hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
186
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 5

Ini malam pertama Sarah hanya tinggal berdua bersama Amely. Tanpa Kevin. Setelah makan malam, Sarah segera memastikan seluruh pintu dan jendela rumahnya terkunci. Biar aman. Ia tentu tak ingin rumahnya kecurian, mengingat di sekitar tempat tinggal mereka tak ada warga lain yang tinggal. Terbilang sangat sepi. Rumah yang paling dekat, jaraknya satu setengah kilometer dari rumah mereka.
Sampai di ruang tengah, pandangan Sarah mendadak teralih ke sepasang sosok di dalam foto yang siang tadi hendak ia turunkan. Terlebih sosok perempuan Belanda berambut pirang dalam foto. Matanya seakan hidup. Dan seperti biasa, kali ini Sarah merasa pandangan mata mereka seperti sedang beradu. Bersirobok. Hingga kemudian Sarah memutuskan untuk mematikan lampu ruang tengah tersebut dan bergegas untuk tidur.
Sesaat setelah mematikan lampu, di dalam keremangan, tiba-tiba Sarah dikejutkan oleh kemunculan sesosok bergaun putih yang berdiri tepat di bawah lukisan. Sarah bahkan sampai terpekik karenanya. Buru-buru, ia kembali menyalakan saklar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bulu kuduknya berdiri hebat. Tangannya bahkan sampai gemetar. Menarik napas, perempuan itu lantas mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu. Setelah agak tenang, Sarah kembali mematikan saklar sekali lagi.
Sial! Sosok perempuan bergaun putih itu muncul lagi.
Napas Sarah sempat berhenti beberapa saat. Ia bahkan sampai harus menyandarkan bobot tubuhnya ke dinding. Sekali lagi buru-buru ia menyalakan lampu dan sekali lagi pula ia tak menemui apa-apa. Kosong. Sarah lantas menganggap barangkali karena pikirannya sedang lelah hingga ia kemudian berhalusinasi. Melihat yang tidak-tidak. Apalagi beberapa hari ini ia tengah disibukkan menulis novel horor. Tentang hantu noni Belanda pula. Dan entah kenapa, sarah malah terinspirasi dari sosok perempuan dalam foto di dekatnya tersebut.
“Sepertinya aku harus segera istirahat,” keluhnya.
Dan di kali ketiga Sarah mematikan lampu ruang tengah—sengaja ia tidak melihat ke arah lukisan tadi—apa yang sama sekali tidak diduga malah terjadi. Di hadapan perempuan berpakaian tidur itu, berdiri sosok perempuan berwajah seram dan penuh darah, dengan deretan geligi berwarna hitam yang tengah menyeringai tepat di depan wajahnya. Jaraknya bahkan tak lebih dari sejengkal. Sarah bahkan sampai terjungkal di lantai dan sesaat kemudian ia berhasil lari tunggang langgang ke lantai dua, ke kamar Amely.
“Mommy kenapa?” Amely kaget mendapati Sarah yang menutup pintu dengan cara membantingnya.
“Ayo kita segera tidur, Sayang,” ajak Sarah yang langsung mengangkat tubuh Amely ke atas kasur dan menutup tubuh mereka dengan selimut tebal. Malam ini, perempuan berpiyama merah muda tersebut memutuskan untuk tidur bersama di kamar Amely.
***
Batavia, 1834
Seorang lelaki tua berkacamata dengan seragam khas tentara Belanda, tengah duduk di atas kursi goyang di teras sebuah rumah bergaya klasik. Lelaki itu tampak menikmati setiap isapan cerutu yang nangkring di bibirnya yang berwarna kehitaman. Sedang di hadapan lelaki tua tadi, sekelompok pribumi yang merupakan pekerja di perkebunan miliknya, tampak tengah memetik cengkih. Hingga kemudian seorang pemuda terpandang dan berpengaruh di Batavia datang menyapa.
“Goede morgen[1], Tuan Jacob!”
“Goede morgen, Tuan Johan.”
“Pagi yang cerah, bukan?” Johan mencoba berbasa-basi dengan Jacob van Stolch yang masih asyik menikmati cerutu.
“Tampaknya pagi sedang bersahabat.” Jacob mengepulkan segumpal asap dari bibir. “Mau minum kopi atau teh?" tawarnya kemudian pada tamu yang baru saja berkunjung itu.
“Kopi saja.”
Jacob van Stolch tampak menoleh ke sisi kiri rumah, sebelum kemudian berteriak memanggil seseorang. “Badriah!”
Sesaat kemudian, perempuan berseragam pelayan dan berwajah khas pribumi seketika muncul dari sisi kiri rumah tersebut. “Ya, Tuan.”
“Buatkan kopi untuk Tuan Johan. Dan biar Nona saja yang mengantarkannya kemari,” perintah Jacob.
“Baik, Tuan.”
Kembali, pelayan bernama Badriah itu berjalan dari arah ia datang tadi. Bukan melalui pintu utama rumah yang kini tengah terbuka.
“Kamu tahu, kan, Johan, mereka selalu punya pintunya masing-masing,” ucap Jacob sambil mengamati bagaimana Johan yang sedari tadi mengikuti langkah kaki sang pelayan.
“Pasti, Tuan. Inlander[2] memang harus memiliki pintunya sendiri.” Johan tertawa renyah sekaligus menyebalkan. Ya, di masa kolonial, setiap majikan selalu mempunyai pintu dan areal khusus yang tidak boleh sekali pun dilewati oleh para pesuruh. Daerah privasi, kurang lebih.
