
by Titikoma

Gerimis Di Ujung Senja
Positif! Walau kecurigaan sempat singgah di hati. Tapi tak urung terkejut ketika mendengar perkataan dokter. “Selamat ya, Bu. Jaga kehamilannya.” Aku hanya mengangguk, tersenyum kecut. Entah apa yang akan kusampaikan pada Beno. Mungkinkah ia akan bahagia ataukah akan menjadi sebuah petaka. Tapi kuyakin bahwa Beno tetap memihakku. Akan bertanggung jawab. Bukankah ia begitu cinta padaku, mendamba diriku. Akan kukabari ia dengan caraku. Berkata dengan lemah lembut, serta memberinya sebuah kejutan. Maka di suatu senja, ketika ia menemuiku. Tak kusiakan waktuku. “Nih kado untukmu,” ujarku sambil duduk di samping Beno. “Tak ada angin, tak ada hujan ada yang ngasih kado. Bentar... bentar, apa aku bermimpi yah?” Beno mengucek kedua matanya. Kembali melihat kado di meja. “Beneran ini untukku?” “Ya. Bener dong Ben. Masa untuk yang lain. Kamu kan pacar aku. Aku ingin ngebahagiain kamu.” “Aku curiga, pasti deh ada sesuatu. Ayo katakanlah.” “Ben...!” “Iya. Zani cantik. Aku dari tadi dah siapin telinga juga hidung untuk mendengarkan keluhmu.” “Hidung, emang ikutan ngedengerin?” aku nyenggol tangan Beno. “Abis dari tadi kamu lama amat ngomongnya. Ada apa sih?” “Ben. Eu... eu... aku hamil!” “Hah? Beneran?” bagai terkena strum, Beno langsung beranjak dari duduknya “Beneran. Aku sudah ke dokter.” “Maafkan aku Zani, sungguh saat itu aku.... Ah!” “Aku mengerti. Lantas bagaimana? Aku takut.” Beno menunduk. Helaan napas panjang terlihat. Seperti ada kecamuk dalam dadanya begitu berat. Itu pasti. Jujur aku pun tak siap menerimanya. Mempunyai anak? Walau kami pernah melakukannya, tapi untuk yang satu ini sungguh tak pernah terpikirkan. “Sudahlah, aku pasti bertanggung jawab,” Beno merangkulku. Meyakinkanku. Kecemasan yang sempat mampir musnah sudah. Terbukti ternyata Beno tetap akan bertanggung jawab. Dan tiada tanda bahwa ia akan meninggalkanku. Kini. Beno akan datang. Pastillah ia sudah membicarakan masalah ini dengan kedua orang tuanya. Dan aku yakin Beno adalah laki-laki bertanggung jawab. Kami saling mencintai dan pasti ia akan segera datang bersama kedua orang tuanya. Bukankah itu yang Beno ucapkan di akhir pertemuan. Bahwa ia akan segera datang memenuhi tanggung jawabnya. Datang ketika urusannya dengan keluarganya telah selesai. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Jam 7 tepat. 30 menit lebih dari jadwal yang dijanjikan. Macet, mungkin pikirku. Segera aku mendekati cermin. Membenahi diri untuk menyambut Beno, laki-laki terindah dalam hidupku. Hanya dia yang mampu membangkitkan suka yang asalnya duka. Lara yang bersarang akan lenyap dengan datangnya Beno. Tak akan pernah aku meninggalkan Beno, karena dia yang telah memperkenalkan cinta, membuatku menghargai arti cinta dan kan selalu kujaga. Kecewa. Janji Beno untuk datang ternyata tak terbukti. Malah rutinitas pertemuan yang asalnya kerap terjadi, kini tidak lagi. Semakin lama Beno semakin mengulur waktu untuk bertemu. Sampai akhirnya ia benar-benar menghilang dari hidupku. Aku begitu panik. Tak mungkin aku selamanya bersembunyi dengan perut yang semakin lama akan membesar. Apa aku sanggup menjadi seorang single parents? Kebebasan yang dulu kurasakan menemani dalam keseharian, kini malah menukikku perlahan. Terjerembab sendiri. Perbuatan yang kutanam akhirnya kini harus kutelan seorang diri. Beno laki-laki yang semula begitu mendamba diriku. Aku yang yakin bahwa cintanya hanya untukku, kini tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Laki-laki buaya. Begitu enaknya dia mengisap maduku tapi menghilang di saat madu tak lagi terasa manis. Cinta kami yang berbuah janin ternyata malah merenggangkan kehidupan kami. Pengorbanan yang utuh yang selama ini sengaja aku berikan pada Beno dengan harap agar ia tak pernah menjauh serta selalu menerima cintaku. Menemani diriku selamanya. Kini malah membiarkanku dalam lara. Dalam kesendirian yang dipenuhi derita. Di manakah kau Beno? Aku menghapus air mata, merasakan kesedihan yang bertandang. Semula aku masih setia menunggu dengan alasan mungkin Beno sibuk dengan tugas kuliahnya. Skripsi sebagai tugas akhir, pastilah itu yang membuat Beno tidak muncul di hadapanku. Tapi semakin harapan itu ditanam di hati, semakin ia menjauh. Beno benar-benar menghilang dari hidupku. “Ben, di manakah kau?” aku menangis. Telepon yang selalu aktif tak pernah ada jawaban. Sulit untuk dihubungi. SMS yang biasanya mampir padaku. Kini raib. Rupanya Beno memang sengaja tak mau bertemu denganku. Aku yakin Beno sengaja menghindar. Setelah tahu bahwa Beno benar-benar tak ada niat untuk kembali padaku. Aku bersusah payah mencari tahu keberadaan Beno. Beberapa tempat yang pernah menjadi tempat kostnya, aku datangi. Kawan dan sahabatnya aku dekati untuk mengorek informasi tentang di mana keberadaan Beno. Sepertinya mereka semua memilih diam, tak mau terperangkap dalam masalahku. Bernapas lega, ketika mengetahui alamat Beno di tempat kost baru diketahui. Dan aku segera bertandang ke sana seorang diri. Tapi nihil. Di tempat itu pun, Beno raib. Aku nyaris putus asa ketika keberadaan Beno tak ditemukan. Termenung sendiri depan tukang fotokopi. “Ni, Mbak fotokopiannya.” “Ya. Makasih.” “Sendirian aja Zani? Biasanya kan sama...” tiba-tiba Laras sudah duduk di sampingku. “Sama siapa? Sama ayam?” ujarku sekenanya, tanpa menoleh sedikit pun pada Laras. “Duh pacar sendiri dibilang ayam?” “Ngak tau ah Laras, gimana nasibku,” tanpa sadar aku berkata. Dan air mata tak tertahankan tumpah seketika. ‘Kenapa kamu Zani? Ada apa?” ia mengusap punggungku. ”Kalau berkenan ceritakanlah padaku.” “Beno menghilang dariku. Padahal aku sudah mencarinya ke mana-mana. Termasuk ke tempat kost yang baru tapi tak kutemukan.” “Beno menghilang? Kalian udah putus?” “Entahlah.” “Pantas. Kemarin kulihat Beno dengan...” “Dengan siapa Laras?” “Maaf. Mungkin aku hanya salah lihat.” “Kalau benar pun nggak apa-apa. Mungkin Beno sudah bosan padaku. Aku hanya ingin bertemu dia sekali saja. Walaupun untuk terakhir kalinya.” “Kamu serius?” “Ya.” “Nanti kucari alamat orang tuanya, mungkin dia ada di sana. Aku akan tanya Lisna.” “Siapa Lisna?” Laras menarik napas panjang. “Sekretaris di HIMA, dia kulihat kemarin bersama Beno.” “Kamu dekat dengannya?” “Ya. Begitulah.” Kupijit bel yang nemplok di pagar sebuah rumah sederhana. Seorang perempuan berusia 45 tahunan keluar dari rumah. Dandanannya begitu sederhana. Daster dengan motif bunga-bunga menghiasi bajunya. Rambutnya yang terurai panjang ia ikat menjadi gumpalan kecil di kepalanya. Disanggul tepatnya. Ia Menyambutku. Lama aku terpaku menatap ibu di depanku. “Maaf, Bu, ini benar rumahnya Beno?” setelah tersadar, aku memberanikan diri bertanya. “Ya. Neng ini siapa?” “Saya teman kuliahnya, Bu.” “Oh, ayo masuklah,” ia membukakan pintu rumah. “Ibu, Mamanya Beno?” “Iya.” “Alhamdulillah, akhirnya bisa bertemu.” “Neng ini perlu ketemu Ibu atau Beno?” “Sebenarnya aku ingin bertemu Beno. Tapi Beno selalu tak ada. Sudah kucari ia ke tempat kost. Tapi nihil, Bu.” kataku sendu. “Aku sudah putus asa.” “Oh, Zani yah?” “Iya. Bu. Kok Ibu tahu?’ “Beno pernah menceritakanmu. Tapi maaf, Nak. Beno sekarang tak ada di rumah,” ucap Ibu Beno ramah. “Tak ada? Masa, Bu?” rasa putus asa yang sudah menumpuk, semakin mejadi ketika Ibu Beno menyatakan Beno tak ada di rumah. “Maaf, Bu, Tak usah berbohong tentang Beno. Saya yakin Beno ada.” “Ibu pun tak tau Beno di mana, Nak,” Bu Beno berkata dengan mata sedih. “Ah sudahlah, Bu, tak usah bersandiwara. Masa seorang Ibu tak tahu anaknya di mana. Apalagi Beno sudah bercerita tentangku. Ibu takut aku meminta tanggung jawabnya, ya kan?” tuduhku. “Benar Zani. Ibu tak tahu. Bukan maksud Beno untuk meninggalkanmu. Tapi saat ini....” “Sudahlah, Bu. Aku memang telah salah datang ke tempat ini. Ternyata anak sama Ibu sama saja. Saling berbohong dan melindungi,” aku menghambur ke luar rumah dengan tangis yang deras. “Mungkin saat ini kau begitu kalut dengan kehamilanmu. Ayolah kita bicarakan dulu dengan tenang di dalam rumah. Masuklah kembali. Jangan dipenuhi emosi.” “Sudahlah Bu, jangan menceramahiku. Aku muak.” “Zani!” tak kuhiraukan panggilan Ibu Beno. Rupanya Bu Beno sengaja menyembunyika Beno. Aku melangkah ke luar rumah diiringi gerimis. Gerimis di ujung senja.