
by Titikoma

Lelaki Berjerawat
Tidak ada yang bisa mengantisipasi situasi hari itu, termasuk Kara si gadis yang wujudnya menjadi kucing kala malam datang. Situasi sekolah pagi itu riuh oleh berita yang tertempel di majalah dinding yang tersebar di beberapa sudut sekolah. Siswa-siswi berkumpul mengerumungi mading sambil tertawa-tawa. Beberapa orang lagi yang sudah membaca kabar berita itu, mereka bergunjing di sudut-sudut sekolah. Kara Swandara menjadi semakin terkenal pagi itu. Bukan karena prestasi ataupun keteladanan seperti biasanya. Tapi karena sebuah artikel yang tersebar di majalah dinding sekolah juga beberapa selebaran lain yang ternyata banyak tergeletak di beberapa sudut sekolah, seperti taman, kantin dan beberapa kursi di area olah raga. Sambil berjalan melewati koridor kelas, Kara dipandang banyak siswa dengan pandangan kasihan sekaligus hinaan. Seperti biasa, Kara bukan tipe orang yang ingin banyak tahu soal gosip-gosip yang beredar. Dia terus saja berjalan sampai ke kelas. Hari itu memang Kara tidak berangkat bersama Venus, entah mengapa lelaki bermata cokelat itu tidak menjemputnya. Tiba di kelas, Kara masih dipandang aneh oleh teman-teman sekelasnya. Kara masih tidak peduli, di terus saja berjalan melewati beberapa kursi, hingga sampai di tempatnya duduk. Beberapa anak terlihat saling berbisik, kemudian tertawa tertahan. Beberapa lagi memandang kasihan. Key si tomboy yang duduk di belakang kursi Kara menepuk punggung Kara dengan selebaran kertas yang digulung. “Buka! Kasus lo heboh hari ini.” Kara sebenarnya tidak mau peduli, namun akhirnya dia menerima uluran kertas yang dikasih Key. Dia lantas menyimpan di kolong meja, tidak langsung membacanya. “Baca,” ucap Key. “Nanti.” Kara menjawab sambil menoleh ke belakang. “Tapi lo harus baca!” Key kembali bicara dengan intonasi memaksa. Tidak menjawab peritah Key dengan suara, Kara langsung merogoh kertas yang dia tadi simpan di kolong meja. Kara membuka gulungan kertas itu. Matanya menubruk tulisan besar, judul artikel itu. “Siswi Teladan yang Mengaku Menjadi Manusia Kucing Setelah Pulang Penelitian”. Artikel tersebut di lengkapi foto kara yang diedit paksa, berwajahnya setengah kucing. Dalam hati Kara geram. Dia sudah bisa mengira siapa yang menyebar info itu. Venus! Makinya dalam hati. Selama bel masuk belum berbunyi Kara mencoba tetap tenang, mencoba menahan amarahnya yang siap meletus. Tidak lama sebelum bel berbunyi, Venus datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa puluhan lembar artikel singkat yang memuat tentang manusia kucing itu. Dia menghampiri Kara dengan raut wajah sesal. “Kara, maafin gue. Sumpah gue nggak ada maksud sedikit pun.” Ucap Venus. Kara diam, mencoba tenang. Dia sama sekali tidak menggubris ucapan Venus. “Kara … please!” “Venus, duduk di tempatmu!” Tiba-tiba Pak Dedy, guru Matematika mereka sudah ada di dalam kelas, siap memberikan pengajaran. Terpaksa Venus meninggalkan meja Kara, kembali ke tempat duduknya. Bagi Kara, waktu berjalan begitu lambat hari itu. Dia ingin segera tiba di rumah, dan tidak ingin menemui siapapun. Maka saat bel pulang berbunyi, Kara buru-buru merapikan perlengkapannya, lantas bergegas meninggalkan kelas. Dia tidak ingin mendengar alasan apapun dari Venus tentang peristiwa hari itu. Kara sudah muak, sepanjang waktu istirahat terus direngeki Venus. Baginya, Venus sama saja dengan kebanyakan siswa sekolah ini. Kara merasa ditipu oleh kebaikan Venus semingguan ini. “Kara, biar gue anter lo pulang. Venus berlari ke arah Kara. Mencoba memegang lengannya. “Lepasin tanganku!” Kara berusaha melepaskan tangannya. “Aku bisa pulang sendiri.” “Tapi, Kara.” “Kenapa? Kamu pikir aku nggak bisa pulang sendiri? Kamu lupa, sebelum kamu berlagak sok baik, aku nggak pernah sedikitpun berharap diantar pulang sama kamu.” “Kara, gue bisa jelasin semuanya. Ini memang salah gue, tapi gue mohon lo dengerin dulu penjelasan gue. Ini bisa kita selaesaikan dengan kepala dingin.” “Minggir!” Kara memaki sambil menatap tajam Venus. Venus akhirnya menyingkir, dia bingung harus berbuat apa. Kara pergi menuju sepedanya yang terparkir bersama sepeda siswa lain. Dengan cepat Kara mengambil sepeda, lantas mengayuhnya cepat, meninggalkan area parkir sekolah. Sementara Venus masih diam di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian Kara. “Lo kenapa, sih?” Robert menepuk bahu Venus. “Singkirin tangan lo dari bahu gue!” Venus berucap tajam. “Yaelah, santai aja kalik, Bro!” “Lo lihat, kekacauan ini? Semua gara-gara lo, Kampret!” Setelah berucap sarkastis, Venus meninggalkan Robert, menuju tempat parkir mobilnya. Sepeda itu melaju cepat membelah jalanan Jakarta. Menikung dari belokan satu ke belokan lainnya, menyalip angkot yang berhenti sembarangan, hingga sampai di gerbang perumahan tempat si empunya tinggal. Kara langsung memasukkan sepedanya ke dalam garasi, lantas berlari langsung ke kamar, dan menguncinya. Tidak ada ucapan salam seperti biasanya, dia sungguh-sungguh ingin sendirian. Kara menangis sejadijadinya tanpa suara. Dia tidak menyangka, kalau apa yang diharapkannya pada Venus hanya tinggal harapan. Jangankan membantunya terbebas dari kutukan, sekonyong-konyong malah lelaki itu menyebarkan berita yang berbuntut olok-olok dari teman satu sekolahnya. “Kara, kamu sudah pulang, Nak?” Ketukan pintu terdengar dari luar. Ibunya yang memanggil. Kara menghapus air matanya, lantas berjalan ke arah pintu, lalu membukanya. “Sudah, Bu. Maaf aku tadi langsung masuk kamar.” “Ada Venus di bawah, cari kamu katanya.” “Tolong bilang sama Venus, Bu. Aku nggak mau diganggu. Ada pelajaran tambahan,” ucap Kara bohong. “Lho, kalau begitukan bisa belajar bersama.” Kara menggeleng, “Aku belajar sendiri saja.” “Yasudah kalu gitu, Ibu akan beritahu,” Ibunya segera melangkah pergi. “Oya, jangan lupa makan malammu ada di dapur. Ibu harus dinas malam hari ini. Ayahmu pergi ke luar kota. Tadi pagi mau dikabari, kamu malah sudah pergi.” “Iya, Bu. I love you!” Ibunya tersenyum sejenak, lalu mengecup kening Kara. Kara segera mengunci kamar setelah Ibunya benar-benar pergi. Sambil melangkah ke kasur, Kara menggerutu kesal. Untuk apa si bule ngeselin itu datang ke sini? Kara kembali kalut dalam kesedihan, masih merutuki nasibnya. Dia tidak ingin kutukan itu jadi permanen. Waktunya masih lama memang, tapi mengingat kejadian hari ini dan juga tidak terlalu akrabnya dia dengan cowok, bisa dapat dipastikan perjuangannya tidaklah mudah. Menjelang malam, Kara sudah mengunci rapat semua pintu rumahnya. Hari ini mungkin hari paling aman, dan tanpa pertanyaan orang tuanya karena jarang ke luar kamar. Dia kembali bergelung dengan selimutnya, meratapi nasib dan tanpa sadar tertidur. Menjelang tengah malam dia terbangun, dan tidak bisa tidur kembali. Kara kemudian menggeser jendela kamar, dan duduk di sana, memandang bintang tengah malam. “Kenapa malam-malam begini kau malah bersedih di jendela?” Kara menengok sekilas. Sebenarnya tanpa menengok pun Kara sudah tahu siapa yang berbicara—Rex. “Ngapain kamu malam-malam ke sini?” Kara balik bertanya. “Aku ke sini untuk membantu seekor kucing yang tengah gundah gulana,” jawab Rex cuek. Dia kemudian sekonyong-konyong duduk di samping Kara, yang ukuran tubuhnya lebih besar. “Ada apa gerangan Kara bersedih? Ditinggal pasangankah?” Kara tidak menjawab. Dia tidak ingin menceritakan masalahnya pada siapapun. Pengalaman dengan Venus sudah cukup buatnya. “Tenang saja, Nona. Di sini banyak pejantan tangguh. Asal kau tahu saja, aku ini pejantan tangguh dari blok H kompleks perumahan ini.” “Kalau kau mau ganggu ketenanganku, lebih baik kau pergi sebelum kutundang kau ke bawah,” ucap Kara dingin. “Woaa … itu mengerikan, Nona.” “Kuperingatkan kau sekali lagi!” Gertak Kara. Rex akhirnya bungkam. Dia ikut memandang langit malam bertabur bintang bersama kucing bongsor di sebelahnya. Setelah bertahan selama 15 menit, Rex gatal juga ingin bicara. Dia bukan tipe kucing yang senang berdiam diri lama, apalagi galau dan menatap sendu bintang-bintang di angkasa. Itu terlalu drama, pikirnya. “Ngomong-ngomong majikanmu ke mana? Kelihatannya sepi. Apa boleh kita main perang-perangan seperti kucing tetangga itu?” “MEAUW!!” Kara langsung mengerang garang. Secepat kilat Rex melompat ke atas pohon lalu ke kursi. Dia berhenti di sana, kemudian kembali menatap kara. “Ayolah, Nona manis … kau terlihat seksi mengerang seperti itu,” goda Rex. Sebelum Kara benar-benar melompat ke atas pohon untuk mengejar, Rex langsung berlari kecang, melompat pagar lantas pergi. Melihat itu Kara tidak jadi melompat, dia kembali duduk menatap bintang. Kali ini, segaris senyum terbentuk di sana. Dia merasa malam ini tidak terlalu buruk. Digoda kucing jantan hewan peliharaan salah satu tetangganya membuat Kara terbahak. Ini pengalaman paling lucu yang pernah dia alami selama menjadi kucing. Apa yang sebenarnya dipikirkan kucing-kucing lain saat melihatku? Pikir Kara. Semoga bukan hal-hal jorok seperti tadi. Tidak berapa lama, bunyi notifikasi messenger mengalihkan semuanya. Venus yang mengirim, tiga buah pesan. From : Send Kara mohon maafin gue. Nggak sedikitpun maksud gue buat ngelukain perasaan lo. Ini memang salah gue yang udah ceroboh yang malah cerita ke Robert. Tapi gue janji, gue bakal nebus kesalahn gue. Gue bakal bantu lo. Gue janji, sejanji-janjinya. From : Send Gue nggak bisa tidur, Ra. Sekali lagi maafin gue. From : Send Semoga kita masih bisa berteman. Selamat malam, Kara. :) Kara terlonjak kaget saat mendapati Venus sedang sarapan dengan Ayah dan Ibunya. Supaya tidak kelihatan bahwa antara keduanya sedang bersitegang, Kara bersikap senormal mungkin di depan kedua orang tuanya, dan hal itu menjadi siksa buatnya. Sungguh, walaupun Rex berhasil membuatnya tersenyum semalam, dia masih tidak ingin bertemu Venus. Mood-nya belum kembali, bahkan pesan Venus semalam dianggapnya sebagai kebohongan belaka. Kara kembali menjadi diri Kara yang marah pada Venus ketika Ayah dan Ibunya pergi—Ayahnya pergi bekerja, sementara Ibunya belanja mingguan rumah tangga. Mata Kara nyalang tiap kali Venus coba dekati gadis itu. “Kara,” ucap Venus. “Mau apa kamu datang ke sini? Mau kasih tumpangan? Nggak perlu! Kamu pergi aja duluan sama mobil kamu!” “Siapa bilang gue mau kasih tumpangan?” Kara diam tak mengerti. “Gue nggak kasih tumpangan ke lo, tapi gue mau berangkat bareng lo.” “Sepedaku nggak cukup kuat buat boncengin kamu. Lebih baik kamu cari taksi aja sana.” “Gue udah bawa sepeda, kok.” Kara tidak habis pikir. “Bayangin, gue harus kayuh sepeda dari rumah gue ke rumah lo, cuma buat bisa bareng sama lo.” “Siapa yang suruh?” Potong Kara cepat. “Nggak ada. Ini memang kemauan gue, kok.” Kara terdiam, menatap tajam wajah itu. “Ayo, berangkat! Nanti kesiangan, lho?” “Berangkat aja sendiri!” “Eh, kok gitu? Masa lo nggak hargain jerih payah gue buat sampai ke sini, sih?” “Kamu pernah hargain perasaan aku, yang kamu bocorin rahasianya sampai jadi bahan olok-olokan satu sekolah?” “Untuk itu gue beneran minta maaf, Kara!” Tanpa diantisipasi Venus, Kara sudah lebih dulu melaju sambil bergumam, “Kamu pikir dengan minta maaf bisa balikin semuanya?” “Kara!” Venus memanggil gadis itu. Lantas mulai mengayuh sepedanya, mencoba menyusul Kara yang sudah menjauh. Di sanalah Kara. Menyendiri di kebun kecil sekolah yang diperuntukkan untuk kegiatan penelitian dan peraktikum. Walau tempat itu termasuk yang paling jarang dia kunjungi, Kara merasa di sanalah tempat yang tepat untuknya. Suasananya memang tidak sedamai Kersik Tuo, tapi paling tidak kebun kecil itu mampu menguapkan permasalahan yang tengah dihadapi barang sebentar. Kara tidak menyadari ada seseorang yang mendekat ke arahnya. Lakilaki, perawakannya tegap, tidak kurus, tidak gemuk—cukup proporsional. Rambutnya hitam legam, sedikit ikal. “Kamu … Kara?” Anak itu bertanya. Kara mengenali suaranya yang tidak begitu asing. “I—iya, Kak Mikha.” “Kamu sedang apa di sini?” “I-ini, lagi lihat hasil peraktikum Biologi,” jawab Kara bohong. “Boleh aku temani?” Kara merutuki perkataan sebelumnya. Mulai sekali saja berbohong, maka akan ada kebohongan-kebohongan berikutnya. “Bo—boleh, Kak.” “Asik ya jadi anak IPA. Bisa punya kebun sendiri, penelitian yang dekat dengan alam. Tidak seperti kami, kami hanya sibuk belajar cara berdiplomasi yang benar.” “Tapi diplomasi sama pentingnya, Kak.” Mikha tersenyum pada Kara, “Makanya. Luar biasakan, Tuhan? Dia maha adil.” “Benar, Kak. Tuhan maha adil,” Kara setuju. Kara bisa merasakan senyum tulus itu. Dia juga tidak menyangka, mantan ketua OSIS dan Pecinta Alam itu mau mengobrol dengannya. Setengah jam waktu istirahat mereka habiskan di kebun kecil itu untuk mengobrol banyak tentang Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sesekali Kara terlihat merapikan tunas-tunas kecil pohon cabai yang tumbuh di beberapa pot. Itu dilakukannya agar terlihat sedang mengamati, agar alasannya di awal tentang mengapa dia di kebun itu tidak dicurigai Mikha. Mereka baru selesai ketika bel masuk berbunyi. “Kara,” panggil Mikha saat keduanya hendak berpisah di koridor yang memisahkan gedung IPA dan IPS. “Iya, Kak?” “Kalau kamu nggak keberatan, sepulang sekolah nanti aku mau ajak kamu makan siang. Bisa?” Kara diam, tidak menduga kalau Mikha akan mengajaknya pergi. “Gimana, bisa?” “I—iya, Kak. Bisa.” Mikha tersenyum. “Aku tunggu di tempat parkir sepeda sepulang sekolah nanti. Bye!” “Bye,” balas Kara. Dia tersenyum sendiri ketika melihat Mikha yang berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di belokan terakhir. Jujur saja, Kara salah satu yang mengagumi Mikha kala siswa itu masih menjabat sebagai ketua OSIS di sekolah SMA Kartini, Jakarta. Mikha termasuk siswa yang tampan, cerdas, berwibawa, disegani dan sudah pasti populer, banyak siswi yang memujanya. Tapi kepopulerannya itu musnah disapu tahun ajaran baru. Wajahnya tidak setampan dulu, entah mengapa jerawat mulai tumbuh. Tidak senormal remaja yang sedang masa pubertas pada umumnya, jerawat itu banyak tumbuh hampir di tiap inci wajah tampannya. Dan parahnya, susah sekali dihilangkan. Maka dari itulah, Mikha sudah tidak sepopuler dulu lagi. Sudah ada beberapa orang yang menggantikan dominasinya, Venus si siswa pembangkang salah satunya. Walau Mikha sudah tidak setampan dulu, Kara masih sangat mengagumi sosok Mikha yang belakangan ini lebih menutup diri itu. Menurutnya, Mikha masih sewibawa dulu, secerdas yang dulu, dan satu yang paling penting adalah … bahwa Mikha baik. “Hayo …, ngapain senyum-senyum sendiri?” Ucapan Venus itu berhasil mengagetkan Kara. “Kamu apa-apaan, sih?” Kara mendengus kesal. “Nggak apa-apa. Gue cuma heran aja lihat lo senyum-senyum sendirian.” “Terus, urusan kamu apa?” Tanya Kara Ketus. “Yaelah, galak amat.” “Buat apa baik sama kamu?” Kara langsung berjalan, meninggalkan Venus. “Kara!” Venus berusaha mengejar langkah Kara yang terburu-buru. “Kara, nanti pulang sekolah nonton, yuk. Kebetulan ada film bagus.” Kara berhenti, lantas menatap tajam wajah Venus. “Jangan pernah ganggu aku lagi, aku nggak mau temenan sama kamu. Ngerti?” Setelah berucap Kara langsung meneruskan langkahnya. “Kara,” Venus masih mengejar. Kara berhenti lagi. “Satu lagi. Jangan pernah lagi kamu ke rumahku!” “Tapi kenapa, Ra? Gue udah minta maaf, apa itu kurang?” “Terus, kamu anggap dengan minta maaf semuanya selesai?” “Ya memang enggak semuanya selesai, tapi lo lihat? Bahkan yang kemarin itu nggak berdampak apa-apa. Enggak ada yang percaya sama yang kayak gitu, mereka cuma anggap lelucon. Enggak lebih.” “Iya. Sama kayak kamu yang anggap itu semua cuma lelucon,” ucap Kara emosi. Setelahnya dia benar-benar pergi, mengambil langkah panjangpanjang agar cepat sampai kelas. Hari itu kara sungguh ingin kegiatan seolahnya cepat selesai. Ucapan Venus benar-benar melukai perasaannya. Sementara Venus masih mematung, menatap kepergian Kara. Dia sungguh menyesali ucapannya barusan. Venus menyadari bahwa ucapannya sudah disalah artikan Kara. Dia pun paham, situasinya semakin memburuk. Senja ini Kara dan Mikha sudah ada di taman kompleks perumahan tempat Kara tinggal. Setelah makan siang di sebuah restoran tak jauh dari sekolah, mereka akhirnya memutuskan untuk ke tempat ini. Mereka duduk di kursi taman yang saat itu lumayan sepi dengan masih mengenakan seragam sekolah. Berbicara ini-itu, serius, tapi kadang juga tergelak tawa mereka. Politik, sains, mereka saling melemparkan pandangan mereka tenang kedua hal tersebut. Kara merasa Mikha orang yang sangat menyenangkan. Dia pintar, namun tidak kaku seperti orang pintar kebanyakan. Begitu juga penilaian Mikha terhadap Kara. Gadis itu menyenangkan, semenyenangkan yang dia kira. Melewati hari untuk pertama kalinya dengan gadis yang baru saja benar-benar dia kenal sungguh melebihi ekspektasinya. Yang dia tahu, sejak dulu para gadis mendekatinya karena rupanya yang tampan, tidak lebih. Tapi sekarang, Kara bahkan terlihat senang walau hanya diajak mengobrol ini-itu, sama sekali tidak mempedulikan jerawat yang memenuhi hampir seluruh wajahnya. Mikha terlihat merogoh kantung celananya, dia mengeluarkan selembar yang dilipat rapi. Melihatnya sebentar, lantas menyodorkan kertas itu pada Kara. Kara terlihat bingung. “Apa ini, Kak?” Kara bertanya. “Buka saja.” Perlahan Kara membuka lipatan demi lipatan. Namun, semakin dibuka Kara semakin mengenali kertas apa yang sedang dipegangnya itu. Belum sempat terbuka, Kara keburu menyerahkannya kembali pada Mikha. “Isi kertas ini yang jadi akhir obrolan kita hari ini?” Kara bertanya. Suaranya pelan, ada nada kecewa di sana. “Maafkan aku, Kara. Aku hanya ingin tahu … apa isi atrikel itu benar?” Napas Kara mulai tidak beraturan. Anggapannya tentang Mikha yang baik mengikis sudah. Dia terlihat hendak berdiri. Mikha keburu menahan lengannya. “Tolong, Kara. Jawab pertanyaanku, apakah isi artikel itu benar?” “Ka Mikha, maaf aku harus pulang,” ucap Kara sambil mencoba lepaskan tangannya dari genggaman Mikha. “Tolong jawab, Kara. Please!” Kara berhasil meloloskan tangannya, dan segera pergi. “Berarti benar? Kamu bahkan menghindari pertanyaanku, kutukan itu pasti benar, kan?” Kara berbalik, “Iya, semuanya benar. Kakak puas sekarang? Lalu mau apa lagi sekarang, mau mengolok-olokku sama seperti yang lainnya?” Kara kembali hendak melangkah meninggalkan Mikha. Emosinya tidak bisa ditahan lagi, dia benar-benar ingin meledak. Mikha, mengejar. Berhasil mencegat Kara sambil merentangkan tangannya. “Kau lihat gelang ini?” Mikha bertanya. Mata Kara langsung tertumbuk pada pada gelang yang entah sejak kapan ada di sana. Fokusnya pada bandul yang terdapat pada gelang itu, sebuah batu dengan corak dan warna yang amat Kara kenali. “Saat baca artikel itu dan memastikan kelas kalian pernah melakukan penelitian ke Gunung Kerinci, aku yakin bahwa cerita itu benar. Aku bisa bantu kamu, Kara.” “Dari mana Kakak bisa dapat gelang itu?” “Dari tempat yang sama denganmu. Asal kau tahu saja, sejak tahun lalu aku tidak bisa merasakan matahari menyinari bumi ini. Dan sekitar semingguan ini aku juga tidak bisa merasakan malam. Saat itu aku tahu, ada yang tidak beres dengan negeri kucing itu.” “Iya, aku yang sudah merenggut Swapan dari mereka.” Mikha mengangguk. “Aku sudah menduganya saat baca artikel ini,” ucapnya. Pertemuan sore itu tidak jadi berakhir cepat. Mereka berbicara banyak tentang negeri kucing tempat Kara dikutuk. Petemuan itu ditutup dengan sebuah kesepakatan. Besok, saat pulang sekolah mereka akan bertemu lagi di tempat ini, untuk menuntaskan misi mereka untuk kembali ke negeri kucing dan menebus kutukan Kara. Setibanya di rumah, Kara menghempaskan tubuhnya ke kasur. Hatinya mengembang, akhirnya dia bisa segera bebas dari kutukan. Ini semua berkat kebaikan Mikha. Sebuah notifikasi pesan muncul. Kara tidak menengoknya, dia sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Hatinya masih belum bisa berdamai dengan orang itu. Kara lebih memilih untuk segera membersihkan diri, membawa masuk makan malamnya ke dalam kamar, lantas mengunci semua pintu termasuk jendela. Dia juga tidak ingin dukunjungi Rex malam itu. From : Send Kara, gue minta maaf. Nggak sedikitpun maksud gue buat berkata kayak tadi. Gue bisa jelasin semuanya, sampe lo benar-benar ngerti. From : Send Oke, gue nggak bakal ganggu lo lagi. Tapi please, kasih kesempatan gue buat bicara. Gue tunggu lo di taman perpustakaan sepulang sekolah besok. From : Send Selamat malam.