Kastil Piano

Reads
142
Votes
0
Parts
8
Vote
by Titikoma

3. Pesta Ulang Tahun Yasinta

 “Apa lihat-lihat!” Selina pasang badan pada semua siswa yang memandangnya tak suka di koridor. Ia jaga-jaga takut mereka menghajar dadakan lagi. Tangannya terus mengepal sepanjang jalur. Tapi merasa sebuah langkah terus membersamainya dari tadi.
Selina menoleh, ingin tahu. “Elo?” Ia melihat Fandi berjalan di sisinya agak tertinggal.
“Ngapain ngikutin gue?” cablaknya. Membuat cowok itu tersenyum sinis, melipat kedua tangan di depan dada.
“Yang bener aja. Ngikutin lo? Kalau ngomong di pikir dulu!” Ia menyentil kening Selina. Yang langsung membuat gadis itu mengerang. “Lo punya otakkan? Ini jalanan umum. Semua orang berhak lewat sini.”
“Berani lo!” Selina hendak membalas sentilan Fandi. Cowok itu malah mendekatkan wajahnya, membungkuk. Karena memang gadis itu jauh lebih pendek di bawahnya. Bahkan tidak lebih tinggi dari bahunya.
“Nih bales?” Fandi memberikan keningnya sendiri. Lebih dekat. Sampai Selina berjalan mundur selangkah, terkejut. Ada sesuatu yang bergejolak hebat dalam dirinya, saat melihat Fandi dalam jarak sedekat itu.
“Ayo, bales! Kenapa? Kok diem? Takut?” Fandi menantang tersenyum remeh, menunjuk keningnya. Tidak! Selina tidak sedang takut. Hanya saja ia merasa heran dengan dirinya. Dari tadi jantungnya tidak bisa diam. Gadis itu sibuk memikirkan sebab kenapa jantungnya jadi berdetak hebat. Selina terdiam, membuat Fandi menegakkan tubuhnya kembali.
“Gue kira lo lupa sama perjanjian kita. Dan cuma pecundang yang berani mengingkarinya.” Fandi terkekeh sambil berlalu. Kekehan sengak itu segera menyadarkan Selina. Sial! Dia benar-benar memanfaatkan penuh perjanjian itu untuk menyelamatkan diri dari Selina.
“Gue bukan pecundang!” bela Selina. Menatap punggung Fandi yang semakin menjauh. Kemudian kembali fokus pada dirinya sendiri.
“Ini tadi apa?” Selina bertanya-tanya heran, meraba jantungnya sendiri.
***
Di atap sekolah, ketiga gadis berkumpul menjadi rutinitas mereka. Duduk di sebuah bangku reyot. Dan memang atap ini dijadikan gudang sekolah. Tempat bangkai-bangkai komputer dan bangku-bangku rusak ditimbun. Mereka bahkan tak peduli dengan terik sinar matahari yang sedang garang-garangnya.
“Ntar malem ultahnya Yasinta,” celetuk Tina membuka pembicaraan.
“Pasti di sana banyak makanan.” Kikan menjilat lolipopnya.
“Terus lo mau apa? Mau dateng? Kan kita nggak diundang?” sela Tina.
“Yee. Lo pikir gue kagak punya malu? Mending gue kagak makan seminggu daripada harus mempertaruhkan harga diri buat dateng ke sana,” sergah Kikan.
“Gue kira.” Tina terkekeh. Sementara Selina geming. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mengingat kejadian tadi. Kenapa tiba-tiba dia teringat wajah Fandi?
“Haaargh! Enggak!” Selina berteriak mengacak-acak rambut. “Apa gue mulai gila?” jeritnya spontan. Kikan dan Tina melongo. Membuat Selina menyadari kalau kedua temannya cengo memperhatikannya. Diperhatikan seperti itu, Selina jadi kikuk. Salah tingkah.
“Apa sih kalian! Ngapain lihat gue kek gitu?” ketusnya. Berusaha galak untuk menutupi kecangungannya dipandang seperti itu.
“Lo kenapa?” Kikan menyelidik. Menelengkan kepala.
“Sel, lo baik-baik aja, kan? Jangan bilang lo kesurupan hantu penunggu sini.” Tina cemas.
“Enggak. Gue nggak kenapa-kenapa.” Selina seketika mengubah sikapnya lebih berwibawa dan angkuh seperti biasa.
“Lo yakin? Kayaknya kita perlu manggil Mang Udin deh,” tandas Kikan. Mang Udin adalah tukang kebun sekolah yang rumornya memiliki ilmu mengusir hantu. Dia juga katanya yang menundukkan hantu-hantu di sekolah ini, agar tidak liar dan mengganggu penghuni sekolah. Tapi Selina tidak percaya itu. Mang Udin baginya seorang pembual. Sama seperti Mamanya. Tidak beda jauh. Kadang Selina muak saat Mang Udin bercerita tentang kehebatannya memasukkan dan mengunci setan-setan dalam botol keramat. Yang menarik banyak perhatian siswa saat jam istirahat. Biasanya mereka akan berkumpul di depan gedung serba guna. Di sanalah tempat Mang Udin mangkal dan membual. Menebar cerita bohong untuk sekadar hiburan.
“Ih apaan sih. lo berdua yang aneh. Mana ada penunggu di sini. Penunggu tetapnya ya kita. Gue, elo dan elo,” sewot Selina. Ia langsung meninggalkan kedua temannya yang mengerutkan kening heran.
“Kenapa dia?” tanya Kikan. Tina mengangkat bahu.
“PMS kali?”
***
Hari ini jam kosong. Hal yang paling menyenangkan bagi semua siswa adalah, ketika seluruh guru rapat dan mereka hanya ditinggali tugas. Tapi jangan harap mengerjakan. Karena sebagian bangku sudah kosong. Beberapa siswa melarikan diri ke kantin. Lainnya ngecengin anak-anak kelas lain. Sedang Kikan, Tina dan Selina seperti biasa di tongkrongan favorit mereka. Bangku kayu panjang dekat mading. Sambil memandang lepas kelas lain yang sedang olahraga.
Dan kebetulan sekali ini kelas Fandi. 2 IPA 3. Cowok itu sibuk bermain basket. Keseharian Fandi juga begitu. Olahraga maupun tidak. Di jam-jam istirahat pasti selalu menyempatkan diri main basket. Selina tahu Fandi suka sekali basket dari kecil. Hanya heran ketika ia beralih menyukai sepeda. Padahal seingat Selina, Fandi punya trauma sama sepeda. Kenapa sekarang begitu menggilai sepeda balap?
Dulu awal-awal Fandi belajar sepeda, ia pernah terjatuh sampai kepalanya mengalami benturan keras. Membuat pembekuan darah di otak dan mengharuskan operasi. Sejak saat itu, Fandi selalu lari ketakutan setiap ketemu sepeda. Jangankan naik atau bonceng. Menyentuh saja, Fandi pingsan.
Tapi sekarang malah sebaliknya. Cowok itu tak segan mendaftarkan diri untuk ikut lomba balap sepeda tahun ini.
“Dor!” Selina terdorong kaget saat Kikan yang bertubuh besar menenggolnya sampai membuat ia hampir terjungkal.
“Lo apa-apaan, sih!” sungut Selina.
“Ya, sorry. Abis dari tadi lo diajak ngomong bengong aja. Lagi liatin apa sih?” Kikan menerawang ke depan. Ke gerombolan cowok-cowok yang tengah berolahraga.
“Gue nggak liatin apa-apa,” kilah Selina cepat sebelum ketahuan.
“Lo lagi mikirin apa sih, Sel? Belakangan lo sering ngelamun,” cetus Tina. Membuat Selina menarik napas.
“Nyokap gue. Dia ngenalin pacarnya. Kan nyebelin,” ketus Selina. Yang segera membuat mata Kikan melebar dan Tina menekap mulut.
“Lo punya Bokap baru, dong?”
“Gue bilang pacar Nyokap gue! Bukan calon Bokap. Nggak sudi, ya!” Selina membantah secepat kilat. “Sampai kapan pun, gue nggak akan nerima dia jadi bokap gue,” tandas Selina.
“Sabar, ya, Sel. Kayaknya lo harus ngelakuin sesuatu buat bikin mereka putus?” Kikan menelengkan kepala berpikir.
“Tentu. Gue bakal bikin mereka pisah apa pun caranya.”
“Tapi kan, Nyokap lo berhak bahagia? Lo nggak kasian sama dia?” Tina berkata hati-hati. Yang langsung mendapat sorot tajam Selina. Matanya seperti laser yang hendak menikam.
“Ups. Maksud gue, Nyokap lo mungkin butuh seseorang buat bersandar. Selama ini kan dia mati-matian cari nafkah sendiri buat lo?” lebih halus Tina berbicara.
“Menghidupi seorang diri kayak Nyokap gue. Itu kenapa gue rela pas ada orang yang mau nikahin Nyokap gue. Gue kasihan. Sementara ada Abang, gue dan Salma yang harus beliau nafkahi,” curhat Tina.
“Pokoknya enggak ya enggak! Emang menurut lo Bokap tiri lo baik?” Tina langsung meringis.
“Dia nggak pernah nganggep gue anaknya. Gue sama dia malah disuruh panggil Om. Dan ... dia cuma baik sama kita pas awalnya aja. Setelahnya, Nyokap malah dikuasain sama dia.” Tina berkisah. Selina menjentikkan jari.
“Nah, kan. Itu yang nggak akan gue biarin terjadi dalam hidup gue,” ujarnya.
“Lo yang sabar, ya, Sel. Kita pasti dukung apa pun keputusan lo,” tukas Kikan. Mendapat anggukan Tina.
“Betewe, tadi lo berdua bahas apa?” Selina menyela.
“Ultah Yasinta. Pasti gedhe banget. Mewah dan banyak makanan.” Kikan menyahut.
“Menurut lo kita dateng nggak, nih?” Tina memandang temannya satu persatu.
“Kan tadi lo yang bilang sendiri, kalau kita nggak diundang?” Kikan membalikkan omongan Tina. Selina terdiam. Matanya menerawang kejauhan. Melihat Fandi di sana.
Cowok itu, pasti nanti malam datang. Jujur sebenarnya Selina penasaran dengan pesta Yasinta yang katanya super mewah itu. Menggunakan event organizer terkenal. Dan terlebih, sebenarnya ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan Fandi di sana.
“Kita datang,” putus Selina kemudian. Tersenyum miring. Tina menyambut senang.
“Ini yang gue maksud. Akhirnya lo paham, Sel.” senyuman licik dari bibir Tina dan Selina membuat dua orang itu tertawa. Kikan hanya memandang kebingungan dua sahabatnya.
“Kan katanya kita nggak diundang? Kenapa datang?” selanya polos. Selina merangkul Kikan sambil senyum-senyum penuh maksud.
“Pokoknya lo tenang aja. Kita harus dateng ntar malem.” datang dalam artian tanda kutip.
***
Selina sudah berdiri di gang masuk rumah Yasinta, turun dari ojek. Sebuah perumahan elite, yang hampir membuatnya tidak lolos masuk karena satpam kompleks. Untung dia bawa kartu pelajarnya. Kalau Selina tak menunjukkan identitas, satpam tidak akan membukakan portal dan mengizinkan dia masuk. Dari tadi Selina berdecak kagum melihat deretan rumah besar-besar dengan berbagai desain dan corak berbeda-beda.
“Gilaaa!” Ia suka mengamati setiap lekuk bangunan. Terkadang iseng-iseng Selina juga menggambar beberapa desain bangunan. Kalau lihat bangunan, Selina jadi merasa dekat dengan Ayah. Dulu ia sering menemani mendiang Ayahnya saat masih hidup. Dari membuat desain sampai terjun langsung ke proyek pembangunan. Kebiasaan itu membuat Selina terbiasa dengan bangunan. Paham material-material dan beberapa macam aplikasi yang digunakan Ayahnya untuk menggambar. Tanpa sadar, bila ia rindu Ayah, Selina sering melakukan rutinitas itu sekadar melepas kangen.
“Lo lama amat!” Selina menyambut Tina dan Kikan yang berjalan ngos-ngosan dari ujung gang.
“Sorry. Tadi Kikan nggak bawa kartu pelajar. Jadi, you knowlah. Kita harus balik lagi.” Tina menjelaskan malas. Kikan meringis dipandang sebagai sumber masalah oleh dua sahabatnya. Gadis itu menjilat lolipop.
“Ya ... mana gue tau kalau masuk ke kompleks sini bakal seketat itu.” bibirnya mengerucut. Selina menarik napas jengah.
“Gue hampir aja mati karena darah-darah gue diisep nyamuk,” tandas Selina.
“Ya gimana.” Kikan cemberut yang segera ditarik Selina dan mengabaikan kejadian tadi.
“Ya udinlah. Udin aja bodo amat. Kita udah buang-buang waktu. Ini jam delapan malam. Sedang acara dimulai tiga puluh menit yang lalu,” jelas gadis itu merangkul dua sahabatnya memberi instruksi. Selina, Kikan dan Tina menggunakan pakaian serba hitam malam ini. celana hitam, jaket hitam. Mereka menyusun rencana.
“Sel, penampilan kita udah keren-keren kayak mafia kelas profesional gini, kok lo pake sendal jepit sih,” komentar Tina. Padahal Tina pakai sepatu boot dan jaket kulit hitam yang membentuk tubuhnya. Seperti cewek-cewek jagoan dalam film, cantik dan berbahaya—oke. Ini hanya menurut dirinya sendiri.
“Gue tadi kabur dari rumah. Lo tau, kan? Nyokap gue rada ceriwis orangnya dan bakal tanya macem-macem kalau gue lewat pintu depan.”
“Jadi lo lewat mana?”
“Pintu garasi,” ungkap Selina. “Dan lagian kita nggak mau gaya-gayaan. Tapi mau buat onar.”
“Tapi nggak ada salahnya, kan? Tampil kerenan dikit?” sanggah Tina. Membuat Selina memutar bola mata.
“Terserah lo deh.” Ia mempersingkat debatnya. “Lo berdua ada rencana nggak?” lemparnya. Mereka saling tatap. Tina dan Kikan menggeleng.
“Hah! sejak dulu, emang cuma gue yang paling pinter di sini,” sombong Selina yang segera mendapat jitakan dari dua temannya.
“Lo lupa? Lo nyontek bahasa ke siapa?” tandas Kikan.
“Dan lo nyontek kimia ke siapa?” Kali ini Selina balas tersenyum licik.
“Kalian juga. Lupa nyontek sejarah dari siapa?” Tina tak mau kalah. Membuat Selina ingin teriak frustrasi. Jelaslah Selina nyontek. Ia paling enggan membaca buku sejarah yang tebal minta ampun yang mampu bikin kutu-kutu tidak betah tinggal di kepalanya dan lebih memilih tidur dari pada mendengar dongeng Pak Sahab tentang sejarah. Itu pelajaran paling membosankan seumur hidup. Mending nonton filmnya lebih seru.
“Oke oke. Intinya kita sama-sama saling membutuhkan. Sekarang hentikan debat ini dan fokus ke tujuan utama.” Selina mengarahkan dua kepala sahabatnya untuk melihat rumah mewah dominan emas di depannya.
“Jadi ini rumah Yasinta? Buset! Gedhe banget!” seru Kikan yang mendapat pengakuan sama dari Selina dan Tina. Megah dan mewah. Mirip kastil kuno dengan banyak pilar. Seperti istana dari negeri dongeng. Dan Yasinta adalah putrinya.
“Oke, Geng. Target sudah di depan mata. Mula-mula ....” Selina memberi instruksi pada dua sahabatnya yang hanya mengangguk-angguk. Sesekali, senyum licik tergambar dari mimik mereka.
“Ada yang belum mengerti?” Selina melihat kedua temannya yang mengangguk mantap.
“Bagus! Sekarang kita masuk lewat samping.” Selina menunjuk pagar yang tinggi. Kikan dan Tina melongo.
“Lo gila? Gimana caranya kita masuk?” Tina menunjuk dinding gagah yang tingginya sekitar tiga meter itu. Selina tersenyum tenang.
“Lo berdua tenang aja. Gue udah siapin kita masuk pake apa.” Selina tolah-toleh kanan kiri memastikan keadaan aman. Ia masuk ke semak-semak, kemudian keluar lagi membawa tangga lipat.
“Temen gue emang jenius!” Tina berseru bangga. Selina tak mengacuhkan pujian Tina. Mereka harus cepat-cepat beraksi. Karena satpam kompleks akan berkeliling setiap dua puluh menit sekali.
“Ayo, cepet!” Selina membantu Kikan yang kesusahan dengan tubuhnya yang besar. Sementara Tina sudah menginjakkan kaki di tanah lebih dulu.
“Sabar dong,” sungut Kikan. Bete. Karena cuma dirinya yang paling tidak bisa naik. Hah! Padahal Kikan ingin sekali beraksi seperti Cat Women.
“Aduh!” Selina mengaduh begitu tubuhnya harus ditindih Kikan.
Tina segera membantu Kikan berdiri, membebaskan Selina dari berat tubuh Kikan yang membuatnya susah napas.
“Lain kali, lo kira-kira dong lompat. Jangan ada orangnya. Lihat situasi,” omel Selina. Merasakan encok di punggungnya. Dan dia harus berjalan seperti nenek-nenek.
“Ya, sorry. Soalnya kalau gue jatuh ke rumput takut gegar otak. Kalau jatuh ke elo kan enak ada yang nangkep.” Kikan meringis membuat mata selina membelalak.
“Lo pikir gue matras?” semprotnya. Tina segera memisahkan dua sahabatnya itu.
“Kalau kalian berisik terus kayak gini, bisa-bisa kita ketahuan,” tandasnya. Yang membuat Kikan dan Selina terdiam. Mereka mengendap-ngendap lewat belakang rumah. Tampak beberapa koki sibuk memasak. Sebagian pelayan juga keluar masuk membawa makanan. Dari cekungan tembok, Selina melongokkan kepala melihat ke taman samping rumah Yasinta yang begitu luas. Lalu atasnya muncul kepala Tina. Dan bawahnya kepala Kikan. Mereka terperangah dan tampak takjub dengan tema yang diusung. Gorden party dengan dress code merah untuk cewek dan hitam untuk cowok. Mata Selina menangkap Fandi yang muncul dengan pakaian semi formalnya. Hanya dengan kemeja hitam yang lengannya ditekuk sampai siku. Membiarkan jas tersampir di bahunya. Masih tetap dengan gaya rambut biasa. Cepak dan sedikit jambul di depan. Selina sempat ternganga melihat cowok itu, tapi segera tersadar begitu Yasinta muncul dan nemplok di lengannya seperti cicak kecentilan.
“Cih!” Selina berdecih.
“Terus apa rencana lo selanjutnya?” Tina mengamati sekitar. Sedang Kikan setengah mati hampir dibuat ngiler oleh makanan-makanan lezat di sana. Mereka kembali menegakkan tubuh dan mengatur rencana.
“Oke sip!” Mereka sudah mengangguk sepakat dan berpencar. Kikan kegirangan bukan main. Sebab Selina, meminta ia untuk mengganti lilin dengan petasan yang menyerupai lilin. Ia menyusup di bawah meja. Dari meja ke meja, sambil sesekali muncul, mengkantongi makanan.
“Untung gue bawa kantong,” ocehnya tampak rakus melihat satu piring muffin berbentuk lucu. Penuh cochochip dan menggiurkan. Kikan segera menyesap air liurnya sebelum beneran menetes.
“Rejeki nomplok.” Ia tolah-toleh. Sejauh ini aman. Segera ditumpahkannya satu piring muffin mini ke dalam kantong. Mengambil satu dan menyumpal mulutnya.
“Lezaat!”
Saat seorang pelayan hendak menghampiri meja, Kikan buru-buru menyelundupkan diri ke kolong meja. Dari celah taplak yang menjulur panjang, Kikan mengintip mimik keheranan si pelayan yang melihat kue muffin sepiring penuh sudah habis tak bersisa. Kikan menekap mulut berusaha menahan tawanya.
“Haha. Emang enak kehilangan kue?” Ia terkikik. Si pelayan mengangkat bahu. Mengganti piring kosong itu dengan piring yang masih penuh. Keadaan aman kembali, Kikan keluar lagi dan membabat habis semua kue untuk masuk kantongnya. Sampai ia merasa kerepotan membawa. Dan menikmati kue-kue itu di bawah meja. Sedang beberapa pelayan meributkan. Bagaimana bisa kue-kue itu habis secepat ini.
Kikan melebarkan mata. Hampir lupa. Bukannya dia punya tugas utama? Ia melihat jam tangan. Lima menit lagi, acara tiup lilin dimulai. Acara tidak segera dimulai, karena masih menunggu Ayah Yasinta yang belum datang. Kabarnya sih keluar kota, dan malam ini berusaha untuk hadir di acara paling spesial dalam sejarah hidup putrinya.
Kikan kembali menenggelamkan kepalanya di bawah meja. Ia hampir saja ketahuan oleh dua cowok yang berjalan di dekatnya. Buru-buru menarik diri sebelum tertangkap basah.
“Huft, sialan!” Ia mengelus dada lega.
***
Tina mendapat bagian lain. Ia memanfaatkan tudung kepalanya untuk menyamar menjadi seorang wartawan. Dikenakan kaca mata hitam, dan sudah membawa alat rekam untuk meyakinkan samarannya.
Di depan, tampak wartawan bergerombol memperebutkan untuk mewawancarai Yasinta. Beberapa teman Yasinta mejeng langsung di sisi kiri kanan gadis itu berpose anggun menerima kilatan cahaya kamera. Sebagai goalnya generasi jaman now, mereka adalah trendsetter bagi kalangan remaja. Kiblatnya gadis-gadis sebaya mereka. Bahkan Yasinta memiliki fans tetap. Sebagai cover majalah sixteen bulan ini, tentu ini akan membuat namanya semakin melejit. Terlebih pesta yang Yasinta buat semeriah ini.
“Menurut Dek Yasinta, apa arti ulang tahun kali ini?” Salah seorang wartawan bertanya. Tina berusaha mendesak di antara kerumunan itu. Ia melihat Salma dengan gaun jingganya tampak menempel di sisi Yasinta. “Dasar numpang populer!” gerutunya dalam hati.
“Menurutku, ini adalah ulang tahun paling spesial seumur hidupku. Aku belum pernah merasa sebahagia ini.” Yasinta berkata dengan nada bahagia. Setiap bahasanya tertata. Bahkan tawanya pun begitu rapi seperti gadis-gadis elite yang cantik dan berpendidikan.
“Aku paham kok, kesibukan Papa. Jadi menunggu sebentar tidaklah masalah. Yang jelas kehadiran beliau benar-benar kunantikan.” Yasinta menjawab sangat manis. Membuat beberapa wartawan berdecak kagum. Betapa penting sosok Ayah bagi seorang Yasinta.
“Selain itu, apakah ada orang spesial lagi yang bener-bener Dek Yasinta inginkan hadir di acara penting ini?” Seketika pipi Yasinta bersemu merah. Salma menarik Fandi yang berdiri agak jauh dari tempat wawancara itu.
“Ini nih, orang spesialnya Yasinta!” teriak Salma yang seketika membuat para wartawan menoleh. Tina mendengus jengah melihat tingkah adiknya.
Fandi yang diserbu tampak kebingungan. Ia garuk-garuk belakang kepalanya, apalagi saat digiring untuk mendekat ke Yasinta. Sementara gadis itu tertunduk malu-malu saat orang-orang riuh mencie-cie.
“Apa sih. Cuma temen kok,” kilah Yasinta. Sedang cowok di sisinya masih tak paham.
“Udahlah, nunggu apa lagi. Kapan ditembak, Fan?” kompor Salma. Yang mendorong-dorong Yasinta sampai akhirnya hampir jatuh tapi Fandi menangkap gadis itu seperti adegan-adegan di film. Yang spontan membuat riuh kembali.
Di sudut lain, Selina misuh-misuh. Sumpah demi apa, kenapa dia harus menemukan drama norak seperti ini? kesal, Selina mengambil kerikil kecil dan melempar ke kerumunan itu. Fandi merasakan ada yang menimpuk kepalanya. Ia menoleh ke belakang, di antara pagar tanaman. Selina segera menyembunyikan diri.
“Rasain, lo!” Ia terkekeh sendiri. Selina buru-buru melarikan diri, melanjutkan misi berikutnya.
***
Tina merasa muak dengan adegan pencitraan di depannya. Dari arah lain, seorang wartawan berlari tergopoh-gopoh mengejar ketertinggalaannya. Tina sengaja menjulurkan kaki, membuat wartawan itu tersandung dan menimpa orang-orang di depannya. Mereka seperti pin bowling yang jatuh saling menimpa berurutan.
Beberapa orang terjatuh menindih. Bahkan Yasinta juga kena tindih orang-orang yang mengerubutinya. Gaun Salma kena tarik, oleh seseorang yang berusaha menahan diri untuk tidak roboh jamaah. Beruntung Fandi segera menghindarkan diri dari insiden tersebut.
Sebelum ketahuan, Tina buru-buru pergi, jika dirinyalah penyebab kekacauan itu.
***
Selina mendekati pusat aliran listrik. Ada banyak tombol di sana. Ia berencana akan memadamkan semua lampu.
“Berani lo macam-macam sama gue,” gumam Selina. Tersenyum licik. Tapi sebelum tangannya menyentuh saklar-saklar itu. seseorang memegang tangannya. Selina tampak terkejut.
“Ngapain di sini!” Fandi melempar tatapan tajam. Seperti ada laser dari mata cowok itu, dan siap membunuh Selina saat ini juga.
“Lo? Lepasin!” Selina berontak meminta Fandi melepas cengkeramannya.
“Gue nggak akan biarin lo bikin onar di sini!” Selina berutal tapi cowok itu lebih kuat darinya.
“Lo nggak usah ikut campur urusan gue, Kakek Peyot!” Dada Selina bergemuruh. Panas. Entahlah, bagaimana Fandi begitu jenius membuatnya marah. Bahkan hanya dengan menampakkan dirinya saja, itu sudah sanggup membuat Selina ingin membanting apa pun di sekitarnya. Apalagi, melihat cowok itu ikut campur. Meski di sisi lain, Selina mengabaikan perasaannya yang lain. Yaitu jantung yang terus berdegup kencang. Yang baru-baru ini ia rasakan.
“Mending lo pergi dari sini.” Fandi akhirnya melepaskan tangan Selina sampai cewek itu mengerang kesakitan. Sialan!
“Gue bukan pengecut yang suka kabur,” lawan Selina yang segera disambut senyuman miring Fandi.
“Terus lo masuk ke sini dengan cara maling apa namanya? Bukankah ini lebih pengecut?” Haargh! Cowok itu benar-benar hobi bikin darting ... kenapa dia begitu blak-blakkan ngomongnya. Selina merasa ingin menguliti saat ini juga. Ia membuat tatapan sesadis mungkin, agar cowok itu mengkeret seperti siswa lain di sekolah. Tapi itu sama sekali tak berpengaruh. Karena Fandi pasti akan mengandalkan perjanjian tersebut. Cowok licik!
Selina ngedumel merutuki kebodohannya. Bagaimana dia bisa ketahuan begini?
“Lo pikir gue bodoh? Lo kan tadi yang ngelempar gue pake kerikil?” Uh-Oh. Benar-benar penyamaran yang tidak sempurna. Harusnya Selina bisa lebih rapi lagi dari ini.
“Mending lo cepet pergi. Lagian lo ngapain di sini? Nggak diundang juga.” Oh God! Selina benar-benar ingin meremat cowok di depannya menjadi gulungan kertas. Omongannya nyelekit sekali.
“Bukan urusan lo! Sekali lagi gue bilang, nggak usah ikut campur!” Selina hendak pergi meninggalkan Fandi, tapi suara cewek mencegahnya.
“Fandi ... aku kira kamu kemana ....” Bibir Yasinta mendadak terkatup rapat. Begitu melihat Fandi tak sendirian di sana. Yakni bersama seorang cewek, tukang onar di sekolah.
“Elo?” Yasinta segera merapatkan diri pada Fandi. Mengalungkan tangan di lengan cowok itu. Seperti menunjukkan dia-punya-gue-jauh-jauh-lo. Yang justru membuat Selina begitu jijik dan balas dengan seringai sengit.
“Ngapain di sini?” tanya Yasinta ramah. Jelas! Mana mungkin ia akan menunjukkan sikapnya yang ular di depan Fandi.
“Ya ampun, maaf banget, ya, Sel. Gue lupa. Nggak ngasih lo undangan. Soalnya kehabisan waktu itu.” Yasinta menatap bersalah.
“Gue juga nggak berminat diundang sama lo!” sombong Selina. Lah terus maksudnya datang hari ini apa? Ia merasa geli sendiri dengan dirinya. Hah! Sebenarnya ini jauh lebih memalukan kepergok seperti ini. Cuma apa boleh buat? Dia harus bertahan menghadapi dua manusia ular di depannya.
“Sebelum dia bikin ulah, mending gue amanin aja,” ujar Fandi pada Yasinta. Ia menarik pergelangan tangan Selina. “Ayo pulang!” Di pegang dadakan seperti itu, membuat Selina melongo bego. Bahkan ia merasakan liquid bening nyaris keluar dari tepi bibirnya karena saking lebarnya ternganga. Selina buru-buru menutup mulut, menarik tangan.
“Apaan sih! Nggak mau!” Ia menghempaskan pegangan Fandi.
“Lo pasti ke sini mau cari masalahkan?”
“Terus? Masalah buat lo!” Selina mendongak. Menantang kedua mata tajam yang menatapnya itu. Selina cepat-cepat mengalihkan pandang. Kenapa tatapan itu begitu dalam dan menusuk. Hash! Sial! Harusnya ia tidak menjadi lemah dan menye-menye seperti ini. Kenapa cowok ini membuatnya ingin menangis saat itu juga?
Terdengar suara ribut-ribut dari luar. Seorang kepala pelayan menghampiri Yasinta. Mengalihkan perhatian ketiganya.
“Nona, ada penyusup,” jelasnya. Yang langsung membuat Yasinta mengikuti pelayan itu ke depan, dan terpaksa meninggalkan Fandi dan Selina. Sedang Selina melebarkan mata. Sial! Jangan-jangan teman-temannya tertangkap.
“Kenapa sih? Lo selalu mempermalukan diri lo sendiri?” ujar Fandi. Sebelum pergi meninggalkan Selina menyusul Yasinta. Selina menjambak-jambut rambut, misuh-misuh.
