Hold Me Closer

Reads
109
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Mencoba Jatuh Cinta (sapna Kanaya)

Uuuggghh... Sebeeelll! Ini masih resepsi lho, dan dia udah marah-marah nggak jelas hanya karena aku menunda salat. Aku menunda juga karena terpaksa, karena keadaan, dan lagipula waktu salatnya panjang. Bukankah Islam itu agama yang memudahkan? Beda ceritanya kalau aku diajak salat dan menolaknya. Sudah diberi penjelasan panjang lebar begitu malah berburuk sangka. Emangnya dia sekenal itu sama aku? Eh, kalau dia beneran kenal sama aku pasti dia tahu aku nggak akan ninggalin kewajibanku. Mendadak aku ngeri membayangkan hidup selamanya bersama orang yang akan marah-marah nggak jelas untuk hal yang bahkan sudah dijelaskan dengan berbagai alasan yang masuk akal. Duuhh... masa baru mau resepsi aja aku udah nyesel sih? “Na, kenapa sih ngedumel mulu dari tadi aku perhatiin?” tanya Alma. Sekarang dia masih bisa duduk berdekatan denganku karena aku belum dipajang di pelaminan. “Senyum dong, tunjukin kalau kamu bahagia. Dari tadi Winny sama Ayu udah mulai bisik-bisik tuh.” Aku nyengir. “Biarin ajalah, aku udah kebal. Orang kayak gitu nggak akan ada puasnya.” “Eits, Mas Fatih ternyata banyak ngubah kamu ya. Biasanya begitu denger Winny atau Ayu mulai nyebar gosip kamu langsung bertindak.” Kuberikan senyum termanis. Memang nggak salah sih dugaan Alma itu. Mas Fatih sedikit banyak memang mengubahku untuk beberapa hal. Termasuk dalam hal sabar. Tapi entah kenapa aku nggak pernah bisa sabar menghadapi Mas Fatih. Rasanya kalau sehari saja nggak berdebat dengannya aku merasa ada yang kurang. “Jadi, kamu udah jatuh cinta sama dia?” Alma menyenggol pundakku dengan pundaknya. “Aku emang udah jatuh cinta sama dia sejak awal, Al,” ujarku tanpa sadar. “Apa, Na? Kamu jatuh cinta sama dia sejak awal?” Seolah tersadarkan, aku tergeragap. “Ah, itu. Maksudnya aku sedang mencoba jatuh cinta,” ralatku.  Alma mengernyit. “Mencoba jatuh cinta? Emang bisa?” Kukedikkan bahu tak peduli. Aku memang sudah jatuh hati pada Mas Fatih sejak awal, tapi makin ke sini kenapa makin ada perasaan ragu ya? Mungkinkah keraguan ini muncul karena aku ketakutan membayangkan hal-hal yang belum kutahu sebelumnya tentang Mas Fatih? Bukankah memang sebelumnya kami tidak saling mengenal? Kalau kata ayah, inilah risiko. Semua hal di dunia ini memiliki risiko, termasuk sebuah pernikahan. Kalau belum apa-apa saja aku sudah nyaris menyerah, bagaimana kami bisa membangun keluarga yang bertahan lama? Aku mendesah. Kembali sebal saat mengingat betapa kolot dan menyebalkannya suamiku itu. “Na, yakin nggak ada apa-apa?” Alma mengagetkanku. Dia masih di sini ternyata? Kupikir sudah pergi. “Yakin, Al. Cuma capek aja sedikit,” elakku. Aku tak ingin Alma tahu tentang perdebatanku dengan Mas Fatih. Lagipula aku yakin sebentar lagi perdebatan itu pasti berakhir. “Ya udah, aku panggil Mas Fatih ya, biar nemenin kamu di sini,” belum sempat aku mencegah, Alma sudah beranjak menghampiri Mas Fatih. Dari sini aku bisa melihat Alma tengah berbicara pada Mas Fatih, beberapa saat kemudian, lelaki itu menoleh dan mendapatiku menatapnya. Salah tingkah, aku mengalihkan pandangan buru-buru. “Kata Alma kamu capek, ke belakang aja gih, biar Mas yang nyambut tamu.” Rasanya aku baru saja mengalihkan pandangan, Mas Fatih udah di sampingku aja. “Nggak kok. Aku cuma alasan biar nggak dengerin Alma nyerocos terus.” Terdengar embusan napas gusar dari Mas Fatih. “Kamu bahkan bohong sama sahabatmu cuma biar kamu nggak dengerin ocehannya.” Aku mengernyit. “Jadi aku salah lagi di mata Mas? Aku nggak minta Alma buat manggilin Mas, aku bahkan nggak minta ditemani kok. Aku malah pengin sendirian aja sekarang ini. Dan Mas datang buat nyalahin aku?” sergahku. Kali ini aku benar-benar sebal.  “Bukan nyalahin, Na. Mas cuma nggak mau kamu kebiasaan bohong begitu. Kamu kan bisa minta Alma untuk diam secara baik-baik, nggak perlu bohong.” “Tapi aku emang capek, Mas....” “Tadi kamu bilang enggak, jadi mana yang benar?” potongnya cepat. “Aku capek dengerin Alma ngoceh, Mas.” “Ya kamu bisa bilang terus terang kan, nggak perlu bohong. Pake bilang capek segala. Kamu mau narik perhatian?” kaget sekali aku mendengar pertanyaannya itu. Ini kali kedua dia suudzon padaku. “Kalau emang aku lagi cari perhatian kenapa, Mas?”sergahku keras. Lalu kusadari kami kini menjadi pusat perhatian para tamu undangan. Perdebatan kami ini pasti menarik perhatian, apalagi untuk orang-orang seperti Winny atau Ayu. Mas Fatih terlihat kikuk menghadapi para orang tua yang bertanya dari kejauhan. “Pelankan suaramu, Na,” bisiknya. “Kenapa harus aku yang pelankan suara? Kenapa bukan Mas Fatih? Dari tadi Mas udah beberapa kali teriak di depan Sapna, tapi nggak ada yang meminta untuk pelankan suara. Sekarang Sapna yang marah dan harus pelankan suara?” Aku mencercanya begitu dapat kesempatan. Sudah cukup sabar aku menahannya selama ini. Dia nggak bisa terus-terusan menang dan berada di atas angin begini. Sesekali dia harus kalah dan tahu bahwa semua yang dia tuduhkan padaku itu nggak benar. Eh, tunggu! Apa yang dia tuduhkan sih dari tadi? Sesuatu yang bahkan masih bisa kudebat. Lalu apa untungnya kalau aku menang? Toh dia tetap suamiku kan? Aku yang harus patuh padanya, bukan dia yang harus takut padaku. “Ikut saya!” Mas Fatih meraih pergelangan tanganku dan membawaku ke belakang. Di saat seperti ini, haruskah aku meronta seperti yang terjadi di film-film? Tapi itu akan semakin memperlihatkan betapa drama queennya diriku. “Mas nggak pernah berniat mengajakmu bertengkar atau memperdebatkan  hal-hal nggak penting kayak tadi,” ujarnya begitu kami sampai di kamar. “Tapi Mas udah telanjur melakukannya,” potongku. “Iya, memang udah telanjur. Jadi jangan bikin keadaan makin panas dengan mengungkit-ungkit hal yang udah telanjur.” Keningku mengernyit dalam. “Oh, jadi tetap aku ya, yang sa....” Mas Fatih memotong ucapanku dengan mengecup singkat ujung bibirku. Tindakannya itu sontak membuatku bungkam. Dia tersenyum, manis sekali. Aku bahkan lupa kapan dia tersenyum semanis ini. Saking manisnya sampai aku ingin sekali mengambil dua lesung pipit itu dan menyimpannya dalam kotak pandora agar tak menjadi magnet liar untuk gadis-gadis di luar sana. “Apa saya harus selalu melakukan itu untuk membuatmu diam?” tanyanya sembari mengelus keningku yang tadinya berkerut-kerut. “Jangan terlalu sering mengerutkan dahimu, nanti penuaan datang lebih cepat.” Aku yang tadinya ingin menjawab pertanyaannya tadi dengan kalimat mesra yang sudah kurancang dalam kepala, mendadak tidak suka dengan kalimat terakhirnya. Entah aku harus tersinggung atau bagaimana, kurasa kalimat itu menyindirku begitu telak. “Kemarahan yang nggak terkendali juga bisa bikin penuaan dini lho, Na,” imbuhnya tanpa merasa bersalah. Dia ini, benar-benar nggak tahu atau cuma pura-pura sih? Seharusnya dia peka dong betapa sensitifnya topik tentang penuaan itu dibahas bersama seorang wanita. Tapi bukan itu yang membuatku makin meradang. “Jadi, maksud Mas, Sapna suka marah nggak terkendali, gitu?” tudingku. “Terus apa kabar sama Mas yang juga suka hilang kendali?” “Astaghfirullah, Na. Mas nggak sedang memancingmu untuk bertengkar lho ini. Istighfar, Sayang. Udah sejak sore tadi kamu marah-marah gini.” “Dan Mas tahu siapa yang bikin Sapna marah-marah gini sejak sore tadi? Kamu, Mas.” Itu kalimat terakhirku sebelum meninggalkan Mas Fatih sendirian di kamar. Malam ini, aku mau tidur dengan ibu saja. Kuhela napas panjang. Astaghfirullahaladzim, nggak. Aku masih takut dosa. Nanti kalau aku sudah puas curhat sama ibu atau Alma, aku akan kembali ke kamar dan tidur di sana. Tapi aku nggak bisa tidur sekamar sama orang yang hobi banget memancing emosiku. Bisa-bisa kami nggak tidur semalaman karena bertengkar. Ironisnya, orang yang punya hobi marah-marah nggak jelas itu adalah suamiku. Dan kami baru sehari menikah. Sungguh sangat tidak mungkin kalau ibu akan mengizinkanku tidur dengannya malam ini. Akhirnya, setelah acara resepsi selesai, aku malah membantu orang katering bersih-bersih. Begitu melihat Mas Fatih membantu juga, aku justru ke kamar. Mumpung dia belum tidur, aku akan tidur duluan. Huh, biar saja malam ini aku nggak akan berbalik menghadapnya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices