Egler

Reads
60
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Penyelidikan

Ratu Luxia mendorong kursi roda memasuki kamar. Ia mendekat pada Raja Walmond yang sedang memeriksa berkas-berkas kerajaan di tempat tidur. Sejak keluar dari kamar Anton, ia menimbang-nimbang apa ia akan membicarakan yang dikatakan Anton atau tidak. Perkataan anak kecil yang ingin bebas, apa itu dapat dipercaya? Bagaimana kalau yang dikatakan Anton adalah kebohongan? Itu bukan saja membahayakan dirinya, namun Kerajaan Egler juga akan terancam dengan kesalah pahaman itu.. “Walmond,” panggil Ratu Luxia pada suaminya yang tak menyadari kehadirannya. “Oh, Luxia. Maaf, aku tak tahu kamu sudah datang. Ada beberapa berkas kerajaan yang harus aku bereskan.” Raja Walmond berdiri dari tempat tidur untuk membantu Ratu Luxia berdiri dari kursi roda. “Maaf, aku merepotkanmu.” Mimik wajah Raja Walmond berubah mendengar ucapan Ratu Luxia. Ia tak suka mendengar kata maaf dari istrinya itu. “Maaf,” ucap Ratu Luxia melihat ekspresi di depannya. “Sudah berapa kali aku katakan, jangan pernah mengucapkan kata itu!” kata Raja Walmond sedikit membentak. Ratu Luxia yang sudah duduk di pinggir ranjang menunduk. Sering kali ia berusaha untuk tak mengucapkan kata yang satu itu. Namun, keadaan memaksa untuk mengucapkannya sesering mungkin. Di saat Raja Walmond membantunya berdiri dari kursi roda, kata maaf meluncur begitu saja dari celah bibir. “Aku harus apa?” ucap Ratu Luxia dengan air mata yang bercucuran. “Dia ingin pulang. Tapi, aku tidak ingin dia pulang. Aku ingin dia tetap di sini.” Raja Walmond mengernyit. “Siapa maksudmu yang ingin pergi, Luxia?” “Pangeran Alvis. Dia ingin pulang, bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya,” isak Ratu Luxia.  Tangan Raja Walmond terkepal. Urat syaraf di sekujur tubuhnya menyembul. Ia sudah menduga saat seperti ini akan terjadi. Anak kecil itu mudah sekali berubah. Namun, anak kecil akan tetap merindukan sesuatu yang telah lama bersama dengannya. “Kamu harus merelakan anak itu untuk pergi,” kata Raja Walmond menatap ke luar jendela. Ia tak mampu menatap wajah di depannya. “Tidak. Aku tidak mau,” tegas Ratu Luxia, “dia adalah anakku.” “Dia bukan anakmu. Dan, tidak akan pernah menjadi anakmu.” “Dia anakku.” “Tidak.” Raja Walmond menangkup wajah istrinya. “Dia tidak akan pernah menjadi anakmu, Luxia.” “Aku tak peduli. Entah dia memiliki orangtua kandung atau pun keluarga lainnya, yang aku inginkan dia tetap di sini.” Ratu Luxia masih tetap dengan pendiriannya. “Baiklah.” Raja Walmond menyerah. Deraian air mata Ratu Luxia membuat ia tak mampu lagi untuk membantah apa yang diinginkan istrinya. “Aku akan melakukan yang kamu inginkan.” Semalaman, ia berpikir apa keputusannya menuruti keinginan sang istri tak salah. Memaksa seorang anak kecil untuk tinggal, apa itu tidak kejam? Dulu, ia pernah melakukan kesalahan dengan memaksakan kehendak. Karena kesalahan itu, ia kehilangan adik dan ayahnya. Perasaan bersalah itu menghantui. Setiap kali matanya terpejam, air mata adik dan ayahnya muncul mengganggu. Raja Walmond tersentak mendengar pintu ruang kerjanya diketuk oleh seseorang. Setelah mempersilakan orang itu masuk, Raja Walmond berdiri dari kursi. “Ada apa, Penasehat?” “Putri Giselia dari Kerajaan Aurora ada