by Titikoma
12. Merasa Pernah Bertemu Dengannya
Taufiq
Kelima kalinya aku melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul sepuluh pagi. Itu artinya sudah satu jam aku menunggu Chiara di rumahnya. Untung hari ini Mama ada di rumah, jadi aku nggak terlalu bête.
“Tan, Chiara sebenarnya pergi kemana sih? Sudah satu jam nggak pulang-pulang padahal tadi malam sudah janjian.”
“Untuk pergi kemananya sih Tante kurang tau. Yang jelas Chiara tadi pamitnya mau pergi untuk menemui sahabat lamanya.”
“Sahabat lamanya Chiara bernama siapa dan dimana Tan?” celetuk Hambali.
“Sahabat lamanya Chiara banyak. Nggak bisa disebut satu-satu.”
Ilham menarik-narik bajuku. Seketika aku menoleh ke Ilham. “Ada apa, Il? Lo mau ngomong sesuatu?”
Ilham mengangguk. Dia kemudian menuliskan sesuatu di buku kecilnya. Setelah dia selesai menulis, buku kecilnya itu diberikan ke aku.
“Fiq, coba deh lo minta izin Tante Lidya buat memeriksa kamar Chiara. Siapa tau di kamar Chiara kita nemuin petunjuk.” Aku membaca tulisan Ilham dari hati.
Kalau dipikir-pikir pendapat Ilham ada benarnya juga. “Tante Lidya, boleh nggak kami minta izin buat memeriksa kamar Chiara. Siapa tau di kamar Chiara kita nemuin petunjuk.”
“Boleh banget. Mari silakan!”
Tante Lidya bangkit dari tempat duduk lalu melangkahkan kaki menuju kamar Chiara. Ti Detektif Tiga Serangkai hanya mengekor di belakangnya.
Kamar Chiara ada di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar tamu. Begitu aku memasuki kamarnya, seketika aku merasa memasuki hutan belantara. Seluruh perabotan yang ada di kamar didesain warna hijau. Ditambah lagi wallpaper di dinding kamar itu gambar hutan.
Hambali dan Ilham sudah bergerak memeriksa setiap sudut kamar ini. Hambali memeriksa lemari belajar sedangkan Ilham memeriksa tempat tidur Chiara. Kalau aku hanya mengorek informasi tentang Chiara lewat Tante Lidya.
“Fiq, gue berhasil nemuin sesuatu!” teriak Hambali.
Aku bergegas menghampiri Hambali. “Lo nemuin apa?”
“Gue nemuin album foto.” Dia memberikan barang temuannya ke aku.
Kubuka album foto itu. Di halaman 1, ada foto Chiara waktu kecil sekitar kelas lima. Di sebelah Chiara ada gadis kecil berwajah bulat, kulit hitam manis dan mempunyai tahi lalat di atas bibir.
Seketika dahiku berkerut. “Gue kok ngerasa pernah bertemu sama anak kecil ini ya? Tapi siapa dan dimana?” ujarku sambil menunjuk gadis kecil di sebelah Chiara.
“Gue juga ngerasa kayak gitu. Tapi ntah kenapa feeling gue ngatain bahwa anak kecil di sebelah Chiara mirip sama Franco,” timpal Hambali.
Senyum merekah di bibirku. Ucapan Hambali barusan memberikan pencerahan pikiranku. “Tante Lidya kenal nggak sama anak kecil di sebelah Chiara ini?” tanyaku.
“Kenal dong. Dia bernama Fransiska Rina Milansi. Teman Chiara waktu kecil. Jadi gini, waktu Chiara SD dia tinggal bersama neneknya di Bandung. Nah, rumah Siska bersebelahan dengan rumah Neneknya Chiara.”
“Kalau Franco tante kenal nggak?”
“Franco itu ya Fransiska.”
Alis sebelah kananku terangkat. “Maksud tante, Fransiska transgender jadi cowok?”
“Yup. Dia sebenarnya punya kelamin ganda. Waktu lulus SMP dia memutuskan jadi cowok tulen, dan kelamin ceweknya dihilangkan.”
Penjelasan dari Tante Lidya sudah cukup menguak siapa pembunuh Arshita. Bergegas aku berdiri. “Gue dah nemuin siapa pembunuh Arshita yang sebenarnya.”
“Siapa?” Tanya Hambali penasaran.
“Ntar aja gue jelasin. Sekarang kalian ikut gue ke rumah Franco. Jangan lupa kasih tau Arsyil. Suruh dia dating ke rumah Franco!”
