan satu cangkir cokelat panas di depanku. “Lumayan,” timpalku pendek. Kedua tanganku sibuk meraba setiap lekuk snowglobe yang kupegang sejak lima belas menit yang lalu itu. Ada sesuatu yang menyusup. Sebuah perasaan yang membuat kedua bola mataku memanas dan dadaku kembali terasa sesak. “Lumayan? Sejak kapan kata itu ada di kamus hidupmu?” Aku tidak segera menimpalinya. Risa benar. Selama ini dalam hidupku, tidak ada kata yang mengartikan makna setengah-setengah. Hanya ada iya dan tidak. Tapi, semenjak aku meninggalkan Juna malam itu, formasi hidupku berubah. Aku sering melakukan kecerobohan. Pikiranku terkadang tak fokus. Pernah aku menghias cake Tante Yuni dan untuk pertama kali hasilnya sangat mengecawakan. Sidang skripsi? Mungkin aku sedang beruntung sehingga tidak memiliki hasil yang buruk meski aku tahu memang usahaku jauh di bawah maksimal. “Akhir-akhir ini aku sering memergokimu sedang melamun. Wajahmu kembali tak bergairah. Apa yang terjadi, Manda? Apa ini tentang Juna?” seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, Risa mendekatkan posisi duduknya di depanku. Lagi-lagi aku terdiam. Risa hanya tahu bahwa aku menolak Dion karena sudah bersama Juna, itu pun karena Dion yang bercerita. Dia tidak tahu bahwa saat itu Juna memang bukan siapa-siapa. “Kamu baik-baik saja, Manda?” Risa menyentuh lembut bahuku dan tanpa bisa kutahan butiran bening yang sejak tadi berdesakan di sudut mataku akhirnya menetes juga. Risa tidak banyak bertanya. Dia langsung membawaku ke dalam pelukannya. Isak tangisku pecah seketika. Aku mengeluarkan semuanya. Ketakutan, sesak, penyesalan, sakit, dan… rindu. Aku rindu sosok itu. Namun, meski laki-laki bergigi gingsul itu pun datang saat ini, rasanya aku pun masih tak berani mengambil langkah besar itu. Takut. Rasa itu selalu menghantuiku. Setelah cukup tenang, Risa mengusap air mataku dan aku mulai bercerita. Menceritakan semuanya, berharap bebanku selama ini sedikit saja mampu terangkat sehingga bisa menikmati hari dengan damai. “Jadi, kamu memutuskan untuk melepaskan uluran tangannya?” Aku mengangguk. Perih. “Manda, sungguh rasa takutmu itu tak beralasan. Apa kamu bisa melihat masa depan akan seperti apa? Kamu bahkan tidak bisa meramalnya meski satu jam ke depan. Kamu tidak akan tahu jika tidak mencobanya, Manda. Bagaimana bisa kamu berpikir bahwa keindahan cinta itu tidak akan menyapamu? Bagaimana bisa kamu berpikir bahwa kamu akan terus menjadi wanita yang tersakiti? Kamu berhak bahagia, Manda. Setidaknya kamu mencoba dengan menerima uluran tangannya. Juna tahu betul kisah hidupmu. Juna tahu betul lukamu selama ini. Oke, kita tidak perlu bandingkan dia dengan Dion yang juga tulus mencintaimu. Tapi, bukankah kamu memang juga mencintainya? Bukankah dia yang selama ini mampu sedikitnya mewarnai hidupmu? Manda, buanglah rasa takutmu. Itu hanya akan menyiksamu!” Risa menggenggam kedua telapak tanganku seolah memberi keyakinan. “Tapi, sulit bagiku, Risa. Aku selalu takut.” “Lalu, rasa takutmu lebih besar dari cintamu, begitu? Kamu harus percaya padanya, Manda. Kamu tidak bisa terus mengalah pada rasa takutmu. Jangan pernah takut jika nanti hal itu akan menyakitimu, takut menyakiti hatinya, bahkan dengan ini pun kamu sudah melakukannya. Jangan sampai hal itu membuahkan penyesalan, Manda. Tak ada yang lebih sesak dibandingkan penyesalan. Kamu harus membuka hatimu, mencoba percaya padanya. Cintamu sudah cukup untuk kamu jadikan kuncinya.” Tapi, bagaimana jika sekarang semuanya memang sudah terlambat? Bagaimana jika kesempatan untuk menerima uluran cahaya bintang itu sudah tidak ada? Bagaimana jika sekarang penyesalan memang sudah menungguku? Aku memutuskan untuk pulang ke Bogor. Aku sudah teramat lelah. Hampir frustasi rasanya jika terus membiarkan pandanganku menatap hal-hal yang selalu berhubungan dengan Juna. Laki-laki itu… dia mungkin tidak tahu bahwa sekarang aku sedang menunggu kedatangannya. Pikiranku masih cukup sehat untuk mencegah diriku menghubunginya lebih dulu dan mengatakan semua yang sebenarnya. Tidak, aku lebih baik tidak pernah mengatakannya dan dia pun tidak pernah tahu. Aroma Kota Bogor mulai tercium di balik jendela bus yang kutumpangi. Perlahan-lahan ketenangan merayap. Sekilas kulirik jam cokelat tua di pergelangan tangan, sekitar lima belas menit lagi sampai di rumah. Sebelumnya aku sudah bercerita pada mama tentang agenda kepulangan ini. Dia sempat bertanya alasannya, karena memang biasanya aku pulang jika hanya ada hal-hal tertentu. Jadi, aku hanya berkata bahwa ingin mengisi hari luangku dengan liburan di rumah. Mencoba meremukkan rindu yang kian membantu. Langkahku terhenti seketika saat baru melewati pagar. Di dalam rumah bercat putih tulang dengan kusen berwarna biru muda itu terlihat aktivitas yang sangat sibuk. Tidak seperti biasanya. Aku langsung melangkah masuk seraya bertanya-tanya acara apa yang akan digelar di sini. “Ma, mau ada acara, ya? Acara apa?” tanyaku setelah mengganti baju di kamar, lalu ikut berbaur, melihat mama yang sibuk mondar-mandir menginstruksikan sesuatu pada beberapa pekerja. Langit hampir gelap dan papa sepertinya masih di restoran. “Akhirnya, putri Mama ada yang melamar juga. Padahal Mama sudah sangat khawatir dia akan melajang karena kecuekannya itu. Sebenarnya Mama juga ingin menyuruhmu pulang besok, tapi berhubung kamu memang akan pulang, jadi Mama belum cerita,” timpal mama lalu berlalu masuk ke kamar Mbak Nadia. Aku membeliakkan mata. “Mbak Nadia ada yang melamar? Siapa? Memang seharusnya dia cepat dinikahkan. Sudah mau kepala tiga.” Mbak Nadia tertawa renyah lalu diikuti juga oleh Mama. Kedua wanita itu terlihat sangat bahagia. Mama sedang membantu mencarikan dress yang cocok untuknya. Merah marun sepertinya terlihat pas. “Laki-laki itu akan datang dari Jakarta, seorang dosen dan juga pengusaha muda. Ibunya juga sangat baik. Dia sangat suka dipanggil Bunda Anna. Dan katanya, dosen muda itu baru patah hati. Mudah-mudahan putri Mama membuatnya sembuh,” terang mama yang hampir membuatku terbatuk. Bunda Anna? Bunda Anna yang mana yang Mama maksud? Bukan Bunda Anna yang kukenal, kan? Juga… seorang dosen muda yang baru patah hati? “Namanya Juna Andhika Pratama. Dia sangat tampan, berkacamata, dan bergigi gingsul. Kamu juga sangat suka laki-laki bergigi gingsul, bukan?” uraian Mbak Nadia selanjutnya hampir membuatku kehilangan kesadaran hingga harus berpegangan pada daun pintu. “Ju… Juna?” lirihku. Setelah mencoba memaksakan senyum hambar, aku segera keluar, menarik langkah yang sudah melemas secepat mungkin. Aku tak bisa menahan air mataku untuk tidak terjatuh lebih lama. Sebenarnya, apa yang sedang semesta rencanakan untukku? Apa dia sedang mencoba menghukumku? Apa dia kini sedang mengajarkanku bagaimana rasanya penyesalan? Tidak. Aku mungkin bisa belajar tidak peduli jika ini tidak terjadi seperti ini. Jika saja Juna bukan bersama Mbak Nadia, kakakku sendiri. Sungguh, aku tidak akan bisa sanggup melihatnya. Di bawah kumpulan sinar bintang-bintang aku mengakui semuanya. tentang aku yang mencintai Juna dan tentang penyesalan yang dengan sekuat tenaga selalu kututupi. Aku memamg sudah membohongi diriku sendiri. Jika saja aku berteriak sata ini, mengatakan semuanya pada Juna, apa dia akan mendengarkanku? Lantas, bagaimana dengan Mbak Nadia? Lagi, aku harus menanggung akibat fatal kebodohanku. Risa benar, seharusnya aku percaya padanya. Seharusnya aku mencoba membuka hatiku daripada menyesalinya. Ini lebih menyakitkan. Terus menyalahkan diri sendiri? Rasanya sudah tak ada gunanya. Itu tidak akan mengembalikan apa yang sudah pergi. Semuanya telah berakhir. Seandainya saja… ya, seandainya aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan melepasakan cincin bermata bening itu. Tapi, waktu memang tidak akan pernah berubah. Juna justru akan menikah dengan kakakku sendiri, di depan mataku. Duhai hati, apakah kamu bisa merelakannya? Semua adalah buah dari ketakutan yang tidak beralasanmu sendiri.