di ruang utama, Yang Mulia.” “Putri Giselia? Kenapa? Apa ada masalah?” “Saya tidak tahu, Yang Mulia. Putri Giselia hanya mengatakan kalau dia ingin bertemu dengan Yang Mulia saja.” “Baiklah. Aku akan menemuinya.” Penasehat itu pun pergi setelah mendapatkan jawaban. Sedangkan, Raja Walmond menuju ruang utama setelah membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja. Memasuki pintu ruang utama, semua orang yang sudah menunggu serentak berdiri. Raja Walmond begitu gagah dengan setelan yang ia kenakan. Jas hitam dari desainer terkemuka kerajaan, dipadukan dengan mimik wajah yang jauh dari kesan ramah, membuat ia semakin disegani. “Maaf, kalian menunggu lama,” kata Raja Walmond sembari terus berjalan menuju singgasana yang ada di depan. Setelah duduk di singgasana, ia kemudian mengamati orang-orang yang ada di hadapannya. Ada Putri Giselia bersama dengan enam orang pengawal dengan senjata lengkap. Ruangan utama yang layaknya bagaikan bioskop dengan jejeran puluhan kursi tiba-tiba saja terasa sesak. Pertemuan dengan Giselia, seorang putri dari Kerajaan Aurora yang memiliki beberapa masalah dengannya membuat Raja Walmond tidak nyaman.  Penampilan Putri Giselia jauh berbeda saat ia berada di dalam penjara. Rambutnya yang kusut sekarang tergerai indah bagaikan ombak laut. Pakaiannya yang lusuh berganti dengan dress mewah khas Kerajaan Aurora, yakni berwarna kuning cerah. “Ada apa Tuan Putri datang ke kerajaan kami? Apa ada yang Tuan Putri inginkan? Atau Tuan Putri ingin menuntut atas perlakuan yang diterima Tuan Putri saat di penjara?” tanya Raja Walmond tanpa basa-basi. “Saya tak mempermasalahkan perlakuan yang saya terima, Yang Mulia. Saya hanya ingin bertemu dengan anak kecil yang bernama ….” “Alvis. Namanya, Peangeran Alvis Alexander Egler,” serobot Raja Walmond. “Jadi, kabar yang aku dengar itu adalah benar? Yang Mulia telah mengangkat anak itu menjadi pangeran di kerajaan ini?” Giselia mendapatkan jawaban berupa anggukan yang bermakna apa yang ia tanyakan tidak salah. “Baiklah. Apa saya boleh bertemu dengan Pangeran Alvis, Yang Mulia?” Raja Walmond tidak serta merta menjawab. Ia berpikir sejenak sebelum memberi izin pada Giselia. “Tuan Putri boleh menemuinya, tapi dengan catatan waktu tidak boleh lebih dari satu jam.” “Tentu saja, Yang Mulia. Saya hanya ingin menanyakan kabarnya. Itu tak akan sampai satu jam.” “Kalau begitu, silakan ikuti prajurit yang akan membawa kalian ke kamar Pangeran!” kata Raja Walmond menunjuk prajurit yang ada di pintu. Tanpa menjawab apa-apa, Giselia langsung berdiri. Bersama dengan pengawalnya, ia mengikuti prajurit yang menuntunnya ke kamar Anton. “Kalian tunggu di sini!” perintah Giselia di depan kamar pada pengawalnya. “Kak Gisel!” seru Anton sumringah menyadari kehadiran gadis itu. “Bagaimana kabarmu?” “Aku baik, Kak. Kalau Kakak?” “Aku juga baik.” Giselia tersenyum. “Selamat, kamu sudah menjadi pangeran di kerajaan ini.” Senyum di bibir Anton lenyap. Ucapan selamat yang diutarakan oleh Giselia kembali menyadarkannya bahwa ia tak ingin ada di tempat ia berada sekarang. Ia ingin pulang, bertemu dengan Mama dan Papa yang pasti mengkhawatirkannya. “Kak, aku ingin pulang,” pinta Anton dengan nada yang berat. “Pulang? Kenapa kamu tak mengatakannya pada Raja Walmond atau Ratu Luxia?” “Aku sudah mengatakannya pada mereka, Kak. Tapi ….” “Ya. Aku mengerti. Mereka ingin kamu tetap di sini dan menjadi anak mereka karena Ratu Luxia tak bisa memiliki anak.” Anton membenarkan sebagian dari ucapan Giselia, namun tidak menyetujui sebagian lagi. Ratu Luxia memang menginginkan ia tetap di sini. Akan tetapi, pernyataan mengenai Ratu Luxia yang tidak bisa memiliki anak, itu adalah sebuah kekeliruan besar. Ratu Luxia bisa memiliki anak, hanya saja ada beberapa orang yang menyebarkan kebohongan itu untuk sebuah tujuan yang tentu saja jauh dari kata baik. “Ratu Luxia bisa memiliki anak. Kandungan Ratu juga tidak bermasalah,” ujar Anton mengejutkan Giselia. “Apa?” Giselia tersenyum sinis. “Kenapa kamu bisa mengatakan itu? Sedangkan, dokter istana telah memvonis Ratu tidak bisa memiliki anak?” “Aku mendengarnya dari koki kerajaan. Ada beberapa orang yang sengaja menyebarkan kebohongan itu, Kak.” “Apa kamu tak salah dengar?” “Aku yakin, aku tak salah dengar, Kak.” “Baiklah. Aku akan mengatakannya pada Raja Walmond agar orang-orang itu segera ditangkap.” Sekilas senyuman tersunggging di bibir mungil Anton. Betapa beruntungnya ia salah tekan waktu itu. Jika saja ia menekan taman atau  istana, ia tak akan pernah bertemu dengan Giselia. Tidak akan ada yang membantunya seperti sekarang. “Jadi, kamu lebih suka dipanggil Anton atau Pengeran Alvis?” goda Giselia yang disambut Anton dengan kerutan di dahi. “Di mana Raja Walmond?” tanya Giselia pada pengawalnya. “Yang Mulia Walmond kami lihat sudah pergi dari ruang utama. Beliau sekarang berada di ruang kerjanya.” “Kamu tahu ruang kerja Yang Mulia?” tanya Giselia pada Anton yang berdiri di sampingnya. “Ya. Aku tahu, Kak,” sahut Anton antusias. Ia langsung menuntun Giselia menuju ruang kerja Raja Walmond. Tak pernah ia merasa seantusias ini. Bahkan ketika Raja dan Ratu menunjukkan game yang ia inginkan, ia tidak sampai seantusias sekarang. “Ini ruangannya, Kak.” Anton memegang gagang pintu ruang kerja Raja Walmond. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Giselia langsung mengetuk pintu. Setelah mendengar orang yang ada di dalam mempersilakan masuk, Giselia buruburu membuka pintu. “Maaf, Yang Mulia.” “Ada apa, Tuan Putri?” Raja Walmond berdiri lalu menuju sofa yang ada di kiri ruangan. “Saya ingin mengatakan sesuatu, Yang Mulia. Tapi, sebelumnya saya ingin meminta agar Yang Mulia tidak marah dengan apa yang akan saya katakan.” Raja Walmond menaikkan sebelah alis. Antara bingung dan penasaran. Tak ada yang terlintas di benaknya mengenai hal yang akan dikatakan oleh Giselia. “Silakan, Tuan Putri. Saya tak akan marah jika itu tidak merendahkan Kerajaan Egler.” “Saya ingin mengatakan … tidak, lebih tepatnya saya ingin meminta agar  Yang Mulia mengizinkan Anton … maaf, maksud saya Pangeran Alvis untuk pulang.” Raja Walmond bangkit dari sofa. “Apa maksud dari Tuan Putri mengatakan itu?” “Saya tak bermaksud apa-apa, Yang Mulia. Pasti Yang Mulia sudah tahu tentang semua ini. Anton … maaf, maksud saya Pangeran Alvis masih kecil. Dia membutuhkan ayah dan ibu kandungnya untuk pertumbuhan mentalnya. Meski ia sangat suka dengan game, tapi ia tak akan pernah melupakan kasih sayang yang telah terukir di memorinya.” “Sudah. Kamu tak pantas berkata seperti itu, Tuan Putri. Pangeran Alvis adalah anak kami dan dia adalah penerus tahta Kerajaan Egler.” “Tidak. Itu bukan alasan Yang Mulia. Alasan sesungguhnya adalah karena Yang Mulia Ratu tidak bisa memiliki seorang ….” “Putri Giselia!” bentak Raja Walmond hingga menggema memenuhi ruangan di mana mereka berada. “Saya tak akan diam, Yang Mulia. Anak itu tidak memiliki salah apa-apa. Lalu kenapa ia yang harus dihukum?” “Silakan pergi, Tuan Putri! Sebelum ….” Raja Walmond berbalik badan. “Yang Mulia harus menyelidiki orang-orang yang dikatakan Pangeran Alvis.” “Orang-orang apa?” Raja Walmond kembali berbalik. Giselia pun menjelaskan apa yang diceritakan Anton padanya. Dari koki hingga dokter. Dari kebohongan tidak bisa memiliki anak hingga rencana untuk menguasai kerajaan. Namun, Raja Walmond tak sedikit pun terkejut dengan apa yang dikatakan Giselia, karena semalam Ratu Luxia telah menceritakan hal yang sama. Berpikir Raja Walmond akan bersedia menyelidiki orang-orang yang dicurigai oleh Anton, namun kenyataannya berbeda dengan apa yang ia harapkan. Raja Walmond malah memberikan respon berupa senyuman sinis. “Itu hanya alasannya saja agar ia bisa pergi dari kerajaan ini.”  “Yang Mulia tidak bisa berkata seperti itu. Yang Mulia harus menyelidiki orang-orang itu, jika tidak ….” Giselia mengancam. “Tuan Putri berani mengancam saya?” Raja Walmond mulai naik pitam. “Saya tahu mengenai proyek mesin waktu Kerajaan Egler. Dan, saya juga tahu bagaimana Yang Mulia merebut tahta dari Pangeran Luvius. Cerita itu benar, iya kan?” “Kamu!” Tangan Raja Walmond terangkat. “Jangan pernah berani menyentuh saya, Yang Mulia! Jika tangan Yang Mulia sampai menyentuh saya, maka bersiaplah untuk menghadapi perang dengan Kerajaan Aurora.” Raja Walmond tersentak. Perang dengan Kerajaan Aurora tak akan menjadi masalah. Namun, rahasia proyek mesin waktu dan perebutan tahta tidak boleh sampai menyebar pada rakyat Kerajaan Egler. “Baiklah. Saya akan menyelidiki orang-orang yang dicurigai oleh Pangeran Alvis. Tapi, saya mau bertanya sebelumnya. Dari mana Tuan Putri mengetahui tentang mesin waktu dan ….” “Bagaimana saya tidak tahu? Proyek itu kan proyek kerja sama Kerajaan Egler dan Kerajaan Aurora. Apakah Yang Mulia lupa hal itu?” “Saya tak pernah lupa dengan pengecutnya Kerajaan Aurora. Saya tak akan pernah lupa bagaimana Kerajaan Aurora mundur dari proyek itu.” Giselia menutup telinga dengan apa yang dikatakan Raja Walmond. Ia berusaha untuk tidak tersulut emosi. Kerajaan Egler membenci Kerajaan Aurora, itu tak bisa ia rubah. Tak ada yang bisa disalahkan. Kerajaan Egler patut marah karena Kerajaan Aurora mundur dari kesepakatan. Namun, Kerajaan Aurora juga benar karena mundur dari proyek yang kemunginan besar tidak akan berhasil, untuk mencegah kerugian. Giselia mengedipkan mata pada Anton yang dari tadi menunggu di samping pintu. Ia menarik lembut pergelangan tangan anak kecil itu. Mereka menuju kamar Anton. “Apa Yang Mulia mau menyelidiki orang-orang itu, Kak?” tanya Anton penasaran. “Ya. Tentu saja.” “Lalu, apa Yang Mulia juga mengizinkanku pulang?” Langkah Giselia terhenti. “Untuk masalah itu, akan aku usahakan. Lagi pula, kita harus mencari game yang pernah kamu katakan.” “Tak perlu memasang muka masam seperti itu.” Giselia mencubit kedua pipi Anton. “Aku, Putri Giselia Nafta Aurora. Berjanji akan mengembalikanmu ke rumah.” Sebuah senyuman mengembang di bibir mungil Anton. Matanya yang bersih, berbinar mendengar janji Giselia. Tak ada yang perlu ia kuatirkan. Ia akan segera pulang, berkumpul bersama dengan Mama dan Papanya.  “Sialan!” umpat Raja Walmond memukul meja kerjanya. Kemarahan meluap di saat kata-kata Giselia kembali terngiang. Dua minggu yang lalu, hubungan Kerajaan Egler dan Kerajaan Aurora hampir saja membaik. Namun, hubungan dua kerajaan itu kembali renggang di saat Giselia dituduh telah meracuni Ratu Luxia. Waktu itu, Giselia tengah mengunjungi Kerajaan Egler untuk melakukan mediasi. Di hari yang sama pula seseorang telah meracuni ratu hingga Giselia dituduh sebagai pelaku kejahatan tersebut. Hari ini, Raja Walmond sengaja menerima kedatangan Putri Giselia sebagai permintaan maaf. Namun, tak sedikit pun ia duga akan menerima sebuah ancaman dari Tuan Putri itu. Sebuah ancaman, berarti sama saja dengan merendahkan. Tak peduli seberapa besar kemarahannya. Raja Walmond harus melaksanakan apa yang diminta oleh Giselia. Demi reputasi keluarga kerajaan. Ia menuliskan beberapa nama di secarik kertas beserta tempat bertugas masing-masing. Raja Walmond menekan tombol merah yang ada di ujung meja. Tak berapa lama, penasihat kerajaan tiba di ruangannya. “Perintahkan tim penyelidik istana untuk menyelilidiki orang-orang ini.” Raja Walmond menyerahkan secarik kertas yang ia tulis. “Baik, Yang Mulia.” Sang Penasihat bergegas pergi setelah menerima secarik kertas yang berisikan nama orang-orang yang dicurigai berniat tidak baik pada kerajaan. Begitu menerima perintah, tim penyelidik langsung bergegas. Kamera yang terpasang di setiap sisi kerajaan diperiksa. Beberapa orang sengaja menyamar menjadi pelayan dan cleaning service. Bukan tugas yang sulit untuk menyelidiki kasus seperti ini. Namun, tim penyelidik kerajaan adalah tim yang sudah terlatih. Dengan mudah mereka menemukan celah dari rencana yang disusun untuk menghancurkan kerajaan. Salah seorang dari tim penyelidik yang bernama Soofer menemukan sebuah kontrak kerja sama di sebuah laci yang ada di dapur. Ia langsung mengambil kontrak itu dan menyembunyikannya di dalam saku celemek  yang ia kenakan. Bola matanya melirik kiri dan kanan. Setelah memastikan tak ada orang, Soofer membuka kontrak yang ia temukan. Benar. Kontrak itu adalah kontrak kerja sama yang sangat aneh. Di dalam kontrak tertulis, Monfry yang merupakan seorang koki dan Guinoz yang merupakan seorang dokter, tunduk serta patuh pada perintah Hezvadh, seorang pejabat kerajaan. Kerja sama? Tentu ini yang dimaksud oleh Anton, yakni kerja sama untuk menghancurkan kerajaan. Termasuk meracuni Ratu Luxia. Akan tetapi, apakah hanya dengan kontrak ini bisa menjerat mereka? Tentu tidak. Masih diperlukan beberapa bukti lagi. Keberuntungan berpihak pada Soofer beserta timnya. Beberapa CCTV menunjukkan pertemuan ketiga orang itu. Namun, pembicaraan mereka tak ada yang bisa didengar. Hanya saja, dalam sebuah CCTV terlihat Guinoz memberikan sebuah botol kecil. “Itu adalah racun!” seru Soofer. “Ya. Kemungkinan besar itu adalah racun yang digunakan untuk meracuni Yang Mulia Ratu beberapa minggu yang lalu,” timpal rekannya. “Kita harus mencari botol itu. Pasti Monfry masih menyimpannya.” Soofer meninggalkan ruang CCTV. Ia kembali menuju dapur istana, tempat Monfry biasa bertugas. Jam masih menunjukkan pukul tiga, berarti Soofer masih memiliki waktu dua jam lagi sebelum Monfry datang untuk melaksanakan tugas hariannya. Tak membuang waktu, ia langsung memeriksa setiap sudut, lemari dan laci. Sattu jam berlalu. Namun, Soofer masih belum menemukan bukti utama yang mampu membungkam Monfry. “Sial!” umpat Soofer, “di mana dia menyembunyikan botol itu?” Pintu dapur tiba-tiba terbuka. Soofer menoleh untuk memeriksa siapa yang datang. Untunglah bukan Monfry, melainkan seorang pelayan yang juga bertugas di dapur. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanya si pelayan yang baru masuk.  “Aku pelayan baru.” Soofer sengaja mengelus celemeknya untuk menyatakan kalau ia benar-benar seorang pelayan. “Oh! Apa kamu juga akan bertugas di dapur atau sebagai pengantar makanan?” “Aku akan bertugas di dapur.Dan, kamu? Apa kamu juga bertugas di sini?” “Aku sudah tiga tahun bekerja di sini. Kakakku yang merekomendasikanku pada Pak Monfry.” “Sekarang, di mana kakakmu?” tanya Soofer berbasa-basi. “Sekarang kakakku bekerja di bagian dapur prajurit. Ia yang menjadi koki kepala di sana.” Soofer mengangguk. Berpura-pura menyimak apa yang dikatakan si pelayan. “Pak Monfry, apa dia orang yang baik? Maksudku, apa dia orang yang ramah?” Si pelayan berpikir sebelum menjawab. “Umm … aku rasa dia orang yang baik. Tapi, bukan orang yang ramah.” Mendadak pandangan Soofer jatuh pada celemek yang digunakan pelayan di depannya. Selama ini, pelayan itu bekerja bersama Monfry. Besar kemungkinan kalau pelayan itu pernah melihat botol yang sedang ia cari. “Tadi, waktu pertama masuk ke sini aku kehilangan sesuatu,” kata Soofer mulai mengarang cerita. “Itu adalah sebuah botol kecil. Isinya pil obat jantung nenekku.” “Bagaimana bentuk botolnya? Aku akan bantu cari,” kata si pelayan terpancing. “Botolnya kecil, tidak berwarna dan isinya pil berwarna putih.” Soofer berpura-pura mencari contoh botol untuk melirik kiri kanan. Berhasil. Si pelayan terpancing. Ia menggeser kursi ke dekat rak wajan yang sudah tak terpakai lagi. Setelah naik ke atas kursi, si pelayan mengambil sebuah botol kecil dari balik wajan yang berlobang. “Nah, itu dia!” seru Soofer melihat botol yang sama persis dengan botol yang dipegang Monfry di CCTV.  Kening si pelayan mengerut. “Kamu tak mengatakan kalau ini botol yang kamu cari, iya kan? Soalnya ini adalah botol milik Pak Monfry. Aku melihatnya menyembunyikan botol ini dua minggu yang lalu.” “Itu memang botol yang aku cari. Tapi, aku tak mengatakan kalau botol itu adalah milikku.” “Maksudnya?” Si pelayan tidak mengerti. Tanpa menjelaskan secara mendalam, Soofer mengambil botol milik Monfry dari tangan si pelayan. “Siapa namamu?” tanya Soofer. “Valdov Klowaski.” “Selamat, Tuan Valdov Klowaski.” Soofer menjabat tangan si pelayan. “Anda akan menjadi koki kepala. Kalau kamu tak bisa memasak, kamu bisa menjadi kepala pelayan.” “Hah?” Soofer tersenyum dan meninggalkan dapur. Tak ia pedulikan tanda tanya yang bergelayutan di benak Valdov, si pelayan. Namun, satu yang pasti. Valdov akan mendapatkan kenaikan jabatan karena telah membantu penyelidikan.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices