cangkul yang dalam ( halusinada )
Cangkul Yang Dalam ( Halusinada )

Cangkul Yang Dalam ( Halusinada )

Reads
27
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Cangkul Yang Dalam

Nampak beberapa dus berserakan, terlihat deretan foto keluarga sedang dipasang oleh Setiawan dari latar rumah yang berbeda-beda. Menegaskan kalau Setiawan sering berpindah rumah.

Ningsih, wanita berusia 34 tahun sedang menata beberapa perabotan ruang tengah dan menyimpan sebuah piagam dokter bedah dengan nama Dr. Setiawan ke lemari.

Setiawan baru saja selesai memasang figura terakhir. “Gimana Ma?”

Ningsih menimbang posisi figura yang di pasang setiawan. “Pas, Pa.”

Sekarang apa lagi?”

“Kamar anak-anak aja dulu, Pa.”

Setiawan pergi menuju sebuah kamar sambil membawa salah satu dus yang bertuliskan “Alya”. Alya adalah anak sulungnya berusia 12 tahun. Dia dari lahir tidak bisa bicara dan tubuhnya lemah sakit-sakitan sehingga hidup di kursi roda.

Di sudut dekat jendela, Alya termenung duduk di kursi roda sambil memandang keluar jendela.

Dinda duduk di depan rumah dengan cemberut sambil memegang boneka.

Tak lama, seorang wanita kecil bernama Shinta melintas perlahan sambil memperhatikan Dinda.

Shinta penasaran melihat Dinda duduk di depan rumah kosong. “Hai, kamu lagi ngapain diem disitu sendirian, itukan rumah kosong.”

Dinda terdiam dingin. “Rumah itu sekarang aku yang nempatin.”

“Ohhh, kamu sekarang yang nempatin?”

Dinda mengangguk. Shinta turun dari sepeda ngajak berkenalan. “Aku Shinta.”

Dinda langsung tersenyum membalas jabat tangan. “Aku Dinda. Hm, rumah kamu di mana?”

Shinta menunjuk rumah bercat cokelat. “Tuh, di ujung sana.”

Dinda menatap ujung. Tanpa sengaja tatapan Shinta tertuju ke arah jendela. Shinta agak ketakutan melihat Alya yang menatapnya dengan tajam, sesekali Alya menggerak-gerakan kepalanya.

Tubuh Shinta menegang. “Itu siapa yang di jendela?”

Hm, Kakak aku.”

***

Dari jendela Alya menatap Dinda dan Shinta dengan gelisah.

Ningsih menghampiri putri sulungnya. “Alya… kamu harus lebih sabar ya. Suka atau tidak suka, Ini adalah yang terbaik. »

Setiawan dari ruang yang lain datang menghampiri Alya. Dia melihat Dinda dan Shinta dari balik jendela. “Ma, Dinda udah dapet temen baru lagi.“

Ningsih tersenyum. “Oh ya? sukurlah biar Dia cepet betah tinggal di sini.”

Alya memperlihatkan raut tidak suka, Setiawan menghampiri Ningsih.

***

Dinda dan Shinta, semakin akrab

Dinda dan Shinta sedang bermain bercocok tanam. ada rumah-rumahan kecil, ember dan cangkul mainan, bunga-bunga imitasi pun mereka tata dengan cantik.

Mereka bermain sambil menyanyikan lagu “menanam jagung”

Cangkul cangkul cangkul yang dalam, menanam jagung di kebun kita.

Tiba-tiba datang kursi roda Alya pelan dan menabrak mainan Dinda dan Shinta.

“Kakak, kok ditabrak sih?” teriak Dinda marah.

Alya menatap tidak suka kepada Shinta.

Shinta terlihat ketakutan dan mendekati Dinda. “Dinda, aku takut!” bisik Dinda.

“Nggak apa-apa, Shinta, Kak Alya emang suka begitu kok.”

Ningsih buru-buru datang sambil membawa makanan dan minuman, kaget melihat Alya yang sudah menabrakan kursi rodanya. “Aduhh Alya, mulai lagi deh. Pa!” teriak Ningsih.

Setiawan datang dengan tergesa-gesa. “Kenapa?”

Ningsih nunjuk ke tempat mainan. “Tuh. Ulah Alya.”

Aduh Alya, kamu maunya apa sih?”

Setiawan langsung mendorong kursi roda Alya menuju dapur, Alya nampak berontak sambil mengerang-ngerang.

Ningsih tersenyum menenangkan Shinta, lalu menyajikan makanan dan minuman kepada keduanya.

“Maafin kakak Alya ya Shinta.”

Shinta mengangguk

“Nih, Tante punya ini cobain deh.”

Iya, Makasih Tante.”

“Ya udah sekarang kalian lanjutin lagi mainnya ya?”

Ningsih pergi meniggalkan Dinda dan Shinta.

***

Alya sendirian di dapur. Dia terlihat masih kesal. Matanya tertuju ke satu set pisau yang berada di atas kitchen set atau benda membahayakan lainnya.

Alya menggerakan kursi rodanya dengan kesusahan. tangan Alya mencoba menggapai pisau itu setengah berdiri. ketika tangannya berhasil menggapai pisau, keseimbangan Alya goyah. akhirnya Alya pun terjatuh dari kursi roda sambil memegang pisau.

Alya merangkak mendekati kursi roda sambil memegang pisau.

Bersamaan Dinda datang menghampiri. Dinda kaget. “Kakak. Maaaah… Paaaahh.”

Setiawan dan Ningsih datang dengan tergesa-gesa.

“Ya ampun, Alya!” pekik Setiawan menaikan badan Alya ke atas kursi rodanya.

“Alya, kalau kamu tidak bisa merubah sikap, ibu pindahin kamu ke panti,” sahut Ningsih.

Ningsih langsung membereskan barang-barang yang berserakan

“Aku ngga suka sama kakak!” rajuk Dinda cemberut.

Dinda beranjak keluar.

“Udah, Pa. Bawa ke kamar aja.”

Setiawan mendorong kursi roda Alya keluar dari ruangan itu Terlihat Alya berontak sambil berteriak-teriak. “Kamu diam atau Papa iket!”

***

Terdengar suara Shinta yang memanggil-manggil nama Dinda.

“Dindaaaa… Dindaaaa…main yuk!”

Shinta berada di balik gerbang rumah sambil memangil-manggil Dinda. Dinda.”

Dari gerbang, Shinta melihat pintu samping rumah Dinda sedikit terbuka. Shinta menghampiri pintu itu dan berhenti sebentar.

Shinta pun masuk. “Dinda.”

Dinda masuk lebih dalam seraya mengamati tiap sudut rumah Dinda. Suasana rumah nampak sepi, tv menyala tidak ada yang menonton. Ketika Shinta berjalan menyusuri ruangan, dia di kagetkan dengan sebuah jam dinding yang berdenting. Terdengar suara barang terjatuh dari dapur, Shinta menghampiri arah suara.

“Dindaaa… kamu di mana?”

Shinta berjalan ke dapur. Sesampainya Shinta didapur, Dia melihat kursi roda yang kosong. Tiba-tiba saja Alya muncul dari suatu sudut, merayap berusaha menghampiri Shinta sambil memegang pisau.

Shinta kaget dan ketakutan, “hah Kak Alya!”

Dia berlari sambil menutup pintu dapur.

“To-tolooong! Dinda…tante, Om tolong.”

Hening. Tidak ada satu pun mendengar teriakan Dinda.

Shinta berlari kearah pintu belakang, terlihat pegangan pintu dapur bergerak-gerak. Shinta semakin panik meminta tolong.

Shinta tiba di tempat awal masuk, berusaha keluar lewat pintu yang tadi terbuka, namun pintu itu kini terkunci. Shinta shock.

“Tolooong… Om, Tante tolong.”

Shinta mencari jalan keluar yang lain, terlihat sebuah bayangan menghampiri Shinta, saat Shinta berbalik badan. bayangan itu sudah menerkam atau menutup pake karung.

“Agh…” teriak Shinta.

***

Suasana temaram di kamar Dinda, terlihat Dinda tidur gelisah. Gorden jendela perlahan tersibak oleh angin hingga menjatuhkan boneka baru yang disimpan diatas meja.

Sayup-sayup terdengar suara memanggil Dinda. “Dindaaa… Dinda….”

Dinda terbangun dari tidurnya, dia terdiam sambil menguatkan pendengarannya.

“Dindaaa…”

“Seperti suara Shinta,” gumam Dinda.

Dinda duduk sambil melihat jam dinding yang menunjukan jam setengah dua dini hari.

Dinda menuju jendela dan melihat arah suara, Terlihat di taman belakang ada sesosok Shinta nampak belakang sedang berjalan menuju suatu tempat.

“Hah, Shinta mau ke mana malem-malem?”

Dinda nampak senang kemudian dia pun berlari keluar, tidak lupa mengambil boneka barunya yang terjatuh.

Dinda keluar dari pintu belakang menuju kebun belakang rumah, nampak dia berlari melewati sebuah ruangan seperti gudang di belakang rumah tersebut, dengan lampu yang masih padam.

Dinda sudah berada di kebun belakang. Dinda melangkah pelan sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Shintaa… kamu di mana?”

Terlihat sebuah tangan kecil memegang pundak Dinda.