“Oiya, apa gerangan yang membuat Tuan Johan sudi mengunjungi perkebunan saya ini?” Wajah Jacob menunjukkan ketertarikan pada kedatangan pemuda yang cukup berpegaruh yang kini duduk di hadapannya.
“Bukan apa-apa, hanya ingin mengunjungi salah satu pemilik perkebunan besar di sini. Apalagi saat ini, kebutuhan dan permintaan cengkih di pasaran sedang besar-besarnya. Juga perdagangan ….”
Ucapan Johan van Back tiba-tiba terpotong oleh kedatangan sesosok perempuan cantik berambut pirang yang tengah membawa senampan kopi panas. Ia keluar dari pintu utama rumah bergaya klasik tersebut.
“Silakan diminum, Tuan,” ucap perempuan itu sambil tersenyum manis. Manis sekali malahan.
“Ba—baik.” Johan bahkan sampai tergeragap lantaran terpikat oleh pesona gadis cantik itu. Bagaimana tidak, gadis berbulu mata lentik dengan tinggi semampai itulah yang sebenarnya menjadi alasan utama lelaki Belanda itu datang mengunjungi perkebunan milik Jacob.
Tak lama, gadis cantik berpenampilan rapi tersebut kembali masuk ke dalam rumah melalui pintu yang sama. Manik mata Johan bahkan tak bisa lepas dari punggung gadis tadi meski sosoknya sudah lenyap di balik daun pintu.
“Ehm ….“ Jacob berdeham, membuat pandangan Johan segera beralih ke lelaki berkacamata yang sedang menghabiskan ujung terakhir cerutu di tangannya. “Itu putri saya, Tuan.”
Johan van Back tersenyum lebar. “Cantik sekali. Bahkan kecantikan putri Tuan itu sudah tersohor sampai ke mana-mana.”
“Sayang, sampai sekarang dia belum mau menikah. Katanya, dia masih belum mau meninggalkan perkebunan dan ayahnya yang tua ini.” Jacob seperti memberi clue pada Johan. Sebab, dari tatapan matanya, Jacob tahu kalau Johan menyimpan rasa pada putri semata wayangnya. Dan meski Johan adalah pemuda terpandang dan berkuasa di Batavia, tapi Jacob kenal betul bagaimana perilaku pemuda tersebut. Kasar dan kerap menggunakan cara apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Termasuk cara kotor dan juga memanfaatkan kekuasaan keluarganya dengan sewenang-wenang. Di mata Jacob, Johan sama sekali tak tampak memiliki kharisma seorang laki-laki terhormat.
“Bagaimana kalau aku yang melamarnya.” Johan tersenyum licik. Dan Jacob bisa menangkap niatan buruk dari pemuda di hadapannya tersebut.
“Bukankah tadi sudah saya katakan kalau putri saya ….”
Johan segera memutus kalimat Jacob. “Anda tahu, kan, apa jadinya jika penawaran seorang Johan van Back ditolak mentah-mentah.”
“Tapi, Tuan ….”
“Saya tunggu kabar baiknya.” Sekali lagi Johan tersenyum licik. Ia tahu lelaki tua di hadapannya ini tak bisa berbuat apa-apa. “Sampai jumpa lagi, Tuan Jacob van Stolch.”
Dengan angkuh, pemuda tersohor sekaligus berengsek itu melangkah pergi. Senyum sinis masih tersungging di bibirnya, yang lantas ia lemparkan pada setiap pekerja perkebunan milik Jacob yang tak sengaja beradu pandang dengannya. Sebab, menurut aturan, inlander, warga pribumi rendahan seperti para pekerja itu, tak boleh sekali pun memandang wajah para Belanda secara langsung ketika berpapasan. Haruslah menunduk. Tidak hormat, katanya.
Sepeninggalan Johan, Jacob meraih cangkir yang masih berisi sepertiga kopi. Kemudian ia banting dengan kesal benda yang terbuat dari kaca bening itu ke lantai marmer di bawah kakinya.
Prang!
***
Sarah terbangun dari mimpinya dengan napas memburu. Tepat saat membuka mata, perempuan yang bulan depan berusia tepat tiga puluh tahun tersebut, dikejutkan oleh wajah Amely yang begitu dekat dengan wajahnya.
“Amely!” pekiknya. Sarah bahkan langsung mendorong punggungnya ke belakang, ke arah sandaran tempat tidur.
“Mommy, Amel nggak bisa bobok.”
Sejenak, Sarah mengatur tempo detak jantungnya. Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Kamu ngagetin Mommy, Sayang.”
Sarah lalu meraih kepala Amely dan menyandarkannya di depan dada. Sesaat ia mengalihkan pandangan pada jam yang mengantung di salah satu sisi dinding kamar. Pukul dua dini hari.
“Mau Mommy bacakan dongeng?”
Amely mengangguk. “Hanzel and Gretel,” sahutnya.
“Baiklah.”
Sarah kemudian memilih salah satu buku cerita dengan judul yang sesuai permintaan putrinya dari tumpukan buku-buku di atas meja kecil di samping ranjang. Dengan nada lembut, ia kembali membacakan cerita favorit Amely. Meski terus diceritakan berulang kali, tapi Amely tidak pernah bosan mendengarkan cerita ibunya itu. Sarah selalu punya cara dan gaya bercerita yang berbeda setiap kalinya. Hingga pelan-pelan, mata Amely tertutup secara perlahan.
***
[1] Selamat pagi
[2] Sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia (pribumi) oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices