rembulan di mata syua
Rembulan Di Mata Syua

Rembulan Di Mata Syua

Reads
58
Votes
0
Parts
3
Vote
by Titikoma

Chapter 1

 Wanita mengenakan baju kantor itu memicingkan mata sesaat. Menahan amarah. Padahal di kantor sedang ada rapat. Namun demi putrinya, dia terpaksa menunda pertemuan dan bergegas munuju sekolah, setelah mendapat telepon dari Wali Kelas. Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Dina, mama Syua. Menyerah. Wali Kelas sudah tak sanggup lagi mendidik Syua. Ini entah keberapa kalinya ia dipanggil ke sekolah. “Syua!” panggilnya sekali lagi. Syua acuh, memalingkan wajah dari Dina. Dina mendesah sembari memijit pelipis. Bagaimana caranya lagi untuk menghadapi Syua? Berbicara baik? Malah tak ditanggapi. Kalau dipukul? Gadis itu akan semakin memberontak. Pusing! Anak satu-satunya yang diharapkan malah lebih bandel daripada anak laki-laki berandalan. Setelah selesai, Syua keluar duluan dari ruang guru diiringi Dina dari belakang. “Bu Dina, Syua sudah kelas enam. Melihat kelakuannya semakin hari semakin menjadi, takutnya Syua tidak akan dapat mengikuti ujian akhir sekolah. Dia jarang pula memperhatikan ke depan, sering bolos, dan tugas pun tak dikumpul. Saya sebagai wali kelas tidak bisa menasehati lagi. Bu Dina, terkadang, anak-anak bertingkah seperti itu hanya ingin mecari perhatian. Karena kurangnya kasih sayang diberikan keluarga. Saya hanya bisa menyarankan, agar Bu Dina lebih memperhatikan Syua.” Dina teringat kata-kata Wali Kelas sebelum pamit. Sangat menohok hati, tetapi itu memang Benar. Syua mulai berubah saat dirinya bercerai dengan Papa Syua. Lebih tepatnya enam bulan lalu. Bagaimanapun juga, mereka t idak bisa menyatu kembali. ‘Papa tidak mencintai mama lagi’ alasan yang selalu diberikan Dina untuk Syua. Sayangnya Syua tak mengerti dengan pemikiran orang dewasa. Apa karena tidak saling cinta, mereka harus pisah? Jadi, kebersamaan selama ini apa? “Apa kamu senang kena skors?” tanya Dina sudah duduk di kursi pengemudi. “Jika kamu terus keras kepala, mama akan mengirimmu ke pesantren!” “Ma! Sudah aku bilang, Ken yang mulai duluan, dia ngehina Syua!” “Mama tidak mendidikmu menjadi preman, Syua. Buka!” bentak Dina sambil melepas paksa gelang karet hitam di pergelangan tangan putrinya. Serta kalung rantai tengkorak menggantung di leher Syua. Mereka saling tarik-ulur. Syua tidak suka barangnya diambil orang lain termasuk Mama. “SYUA!” teriak Dina. Mata Syua terpicing karena kaget. “Berikan!” tekan Dina sekali lagi, membuat benda di genggaman Syua melemah. Dengan kesal Mama mengambil—membuang benda itu dari kaca mobil yang sedikit terbuka. Kemudian melajukan mobil menuju rumah. *** “Syua benci Mama!” Gadis kecil itu berlari ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Dina membuang napas dan memijit jidat yang berkerut. “Anak itu. Ouh, kepalaku ... kepalaku!” keluhnya. “Nyonya, apa Anda baik-baik saja?” tanya Bi Sita, asisten rumah tangga. Dina mengangguk sembari menerima segelas air pemberian bibi. Tenggorokannya perlu dibasahi. Sepanjang apa pun berceramah, Syua t idak menaggapi nasihat Mama. Masuk kanan-keluar kanan, alias memantul. Tak hinggap sedikit pun. Apa Syua bikin masalah lagi? Bi Sita membatin, mengambil gelas kosong dari tangan sang majikan. Kasihan. Setelah tuan tidak ada, rumah ini seperti kuburan. Syua jarang keluar, mengurung diri di kamar. Begitu juga nyonya, menghabiskan waktu dengan pekerjaannya. Terkadang pulang larut malam. Kasihan anak itu. “Bi, saya akan mengirim Syua ke pesantren,” kata Dina meletakkan brosur di atas meja. Dina ingin Syua berubah menjadi anak yang baik. Biar di pesantren, Syua bisa dididik dengan benar. Bagi Dina, Bi Sita bukan sekadar asisten rumah tangga tapi sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Bi Sita lah yang merawat Syua sejak umur 1 tahun. “Pesantren?” tanya Bi Sita. Dina mengangguk. Keputusannya sudah mantap untuk memasukkan Syua ke pesantren kilat Al-Falah. Cuma sebulan. Kalau misalkan Syua tidak berubah juga, Mama berencana akan menambah sebulan lagi, begitu seterusnya. Soal sekolah, Mama sudah memikirkannya. Tinggal meminta izin sama Bu Sinta, Wali Kelas Syua. Kalau perlu, Syua akan mengulang kelas enam nantinya, jika putri satu-satunya itu tetap membandel. Di pesantren peraturannya sangat ketat dan disiplin. Di sana, Syua bisa belajar mandiri, berperilaku baik sesama teman dan menghormati yang lebih tua darinya. Semoga penampilan Syua bisa berubah menjadi Syua yang dulu, gadis kecil manis, bertutur kata lembut. Tanpa disadari, Syua mendengarkan pembicaraan Dina dan Bi Sita. “Bi, saya kembali ke kantor. Tolong jaga rumah.” “Ya, Nyonya ... hati-hati di jalan.” Di kamar, Syua sedang asyik memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam ransel. Berencana kabur, entah ke mana. Yang jelas, Syua ingin keluar dari rumah. Ke tempat Papa? Seakan ide itu terlintas. Namun, Syua t idak tahu alamatnya. Semenjak berpisah, Papa tidak pernah mampir ke rumah. Menjenguk Syua saat sakit pun tak pernah. Apa Papa membenci keluarganya? Syua akan jadi anak yang baik, jika Papa dan Mama balikan lagi. Syua membatin. Di taman kompleks perumahan, Syua sedang duduk di atas ayunan sambil mengayunkan kaki. Ransel masih disandang. Mungkin isi tasnya hampir habis, mengingat langkah kakinya yang sudah berjalan jauh, berkeliling kompleks. Sepanjang perjalanan pun mulutnya tak berhenti mengunyah. Syua mendaratkan kaki ke tanah—mengambil botol minuman di sisi ransel dan meneguknya hingga habis. “Waktunya pulang,” gumamnya. Kata kabur yang terlintas dipikiran Syua tadi menghilang seketika, ketika menatap langit senja. Dia takut kegelapan. Takut kalau ada orang jahat yang menculiknya. Takut kalau ada hantu yang muncul secara tiba-tiba. Dari kesekian banyaknya hantu, Syua takut sama pocong apalagi cara jalannya gak etis, melompat-lompat. Maka dari itu, Syua juga tidak suka dengan bantal guling, dia lebih asyik memeluk boneka beruang besar daripada guling yang mirip pocong. “Syua ke mana saja? Bibi sangat khawatir!” tanya bibi melihat Syua yang baru menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Tak menoleh. Syua melenggang acuh menuju kamar yang berada di lantai dua. Wanita tua itu bernapas lega melihat anak majikannya baik baik saja. Karena dari siang hingga sore tadi, Bi Sita tidak menemukannya dimanapun. Syua, makan malamnya sudah bibi siapkan!” teriak Bi Sita dari bawah. Tak ada balasan seperti biasa. Syua sudah kenyang, dirinya langsung menghempaskan tubuh ke kasur. Mandi pun tidak. Kakinya sudah letih berjalan seharian. Malam ini dirinya bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan masalah menghantui benak. *** “Syua!” Dina menyibakkan gorden dan membuka jendela kamar putrinya. Syua menggeliat dan kembali menyelimuti tubuh hingga menutupi kepala dengan selimut hijaunya. Menghindari sinar matahari yang menyilaukan mata. “Aku masih ngantuk, Ma!” ucapan yang tak tersampaikan. Masih bertengger dalam benak. Lagian, untuk apa cepat-cepat bangun? Hari ini Syua libur. Lebih tepatnya diliburkan, alias di skors selama dua hari. “Syua, bangun! Ini sudah jam sepuluh.” Dina menyibakkan selimutnya dengan paksa. “Masih ngantuk, Ma!” protes Syua meraih selimut dengan mengangkat kaki kirinya. Sebelum itu terjadi dengan cepat Mama mengambil dan membuang selimut Syua ke lantai. “Bersiaplah! Hari ini mama akan mendaftarkanmu ke pesantren.” Syua berdecak sembari membuka mata. A-Apa!? Syua melotot kaget. Ternyata apa yang didengarnya kemarin hari ini jadi nyata. Syua memberontak dalam hati. Andaikan bisa, dirinya akan kabur sekarang juga. Namun percuma, Dina pasti akan menangkapnya sampai dapat. Syua benci Mama! teriaknya dalam hati


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices