
by Titikoma

Prolog
Kinanti termenung menatap rinai hujan di balik jendela kaca kamarnya.
Embun hujan menghangat dengan hembusan napasnya yang dimainkan
di kaca.
Bayangan kemarin kembali merebak, dirinya merasa sangat sesak yang
sesungguhnya saat tangan Bagus menampar lalu mencoba mencekik
lehernya, dan masih terasa hingga detik ini.
Menyisakan perih hatinya dan sebuah akhir cinta kedua yang kembali
kandas. Cinta yang dibangun dengan jatuh bangun harus berakhir dan
benar-benar berakhir tanpa kompromi lagi.
Sepertinya hatinya kali ini sudah tidak lagi bisa memaafkan kembali, terlalu
lelah dan capek. Batas kesabaran hatinya sudah habis. Terlalu beresiko
juga apabila dirinya terus mempertahankan hubungan yang membuat
dirinya babak belur.
Sepertinya Kinanti harus mulai berpihak pada keluarga, keluarga yang
ditinggalkannya demi seorang pria kedua yang hampir tiga tahun
menemaninya dengan berbagai lara, walau juga harapan sebuah
kebahagiaan yang ingin Kinanti rengkuh.
Cinta yang menorehkan silih berganti bahagia, ketakutan dan lara. Tetapi
Kinanti selalu mempertahankan karena sebuah tekad yang akhirnya
disadari hanya membuat dirinya berputar dalam waktu yang membuatnya
was-was.
Tanpa Kinanti sadari sebenarnya cinta itu telah hilang lama, tapi dirinya
selalu bertahan atas nama kesetiaan? Pada akhirnya Kinanti merasa
kesabarannya hilang bersama kepingan cinta yang diharapkan akan
bersemayam sepanjang sisa hidupnya.
Berbagai kenangan bersama Bagus silih berganti menari di benaknya.
Telah banyak masalah terlewati, termasuk harus menguras air mata saat
bersitegang dengan keluarganya.
Kinanti berusaha selalu membela Bagus, nyatanya sekian hari pria yang
dicintai dan Kinanti takuti meninggalkannya itu semakin ringan tangan
dan menyeretnya dalam hubungan yang tidak membuat hatinya tenang
dan bahagia.
Kemarin tampaknya semua memang berakhir, sebuah akhir pacaran yang
sangat memalukan.
Bagaimana tidak! Di depan pak polisi, Bagus yang telah menampar dan
meninggalkan bekas merah di pipinya dan berusaha melukai dengan
mencekik lehernya dipaksa menyetujui sebuah perjanjian.
Kemarin napasnya tersengal-sengal, sepertinya ujung kematian sudah
tiba bila tidak ada orang yang memergoki di jalan belakang kantornya
saat dirinya diserang Bagus yang tengah kalap mata, mungkin sekarang
yang beredar adalah berita kematian dirinya, “Seorang kekasih yang tega
membunuh pacarnya saat pulang kantor.”
Bagaimana terpukulnya bunda dan ayah juga Kak Melati yang selalu
menentang hubungan dia dengan Bagus.
Tapi harus Kinanti akui memang dirinya takut kehilangan Bagus, setelah
kandas cinta pertamanya yang Kinanti sulit analisa kenapa juga harus
berakhir dengan begitu saja.
Hujan di luar semakin deras, dingin menyusup ke dalam raga.
Kemarin semua berakhir di depan seorang perwira polisi, Bagus harus
menandatangani sebuah surat perjanjian di atas materai berisikan
perjanjian kalau surat keputusan ini memuat pasal bahwa dia dan Kinanti
sudah sah putus.
Dengan alasan apa pun Bagus tidak bisa menemui Kinanti. Bagus tidak
bisa berkutik apa-apa karena memang semua bukti penyiksaan jelas
terpampang dan beberapa saksi-saksi membenarkan penyerangan yang
telah dilakukan Bagus kepada kekasihnya.
Sebuah kisah cinta tragis setelah hampir dua setengah tahun akhirnya
kandas di Kepolisian.