
by Titikoma

Chapter 1
Derap langkah tergesa memecah kesunyian koridor sekolah. Tak hanya sepasang, tapi dua pasang kaki yang sedang berlari di sana. Di depan pintu kelas XI IPS 2, keduanya berhenti lalu mengucapkan salam berbarengan. Pak Hendra, guru yang sedang mengajar di kelas itu, menoleh diikuti seluruh penghuni kelas. Sementara pemilik dua pasang kaki yang berdiri di ambang pintu, saling menatap tak suka. “Rasky! Rizki!” bentak Pak Hendra membuat sepasang remaja itu terkejut. “Kalian ini, sudah terlambat, masih sempat-sempatnya lihat-lihatan!” Suara Pak Hendra terdengar begitu menyeramkan di telinga Rasky juga Rizki. Keduanya menunduk. Tak berani memandang mata sang guru. “Lari keliling lapangan sepuluh kali!” Rasky dan Rizki mengangkat kepala. Menoleh ke arah lapangan berbarengan. Ternganga ketika area itu terlihat lebih luas dari biasanya. Sementara mereka belum tersadar dari keterpanaan, Pak Parman menghampiri Pak Hendra. “Anak-anak, Bapak ada keperluan sebentar. Tolong jangan berisik!” pesan Pak Hendra. “Ya, Pak ...!” Pak Hendra keluar. Menggelengkan kepala mendapati Rasky dan Rizki masih mematung menatap lapangan. “Jangan bengong! Kerjakan hukuman kalian. Sekarang!” Rasky dan Rizki terlonjak kaget. Tak sampai sedetik, serempak keduanya berlari ke lapangan. “Pak Parman, tolong awasi mereka!” Seluruh penghuni kelas XI IPS 2 menghambur keluar setelah bayangan Pak Hendra menghilang. Menonton Rasky dan Rizki menjalani hukuman. Mengabaikan Pak Parman yang mengawasi di tepi lapangan. Para siswi kompak menyemangati Rasky. Sementara yang diberi semangat sedang sibuk berlari sambil mendorong Rizki hingga membuat gadis itu terjatuh.
Rasky tersenyum penuh kemenangan tanpa menghentikan laju lari di
tengah keriuhan sorak-sorai gadis-gadis. Sesekali melemparkan kiss bye
ke arah penonton membuat para fans-nya semakin histeris. Rizki bangkit.
Menepuk-nepuk bagian belakang roknya yang kotor sembari menatap
Rasky sebal.
Begitu hukuman usai, Rasky dan Rizki melangkah gontai menuju kelas.
Para siswi bergegas menghampiri Rasky dengan membawa handuk
kecil beserta botol air mineral. Melewati Rizki yang berjalan di depan.
Sementara murid-murid cowok hanya menonton dari teras kelas.
Mereka berkasak-kusuk iri melihat Rasky yang dikelilingi para gadis.
Sementara di tepi lapangan, Rasky masih dikerubuti para penggemarnya.
Ada yang mengelap keringat, memijit, ada pula yang hanya menatap
kagum. Rasky begitu menikmati. Hampir saja ia jatuh tertidur kalau saja
suara jeritan di sekitarnya tak mengganggu.
“Pagi-pagi kok mukanya udah kusut gitu?” Meta tersenyum simpul
menghampiri Rizki yang bertopang dagu di bangkunya. Mukanya
cemberut.
“Ngapain kamu ke sini? Urusin aja tuh cowok yang menurut kalian paling
cakep sedunia!”
“Gitu aja kok marah? Aku cuma bercanda kok.”
“Bohong! Kalau aku nggak langsung ngambil botol itu, pasti udah kamu
kasih ke dia.”
“Aku nggak bohong. Beneran, deh! Lagian, kenapa sih kamu kok kayaknya
kesel banget sama dia?”
“Dari awal dia udah nyari gara-gara sama aku. Gimana nggak kesel, coba?”
“Jangan terlalu kesel sama orang. Ntar jadi suka, lho!”
Seorang wanita berambut lurus sebahu menatap ke luar jendela kamar
dengan tatapan kosong. Tubuhnya mematung di atas kursi roda yang
menjadi teman setia selama belasan tahun. Tak dihiraukannya suara
salam dari pintu depan. Pun ketika terdengar suara langkah mendekat.
“Ibu sudah makan?” Pemilik langkah itu menghampiri dan berjongkok di
hadapan si wanita yang tetap bergeming.
“O ya, Bu. Mbak Fajri ke mana? Tadi dia pamitan sama Ibu?”
Ia tahu takkan ada respon dari wanita yang sembilan bulan pernah
sekaisan napas dengannya, tapi Rizki tak peduli. Tetap berbicara meski tak
pernah ada jawaban. Gadis itu telah terbiasa tak mendengar suara sang
ibu selama hidupnya. Dari cerita sang ayah, Hasna mengalami syok ketika
mengetahui salah satu bayi kembarnya meninggal.
Wanita berkulit putih itu histeris begitu mendengar kabar buruk tak lama
setelah siuman sesudah menjalani operasi caesar.
Ia bersikukuh bahwa bayi laki-lakinya masih hidup. Membantah keras
ucapan sang dokter yang mengatakan kalau bayi itu terlahir dalam keadaan
tak bernyawa. Hasna jatuh pingsan melihat mayat bayinya. Begitu sadar,
ia sama sekali tak bersuara. Tatapannya kosong. Tubuh tak bergerak sama
sekali. Semua yang terjadi di sekitar, diabaikan. Tetap mematung seperti
mayat hidup hingga Rizki beranjak remaja.
“Rizki sudah pulang?” Sesosok wanita muda berjilbab krem muncul dari
balik pintu kamar.
Rizki menoleh. Tersenyum pada wanita yang selalu menjaga sang ibu saat
Rizki dan ayahnya sedang ke luar.
Ruang guru sepi tatkala Rizki memasuki tempat itu. Ia melangkah
mendekati meja Bu Lyra hendak mengambil tumpukan buku tugas
yang diminta guru muda itu untuk dibawa ke kelas saat jam pertama
berlangsung.
Ketika Rizki mengangkat tumpukan buku dari atas meja, tanpa sengaja
tangannya menyenggol sebuah buku tebal yang tergeletak di samping
buku-buku yang diambilnya. Buku tebal itu terjatuh dengan posisi terbuka.
Terlihat deretan foto hitam putih ukuran 3x4 beserta biodata.
Gadis itu meletakkan kembali tumpukan buku tugas lalu berjongkok
hendak mengambil benda yang terjatuh. Baru saja tangannya meraih,
mata Rizki menangkap wajah seseorang yang sepertinya ia kenal di salah
satu deretan foto. Deg! Jantung Rizki berdegup kencang begitu mengenali
sosok itu.
Nggak salah lagi! Ini pasti dia, simpul gadis itu dalam hati. Terbayang sosok
tampan yang telah lama menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Jadi,
dia alumni sekolah ini?
Buru-buru ia mengambil ponsel di saku lalu memotret foto itu. Pandangan
Rizki bergerak membaca biodata di samping foto.
Sunny Alif Ramdhani. Rizki tersenyum mengeja nama itu dalam hati.
“Heh, kamu!” Terdengar suara di belakang Rizki saat gadis itu menyusuri
koridor sekolah.
Bel tanda pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu. Gedung itu mulai
sepi. Hanya segelintir siswa yang masih terlihat menuju gerbang. Rizki
tak menghentikan langkah. Bukan tak mendengar, tapi ia merasa bukan
dirinya yang dipanggil. Sebuah tangan menarik lengan Rizki. Memaksanya
membalikkan badan.
“Eh, apa-apaan, sih?” Rizki menepis cekalan di lengannya. Di hadapan,
nampak Rasky bersedekap dengan dagu terangkat serta pandangan mata
ke bawah menatap gadis yang hanya setinggi dadanya.
“Dari tadi dipanggil kok nggak jawab?!”
“Siapa yang manggil? Perasaan aku nggak denger namaku dipanggil.”
Rizki mendongak.
“Aku mau ngomong sama kamu.”
“Apa?” Rizki berucap ketus. Kedua tangannya dilipat di depan dada
dengan tatapan menantang.
“Kenapa sih, nama kita mesti mirip? Panggilannya pun sama ....”
Sesaat Rizki melongo. Sedetik kemudian ia membekap mulutnya menahan
tawa.
Rasky menunggu. Tak menyadari sosok di hadapannya mati-matian
menahan geli mendengar pertanyaan cowok itu.
“Mana kutahu.” Rizki angkat bahu setelah bisa mengendalikan diri.
“Waktu aku lahir, aku nggak minta dikasih nama dan panggilan itu.”
“Tapi kan kalau nama panggilan kita nggak sama, kejadian pas pelajaran Pak
Hendra tadi nggak bakalan terjadi.” Rasky cemberut. Menggembungkan
pipi dan mengerucutkan mulut. Rizki terpana. Ekspresi wajah cowok
tampan itu sangat menggemaskan seperti bayi lucu.
Rasky membawa ingatannya mundur beberapa jam yang lalu.
“Ki,” panggil Pak Hendra ketika para murid bersiap hendak keluar.
“Ya, Pak,” Rizki dan Rasky menjawab berbarengan. Kelas yang semula
gaduh, mendadak senyap. Rizki dan Rasky saling menatap tak suka.
“Maksud Bapak, Rizki.”
Ucapan Pak Hendra membuat kelas kembali gaduh. Gelak tawa dan
teriakan ‘Huuu ...!’ riuh terdengar.
“Pokoknya mulai sekarang kamu nggak boleh pake nama panggilan itu!”
Ultimatum Rasky membuyarkan ingatannya. Rasa kesal yang sempat
menguap beberapa saat, kembali hadir.
“Heh! Siapa kamu? Enak aja nyuruh-nyuruh! Bukan hak kamu nyuruh aku
kayak gitu. Ini nama panggilanku sejak kecil dan nggak aku tiru dari kamu.”
“Eh, eh, ada apa ini?” Meta muncul. Bergegas menghampiri dua orang
yang bersitegang. Rizki dan Rasky menoleh berbarengan.
“Diam! Nggak usah ikut campur!” bentak Rizki dan Rasky bersamaan.
Refleks Meta mengatupkan mulut rapat-rapat. Niatnya untuk melerai
diurungkan begitu melihat tanggapan mereka berdua. Ia mundur
beberapa langkah.
“Iya, tapi kamu bisa ‘kan pake nama panggilan yang lain?” Rasky kembali
menatap Rizki.
“Nggak. Aku nggak mau!”
“Ayolah, ganti dong! Please ...!” Rasky memasang tampang innocent
dengan kedua tangan ditangkupkan di depan dada.
Meta terkesima melihat ekspresi Rasky. Seandainya ia yang diminta, gadis
itu takkan berpikir dua kali untuk mengabulkannya.
“Udah, ah! Aku nggak mau berdebat lagi soal sepele kayak gini. Kayak
anak kecil aja!”
“Eh, siapa yang anak kecil? Ini juga bukan persoalan sepele, ya! Ini ....”
“Udah, udah!” potong Rizki cepat. Kedua tangan terangkat. “Gini aja,
siapa yang lebih tua di antara kita, dia berhak make nama panggilan itu.
Gimana?”
Rasky berpikir sejenak. “Oke, aku setuju.
“Umur kamu berapa sekarang?” Rizki memulai. “Enam belas.” “Aku juga. Kalau gitu ... bulan. Kamu lahir bulan apa?” “April.” “Yang bener? Aku juga lahir bulan April.” “Masa sih? Kalau gitu, sekarang tanggal.” “Dua empat.” “Hah?! Beneran? Aku juga lahir di tanggal itu.” Rasky kaget. Tak menyangka mereka lahir di hari yang sama. “Iyakah? Coba lihat kartu pelajar kamu!” pinta Rizki tak percaya. “Punya kamu juga.” Keduanya saling bertukar kartu pelajar. Membaca cepat tulisan di kartu itu lalu mengangkat kepala bersamaan. “Bahkan kota kelahiran kita sama?!” Keduanya serempak berseru. “Kok bisa, sih? Kamu lahir di rumah sakit mana?” tanya Rasky penasaran. Rizki menyebutkan nama rumah sakit tempatnya dilahirkan. Mata Rasky membulat. “Kamu juga di situ?” Rasky mengangguk. “Kok bisa, ya?” “Kalian jodoh, kali!” celetuk Meta. “Jangan ngomong sembarangan!” “Tuh ‘kan, dari tadi ngomongnya kompakan terus.” Rizki dan Rasky melotot. Keduanya menghampiri Meta dengan tatapan tajam. Seakan hendak menelan gadis itu bulat-bulat. Meta mengkeret. “Oke, oke. Aku nggak ikutan. Peace ...!” Meta
mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
Rizki dan Rasky menghentikan langkah. Ekspresi wajah seketika berubah.
Keduanya kembali saling berhadapan. “Kembali ke topik semula. Kamu
lahir jam berapa?”
“Tepatnya aku nggak tahu, tapi yang pasti dini hari.”
“Aku juga.” Rasky tertunduk lesu.
“Sama lagi?”
Rizki dan Rasky terdiam. Keduanya berpikir mencari jalan keluar. Meta
yang masih setia menjadi penonton, menatap mereka bingung.
Hal sepele kayak gini, kok jadi ruwet, sih? pikirnya.
“Aku tahu! Soal jamnya, kita lihat di akta lahir aja,” usul Rizki akhirnya.
Wajah Rasky yang semula muram, kembali cerah. Ia mengangguk mantap.
“Tapi ... kalau masih sama juga?” Rasky mendadak ragu.
“Kita lihat menitnya. Kalau masih sama juga, kita tanyain detiknya sama
orang tua masing-masing,” putus Rizki.
Rasky mengangguk setuju.
Sedetail itu? batin Meta makin bingung. Aneh. Cepet banget berubahnya.
Tadi bertengkar, sekarang udah kayak temen. Dua orang ini bener-bener
makhluk aneh, batin Meta masih tak mengerti