“Dan kenapa sih! Lo selalu ikut campur urusan gue!” geram Selina meski tentu saja tidak akan didengar oleh Fandi yang sudah pergi.
Betewe dia juga penasaran apa yang terjadi di luar sana. Selina tidak perlu bersembunyi lagi. Toh percuma, misinya sudah gagal. Ia mengikuti langkah Fandi dan Yasinta.
Seorang gadis gendut tampak disidang ramai-ramai. Pria setengah baya, namun tampak gagah dengan jas rapi tampak berusaha menengahi penghakiman masa yang bersiaga melemparkan kue-kue di meja pada gadis itu.
“Coba jelaskan apa yang terjadi. Kenapa ada ribut-ribut begini?” Interogasi pria tadi yang tampaknya memegang peran penting. Seorang pelayan maju selangkah dari tempatnya.
“Tadi kami curiga. Kenapa kuenya begitu cepat habis. Akhirnya, saya dan beberapa teman diam-diam mengawasi setiap meja. Lalu inilah hasilnya.” sekantong kue menjadi bukti. Seketika sorakan ramai menghujani Kikan. “Tidak hanya mencuri kue, dia juga ingin merusak pesta ini. Saya perhatikan gadis ini telah mengganti lilin dengan lilin yang dia bawa.” pelayan lain mengacungkan tangan Kikan yang masih memegang lilin asli.
Selina misuh-misuh dalam hati. Sialan! Benar-benar ceroboh. Jelas ini memalukan! Untuk apa Kikan mengantongi kue-kue itu? Dia saja sudah keberatan membawa tubuhnya. Apalagi harus dibebani kue-kue itu. Hah! Kenapa dia harus menghadapkan Kikan dengan makanan? Sudah tahu itu kelemahannya. Harusnya tadi Selina yang mengambil bagian itu. eh tapi, ia tak bisa serta merta menyalahkan Kikan. Karena kecerobohannya jugalah, aksinya jadi ketahuan. Coba saja tadi Selina sedikit menahan diri dan tidak melempar Fandi dengan kerikil. Cowok itu pasti tidak akan tertarik untuk mencari sumber lebih lanjut. Sampai menangkap basah dirinya.
Selina mengutuk dirinya sendiri.
Ada kehebohan lain saat dua orang satpam menyeret seseorang kehadapan pria itu. “Maaf, Pak. Saya menemukan dia sedang mengendap-ngendap tidak jelas tadi. Kami langsung menangkap karena gerak-geriknya mencurigakan,” jelas satpam. Tina menunduk dalam-dalam. Selina lagi-lagi menepuk keningnya.
“Trio onar ada di sini? Mau apa mereka?” Salma berkata emosi. Yang langsung menarik perhatian semua.
“Pasti mau merusak acara Yasinta,” sela seseorang yang langsung sahut menyahut. Yasinta membuka mulut terkejut. Matanya langsung menatap Selina di belakang Fandi. Bukan hanya dia saja, tapi semua orang.
“Aku nggak nyangka kamu tega ngelakuin ini.” Yasinta berkata seolah dirinya sudah dianiaya Selina. Bangsat! Pinter banget drama. Selina misuh-misuh dalam hati.
“Apa kamu masih dendam sama aku, Sel? Soal kejadian di kantin? Aku sudah minta maaf, kan? Kenapa kamu tega melakukan ini di acara pentingku?” Yasinta menitikkan air mata. Membuat Salma menghampiri dan mengelus-elus pundaknya menegarkan. Hah! Selina muak.
“Itu akibatnya karena lo udah berani main api sama gue!” sentak Selina. Yasinta menggeleng menangis.
“Aku minta maaf,” isaknya.
“Lo kebangetan ya! padahal kan itu kejadian nggak sengaja? Rasanya nggak sebanding dengan apa yang lo perbuat malam ini!” Salma langsung meledak membuat Selina maju. Ia tidak peduli kalau memang harus mendapat hajaran seperti di kantin kemarin. Toh semuanya sudah telanjur. Kalau mau basah, basah sekalian.
“Ehem!” dehaman itu bersumber dari pria tadi yang berusaha mendinginkan suasana panas ini. Kali ini, Selina kaget bukan main. Saat matanya beradu dengan pria itu.
“Selina!” Lelaki itu nyaris tak percaya melihat sesosok gadis di depannya. Om Topik? Kenapa dia ada di sini? Atau jangan-jangan dia .... Belum sempat Selina berpikir.
“Jadi kamu satu sekolah sama putri, Om?” Yasinta mengernyit heran melihat Ayahnya yang tampak mengenali Selina.
“Papa ...?” Yasinta menatap Ayahnya meminta penjelasan.
“Jadi, Yas. Selina ini putrinya Tante Ariny.” Seketika mata Yasinta melebar.
“A-apa?” Ia tergagap saat mengetahui kenyataan jika Selina memiliki hubungan erat dengan perempuan yang begitu dekat dengan Ayahnya.
“Jadi ... jadi Tante Ariny itu ....”
“Ada apa ini?” Suara khas yang benar-benar familiar di telinga Selina datang dari satu arah yang langsung membuat semua menoleh ke sumber suara.
“Mama!” Selina memandang blo’on kedatangan Ibunya. Ini benar-benar kebetulan gila! Sangat gila! Permainan takdir macam apa ini?
“Sel, kok di sini?” Ibu Selina menatap heran putrinya dan semua orang yang berkumpul pada satu titik. Seperti ada sesuatu yang terjadi.
“Itu berarti ... berarti Tante Ariny peramal itu dong,” tandas Yasinta. Yang segera membuat tempat itu riuh oleh bisik-bisik tak sedap. Bahkan Ibu Selina raut mukanya langsung berubah.
“Iya. Itu memang pekerjaan Tante.” Pengakuan blak-blakkan dari Ibu Selina membuat suasana semakin riuh. Jadi Ariny, orang yang selama ini Yasinta sayangi dan benar-benar berharap jika dia yang akan menggantikan posisi Ibunya adalah ... seorang peramal? Lebih terkutuk lagi jika dia harus menjadi saudara tiri Selina.
Tak ada yang berani meledek Ibu Selina seperti yang Selina alami selama ini di sekolah. Mereka akan selalu meledeknya dengan sebutan putri peramal, penyihir, pembual dan serta mertanya. Yang membuat Selina tumbuh menjadi gadis labil, brutal dan gampang emosi. Ia tak segan-segan menghajar siapa pun yang menghinanya. Suasana mendadak tegang. Bahkan Ibu Selina menjadi benar-benar tertunduk. Ia tidak tahu apakah sebentar lagi, Yasinta akan membencinya setelah ini.
Namun di luar dugaan, gadis itu malah menghampiri Ariny yang terpaku di tempat. Memeluk wanita itu. “Apa pun pekerjaan Tante, yang Yasinta tau, Tante orang baik. Dan Yasinta berharap Tante akan menjadi Mama Yasinta.” Suara itu bagai halilintar yang menyambar-nyambar telinga Selina. Semua orang terbengong lalu kemudian menatap haru. Para Wartawan menjulurkan kameranya, memotret momen mengharukan itu. Yasinta adalah anak yang baik. Yang rela berkorban demi kebahagiaan ayahnya. Semua menjadi heboh dan menyanjung-nyanjung gadis itu. Bahkan pekerjaan hina Ibu Selina pun diabaikan. Benar-benar berhati malaikat.
Ayah Yasinta bernapas lega, melihat penerimaan putrinya terhadap wanita yang dicintainya. Sedang Selina berusaha menahan diri. Mengepalkan tangan erat-erat, menahan gemuruh dalam dadanya. Yang hampir meletus. Memuncratkan isi perut bumi.
Licik! Ia menangkap senyuman sinis Yasinta yang dilayangkan padanya. Tentu tidak disadari yang lain.
“Tante, Tante tau? Sebenarnya, Yas ingin sekali dekat dengan Selina. Hanya ....” Yasinta melihat sedih Selina. Yang langsung mendapat sorotan tak enak dari seluruh orang. Selina merasa dihakimi. Bahkan tubuhnya sudah dimutilasi, hancur lebur oleh sorot mata mereka yang hadir di sana. “Entah kenapa. Selina nggak pernah bisa menerima Yas menjadi temannya,” jelasnya terisak.
Drama macam apa ini! sial! Selina menyerapah. Demi para alien, monster dan seluruh makhluk halus di muka bumi, ia benar-benar ingin membunuh Yasinta saat ini juga. Kalau saja membunuh dilegalkan, dialah orang yang akan mati lebih dulu.
“Nggak sudi! Sampai kapan pun, gue nggak sudi punya Papa baru, apalagi punya saudara tiri licik kek elo!” Selina tak bisa menahan diri. Yang membuat Yasinta menekap mulut tak percaya.
“Selina!” bentakan itu kini keluar dari mulut Ibunya sendiri. Bahkan dengan tega, Ibunya membentak ia di depan orang sebanyak ini. Rasanya percuma Selina di sini. Melihat senyum kemenangan di bibir Yasinta, melihat tatapan puas orang-orang yang membencinya. Bahkan Fandi pun dari tadi diam saja. Hah! Cowok itu sama sekali tak berguna. Eh tapi ... peduli apa ia pada Fandi? Berharap untuk dibela? Cih! Nggak sudi!
Selina meninggalkan rumah Yasinta. Menerobos kerumunan, menabrak siapa pun yang menghalangi jalannya. Tanpa peduli teriakan-teriakan yang membully-nya. Jangan harap Ibunya akan mengejar. Sudah jelas-jelas ia lebih berpihak pada lelaki tua itu dan si putri drama.
“Ojek!” Selina berlari secepat kilat keluar kompleks yang segera disambut sebuah motor di sana. Dalam perjalanan pulang, ia menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa, Neng? Habis putus cinta, ya?” tanya Mang Ojek prihatin. Tak ada sahutan dari Selina. Hanya isak tangis.
“Sabar ya, Neng. Cowok nggak satu. Masih ada cinta yang lain,” tukas lelaki setengah tua itu sok tahu. Cinta yang lain? Bahkan Selina tak pernah berpikir ada orang yang benar-benar mengharapkannya hadir di dunia ini. sekalipun Ibunya sendiri. Hanya satu hal yang sangat ingin dilakukan. Bunuh diri!
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices