
by Titikoma

Bayi Itu...
Semenjak aku mempunyai kegiatan. Kehidupan tak terasa suntuk lagi. Keceriaan mengisi hari-hariku kembali. Yang penting mampu menghilangkan bayangan aneh yang selalu muncul di hatiku. Pergulatan cinta beberapa laki-laki yang pernah menggagahi tubuhku, kerap bertandang. Jujur, seringkali aku ingin merasakan cinta seperti dulu. Raka? Ia terlalu pasif, selalu tak memberiku kepuasan. Kuhilangkan semua bayangan itu dengan beragam kegiatan. Beruntung, bros yang kujual ternyata semakin diminati mahasiswi di kampus. Karena aku merangkainya sendiri. Senantiasa merangkai bros yang kirakira disukai mahasiswi. Alhasil semakin lama penjualan brosku semakin meningkat. Dengan begitu hari-hariku dipadati dengan aktivitas positif. “Sebaiknya kau ada yang bantuin,” usul Raka suatu saat. “Ah, tapi kan harus dibayar, kasihan. Nantilah kalau usahaku sudah mapan dan menghasilkan yang lebih.” “Ngak apalah. Afa, anak bibiku baru beres SMP. Tak dilanjutkan karena tak ada biaya. Tak dibayar pun tak apa, asal ia ada keterampilan.” “Yah kalau begitu. Aku mau saja,” ucapku girang. Semenjak itu. Aku menjadi sangat bahagia. Omzet setiap hari bertambah terus. Langganan semakin banyak. Dengan begitu bisa membantu kondisi keuangan keluargaku. Aku dapat membantu keuangan suamiku. Alhamdulillah. Tenang rasanya menanti kelahiran bayiku yang tinggal menunggu hari saja. Sangat tenang karena keuangan yang sudah aku persiapkan. Tak sabar aku ingin segera memomong bayi, merawatnya sendiri bersama dengan suamiku tercinta. Kekhawatiran tentang ketakutan akan melahirkan dan sebagainya terobati sudah dengan aktivitasku. Aktivitas keseharianku membuat aku melupakan masalah kelahiran yang jujur sangat aku takutkan. Ah, kalaulah mama ada di dekatku. Mungkin ia akan senantiasa memberi petuah, memberi saran padaku tentang hal-hal yang harus aku lakukan dalam menyongsong bayiku. Dalam mempersiapkan segalanya. Mamanya Raka, sebenarnya ada. Terhalang tiga rumah dari kontrakan. Tapi aku tak dekat. Dan ia begitu canggung jika aku mengajaknya bercakap. Usianya yang sepuh ditambah keadaan ekonomi yang semrawut membuat kehidupan anak-anaknya dengan orang tuanya tidak akrab. Bahkan bisa kukatakan sangat renggang. Beruntung sekali anak-anaknya termasuk anak yang baik dan taat pada perintah orang tua. Hingga tak pernah sedikit pun kudengar tentang kelakuan anak-anaknya yang menyakiti hatinya. Penderitaan telah membuat anak-anaknya tegar dan mandiri. Tak pernah cengeng dan hanya menghamburkan uang. Pun itu terjadi pada suamiku, Raka. Ia anak yang sangat bertanggung jawab. Seringkali kudengar niatnya suatu ketika. Niat atau perkataan sebelum kami menikah. “Aku yakin jika hidup denganku kau tak akan bergelimang harta seperti yang kau nikmati sekarang ini. Tapi kau harus yakin. Insya Allah jika aku makan, kau dan anak-anak pun pasti makan. Tapi jangan khawatir jika aku tidak makan, kau dan anak-anak pasti akan makan,” ucapnya suatu ketika. Itu senantiasa kusimpan dalam hati. Dan itu terbukti sampai sekarang. Raka takkan pernah mau makan bila tahu aku belum makan. Ia senantiasa menomorsatukan aku dan jabang bayi ini. Apa pun keperluan aku dan bayi, senantiasa ia nomor satukan. Itulah yang kusuka dari Raka. Tibalah saat yang menegangkan. Masa kelahiran buah hatiku. Karena bukaan di jalan lahir mengalami macet. Bidan tempatku memeriksakan diri menyarankan agar melahirkan di rumah sakit saja. Aku sempat menolak permintaan bidan karena kondisi ekonomi. “Sudahlah. Minta rujukannya, Bu,” Raka berkata pada bidan. Aku menatap lekat Raka. “Tenang saja. Uang bisa dicari. Yang penting kamu dan anak kita dapat diselamatkan,” suaranya terdengar pasti di telingaku. “Baiklah,” aku mengangguk pelan, walau hatiku ragu. Benarkah Raka dapat memenuhi segala urusan yang berhubungan dengan uang? Bukankah selama ini masalah keuangan begitu melilit keadaan keluarga kami? Tapi aku menyadari bahawa suamiku begitu memikirkanku. Ia menginginkan yang terbaik untukku juga anakku. Anak yang masih berada dalam kandunganku. “Mas, ini ATM-ku, ambillah uangnya. Itu uang dari hasil bisnisku. Jangan kau anggap uang dari orang tuaku. Sungguh itu uangku.” “Benarkah?” “Benar. Pakai saja,” mataku merem. Menahan sakit yang teramat. Bukaan di mulut rahimku tak jua mau bertambah. Macet. Itulah yang menyebabkan aku harus ikhlas dibawa ke rumah sakit. Operasi sesar. Badanku diangkat menuju ambulance. Dan akhirnya aku tak ingat. Semua begitu gelap. Bersamaan dengan itu aku bertemu dengan seseorang yang berbaju putih. Badannya begitu harum. Melambai-lambai ke arahku. Di seberang paling jauh kulihat sesosok tubuh yang begitu kukenal. Begitu dekat di hatiku. Dan aku tersentak ketika sosok yang begitu jauh itu. Yang begitu berjarak dariku adalah suamiku. Ia begitu dekat, tapi kenapa aku tak bisa menggapainya, seperti ada kaca dalam sebuah waktu yang memisahkan kami. Kulihat ia berteriak memanggilku. Begitu pun aku sama berteriak. Tapi entahlah, suaranya seperti tak pernah terdengar olehku. Hanya suaraku yang kembali terdengar ke telingaku. Dan yang lebih mengagetkan, sosok laki-laki berjubah putih dengan wajah bersembunyi itu berada di tengah-tengah kami. Ia seperti memperingatkan aku dan suamiku untuk menjauh. Jauh. Semakin jauh. Itu kulihat dari tangannya yang melambai-lambai ke arah suamiku menyuruhnya menjauh. Tatkala suamiku tetap saja mendekat dan berusaha menggapai tanganku, ia dengan segera menjamah tubuh suamiku dan menjauhkannya dariku. Pegangan tangan laki-laki itu begitu misterius. Aku pun tak habis pikir. Ia seolah tak pernah ragu bahkan tak pernah merasa berat sedikit pun ketika sebelah tangannya mengangkat badan suamiku.. Begitu besarnya tenaga laki-laki misterius itu. Hingga sedetik saja kemudian, wajah suamiku sudah tak terlihat lagi. Ia begitu jauh. Seperti setitik semut yang tak terlihat olehku. “Mas, jangan tinggalkan aku, aku ingin senantiasa bersamamu!” Kupandangi sekeliling. Harum ruangannya mengingatkanku pada mama. Mama yang waktu itu sedang terbaring di rumah sakit. Menjalani operasi usus buntu. Bau yang sama. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, benar. Ternyata aku berada di sebuah ruangan. Di rumah sakit. Peralatan operasi masih begitu sempurna berada di sekelilingku. Kuraba perutku. Kempis. Aku telah melahirkan. Mudah-mudahan anakku sehat. Aku ingin segera bertemu dengan anakku. Anak yang kucinta. Menunggu. Begitu lama kurasa. Setiap detik, setiap menit. Hati begitu terpenjara. Tanpa ada suara dan cakap dari orang-orang. Di sini. Di rumah sakit ini aku begitu asing. Menyendiri tanpa pernah ada seseorang yang menemani. Di mana suamiku? Di mana anakku? Di mana dokter itu? “Ingat, jangan pernah bersama dengan suamimu. Kau harus berusaha berpisah dengannya!” tiba-tiba sosok laki-laki dalam ingatanku muncul kembali. Ia muncul dari arah belakang di mana lemari-lemari besar tempat peralatan operasi berdiri. “Kau...” belum sempat aku bertanya, laki-laki itu hilang. Hilang seperti ditelan bumi. Datang tiba-tiba hilang pun tiba-tiba. Ah, laki-laki yang begitu misterius. Kreeek. Suara pintu tiba-tiba terbuka. Sosok laki-laki berbaju putih datang menghadapku. “Ibu sudah sadar?” “Bapak...?” “Aku dokter yang membantu persalinan Ibu. Selamat yah, Ibu sudah melahirkan.” “Kalau laki-laki yang tadi?” “Laki-laki mana, Bu?” matanya menatapku. “Laki-laki tua itu.” “Tidak ada, Bu. Saya dokter pertama yang masuk ke ruangan Ibu.” “Tapi…” “Beristirahatlah ya, Bu. Mungkin Ibu masih berada dalam pengaruh obat bius,” dokter itu tersenyum. “Oh, baik, Dok, makasih.” Batinku yang sedari tadi dipenuhi dengan teka teki laki-laki misteruis itu. Pupus sudah. Kiranya laki-laki yang tadi kutemui adalah hanya halusinasiku saja. Pasti. Ucapan dokter yang tadi membuatku yakin bahwa laki-laki itu adalah khayalanku saja. “Dok, di mana anakku? Aku ingin segera menemuinya.” “Iya. Nanti sebentar lagi ya, Bu.” 1 Setelah badanku mulai kuat. Aku dipindahkan ke ruangan normal. Dan berarti aku akan segera bertemu bayiku, menimang dan mengecupnya sepuas hatiku. Ya Tuhan, aku ingin segera bertemu dengan buah hatiku. Batinku bercerita. Tiga jam sudah aku berada di ruangan baru. Tapi kenapa belum seorang pun yang menemuiku. Padahal ibu-ibu di sampingku yang baru saja melahirkan sepertiku sudah ditemui oleh keluarganya, suaminya. Tapi aku? Mas, di mana kau? Mungkinkah suamiku mencari tambahan biaya untuk biaya operasiku. Batinku berguman. Kalaulah itu masalahnya. Ya Tuhan, segera mudahkanlah permasalahan yang kami hadapi. “Zani.” “Mas, kok lama?” Ia terdiam lama. “Mas, kenapa?” “Tak ada apa-apa. Istirahatlah. Ingat kata dokter.” “Tapi kok, Mas murung terus?” “Nggak apa-apa. Aku hanya cape.” “Jangan bohong, Mas. Aku tau kau menyimpan sesuatu. Kalaulah masalah biaya, semoga ada jalan, bersabar. Mungkin kita bisa memecahkannya. Atau bila perlu ambil saja semua uang di rekeningku itu.” “Zani, sabar yah.” Aku mengangguk. “Mas. Mana bayinya? Aku ingin segera bertemu.” “Nanti. Sebentar lagi,” suamiku membuang wajahnya. Melihat ke luar jendela. “Tapi kok yang lain bisa? Cepatlah, Mas.” “Zani...” ada air mata yang ke luar dari pipinya.