Dinda kaget kemudian ia berbalik badan. Terlihat Shinta dengan muka yang pucat tanpa ekspresi. Lebih terkesan kasian bukan serem.

“Shintaaa… kamu, kamu kenapa sakit?”

Shinta tertunduk, matanya nanar

“Kok diem saja, kita main boneka yuk?”

Shinta hanya menggelengkan kepala, kemudian menunjuk ke balik gudang atau ke sebuah tumpukan dedaunan kering yang berada dekat pohon sambil menyanyikan lagu “menanam jangung” dengan lirih.

Cangkul cangkul, cangkul yang dalam… menanam jagung di kebun kita.

Ohhh kamu pengen main bercocok tanam lagi, ayo… tapi aku ngambil cangkul dan pot mainan aku dulu ya.

Dinda akan meninggalkan Shinta, namun tangan Shinta menahannya. Shinta kemudian menunjuk agak kesamping sudah tersedia pot dan cangkul beneran.

Dinda melihat heran dan menggisik matanya seolah gak percaya.

Shinta langsung berjalan sambil mangambil cangkul dan menariknya menuju ke tumpukan daun kering.

Dinda mengambil cangkul lalu mencakul tanah yang ada di sana sambil bernyanyi ”menanam jagung”. Shinta bernyanyi dengan lirih.

Cangkul cangkul cangkul yang dalam… menanam jagung di kebun kita…

Dinda pun mengikuti Shinta dan mencangkul tanah tersebut.

Terlihat cangkulan tanah sudah sedikit dalam, lalu Dinda melihat ada sebuah peti di bawah tanah tersebut. “Ihhh kok ada peti.”

Shinta meminta Dinda untuk membukanya, Dinda dengan semangat mencangkul tanah itu.

“Ohhh kamu mau main mencari harta karun ya… oke aku cangkul lagi ya.” Shinta terus bernyanyi riang.

Terlihat tutup peti yang tidak terlalu besar sudah terlihat, Dinda membuka peti itu dengan perlahan. Ketika peti di buka, Dinda kaget karena di dalam peti itu adalah Shinta yang sudah terbujur kaku dengan posisi badan meringkuk.

Mata Dinda melotot. ”Hah, Shinta!! Kok…”

Dinda melihat kesekitar, ternyata Shinta sudah tidak ada. Dinda pun akhirnya menangis.

“Shin-Shintaaaaa… kenapa kamu ada di dalam peti? Shinta.

Dinda lalu berlari memanggil Ningsih dan Setiawan. ”Papah…. Maaahh… tolongg…”

Tidak terdengar sahutan dari orang tuanya. Dinda penasaran ke mana mereka? Dinda kembali masuk ke rumah untuk mencari orang tuanya.

Terlihat Dinda yang berlari melewati ruangan yang sebelumnya lampunya padam. Tiba-tiba “creek” lampu menyala dan langkah Dinda pun terhenti.

DInda memandang ke ruangan itu, di sana sudah ada Shinta di depan pintu dan melambaikan tagannnya, lalu masuk ke sana.

Dinda masih shock, sambil perlahan menuju ke ruangan itu.

Shinta…”

Dinda memasuki ruangan yang sudah sedikit terbuka.

Ruangan tampak bersih, di sekitarnya terdapat sebuah freezer dan beberapa alat bedah beserta brankar bedah.

Shinta… kamu di mana?”

Dinda dikagetkan dengan sebuah cool box yang tiba-tiba terbuka.

Hah! Apa itu?”

Dinda mendekati cool box itu dengan perlahan dan melihat isinya. Terlihat sebuah jantung manusia yang sudah beku di dalam cool box.

Terdengar suara sayup Shinta. “Dinda, itu punya akuuu.”

Dinda kaget, lalu dia bebalik badan akan berlari.

“Hah! Mamah… Papah…Shintaaa…”

Terlihat Ningsih dan Setiawan sudah berada di belakang Dinda, mereka pun saling bertatapan sedih.

“Mamaaa.”

Ningsih langsung jongkok dan membuka tangan dengan lebar, Dinda lari menuju Ningsih dan memeluknya dengan erat.

Mah… Pah… tolongin Shinta… kasihan dia.”

Maafin Mama sama Papa ya, Nak. Ini demi kesembuhan kakak kamu.”

Ningsih dan Setiawan saling bertatapan sedih. Dinda menatap kedua orang tuanya curiga.

Ningsih pun memberi kode kepada Setiawan.

Setiawan menutup pintu dan mematikan lampu, lalu terdengar suara jeritan Dinda dari dalam ruangan.

”Aaaaaaaaaaaa!”

Alya mendengar jeritan adiknya dan Dia pun menangis meraung-raung


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices