
by Titikoma

Jerman Tujuan Terakhirku (maretha Agnia)
Kurang lebih 2 tahun aku menjelahi dunia. Berbagai negara pernah aku singgahi, demi tuntutan pekerjaan. Setiap orang yang bertemu denganku pasti mereka berpikir profesiku seorang pramugari. Nyatanya pikiran mereka salah. Aku hanyalah seorang novelist biasa yang kebetulan lagi beruntung. Satu judul novelku sukses mendarat di toko buku seluruh dunia. Kini Jerman lah negara tujuan terakhirku. Aku berharap di negara ini tak ada lagi orang yang mengungkit masa laluku. Aku menyeret koper besar sembari mengedarkan bola mata ke seluruh sudut Frankfurt am Main[1]. Sampai detik ini aku belum menemukan tanda-tanda kehadiran Maretha Agnia. Dia sahabat terbaikku sejak SMP. Karena dia lah aku mendatangi Jerman. Aku mengeluarkan ponsel pintar dari saku mantelku. Jari-jariku menari lincah mengetik pesan untuk Maretha whatapp. Gue dah ada di Frankfurt am Main nih. Lu di mana? Selang dua menit pesan whatsapp-ku terkirim, terlihat dua tanda centang warna biru yang artinya telah terbaca oleh Maretha. Tak lama kemudian muncul balasan darinya. Gue ada di pintu utama. Lu langsung ke sini aja ya? Oke. Hanya satu kata balasan dariku. Berhubung sudah tahu keberadaan Maretha, dengan santai aku melangkahkan kaki menuju pintu utama. Sebelumnya aku sudah pernah ke bandara ini, jadi sudah tak bingung lagi mencari pintu utama. Pintu utama sudah terlihat, bola mataku menangkap sosok wanita cantik sekitar usia 25 tahun sedang melambaikan tangan ke arahku. Dia tinggi, langsing, rambut pirang bergelombang dan berpakaian modis. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok wanita itu. Senyum semringah terlukis di bibir. Wanita itu ternyata Maretha Agnia. Begitu aku berhadapan dengannya, dia memandangiku dari ujung kaki ke ujung kepala dengan tatapan takjub. Aku menyibaskan tangan ke matanya. “Woy, lu kok bengong sih? Gue bukan setan kali.” “Sorrry, gue pangling aja. Wajah lu tambah cantik. Beda banget ma yang dulu.” Aku tersenyum simpul mendengar pujiannya. “Ah, lu bisa aja. Walaupun wajah gue beda, tapi sifat gue masih sama kok seperti yang lu kenal. Bay the way, lu jemput gue sendirian?” “Gue sama sopir kok.” “Oh, terus mobil di mana?” “Tuh, di parkiran. Yuk, ikut gue!” Aku mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, aku memanfaatkan waktu untuk mengobrol dengan Maretha. 4 tahun tak bertemu, dia masih seperti dulu. Tetap ceria dan selalu bisa membuatku tertawa lebar. Langkah demi langkah telah kulalui, hingga akhirnya langkah Maretha terhenti berhadapan dengan mobil mewah Bentley Continental GT warna pink. Dahiku mengernyit. “Loh, kok berhenti? Emang mobil lu dimana?” tanyaku heran. “Nih, mobil gue.” Maretha mengelus mobil mewah Bentley Continental GT warna pink. Kini giliranku yang memandangi Maretha dengan tatapan takjub. Waktu di SMP-SMA dia hanya mengandalkan beasiswa. Penampilannya pun sangat sederhana. Entah cara apa yang dipakai Maretha hingga dia bisa merubah hidup hanya dalam waktu 4 tahun. Yang jelas dia sekarang sudah berhasil mengalahkanku. Terbukti dia sudah memiliki mobil mewah yang sama seperti punya Paris Hilton. “Lu pasti heran kenapa gue sekarang hidupnya berubah drastis dan punya mobil yang sama seperti milik Paris Hilton?” tanya Maretha seolah tahu apa yang ada di benakku. “Yup, ceritain ke gue dong gimana caranya lu merubah hidup.” “Ceritanya panjang. Ntar gue ceritain kalau dah nyampe apartemen gue. Eh, lu mau ke apartemen gue atau mau mampir ke mana dulu gitu.” “Langsung ke apartemen lu aja deh. Badan gue rasanya remuk menempuh perjalanan jauh.” “Okelah. Yuk, masuk! Anggep aja mobil sendiri.” Sopir Maretha membukakan pintu mobil untukku. Sebuah kebanggaan bagiku bisa memasuki mobil mobil mewah Bentley Continental GT warna pink. Ketertakjubanku masih berlanjut ketika memasuki apartemen Maretha. Di luar dugaanku ternyata dia tinggal di salah satu apartemen paling mewah di Jerman. Bangunannya seluas 696,7 meter dengan 4 kamar mandi serta 4 kamar tidur itu memiliki tampilan mengesankan. Desain interiornya sesuai karakter Maretha yang feminim. Terlebih bagian dinding didesain khusus memungkinkan menggantung karya seni tanpa takut rusak akibat matahari. Apartemen ini ruang outdoor seluas 418 meter persegi dengan teras melingkar. Waw, menakjubkan sekali bukan? Mataku mendelik ke arah Maretha. “Kenapa lu natap gue kayak gitu?” “Lu masih ada hutang penjelasan sama gue. Nah, sekarang kita kan dah sampe apartemen nih, ayo ceritain ke gue hidup lu kok bisa berubah drastis begitu merantau ke Jerman? Emang selama ini lu kerja apa? Simpanan om-om?” Aku melempari berbagai pertanyaan ke Maretha. Dia meneloyor kepalaku. “Yeee ... ngaco lu. Gue masih tau perbuatan yang dilarang sama Tuhan.” “Kalau bukan simpanan om-om terus lu kerja apa?” “Oke, gue akan ceritain semuanya. Tapi kita duduk di sana dulu yuk biar enak ngobrolnya.” Maretha memersilakanku duduk di sofa merk ternama di Jerman. “Jadi gini, gue kan ke Jerman karena dapet beasiswa. Di pertengahan semester 4 gue kehabisan dana buat makan sehari-hari, untungnya ada temen yang nawarin kerja sebagai asisten artis film Jerman. Artis majikan gue itu orangnya baik banget. Dia ngasih mobil dan apartemen ini ke gue.” Aku masih setengah tak percaya dengan ucapan Maretha. Hari gini mana ada artis yang baik memberikan mobil dan apartemen mewah pada asistennya? Tapi aku mencoba memercayainya. Selama bersahabat dengannya, dia tak pernah membohongiku. “Eh, Nind...” Sebelum Maretha melanjutkan kalimatnya, aku terlebih dahulu menempelkan jari telunjuk di mulutnya. “Please, mulai sekarang jangan panggil gue dengan nama itu lagi. Nama itu memiliki masa lalu yang kelam.” Wajahku tertunduk. “Aku tak ingin masa lalu itu terbayang lagi.” “Oh, sorry.” “Iya nggak apa.” “Lu sendiri selama ini kerja apa?” “Gue hanyalah seorang novelist biasa yang kebetulan lagi beruntung. Satu judul novelku sukses mendarat di toko buku seluruh dunia.” “Ciyee ... novelist internasional nih ceritanya? Kalau gue nggak boleh manggil nama asli lu, gue mesti manggil lu siapa?” “Panggil aja gue dengan nama pena.” “Emang siapa nama pena lu?” “Maretha Agnia.” Alis Maretha terangkat sebelah. “Lah, itu kan nama gue? Kenapa coba nama pena lu make nama gue?” “Karena lu sahabat terbaik gue. Kalau nama pena gue make nama lu, gue jadi inget lu terus. Lagian gue suka nama lu. Maretha bahasa Skotlandia yang artinya mutiara. Agnia bahasa Sansekerta artinya api. Nama lu membawa keberuntungan, buktinya gue jadi novelist internasional.” “So sweet. Lu dah punya manager atau asisten?” “Waktu tinggal di Kanada gue punya asisten cewek, sayang ketika gue pindah ke Jerman dia nggak bisa ikut.” “Gimana kalau gue aja yang jadi manager atau asisten lu?” “Bukannya lu jadi asisten artis film Jerman. Gue nggak sanggup bayar lu mahal.” “Gue dah resign. Soal itu gampang. Gue rela kok bayarannya 30% tiap lu dapet job. Gimana?” “Dengan senang hati gue nerima lu sebagai manager sekaligus asisten gue.” “Boleh nggak selama jadi manager dan asisten lu, gue make nama lu aja? Kan nggak lucu novelist internasional namanya sama dengan nama asisten?” “Boleh. Apa sih yang nggak buat lu.” “Asyik. Kita foto selfie dulu yuk? Daritadi kita belum foto.” Maretha mengeluarkan ponsel pintar dari tas branded. Dalam hitungan ke lima foto gaya aneh tersimpan di ponselnya. Aku geli sendiri melihat hasil foto. Maretha tak pernah berubah. Dari dulu setiap foto selalu menggunakan gaya memanyunkan bibir sambil berkacak pinggang.