by Titikoma
9. Pencuri !
Berlalu beberapa hari sejak insiden sandal yang disembunyikan Rasi itu. Hari ini asrama kembali dihebohkan oleh hilangnya uang jatah belanja yang diberikan Bu Nyai. Ketua asrama yang bertugas mengatur uang tersebut hingga cukup digunakan untuk membeli bahan makanan. Uang jatah belanja diberikan pada hari Jumat tiap minggunya. Kali ini yang ketiban sial adalah Septa.
Gadis itu ingat sekali setelah Bu Nyai memberikan uang padanya, dia langsung menyimpan uang itu di lemari bukunya. Dia bahkan belum membuka amplop yang membungkus uang tersebut.
Asrama Lily geger pagi ini. Septa langsung melaporkan kejadian itu pada pengawas asrama yang langsung diteruskan pada Ustaz Faruq. Pengawas asrama berulang kali menanyai Septa, memastikan kalau gadis itu tak lupa meletakkan uang tersebut. Berkali-kali juga Septa mengatakan kalau dia tidak pernah meletakkan uang dari Bu Nyai di tempat lain, selalu di tempat yang sama, lagi pula dia ingat sekali baru saja meletakkannya di lemari. Beberapa jam kemudian uang itu sudah raib.
Seluruh asrama digeledah. Tidak boleh ada yang keluar dari kamar sebelum pemeriksaan berakhir. Para santri membantu mengawasi di jalan keluar. Ustaz Faruq mengucapkan istighfar beberapa kali, baru pertama kali kejadian seperti ini terjadi di pondok Darrul Najah.
Seluruh kamar santriwati diperiksa dengan saksama, termasuk kamar Rasi dan Maya. Semua barang dikeluarkan, diperiksa satu per satu. Maya tampak gelisah saat melihat barang-barangnya dikeluarkan dari tempatnya. Gadis itu meremas-remas jemarinya, merasa gatal ingin menata kembali kamarnya yang kini berantakan.
Rasi terlihat tenang, tentu saja, dia tidak merasa melakukan apa pun yang membuatnya harus terlihat gelisah. Dia aman kali ini. Lagi pula dia kan anak baru, mana mungkin tahu tempat Mbak Septa meletakkan uang itu.
Namun, ketenangan Rasi mulai terusik saat pengawas asrama mulai menjamah buku-bukunya. satu per satu bukunya diperiksa. Dibuka lembar per lembar dengan terburu-buru.
“Tolong hati-hati,” seru Rasi sopan, “jangan keras-keras, nanti halamannya sobek. Itu buku langka soalnya.”
Wanita yang memegang bukunya hanya mengerutkan kening sekilas, lalu kembali melanjutkan kegiatannya, merasa interupsi yang dilakukan Rasi tadi tidaklah penting. Sesaat kemudian kening wanita itu terlihat berkedut, matanya terpaku pada satu hal yang menjadi temuannya. Tangannya lalu mengambil sesuatu yang berada di tengah buku yang terbuka, lalu mengacungkan sebuah amplop putih ke udara.
Jantung Rasi nyaris berhenti berdetak melihat apa yang ditemukan oleh pengawas asrama di bukunya. dia tidak ingat pernah menyimpan sebuah amplop di dalam buku itu. Terlebih, dia tak mengingat apa isi amplop itu.
“Di amplop ini tertulis: ASRAMA LILY, JUMLAH Rp. 300.000,-. Apa ini amplop yang hilang itu, Septa?” Pengawas asrama membaca tulisan di amplop yang masih tertutup rapat, lemnya belum terbuka sedikit pun.
Septa mengangguk takut-takut. Bagaimana mungkin amplop itu ada di dalam buku Rasi? Kapan Rasi masuk ke kamarnya?
“Jadi sudah jelas, kan, siapa pencurinya?” Pengawas asrama menatap tajam ke arah Rasi. Matanya berkilat-kilat, menandakan kemarahan yang teramat besar.
Rasi masih tidak mengerti. Siapa yang dibilang pencuri di sini? Gadis kecil itu menoleh ke sana kemari memastikan bahwa bukan dia yang dituduh mencuri.
“Masih mau mengelak, Rasi?”
“Tapi aku... aku nggak mencuri amplop itu.”
“Terus gimana caranya amplop itu bisa ada di dalam bukumu?”
“Aku nggak tahu... aku nggak tahu....” Rasi menggeleng-geleng, dia tetap bersikukuh bahwa dia tidak mencuri.
Rasi.” Septa angkat bicara, memanggil Rasi dengan lembut. “Katakan yang sebenarnya, jangan ditutupi, aku nggak akan bilang sama Ustaz Faruq kalau kamu mau jujur.”
“Aku udah jujur, Mbak. Aku jujur.” Rasi menelan ludah susah payah, seolah ludah itu menggumpal dan menyumbat tenggorokannya. “Aku nggak pernah masuk ke kamar Mbak Septa, apalagi sampai mencuri uang itu.”
“Tapi, Rasi, uang itu ada di bukumu.”
“Aku tahu, aku juga lihat. Tapi aku beneran nggak tahu Mbak siapa yang meletakkan uang itu di bukuku.” Rasi hampir menangis saat melihat tatapan orang di sekitarnya yang begitu menusuk.
“Mbak, jangan percaya!” seru Maya frontal. “Mbak ingat waktu sandalku ilang? Dia juga kan yang ngambil. Udah gitu dia juga bohong dan nggak mau ngaku kalau dia yang nyuri.”
Tuduhan Maya itu sontak membuat yang lain berkasak-kusuk, sebagian membenarkan apa yang dikatakan oleh Maya, sebagian yang lain merasa perlu menyelidiki lebih lanjut.
“Maaf, Rasi. Tapi Mbak harus melaporkan ini pada Ustaz Faruq. Buktinya memberatkanmu, Mbak nggak bisa berbuat apa-apa untuk membela.” Septa berlalu dari hadapan Rasi yang mulai menangis. Langkah ketua asrama itu diikuti oleh yang lain hingga hanya menyisakan Rasi dan Maya di dalam kamar.
“Aku mungkin bisa memaafkanmu atas insiden beberapa hari yang lalu, tapi kali ini kayaknya kamu udah keterlaluan. Uang itu untuk makan kita selama seminggu, kok tega sih kamu curi?” Maya kembali menjatuhkan tuduhan.
Rasi mengusap air matanya, menghapus cairan itu hingga benar-benar bersih dari wajahnya. “Aku nggak nyuri sandalmu, cuma iseng menyembunyikannya. Sekarang aku juga nggak nyuri uang itu, aku nggak tahu siapa yang tega njebak aku kayak gini.”
“Jangan berlagak jadi korban, Rasi!”
“Aku emang korban di sini. Korban tuduhan palsu.”
Maya mengerang. “Kalau tuduhan itu palsu, nggak mungkin kan uangnya ditemuin di dalam bukumu?”
Rasi mendengus. Dia benar-benar sebal pada Maya hari ini. Pikirnya, Maya sudah melupakan kejadian beberapa hari lalu dan berangsur memaafkannya. Namun, sepertinya di sini pun dia salah memilih teman. Padahal dia sudah mulai nyaman tinggal di pondok itu dibandingkan saat pertama kali datang.
“Kita lihat aja nanti, siapa yang jujur dan siapa yang bohong,” putus Rasi sebelum keluar dari kamar.