Aku mengulurkan tangan ke Tante Lidya. “Tante, makasih banyak ya sudah mengizinkan kami memeriksa kamar Chiara sekaligus memberikan informasi penting tentang jati diri Franco.”
Tante Lidya menjabat tanganku. “Sama-sama. Saya juga senang karena membantu kalian. Semoga pembunuh Arshita cepat tertangkap.”
***
Pukul 12.00 WIB
Jarak antara rumah Chiara ke kos Franco lumayan jauh. Harus menempuh perjalanan 1 jam naik motor. Tepat jam dua belas siang aku beserta tim Detektif Tiga Serangkai dan juga Langit sudah tiba di kos Franco. Namun sialnya kata ibu kos, Franco nggak ada di kos.
Franco dan Chiara kok bisa kompakan nggak ada di rumah? Jangan-jangan orang yang ditemui Chiara itu Franco dan ujungnya Chiara diculik Franco? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bercokol di pikiranku. Untungnya tadi ibu kos memperbolehkan kami memeriksa kamar kos Franco.
Begitu tiba di kamar Franco, aku langsung geleng-geleng kepala. Pasalnya tempat yang dipijakinya lebih layak disebut tempat pembuangan sampah disbanding kamar kos. Bungkus makanan dan rokok bertebaran dimana-mana. Belum lagi tempat tidurnya tanpa seprai. Kapuknya pada keluar. Kok bias sih Franco tahan tinggal di tempat kek gini selama bertahun-tahun?
“Gue masih heran, kenapa lo bisa menyimpulkan bahwa Franco itu pembunuh Arshita? Pan dia nggak ada dendam sama Arshita.” Tanya Langit.
“Anda sudah tahu belum bahwa Franco itu cewek yang bernama Fransiska?” aku balik bertanya pada Langit.
“Maksud lo si Franco transgender dari cewek ke cowok?” Dia kembali melempariku dengan sebuah pertanyaan.
“Ya begitulah. Lebih tepatnya dia berkelamin ganda. Lulus SMP dia memutuskan jadi cowok dengan membuang kelamin ceweknya.”
Langit geleng-geleng kepala. “Bener-bener di luar dugaan gue. Kok dia nggak pernah cerita sama gue ya?”
Aku tersenyum simpul. Sudah kuduga, yang tahu tentang identitas Franco hanya Chiara berserta mamanya. Makanya Franco menculik Chiara supaya Chiara nggak membeberkan identitasnya ke orang lain.
“Menurut analisa saya, si Fransiska suka sama Chiara tapi Chiara normal dan menolak cinta Fransiska. Lulus SMP Chiara kan pindah ke Jakarta, Fransiska ngikutin Chiara. Dia juga merubah jadi cowok biar bisa dapetin cinta Chiara.” Aku menghembuskan napas dulu. Capek ngomong panjang lebar.
“Ketika Chiara kuliah eh dia jatuh cinta sama Langit, sayang Langit hanya memanfaatkan Chiara. Di situ Franco nggak rela, makanya dia membunuh Arshita untuk membalas rasa sakit hatinya ke Langit. Begitukan saudara Taufiq kelanjutan penjelasannya?” Hambali menyahut.
“Pinter.”
Dahi Langit berkerut. “Kalau emang Franco sakit hati sama gue, kenapa coba dia capek-capek membela gue dengan menyewa kalian untuk mengusut pembunuh Arshita?”
“Itulah begonya Franco. Dia awalnya pengen jadi pahlawan di mata anda. Dia pikir kami nggak akan mencurigai dia.”
“Tapi kan itu baru analisa. Kalau emang Franco pembunuh Arshita, gimana caranya coba dia memasukkan sianida ke kopi Arshita? Apalagi saat kalian interogasi karyawan one fifteenth coffe, mereka nggak tahu apa-apa kan?”
“Makanya saya suruh kalian ke kos Franco, siapa tau di sini kita menukan petunjuk.”
Pandanganku tertuju pada Ilham yang sedari tadi sibuk mengamati setiap sudut kamar kos ini. “Il, lo dah nemuin petunjuk lum?” tanyaku.
Ilham mengangguk. Dia menghampiriku. Diserahkannya bolpen yang sama persis seperti yang ditemukan Ilham di dapur one fifteenth coffe, beberapa berkas yang menyatakan bahwa ayah Franco memiliki 50% saham di one fifteenth coffe dan juga bungkusan sianida.
“Tiga barang yang diberikan Ilham sudah jelas banget jadi barang bukti pembunuh Arshita adalah Franco. Sekarang ayo kita cari keberadaan Franco sebelum Chiara jadi korban berikutnya!” ujarku bersemangat.