Hold Me Closer

Reads
110
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Perasaan Macam Apa Ini? (sapna Kanaya)

Mas Fatih membuatku menangis lagi! Kenapa sih dia harus muncul di saat yang nggak tepat seperti ini? Dia selalu membuatku menangis untuk alasan yang sama sekali tak kumengerti. Seperti yang terjadi di sekolah, aku sampai bingung harus mengatakan apa pada guru-guru yang kebingungan melihatku menangis. Mereka pikir aku sedang bertengkar dengan Mas Fatih, ingin kusangkal sebenarnya, tapi mereka tak sepenuhnya salah mengira. Aku tak mengerti kenapa Mas Fatih mengatakan itu tadi. Apa maksudnya dia nggak mau kami selesai? Bukankah dia sendiri yang memutuskan untuk berpisah waktu itu? Tapi, sebenarnya yang membuatku menangis bukanlah perkataannya. Sesuatu yang baru-baru ini terlambat kusadari. Ternyata mendengar suara Mas Fatih bisa membuatku emosional seperti ini. Karena itulah aku tak berani memandang wajahnya tadi. Aku takut kalau memandang wajahnya akan membuatku lemah. Hari ini aku sudah berjanji pada Gino akan membawanya ke psikiater. Bagaimana pun dia harus segera diobati. Aku tahu ini bukan hak atau pun kewajibanku, tapi kurasa tak ada salahnya kalau aku ikut membantu meringankan bebannya. Toh mereka berdua sahabatku, kan? Mungkin Alma belum menyadari sakit mental yang diderita suaminya, atau bisa juga dia terlalu malu untuk mengakuinya. Aku tak peduli apa alasan Alma menyembunyikan semua ini dariku, yang jelas aku nggak akan berhenti membantu mereka. Haha, ironis memang. Di saat pernikahanku sendiri sedang di ujung tanduk, sempat-sempatnya aku memikirkan kehidupan orang lain. Padahal belum tentu mereka akan memikirkanku dan Mas Fatih. “Kamu abis nangis, Na?” tanya Gino saat aku sudah di sampingnya. Dia melajukan mobilnya pelan, seolah tengah menikmati waktu. Sebenarnya aku sedikit takut dengan suasana seperti ini, kecepatan mobil yang lambat menambah ketakutanku. Aku menunduk. Harus menjawab apa, bagaimana? Toh dia sudah tahu kenyataannya. Tadi aku menangis menggerung-gerung di pelukan Bu Lisa, menceritakan semua kegundahan yang berawal dari kebodohanku sendiri. Bu Lisa diam dan hanya mendengarkanku tadi. Tak berkomentar atau pun memberikan saran apapun. Beliau hanya mengelus kepalaku  penuh kasih sayang. Kuminta beliau untuk tidak mengatakan apapun pada keluarga kami. Kuyakinkan padanya kalau kami akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. “Kamu bilang udah nggak marah lagi sama aku soal yang kemarin, kok masih diem sih, Na?” Gino bertanya lagi saat melihatku diam. “Ya kamu, udah tahu aku nangis pakai ditanya,” sahutku ketus. “Maksudku, kamu nangis kenapa?” “Emang apa pentingnya sih buat kamu, Gin? Udah deh, aku lagi nggak pengin jawab pertanyaan apapun. Jangan tanya-tanya lagi!” kuembuskan napas dengan keras. Gino nggak salah apa-apa, aku saja yang sedang sensitif. Suami Alma itu memilih diam hingga kami tiba di klinik praktik seorang psikiater kenalanku. Aku hanya mengantar dan mengenalkannya saja pada psikiater itu, selebihnya kutunggu dia di ruang tunggu sembari membaca-baca majalah psikologi yang tersedia. Konsultasi itu memakan waktu yang cukup lama, hingga membuatku sanggup menyerap informasi dari beberapa majalah yang kubaca. Ada satu artikel yang menggelitikku. Dalam artikel itu dikatakan jika suami istri berpisah dalam jangka waktu yang lama, bisa saja cinta yang sebelumnya terbina jadi memudar. Hal itu membuatku berpikir. Bagaimana kalau kasusnya terbalik sepertiku? Akankah hipotesisnya juga terbalik? Aku ini sungguh naïf. Sampai kapan aku akan membohongi hatiku sendiri? Untuk siapa sebenarnya kebohongan itu kubuat? Aku selalu berkata baikbaik saja jika berhasil tidak mengingat Mas Fatih, tapi pada kenyataannya, hatiku semakin sakit ketika sadar aku tak lagi mengingatnya. Dan sekarang perasaanku tak keruan rasanya setelah bertemu dan bicara sejenak dengan Mas Fatih. Ada rasa sedih, senang, ingin menangis, marah, sebal, dan yang terakhir, satu perasaan yang belum kutahu namanya karena aku belum pernah merasakannya. Perasaan itu membuncah seolah ingin keluar dari dalam dada. Sewaktu melihat Mas Fatih tadi, sebenarnya aku ingin langsung  memeluknya, tapi aku tak bisa. Alasan pertama karena kami bertemu di sekolah, tempat umum yang ramai anak-anak. Alasan kedua lebih karena aku gengsi. Kalau tiba-tiba saja aku datang memeluknya, dia akan mengira aku mengalah dan ingin minta maaf. Dadaku seketika nyeri. Gengsiku itu, sebenarnya untuk siapa? Memangnya kenapa kalau aku mengalah dan minta maaf duluan, toh memang aku yang salah kan, dalam hal ini? Kutangkupkan kedua tanganku menutupi wajah yang memanas. Tuh, kan. Mengingatnya saja sudah membuatku ingin menangis lagi. “Telepon dia kalau kamu kangen.” Aku mendongak. Mataku langsung berserobok dengan milik Gino. “Eh, udah selesai?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dia hanya mengangguk. Wajahnya terlihat pucat dan lesu. Apa konsultasi ini begitu menguras emosinya? Apa dia juga menangis di dalam? Karena matanya tampak sendu dan ada sisa air mata menggenang di sana. “Gimana konsultasinya?” tembakku langsung. “Jangan coba-coba ngalihin pembicaraan!” sergahnya terdengar sebal. “Kamu sudah banyak membantuku, aku sendiri aja nggak berani bilang sama Alma tentang apa yang kualami, tapi kamu tahu hanya karena hadiah-hadiah yang disebut Alma sebagai sebuah perhatian. Sekarang ganti aku yang harus membantumu kembali sama Fatih. Aku nggak bisa terus-terusan lihat sahabatku nangis kayak gini.” “Gino...” “Apa?” masih dengan nada sebal dia membentakku. Kukerucutkan bibir. “Jadi selama ini Alma nggak sadar kamu ‘nggak sehat?’” terpaksa kugunakan tanda kutip dengan kedua jariku untuk menyatakan keadaannya sekarang ini. Dia mengedikkan bahu. “Entah. Mungkin dia sadar tapi nggak mau bertanya karena takut menyinggungku atau gimana,” dia lalu menatapku lagi, lebih intens. “Sudah kubilang kan, jangan coba-coba ganti topik pembicaraan.” Aku meringis. “Siapa suruh kamu selalu cepet kalau ngomongin Alma.  Pasti udah kangen tuh,” ledekku. “Ada yang kangen tapi bilang orang lain kangen tuh,” balasnya. Kubelalakkan mata, pura-pura tak mengerti dengan sindirannya itu. “Siapa, siapa?” Dia menarik jilbabku gemas. “Apa perlu aku mengantarmu pada Fatih sekarang juga? Menyerahkanmu padanya akan membuatku menerima lima juta rupiah dengan cuma-cuma. Lumayanlah, bisa buat beliin Alma kostum kelinci unyu-unyu yang kulihat kemarin. Ups!” Kugaplok lengannya pelan. “Kalau kamu masih mau nyerocos di sini terserah, aku bisa pulang naik Gojek. Suami sama istri kok sama-sama suka banget ngoceh. Kalian itu pasangan manusia atau burung sih sebenernya?” dumalku. Gino malah tertawa ngakak, lalu mengikuti langkahku yang sudah terlebih dulu keluar dari klinik. Aku masih ragu akan menelepon Alma atau tidak. Paling tidak aku harus membicarakan tentang keadaan Gino. Dia harus tahu, kan dia istrinya. Aku mondar-mandir di kamar, menimang-nimang ponsel pintar berukuran lima inci yang tengah kugenggam. Nama Alma sudah muncul di layar, tinggal kutekan saja tombol panggil dan aku akan langsung terhubung dengannya. Gino belum pulang setelah tadi kembali ke kantornya begitu menurunkanku di rumah. Jadi, dia tidak bisa merecokiku sekarang ini. Haha. Bismillah... semoga Alma nggak salah paham dengan panggilan ini. “Halo, Na,” sapanya dari seberang sebelum kukatakan halo. Aku menggigit bibir, masih sedikit ragu. “Na?” panggilnya lagi. “Ah, itu. Ada yang harus kubicarakan denganmu.” “Soal?” “Soal... Gino,” jeda sebelum kulanjutkan kata-kataku hanya berisi helaan napas kami berdua yang terdengar teratur. “Kamu sudah tahu keadaan dia yang sebenarnya?” Alma tertawa. “Sapna, ngomong yang jelas dong. Aku nggak ngerti apa maksudmu, keadaan seperti apa yang terjadi pada Gino? Dia sakit?” nada suaranya sama sekali tak terdengar khawatir, apa kalau Gino benar-benar sakit dia bisa setenang ini? Aku kembali menggigit bibir bawahku. “Dia... duuhh... aku nggak enak ngomonginnya. Biar dia sendiri aja deh nanti yang jelasin ke kamu. Aku cuma mau bilang kalau dia lagi nggak sehat. Bukan secara fisik, tapi psikis. Apapun yang dia katakan nanti, tolong dengarkan baik-baik dan jangan terpikir untuk meninggalkannya, ya.” Terdengar lagi suara tertawa Alma. “Kamu nggak sedang bilang kalau Gino gila, kan?” kali ini dia malah terdengar seperti tengah meledekku. Aku mencebik. “Kamu tuh kalau dibilangin malah ngeledek ya,” sergahku. “Aku nggak bilang dia gila, Al. Hanya sedikit gangguan pada psikisnya. Dia juga udah terapi ke psikiater kok.”  “Jadi, kamu serius?” serunya. Aku sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinga. Apa nggak bisa sih dia ini bicara sedikit pelan? Nah, kan. Dia ini selalu menganggap apa yang kuomongkan sebagai candaan. Padahal tampangku begini mana cocok sih ngomong diplesetplesetin kayak komika-komika itu? Kalau memang aku bisa, mungkin aku udah ikutan audisi kompetisi Stand Up yang ada di televisi itu. Huh! Dia ini. “Na, bilang padaku kalau ini bohong. Kamu kan suka banget bohongin aku.” “Untuk kali ini aku nggak lagi bohongin kamu, Alma Sayang.” “Ya Allaahh....” “Eh, sejak kapan kamu kalau kaget bilang ‘Ya Allah’ gitu? Biasanya juga ‘Oemji’,” kini ganti aku yang meledeknya. “Sejak serumah sama Mas Fatih,” sahutnya santai. Sesuatu di dadaku berdesir. Terasa nyeri dan menggeliat-geliat. “Mas Fatih udah ngubah aku jadi orang yang baru, Na. Nanti kalau kontrak ini udah selesai, ganti aku yang akan mengubah Gino.” Jangan bilang kamu akan mengubah Gino jadi orang seperti Mas Fatih! Aku mendumal dalam hati. Bagus sekali dia! Aku di sini menemukan ketidakberesan pada keadaan mental suaminya dan di sana dia malah sedang diubah menjadi orang yang baru sama suamiku, atau yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku. “Kamu cuma mau ngomongin itu kan, Na? Kalau udah, aku tutup dulu teleponnya. Aku akan menunggu penjelasan langsung dari Gino. Sekarang aku mau masak dulu buat makan malam.” Bam! Godam besar yang pernah ditimpakan Minki ke dadaku waktu itu, saat Mas Fatih bilang akan melamarku, kini berubah menjadi penuh duri. Sudahlah godam itu menyakitiku dengan ukurannya yang begitu berat, dia juga menancapkan durinya di hatiku yang sudah dilapisi emas murni 24 karat oleh Minki. Ah, Lee Minki, kenapa sih kamu muncul dalam kehidupanku?  Peranmu juga hanya menimpakan godam itu ke hatiku, kan? Aku menggeleng berulang kali. Aku ini berhalusinasi atau apa sih? Bagaimana bisa aktor Korea favoritku itu jadi kambing hitam? Dia kan nggak hitam, juga bukan kambing. Eh, bukan itu sih maksudku. Aku jadi meracau nggak jelas begini. Ini semua karena Alma. Kenapa dia seolah-olah senang sekali menggantikan peranku sebagai istri untuk Mas Fatih? Aku kembali tergugu. Nyeri di dadaku bertambah. Nyeri yang bernama cemburu, campuran antara marah dan rindu yang menggebu.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices