2r

Reads
198
Votes
0
Parts
13
Vote
by Titikoma

Chapter 5

Alif mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Lalu lintas tak begitu ramai. Di jalanan depan rumah sakit, Alif refleks mengerem sepeda motor saat tiba-tiba seseorang berlari ke tengah jalan. Waktu seakan terhenti ketika ia berhasil menghentikan kendaraannya. Di hadapannya, tepat beberapa senti dekat ban depan, berdiri seorang gadis berseragam putih abu-abu.
Gadis itu terkesiap. Tubuhnya mematung beberapa saat sebelum akhirnya lunglai menyentuh aspal. Alif bergegas turun dan men-standar sepeda motor.
“Rizki!”
Alif urung memeriksa keadaan gadis itu tatkala mendengar suara seseorang. Remaja laki-laki berseragam putih abu-abu berlari menghampiri. Dengan cepat melewati Alif kemudian bergegas menggendong gadis itu lalu membawanya ke tempat tadi ia datang. Alif tertegun. Sesaat dilanda kebingungan. Suara klakson menyadarkannya.
***
“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanya Rasky setelah seorang dokter wanita selesai memeriksa keadaan Rizki di ruang UGD. Di saat bersamaan, Alif yang baru saja tiba langsung berdiri di samping Rasky. Ingin tahu keadaan orang yang nyaris ditabraknya.
“Dia tidak apa-apa. Hanya mengalami syok yang membuatnya jatuh pingsan. Sebentar lagi juga akan sadar.”
Rasky dan Alif mengembuskan napas lega berbarengan. Rasky menoleh. Mengernyit heran saat menyadari seseorang di sampingnya melakukan hal yang sama. Alif tersenyum canggung sambil mengulurkan tangan.
“Saya Alif. Yang tadi hampir nabrak kakak kamu.”
“Oh .... Rasky.” Rasky menyambut uluran tangan Alif.
Dering suara handphone mengalihkan perhatian mereka. Rasky menghampiri Rizki yang masih terpejam di ranjang. Dari sanalah suara itu berasal. Tangan Rasky bergerak merogoh saku rok Rizki. Menarik ponsel di dalamnya dan mendapati nama Meta tertera di layar.
“Kamu ke mana aja, Ki? Aku denger kamu dibawa pergi Rasky. Kamu nggak apa-apa ‘kan?” Suara Meta langsung terdengar begitu Rasky mengangkat telepon.
“Ini aku, Ta. Rizki nggak apa-apa, kok. Tolong bawain tasnya, ya! Kami nggak akan balik.”
“Rasky! Kamu apain Rizki?” Suara Meta panik.
“Nggak aku apa-apain ....”
“Mana Rizki? Aku mau ngomong.”
“Rizki nggak kenapa-napa. Udah, ah. Aku tutup aja.”
Rasky tertegun usai menutup telepon. Bukan karena menyesal telah begitu saja mengakhiri pembicaraan, tapi gambar wallpaper handphone Rizki menarik perhatiannya.
Foto close up hitam putih seorang laki-laki terpampang di sana. Mata Rasky menyipit mencoba mengenali sosok itu. Tersentak begitu menyadari wajah itu sama persis dengan orang yang baru saja berkenalan dengannya. Secepat kilat Rasky mengangkat kepala dan terperangah memandang Alif.
“Ada apa?” Alif salah tingkah melihat sikap aneh Rasky yang tak berkedip menatapnya.
Rasky tergeragap. Buru-buru mengatupkan mulut. Perlahan ia menghampiri Alif sambil menggaruk kepala.
“Kakak kenal sama Rizki?” tanyanya hati-hati.
“Rizki siapa?” Kedua alis Alif bertaut.
Rasky menunjuk Rizki. “Namanya Rizki.”
“Oh .... Kami pernah bertemu beberapa kali, tapi belum pernah kenalan. Baru sekarang saya tahu namanya. Memangnya kenapa?”
“Ah, nggak apa-apa.” Rasky tersenyum kikuk.
“Rasky!”
Dari arah pintu ruang UGD, Ryan setengah berlari menghampiri Rasky. Di belakangnya, Rafi mengikuti.
Saat Rizki baru saja masuk ruang UGD, Ryan menelepon Rasky dan menanyakan keberadaan mereka berdua. Pria itu bergegas turun begitu mendapat kabar dari Rasky. Dalam perjalanan, ia berpapasan dengan Rafi. Melihat Ryan nampak panik serta melangkah tergesa di selasar rumah sakit, Rafi bertanya dan hanya dijawab Ryan dengan memintanya ikut saja.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Ryan.
“Dia nggak apa-apa. Cuma pingsan karena syok aja.”
“Alif, kenapa kamu di sini?” Rafi menatap putranya heran.
“Tadi Alif hampir menabrak gadis itu, Pa.”
“Dia tidak apa-apa?”
“Seperti yang dibilang Rasky tadi.”
“Jadi ....” Rafi memandang Rasky dan Alif bergantian. “Eh, tunggu. Ini putramu, Ryan?” Rafi mengalihkan tatapannya ke samping. Ryan mengangguk.
“Apa kabar? Om sahabat Papa kamu semenjak kuliah dulu.” Rafi mengulurkan tangan seraya tersenyum.
“Baik, Om. Nama saya Rasky.” Rasky mencium tangan Rafi.
***
Rizki membuka kelopak mata perlahan. Rasky yang dari tadi duduk di samping ranjang, bangkit kemudian menggenggam tangan gadis itu. Alif telah meninggalkan ruang UGD beberapa waktu lalu. Begitu pula Ryan dan Rafi.
“Kamu nggak apa-apa?”
Rizki tak menjawab. Menatap sekeliling bingung. Tak berapa lama ia bangkit dan menarik tangannya dari genggaman Rasky begitu menyadari sesuatu.
“Mau apa kamu?” Rizki berucap dingin. Merapatkan punggung ke tembok dan mendekap tangan di dada.
“Ki, aku Rasky,” ujar Rasky khawatir. Mengira Rizki hilang ingatan.
“Aku tahu.”
“Trus, kenapa kamu bersikap seperti itu sama aku?”
izki menurunkan kedua tangan. Menghela napas panjang sambil menatap pintu UGD.
Seorang pasien yang baru saja datang, nampak kesakitan di atas brankar yang didorong beberapa orang perawat. Darah mengalir deras di wajahnya. Sepertinya ia korban kecelakaan.
“Apa yang kamu pikirkan setelah mendengar cerita Papa kamu?” tanya Rizki tanpa mengalihkan pandangannya.
“Aku bisa ngerti perasaan Papa. Dia nggak bermaksud jahat. Hanya merasa putus asa dan akhirnya ngelakuin hal itu,” jawab Rasky setelah beberapa saat terdiam. Menyusun kata yang tepat agar tak menyakiti perasaan kembarannya.
Bola mata Rizki bergerak cepat. Kali ini tatapan menusuk tajam ia arahkan pada Rasky. “Kamu masih ngebela dia setelah tahu apa yang udah dia lakuin?”
“Ki, bagaimanapun Papa udah ngerawat dan ngebesarin aku dengan baik. Dia menyayangiku seperti anaknya sendiri.”
“Oke. Terserah! Bela aja terus Papa kesayanganmu itu! Aku mau pulang.” Rizki bergerak turun dari ranjang.
“Tunggu!” Rasky mencekal lengan Rizki.
“Apa?”
Rasky mengembuskan napas panjang sembari menundukkan pandangan. Mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan. Cowok itu tahu yang hendak dikatakannya akan membuat Rizki semakin marah, tapi ia tak punya pilihan lain. “Tolong jangan kasih tahu siapa pun tentang hal ini. Hubungan kita sebagai saudara kembar, cukup kita dan Papa saja yang tahu.”
“Apa kamu bilang?” Rizki melotot. Matanya tiba-tiba terasa panas. Genangan air mulai muncul di sana.
“Ini buat sementara. Suatu saat nanti Papa akan nyeritain sama semuanya, tapi bukan sekarang. Please, Ki. Mengertilah!” mohonnya dengan wajah penuh harap.
Rahang Rizki mengeras. Tatapan nanarnya ia alihkan bersamaan dengan tetes bening yang perlahan luruh di pipi.
“Baiklah,” gumamnya nyaris tak terdengar. Ia mengurai cekalan Rasky lalu beranjak keluar dengan langkah gontai diiringi tatapan bersalah cowok itu.
***
Rizki membuka pintu depan rumah dan mengucapkan salam tanpa suara. Sengaja tak bersuara sebab ia tiba di sana sebelum jam pulang sekolah. Fajri akan menginterogasinya jika mengetahui ia pulang lebih cepat tanpa alasan yang masuk akal. Ia melangkah sambil melamun menuju kamar. Pikirannya dipenuhi kejadian dari tadi pagi.
Gadis itu tak habis pikir mengapa Rasky begitu mudah memaafkan orang yang telah memisahkan dirinya dengan keluarga. Bahkan mengikuti kata-kata Ryan untuk tak memberitahu siapa pun rahasia itu.
Sejak keluar dari rumah sakit, Rizki sengaja mengabaikan kembarannya. Membiarkan cowok itu mengikuti dari belakang sambil menuntun sepeda motor. Setelah lima belas menit berjalan, Rizki menghentikan angkot yang lewat. Menaikinya serta tetap membiarkan Rasky mengikuti sampai depan rumah.
Gadis itu bergegas masuk kemudian mengunci pintu saat Rasky tiba di tepi jalan depan rumah. Sebelum menuju kamar, sempat diintipnya keberadaan Rasky melalui gorden yang dibuka sedikit. Cowok itu tetap berada di atas motornya sembari menatap pintu. Tak lama ia menghidupkan mesin motor lalu pergi.
“Rizki.”
Rizki menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka pintu kamar. Ia memalingkan wajah dan terkesiap. Bukan karena ketahuan Fajri pulang lebih cepat, melainkan suara yang memanggil itu berasal dari sang ibu yang sedang menatapnya dari kursi roda tak jauh dari tempat ia berdiri. Semenjak kunjungan Rasky ke rumah itu setiap hari, Hasna memang mulai membaik.
Tak hanya berbicara, ia juga mulai bisa tersenyum dan tertawa. Tatap matanya juga tak lagi kosong. Akan tetapi, hal tersebut cuma berlaku ketika Rasky berada di dekatnya dan hanya pada cowok itu ia mau berkomunikasi. Begitu Rasky pulang, keadaan Hasna kembali seperti semula.
Rizki menghampiri Hasna dengan mata memanas. Ada keharuan membuncah mendengar sang ibu menyebut namanya untuk pertama kali. Ia bersimpuh di hadapan wanita itu lalu menggenggam tangan Hasna erat. Ditatapnya lekat wanita yang juga balas menatapnya itu.
“Ibu manggil Rizki? Ibu bisa mengenali Rizki?” Pandangan Rizki mengabur oleh genangan air di kedua mata. Buru-buru mengerjap agar tak melewatkan momen tatkala sang ibu benar-benar menyadari keberadaannya. Tak peduli meski tetes bening perlahan mengalir.
Hasna tersenyum. Tangannya bergerak mengusap air mata Rizki. “Tentu saja, Sayang. Kamu kan putri Ibu.”
Rizki melengkungkan bibirnya dengan air mata bercucuran kian deras. “Terima kasih, Bu, udah ingat sama Rizki.” Ia menghambur ke dalam pelukan Hasna.
“Di mana Razka?” tanya Hasna setelah beberapa saat mereka berpelukan.
Rizki tercenung. Isakannya di bahu Hasna mendadak terhenti. Pelukannya mengendur. Ia melihat wajah berbinar sang ibu. “Razka nggak bisa pulang. Sekarang makin sibuk di asrama karena sebentar lagi ujian,” ujar Rizki mengusap air mata. Rahangnya mengeras. Berusaha menahan letupan gejolak dalam dada. Ada kecemburuan menelusup di sana.
Selama ini Rasky selalu berpamitan untuk kembali ke asrama setiap kali hendak pulang. Berpura-pura tinggal di sana agar Hasna tak mencari dirinya saat tak berada di rumah itu.
“Maafkan Ibu ya, Sayang. Tidak bisa merawat kalian dengan baik. Sampai-sampai Razka harus tinggal di asrama.” Hasna mengusap kepala Rizki penuh kasih.
“Nggak, Bu. Razka tinggal di asrama karena pengen mandiri aja. Bukan karena Ibu nggak bisa merawat kami.”
Hasna tersenyum mendengar ucapan putrinya. Kedua tangan wanita itu merangkum wajah Rizki. “Entah penyakit apa yang Ibu derita sampai membuat Ibu tak bisa mengingat masa kecil kalian. Rasanya kalian begitu tiba-tiba menjadi besar, tapi Ibu bersyukur masih bisa mengenali kalian.”
“Mbak Hasna?”
Sebuah suara mengalihkan perhatian ibu dan anak itu. Nampak Fajri yang tengah menenteng kantong plastik besar berisi bahan-bahan kue terperangah menatap Hasna.
“Kamu siapa?”
***
“Oma?” Rasky menghentikan langkah ketika mendapati sosok berambut kelabu, tengah asyik menonton televisi di ruang keluarga hingga tak menyadari kehadirannya.
Wanita yang dipanggil oma itu menoleh. Bergegas bangkit dan merentangkan kedua tangan seraya tersenyum. “Rasky, cucu Oma paling ganteng. Sini, Sayang!”
Rasky menghambur ke pelukan sang oma. Melepas kerinduan setelah sekian lama tak berjumpa dengan sosok yang masih terlihat cantik di usianya yang melewati angka tujuh puluh. Ibunda Ryan itu selama ini menetap di Jerman, tempat sang suami mengembuskan napas terakhir dua tahun lalu setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakitnya di sana.
“Kapan Oma nyampe?” Rasky melepaskan pelukan dan duduk berdampingan di sofa.
“Baru sejam lalu.” Wanita bernama Wijayanti itu mengusap kepala Rasky. “O ya, Mamamu bilang, akhir-akhir ini kamu pulang sore. Tumben jam segini sudah pulang?”
“Oh, itu ....” Rasky mengusap tengkuknya kikuk. “Hari ini nggak ada pelajaran tambahan.”
“Rasky, kok sudah pulang?” Kania yang sedang menyiapkan makan siang, muncul dari dapur.
Rasky menoleh. “Ada rapat guru, Ma. Jadi, kami pulang lebih awal.”
Kania menatap Rasky curiga. Ia tahu Rasky paling tidak bisa berbohong di depannya.
***
“Yah, Ibu bisa mengenaliku!” seru Rizki ketika Irfan baru saja memarkir sepeda motornya di teras.
“Benarkah?” tanya Irfan antusias.
“Iya, sekarang Ibu lagi ngobrol sama Mbak Fajri. Walaupun nggak bisa mengenali Mbak Fajri, tapi mereka bisa cepet akrab,” lapor rizki antusias.
“Rizki yakin Ibu juga akan mengenali Ayah,” ujar Rizki riang menggandeng lengan Irfan.
Irfan menghentikan langkah. Ia tertegun. Ini hal yang ditunggunya selama lebih dari enam belas tahun. Akan tetapi, ada kecemasan menyelimuti saat mengingat kejadian terakhir sebelum peristiwa memilukan itu terjadi. Rizki ikut-ikutan menghentikan langkah. Menatap ekspresi wajah sang ayah dengan kening terlipat.
“Kenapa, Yah?”
Irfan tergeragap. “Ah, tidak. Ayo masuk!”
Terdengar suara tawa berderai dari ruang tengah tatkala mereka memasuki rumah. “Ibu, Ayah pulang!” Rizki berseru girang begitu tiba di ruang tengah.
Hasna dan Fajri yang sedang menonton acara komedi di televisi, menoleh.
Irfan menelan ludah saat melihat Hasna menatapnya tajam. Jantungnya seakan melompat keluar. Pria itu meremas tangannya sendiri cemas. Hasna mengalihkan tatapannya ke televisi. Kembali asyik menonton acara komedi. Tak peduli meski Rizki dan Fajri menatapnya tak mengerti.
***
Ryan mengamati mamanya serta sang istri yang sedang berbincang hangat di ruang keluarga usai makan malam. Pria itu berdiri di anak tangga teratas yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua.
Ia begitu bersyukur melihat keakraban keduanya mengingat pernikahannya dengan Kania pernah ditentang keras oleh sang mama yang sempat mengancam akan mencoretnya dari daftar ahli waris serta dengan kekuasaan yang dimiliki, akan membuat Ryan tak bisa bekerja di rumah sakit mana pun.
Pria itu nyaris putus asa dan hampir memutuskan untuk bercerai karena tak ingin melihat Kania menderita menghadapi sikap dingin sang mertua. Namun, kehamilan Kania mampu meluluhkan hati mama Ryan.
Seandainya Mama tahu kalau cucu Mama sudah meninggal dan tak akan pernah memiliki cucu lagi, apakah Mama akan tetap bersikap seperti itu?
Senyum Ryan memudar. Sebenarnya ia ingin mengubur rahasia itu dalam-dalam.
***
Rizki tengah menata bantal dan bersiap untuk tidur ketika terdengar suara ketukan di pintu kamar. Bergegas gadis itu turun dari ranjang lalu menghampiri pintu. Didapatinya Hasna tersenyum dari atas kursi roda.
“Ada apa, Bu? Kok belum tidur?” Rizki membuka daun pintu lebih lebar.
“Boleh Ibu tidur denganmu?”
Rizki tertegun. Benaknya diselimuti pertanyaan apakah ibunya belum bisa mengenali sang ayah atau ada hal lain? Semenjak kepulangan Irfan tadi, Hasna sama sekali tak menganggap keberadaan pria itu.
Ia hanya menatap Irfan sekilas saat baru datang. Yang diajaknya bicara hanya Fajri dan sang putri. Yang membuat Rizki semakin bingung,
Irfan yang terbiasa berbincang ketika berkumpul di meja makan, kali itu menikmati makan malam dalam diam serta kepala tertunduk.
“Kenapa?”
“Ibu tidak ingat kapan Ibu pernah tidur denganmu. Tak masalah ‘kan kalau sekarang Ibu ingin melakukannya?”
Rizki tersenyum. Gadis itu melangkah keluar kemudian mendorong kursi roda Hasna masuk. Tanpa keduanya sadari, Irfan mengawasi dari balik pintu kamar di seberang kanan kamar Rizki. Menatap dua orang terkasihnya, nelangsa. Meski telah bertahun-tahun mempersiapkan diri untuk hari ini, tapi rupanya persiapan itu menguap. Hilang tak berbekas.
Hutang penjelasan yang belum sempat diungkapkan lebih dari enam belas tahun, tertahan dan tak mampu diucapkan begitu melihat sikap Hasna yang mengabaikan serta enggan berada di dekatnya. Bagi Irfan, ini jauh lebih menyakitkan daripada ketika wanita itu tak bisa berbuat apa-apa dan hanya mampu menatap kosong dari atas kursi roda.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices