
by Titikoma

Bertahan (rasyid Al Fatih)
“Mas Fatih, nanti sore ajari Alma mengaji lagi ya,” Alma berpesan sebelum saya berangkat bekerja pagi ini. Saya tersenyum menanggapinya. Kami sudah tinggal bersama, melakukan pertukaran pasangan selama seminggu. Ini adalah hari kedelapan, Senin kedua yang saya lewati bersama Alma. Saya cukup senang dia mampu menyesuaikan ritme saya dengan cepat. Tak butuh waktu lama untuk mengajari Alma sesuatu. Sebentar saja saya berhasil mengubahnya dari yang semula salatnya bolong-bolong, jadi rajin dan selalu tepat waktu. Dari yang semula belum lancar mengaji, sekarang mulai belajar mengaji lagi. Dia sangat antusias belajar agama. Bukan maksud saya membandingkan, Alma memanglah sangat berbeda dari Sapna. Mungkin perempuan seperti Almalah yang cocok untuk saya. Saya jadi merasa dibutuhkan sebagai seorang suami yang berkewajiban membimbing istrinya mendalami ilmu agama ketika sedang bersama Alma. Sementara Sapna, pengetahuan agamanya kurang lebih hampir setara dengan saya, jadi tidak ada kegiatan mengajarinya mengaji seperti yang saya lakukan bersama Alma, karena Sapna sudah pandai dan terbiasa mengaji begitu selesai salat wajib. Saya jadi merasa tak berguna. Karena itulah, yang saya lakukan ketika bersama Sapna hanya mengingatkan halhal yang sudah dia ingat di luar kepala. Saya jadi berpikir, mungkin memang ini salah saya. Saya selalu tidak sabaran jika menyangkut soal agama. Saya memang terlalu penuntut untuk ukuran Sapna yang memang sudah terbiasa melakukan hal-hal yang saya tuntutkan. Haruskah saya meminta maaf padanya? Kemudian saya teringat, betapa dia suka sekali membentak-bentak ketika bicara dengan saya. Dalam hal ini dia juga salah. Seharusnya dia juga meminta maaf pada saya, dong. Ritme pekerjaan saya di kantor juga sudah kembali normal setelah beberapa hari pertama tanpa Sapna terasa begitu lama dan menyakitkan. Saya mendadak jenuh dengan pekerjaan yang sudah delapan tahun saya tekuni. Deretan angka dan persen serta berkas-berkas yang berserakan, baru kali ini saya merasa pusing saat melihatnya. Teman-teman bahkan sempat mengeluhkan performa saya yang tidak seperti biasanya. Tapi kini, melemahnya performa itu telah berlalu. Alma berhasil meyakinkan saya untuk menjalani semua ini dengan rileks. Meski begitu, saya masih cukup waras untuk tidak mengatakan pada Alma tentang keputusan saya yang akan menceraikan Sapna begitu kontrak ini selesai. Keputusan yang sampai sekarang masih saja saya sesali. Saya menimang ponsel, hati saya di ambang galau. Antara ingin menghubungi Sapna dan gengsi yang terlalu tinggi berkuasa di hati saya. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Sudah seminggu saya tidak melihat wajahnya, atau bahkan hanya mendengar suaranya. Bisa saja saat ini, begitu saya mendengar suaranya, rasa gengsi saya akan luruh seketika. Saya akan meminta maaf padanya, lalu kami akan berbaikan. Tapi saya sangsi dia akan dengan mudah memaafkan saya atau pun meminta maaf kembali atas kesalahannya sendiri. Berkali-kali saya mendesah. Dulu, sebelum bertemu dengan Sapna, hidup saya begitu tenang. Saya bekerja dengan hati yang penuh memikirkan pekerjaan. Tapi sekarang, hanya setengah dari hati saya yang fokus terhadap pekerjaan. Setengahnya lagi, melayang entah di awang-awang sebelah mana. Akhirnya saya putuskan untuk menelepon Rana. Saya akan menjemput Arsene, alasan yang selalu saya gunakan dulu ketika ingin bertemu dengan Sapna. Ya, saya harus bertemu dengannya apapun yang terjadi. Meski hanya melihat wajahnya dari kejauhan, setidaknya saya akan tenang saat melihatnya baik-baik saja. Kaget dan heran. Perpaduan dua ekspresi yang sangat tidak nyaman. Saya melihat Sapna tidak seperti biasanya. Meski senyum lebar dan canda tetap menghiasi wajah khas Jawanya ketika bertemu dengan anak-anak, ada seraut ekspresi kosong di antara senyum itu. Sapna seperti tengah memikirkan sesuatu. Dan saya tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apakah itu saya, ataukah masalah yang lain lagi? Apakah baru hari ini dia murung begitu, ataukah sudah sejak seminggu yang lalu? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala sampai membuat saya tak sadar kalau Arsene sudah berada di dekat saya. Seperti yang sudah saya rencanakan sebelumnya, saya hanya akan menunggu di depan gerbang saja dan membiarkan Arsene menemui saya. Saya tidak ingin mengambil risiko dengan menampakkan diri lalu diabaikan oleh Sapna. Saya sudah cukup puas dengan melihat wajahnya dari kejauhan. Yang membuat saya tidak puas adalah betapa raut wajah Sapna sangat tidak menyenangkan. Saya tahu sekali, wajah begitu selalu dia pasang tiap kali merasa nggak nyaman atau sedang memikirkan sesuatu yang berat. Lalu, apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan sampai raut wajahnya begitu menyedihkan? Saya sungguh tidak tahan melihatnya. Ingin sekali saya memeluk serta menguraikan kerutan tipis yang membayang di keningnya itu. Saya terpaku saat dia melihat ke arah saya dengan tatapan yang tak saya mengerti artinya. Hanya saja, perasaan saya jadi tak keruan ketika melihat wajah sendunya itu. Saya menghela napas berat. Seharusnya saya mendatangi Sapna, meminta maaf, atau melakukan apapun yang bisa membuat hubungan kami membaik. Tapi sayangnya, otak dan hati saya tidak pernah bisa sinkron bila menyangkut soal Sapna. Dan anggota tubuh saya sayangnya bergerak atas perintah otak yang dungu itu, bukannya hati. Saya tetap mematung di tempat, bahkan ketika melihatnya berpaling dengan wajah terluka dan air mata yang hampir luruh. Saya ingat kapan terakhir kali melihat wajah itu. Ketika saya katakan padanya untuk berpisah begitu masa kontrak pertukaran pasangan ini selesai. Perasaan saya jadi tambah bercampur aduk. Berarti saat itu dia juga tengah terluka, tapi jika dia memang terluka dengan keputusan saya seharusnya dia tidak keluar dari rumah. Semua pikiran tentang Sapna lenyap ketika saya rasakan celana saya ditarik oleh seseorang. Saya menepuk jidat pelan. Arsene! Saya sampai lupa kalau harus mengantar bocah itu pulang lalu kembali ke kantor. “Om, buku tabungan Arsene ketinggalan di kelas,” katanya. Ya Allah, kok ada-ada aja sih nih bocah. “Ya ambil dong, Sen. Om tunggu di sini. Cepetan, Om harus cepet balik ke kantor nih.” Arsene manyun. “Temenin,” rajuknya. “Arsene nggak berani sendiri.” Saya meringis. Menemaninya mengambil buku tabungan berarti kesempatan untuk bertemu dengan Sapna jauh lebih besar. Belum lagi kalau Arsene mengajak ngobrol dengan tantenya itu. “Ayo dong, Om!” pintanya, ah, salah. Lebih tepat kalau saya sebut perintah. Dengan lesu saya antar dia kembali ke kelas. Diam-diam saya mengelus dada karena bukan Sapna yang menyambut Arsene begitu sampai di kelas. Anak itu diantar gurunya masuk ke kelas untuk mengambil bukunya yang tertinggal. Bu Lisa mendekat pada saya. Senyumnya ramah. Tangannya terulur dan segera saya sambut. “Fatih, jemput Arsene sekalian sama Sapna ya?” tanyanya. Saya menggeleng sembari tersenyum. “Saya cuma jemput Arsene karena mamanya sedang nggak bisa, setelah ini kembali ke kantor, Bu. Kalau Sapna, dia kan bawa motor, mana mungkin saya jemput sekalian?” “Lho, kamu ini gimana? Sudah beberapa hari ini Sapna nggak bawa motor. Katanya sedang diservis. Saya pikir tiap hari yang mengantar pakai mobil itu kamu,” kata Bu Lisa penuh keheranan. Ah, uh, oh. Alamak, saya harus jawab apa nih? Mana mungkin saya bicara jujur tentang pertukaran pasangan itu. Bisa-bisa orang akan menertawakan saya serta mengatai saya bodoh karena mau-maunya melakukan hal itu. Kalau saya katakan tidak tahu, kok bisa serumah tapi tidak tahu. Bisa-bisa saya dicap sebagai suami yang tidak perhatian, atau paling dasar orang akan menganggap kami sedang cekcok. “Bu Lisa, rapatnya akan dimulai,” seseorang menyelamatkan saya. Suara yang begitu saya kenal dan ingin saya dengarkan dalam beberapa hari ini. Sapna. Seperti diingatkan, Bu Lisa berpamitan pada saya dan gegas menuju ruang guru untuk memulai rapat. Saya melihat Sapna juga mulai berpaling tanpa menyapa saya. Kalau kali ini saya biarkan dia pergi, artinya saya sudah dua kali dalam sehari ini membuang kesempatan untuk bicara dengannya. Kalau dua kali membuang obat ketika sakit, saya sih tidak akan peduli, tapi ini sebuah kesempatan. Kesempatan untuk berbaikan atau malah akan memperburuk keadaan. “Na!” akhirnya saya memanggilnya. Sapna menghentikan langkah tanpa berbalik. “Mas mau bicara sebentar.” “Sapna sudah tahu apa yang akan Mas katakan. Tolong bertahan sebentar lagi, Sapna janji akan menyelesaikan semuanya setelah ini,” dia kembali melangkah. “Mas nggak mau kita selesai, Na. Mas nggak mau kita pisah,” nekat, akhirnya keluar juga kalimat itu. Saya berhasil menahannya. Tidak ada balasan yang saya dengar darinya. Saya hanya melihat bahu kecil itu berguncang perlahan. Sapna menangis!